Tanpa sikap dan perilaku yang saling kerukunan persatuan dan kesatuan bangsa tak mungkin terwujud

Polhukam, Jakarta – Salah satu modal penting dalam mewujudkan Indonesia yang damai, maju dan modern, serta anti radikalisme adalah adanya persatuan dan kesatuan bangsa. Tentunya masih ada pihak yang menyatakan bahwa pembinaan persatuan dan kesatuan Indonesia sudah tidak diperlukan lagi karena seolah-olah hanya dalih untuk membatasi ruang gerak masyarakat sejak masuk Era Reformasi dan demokrasi.

“Menurut mereka, persatuan dan kesatuan bangsa akan lestari dengan sendirinya. Oleh karena itu, kita tidak boleh lengah dan merasa bahwa persatuan Indonesia itu take it for granted yang selalu utuh dan lestari tanpa upaya pembinaan, kita semua harus memiliki persepsi yang sama bahwa persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap dibina,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Arief P Moekiyat, dalam Forum Koordinasi dan Sinkronisasi ‘Dengan Semangat Bhineka Tungal Ika Kita Cegah Radikalisme Guna Memperkokoh Ideologi Pancasila Dalam Kehidupan Bermasyarakat dan Berbangsa’ di Jakarta, Kamis (14/11/2019).

Dikatakan, NKRI ini diperjuangkan dan dibangun oleh para pendiri bangsa dan para pejuang kemerdekaan karena sadar bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, agama, golongan, ras, dan budaya dengan Ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, serta memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. “Saya mengajak semua elemen bangsa untuk terus menjalin tali persaudaraan dan menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Arief.

Terkait penanganan terhadap radikalisme dan terorisme, Arief menegaskan bahwa Kemenko Polhukam bersama dengan Polri, TNI, BIN, dan BNPT, serta K/L terkait lainnya, memiliki komitmen tinggi untuk melakukan berbagai langkah pencegahan dan penanganannya. Pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendirian dan membutuhkan peran dari seluruh elemen bangsa, masyarakat, diantaranya tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda.

“Untuk itu, Kemenko Polhukam melaksanakan kegiatan hari ini dengan melibatkan berbagai elemen untuk mencari solusi terbaik penanganan radikalisme,” kata Arief.

Radikalisme adalah suatu gerakan yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrim. Radikalisme merupakan tindakan/faham yang mempunyai akar dan jaringan yang kompleks, sehingga tidak mungkin hanya bisa didekati dengan pendekatan keras berupa penegakan hukum dan intelijen, maupun tindakan respresif lainnya, namun juga harus ditangani dengan pendekatan wawasan kebangsaan, kewaspadaan nasonal, serta persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendekatan persuasif dengan instrument Ideologi Pancasila dan moderasi beragama.

“Forum ini menjadi sangat penting dan bermanfaat untuk terus meneguhkan komitmen dan semangat diantara kita di dalam mencegah dan memberantas radikalisme, juga merupakan inisiatif yang konstruktif untuk terus menggunakan spirit gotong royong antar berbagai pihak, sebagai kontribusi terhadap upaya untuk menciptakan Indonesia yang damai serta anti radikalisme,” kata Arief.

Di tempat yang sama, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ir. Hamli mengatakan bahwa radikal ini bukan soal agama. Berdasarkan penelitian Alvara, ada tiga kelompok masyarakat di Indonesia. Kelompok pertama (39,43%) merupakan kelompok yang menyatakan jika Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam dan dalam bermasyarakat tidak harus memperhatikan norma dan adat yang berlaku.

Kelompok kedua (42,47%) menyatakan Islam adalah agama yang cinta damai dan insklusif, dan mendukung Perda Syariah diterapkan di Indonesia. Sedangkan kelompok ketiga (18,10%) menyatakan, kekerasan diperlukan untuk menegakkan amar ma’aruf nahi mungkar, pemimpin Kelurahan hingga Presiden harus dari kalangan muslim, dan cenderung setuju dengan konsep khilafah.

