Tata cara istinja yang benar adalah

Jakarta -

Thaharah dilakukan untuk menghilangkan segala sesuatu yang menimbulkan najis. Terkait dengan najis, ada satu istilah yang sering ditemui, yaitu istinja. Apa itu istinja?

Dalam ilmu fiqih, istinja adalah membersihkan sesuatu (najis) yang keluar dari qubul atau dubur menggunakan air atau batu dan benda sejenisnya yang bersih dan suci. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab Jilid 1 menjelaskan, istilah ini disebut juga dengan istithabah atau istijmar.

Hanya saja, istijmar biasanya dikhususkan untuk istinja dengan batu. Istijmar sendiri diambil dari kata al-jimar yang berarti kerikil kecil. Sedangkan, disebut juga dengan istithabah karena dampak yang ditimbulkannya (membersihkan kotoran) membuat jiwa terasa nyaman.

Dalam pendapat lain sebagaimana dijelaskan oleh Rosidin dalam buku Pendidikan Agama Islam, kata istinja berasal dari akar kata naja' yang artinya bebas dari penyakit (kotoran). Jadi, disebut istinja karena orang yang beristinja berusaha bebas dari penyakit dan menghilangkan penyakit tersebut.

Hukum Istinja

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi mengatakan istinja hukumnya fardhu. Ulama Hanafiyah berkata bahwa hukum istinja atau aktivitas lain yang menggantikan kedudukannya seperti istijmar adalah sunnah muakkadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Sementara itu, Hasan ibn Salim al-Kaf dalam al-Taqrirat al-Sadidah sebagaimana dijelaskan Rosidin membagi hukum istinja menjadi 6 jenis. Antara lain sebagai berikut:

1. Wajib: Istinja hukumnya wajib jika yang keluar adalah najis yang kotor lagi basah. Seperti air seni, madzi, dan kotoran manusia.

2. Sunnah: Istinja hukumnya sunnah jika yang keluar adalah najis yang tidak kotor. Contohnya cacing.

3. Mubah: Jika beristinja dari keringat.

4. Makruh: Istinja hukumnya makruh jika yang keluar adalah kentut.

5. Haram: Haram namun sah jika beristinja dengan benda hasil ghashab. Istinja hukumnya haram dan tidak sah jika beristinja dengan benda yang dimuliakan seperti buah-buahan.

6. Khilaf al-aula yakni antara mubah dan makruh: Jika beristinja dengan air zam-zam.

Tata Cara Istinja

Secara umum, tata cara beristinja ada tiga. Pertama, menggunakan air dan batu. Cara ini merupakan cara yang paling utama. Batu dapat menghilangkan bentuk fisik najis. Sementara itu, air yang digunakan harus suci dan menyucikan. Air tersebut dapat menghilangkan bekas najis.

Kedua, menggunakan air saja. Ketiga, menggunakan batu saja. Adapun, batu yang diperbolehkan untuk beristinja haruslah suci, bukan najis atau terkena najis, merupakan benda padat, kesat, dan bukan benda yang dihormati.

Adab Buang Hajat

Dalam Islam, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan saat buang hajat. Antara lain sebagai berikut:

1. Istibra, yaitu mengeluarkan kotoran yang tersisa di dalam makhraj, baik itu air kencing maupun kotoran, sampai dirasa tidak ada lagi kotoran yang tersisa.

2. Diharamkan buang hajat di atas kuburan. Alasan mengenai pendapat ini karena kuburan adalah tempat di mana orang bisa mengambil nasihat dan pelajaran. Maka, termasuk adab sangat buruk jika seseorang justru membuka aurat di atas kuburan dan mengotorinya.

3. Tidak boleh membuang hajat pada air yang tergenang. Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah SAW melarang kencing pada air yang tergenang (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan yang lainnya).

4. Dilarang buang hajat di tempat-tempat sumber air, tempat lalu lalang manusia, dan tempat bernaung mereka. Pendapat ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits.

Rasulullah SAW bersabda: "Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh manusia." Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan dua penyebab orang dilaknat?" Beliau menjawab, "Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia atau di tempat yang biasa mereka bernaung." (HR. Muslim dan Abu Dawud).

5. Dilarang buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat.

6. Dimakruhkan bagi orang yang membuang hajat untuk melawan arah angin. Sebab, dikhawatirkan adanya percikan air kencing yang membuatnya terkena najis.

7. Dimakruhkan bagi orang yang sedang buang hajat untuk berbicara. Namun, apabila memang ada kebutuhan maka diperbolehkan untuk berbicara, seperti meminta gayung untuk membersihkan najis.

8. Dimakruhkan menghadap matahari dan bulan secara langsung. Sebab, keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan nikmat-Nya bermanfaat bagi seluruh alam semesta.