“Berdasarkan catatan yang kami miliki, pelaku teroris ada sekitar 2 ribu, sekitar 500 orang berada di Lapas dan sisanya masih di luar. Ini belum ditambah dengan yang berangkat ke ISIS ada sekitar 1.500an, mereka ini orang yang sudah jadi semua,” katanya.

Oleh karena itu, Hamli mengatakan harus ada perlawanan dalam bentuk counter narasi. Sehingga mereka yang sudah terdoktrin dapat bisa dikembalikan. “Ada tiga cara yang kami lakukan yaitu soft approach, hard approach dan kerja sama antar negara,” katanya.

Baca juga:  Pengembalian Nazaruddin dari Singapura

Semenatar itu, Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan Dirjen Polpum Kemendagri, Praba Eka Soesanta mengatakan, Indonesia tidak akan ada kalau tidak ada perbedaan. Menurutnya, tidak boleh ada mayoritas dan minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air ini.

Direktur Pembudayaan BPIP, Irene Camelyn Sinaga mengatakan, Pancasila merupakan roso. Menurutnya, masalah radikal ini menjadi sulit untuk ditekan ketika sudah dibawa ke luar publik. “Oleh karena itu, kami bertekad untuk membaliknya yaitu menciptakan radikalisme untuk mencintai Pancasila, bagaimana hidup dengan Pancasila,” katanya.

Biro Hukum, Persidangan, dan Hubungan Kelembagaan Kemenko Polhukam RI

Terkait

Persatuan dan kesatuan antar-sesama manusia tidak mungkin dapat terwujud kalau tidak ada semangat persaudaraan. Dalam konteks ke-Indonesaan persaudaraan harus dilakukan bukan hanya terhadap non-Muslim, namun juga terhadap sesama Muslim. Untuk itulah sebelum membahas tema pentingnya persaudaraan dengan non- Muslim, maka terlebih dahulu akan dibahas tentang persaudaraan sesama Muslim.

Persaudaraan antar-sesama Muslim

Di antara ayat yang secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara seperti dalam Surah al- Hujurat/49: 10.

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (al-Hujurat/49:10)

Curahan rahmat kepada suatu komonitas, khususnya komonitas Muslim akan diberikan oleh Allah Swt sepanjang sesama warganya memelihara persaudaraan di antara mereka. Abdullah Yusuf Ali (2006) dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan atau perwujudan per­saudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) merupakan ide sosial yang paling besar dalam Islam. Islam tidak dapat direa­lisasikan sama sekali hingga ide besar ini berhasil diwujudkan.

Ayat-ayat yang terdapat dalam Surah al-Hujurat ini secara umum berisi tentang petunjuk kepada umat islam khususnya, dan masyarakat manusia pada umumnya. Dalam ayat selanjutnya; 11 dan 12 berisi tentang kode etik umat islam, di antaranya adalah bahwa mereka tidak boleh saling melecehkan dan menghina, karena boleh jadi yang dilecehkan itu lebih baik dari yang melecehkan. Sesama orang yang beriman juga tidak boleh saling berprasangka buruk dan meng-ghibah.

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa orang-orang yang berhijrah (al-Muhajirun) serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kaum Ansar), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Allah Swt berfirman di dalam Surat Al-Anfal yang artinya :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. (al-Anfal/8: 72).

Kata yang secara langsung relevan dengan bahasan ini adalah auliya’, merupa­kan bentuk jamak dari kata waliyy. Kata ini pada mulanya berarti dekat kemudian dari sini lahir aneka makna seperti membela dan melindungi, membantu, mencintai, dan lain-lain. Oleh sementara mufasir seperti al-Qurtubi berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah dalam hal waris. Dengan berhijrah kaum Muslimin pada masa Nabi Saw saling mewarisi, namun lanjutnya ketentuan hukum ini dibatalkan oleh ayat 75 surah yang sama. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan sebagiannya lebih berhak terhadap sebagian yang lain di dalam kitab Allah”, dan sejak itu waris mewarisi hanya atas dasar kekerabatan dan keimanan.

Pandangan al-Qurtubi ini tidak disepa­kati oleh mufasir lain, yang menyatakan bahwa kata auliya’ dalam ayat tersebut mengandung pengertian seperti dalam arti kebahasaannya, bukan dalam arti saling mewarisi, apalagi jika diartikan saling mewarisi, maka ini mengakibatkan ayat tersebut telah batal hukumnya.

Ayat di atas secara tegas menetapkan salah satu prinsip pokok ajaran Islam, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah Rasul-Nya, telah menjadikan seseorang melepaskan diri dari segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai- nilai tauhid, walaupun bangsa, suku, keluarga dan anak istri. Kesetiaan harus tertuju sepenuhnya kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam Surat At-Taubah:

Katakanlah : “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah- rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (at-Taubah: 24)

Kaum Muhajirin dan Anshar yang ber­saudara itu kemudian disifati oleh Al- Qur’an sebagai orang yang beriman dengan sebenarnya, firman Allah:

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (al-Anfal: 74)

Salah satu alasan mengapa kaum Mus­limin harus meneguhkan tali persaudaraan adalah agar tidak terjadi fitnah dan ke­kacauan dalam masyarakat yang mereka bangun. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:

Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar, (al-Anfal: 73)

Fitnah atau kekacauan dan juga ke­rusakan yang dimaksud dalam ayat tersebut dapat dijelaskan dengan melihat latar belakang historis masyarakat pada saat ayat tersebut diturunkan. Kaum musyrik Mekah pada waktu itu sangat kejam terhadap kaum Muslimin, di sisi lain sebagian yang memeluk Islam masih memiliki keluarga dekat yang menentang ajaran Islam. Ada juga yang kendati berbeda agama tetapi masih terjalin antar-mereka persahabatan yang kental. Itu semua dapat melahirkan bahaya terhadap akidah kaum Muslimin, lebih-lebih mereka yang belum mantap imannya. Pergaulan dapat mempengaruhi mereka, akhlak buruk kaum musyrik dapat juga mengotori jiwa dan perilaku kaum Muslimin, belum lagi jika perasaan kasih sayang dan persahabatan itu mengantar kepada kemusyrikan atau kekufuran, atau mengakibatkan bocornya rahasia kaum Muslimin. Sedangkan bagi yang tidak menjalin persahabatan dengan kaum musyrik dapat melahirkan bahaya lain yaitu ancaman dan penyiksaan akibat keberadaan di tangan musuh dan ini bagi yang tidak kuat mentalnya dapat merupakan sebab kemurtadan. Karena itu, ayat di atas mengecam mereka yang tidak berhijrah apalagi kaum Muslimin yang telah berhijrah sangat mendambakan dukungan saudara-saudara seiman menghadapi aneka tantangan kaum musyrik serta orang-orang Yahudi dan munafik.

Untuk itulah Allah Swt memerintahkan kaum Muslimin untuk meneguhkan persatuan dan menghindari perpecahan, Surah Ali ‘Imran: 103.

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan j anganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia- Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali ‘Imran: 103)

Pesan utama ayat ini ditujukan kepada kaum Muslimin secara kolektif atau dalam konteks bermasyarakat, hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata jama’ yang mengandung arti semua, dan firman-Nya “wa la tafarraqu”, janganlah bercerai-berai. Sehingga secara umum maksud ayat ini adalah upaya sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin di antara kamu semua tanpa kecuali. Apabila ada yang lupa, ingatkan, kalau ada yang tergelincir, bantu ia bangkit agar semua dapat bergantung kepada tali (agama) Allah. Kalau ada yang lengah atau anggota masyarakat yang menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan disiplin akan rusak, karena seluruh anggota masyarakat harus bersatu padu jangan bercerai cerai.