9. Dianjurkan untuk istinja dengan tangan kiri. Sebab, tangan kanan digunakan untuk makan dan sebagainya.

(nwy/nwy)

Istinja yang sering dipahami sebagai perbuatan membersihkan kubul atau dubur, dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata najâ yanjû, yang berarti memotong atau melepas diri (qatha‘a). Orang istinja artinya orang sedang berupaya melepas dirinya dari kotoran yang menempel di anggota tubuhnya. Adapun istinja dalam terminologi syariat adalah membersihkan sesuatu yang keluar dari kemaluan, kubul ataupun dubur, menggunakan air atau batu yang terikat beberapa syarat tertentu. (Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, at-Tausyîh ‘alâ Ibni Qasim, [Surabaya, Nurul Huda], halaman 19).


Hukum dan Alat Beristinja

Ulama sepakat bahwa hukum istinja dari sisa kotoran yang menempel setelah buang hajat adalah wajib. Bahkan, walau tak diwajibkan pun tabiat setiap orang pasti mendorong melakukannya. Karena tabiat yang sehat tentu risih dan terganggu dengan kotoran yang ada pada dirinya. Allah berfirman:


فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ (التوبة: 108)


Artinya, “Di dalam masjid itu terdapat penduduk Quba yang bersuci dan membersihkan dirinya, Allah sangat cinta kepada hamba-Nya yang bersuci.” (QS at-Taubah: 108)


Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan cintanya kepada siapa saja yang mencintai kebersihan dan kesucian. 

Baca juga: Istinja’ yang Tak Sempurna bagi Penyandang Disabilitas


Alat istinja ada dua: (1) air; dan (2) batu atau benda lain yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengannya, yaitu bukan benda cair, suci, berpotensi membersihkan najis yang melekat di kubul maupun dubur, dan bukan termasuk benda yang dimuliakan, seperti buku, roti, dan semisalnya. Di antara dalil air menjadi alat istinja adalah hadist riwayat Anas bin Malik ra meriwayatkan:


كَانَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عليه وسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)


Artinya, “Bilamana Rasulullah saw masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas ra) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu beliau istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim). (Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulûghul Marâm dicetak bersama Ibânatul Ahkâm, [Dârul Fikr: 2012], juz I, halaman 113).


Adapun dalil kebolehan istinja dengan batu adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:


أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ ولَمْ أَجِدْ ثَالِثًا. فَأَتَيْتُهُ بِرَوْثَةٍ، فَأَخَذَهُمَا وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: إِنَّهَا رِجْسٌ


Artinya, “Suatu ketika ketika Nabi saw buang air besar, lalu memerintahkan saya agar membawakannya tiga batu. Kebetulan, waktu itu saya hanya menemukan dua batu dan tidak menemukan satu batu lagi. Lalu saya mengambil kotoran binatang (yang sudah kering). Akhirnya, beliau pun mengambil kedua batu tersebut dan membuang kotoran binatang yang saya berikan. Bersabda, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis’.” (HR al-Bukhari). (Al-Asqalani, Bulûghul Marâm, juz I, halaman 122). 


Dalam riwayat Imam Ahmad dan ad-Daraquthni, terdapat tambahan redaksi yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda, ‘I‘tini bi ghairiha’, atau ‘Carikan saya benda yang lain sebagai ganti dari kotoran tadi’. Artinya, batu yang digunakan bersuci tidak boleh kurang dari tiga, namun bisa lebih bila memang dibutuhkan.

Baca juga: Doa, Tata Krama, dan Cara Bersuci saat Buang Air


Ketentuan Istinja

Dalam istinja, orang boleh memilih tiga cara; (1) istinja dengan batu terlebih dahulu lalu dengan air, dan ini cara terbaik; (2) istinja dengan air saja; dan (3) istinja dengan batu saja. Namun, jika dibandingkan antara pilihan kedua dan ketiga, lebih baik pilihan kedua, yaitu menggunakan air.


Ada beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi ketika orang istinja dengan batu atau benda lain yang memiliki kesamaan fungsi dengannya. 

  1. Minimal menggunakan tiga batu, atau satu namun memiliki tiga sisi.
     
  2. Tiga batu tersebut dapat membersihkan tempat keluarnya kotoran, kubul atau dubur, sehingga bila belum bersih, maka harus ditambah.
     
  3. Tidak boleh ada tetesan air atau najis lain selain tinja dan kencing yang mengenai kubul dan dubur.
     
  4. Najis yang keluar saat buang hajat tidak boleh melewati shafhah (lingkaran batas dubur), atau melewati hasyafah (pucuk zakar).
     
  5. Najis yang dibersihkan bukan najis yang sudah kering.
     
  6. Najis yang keluar tidak berpindah ke anggota tubuh yang lain semisal selangkangan, paha, dan lain-lain.


Bila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, maka mustanji atau seorang yang istinja harus menggunakan air, tidak boleh menggunakan batu atau yang serupa dan sefungsi. Semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bishshawâb.

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Pengajar di Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur.

Tata cara istinja yang benar adalah