Oleh karena itulah dibutuhkan sikap saling membantu dan saling menolong khususnya di antara sesama Muslim, dalam konteks ini Al-Qur’an menegaskan dalam Surah al- Ma’idah: 2.

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerja­kan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (al-Ma’idah: 2)

Tolong menolong dalam persaudaraan harus menjadi sifat seorang mukmin dalam hidup bermasyarakat juga diisyaratkan dalam Surah at-Taubah: 71.

Frasa yang secara langsung mengisyarat­kan bahwa sesama orang beriman tolong menolong adalah ba‘dhuhum auliya’u ba‘din, ini berbeda dengan redaksi yang digunakan ayat 67 surat yang sama, ketika mensifati orang munafik yang menggunakan redaksi ba‘dhuhum min ba‘din (sebagian mereka dari sebagian yang lain). Perbedaan ini menurut al-Biqai (2010) sebagaimana dikutip M.Quraish Shihab, untuk mengisyaratkan bahwa kaum mukminin tidak saling menyempurnakan dalam keimanannya, karena setiap orang di antara mereka telah mantap imannya, atas dalil-dalil pasti yang kuat, bukan berdasar taklid.

Pendapat yang sedikit berbeda disampai­kan oleh Sayyid Qutub yang menyatakan bahwa walaupun tabiat sifat munafik sama dan sumber ucapan dan perbuatan itu sama, yaitu ketiadaan iman, kebejatan moral dan lain-lain, tetapi persamaan itu tidak mencapai tingkat yang menjadikan mereka auliya’. Untuk mencapai tingkat auliya dibutuhkan keberanian, tolong menolong serta biaya dan tanggung jawab. Tabiat kemunafikan bertentangan dengan itu semua, walau antar-sesama munafik. Mereka adalah individu-individu bukannya satu kelompok yang solid, walau terlihat mereka mempunyai persamaan dalam sifat, akhlak dan perilaku. Dalam kaitan inilah Rasulullah Saw bersabda:

Dari Abu Musa dari Rasulullah Saw bersabda, ’’Orang mukmin bagi orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan se- bagiannya memperkokoh (menolong) sebagian yang lain. (Riwayat al-Bukhari)

Oleh karena itu, apabila ada di antara sesama mukmin yang berselisih maka anggota masyarakat lainnya harus berusaha untuk mendamaikan mereka. Hal ini secara tegas dijelaskan Al-Qur’an dalam Surah al- Hujurat: 9.

Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara kedua­nya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil ( al-Hujurat: 9)

Ayat ini memerintahkan komunitas mukmin agar menciptakan perdamaian di lingkungan intern masyarakat mereka. Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, orang-orang mukmin diperintahkan agar menghentikan mereka dari peperangan, dengan nasihat atau dengan ancaman dan/atau dengan sanksi hukum. Dengan kata lain, orang-orang mukmin yang lain mendamaikan kedua golongan mukmin yang berperang itu dengan mengajak kepada hukum Allah dan meridai dengan apa yang terdapat di dalamnya, baik yang berkaitan dengan hak-hak maupun kewajiban-kewajiban keduanya secara adil. Tetapi jika salah satu kelompok enggan menerima perdamaian menurut hukum Islam dan melanggar dengan apa yang telah ditetapkan Allah tentang keadilan bagi makhluk-Nya, maka kelompok itu boleh diperangi sehingga tunduk dan patuh kepada hukum Allah, dan kembali kepada perintah Allah yaitu perdamaian. Jika kelompok itu kembali kepada hukum dan perintah Allah, maka orang-orang mukmin harus mendamaikan kedua kelompok itu dengan jujur, adil, dan menghilangkan trauma peperangan agar permusuhan di antara keduanya tidak menimbulkan peperangan lagi di waktu yang lain. Oleh karena itu perlu diberikan catatan khususnya kepada orang-orang mukmin yang bertindak sebagai juru damai harus berlaku adil dan jujur terhadap kedua kelompok yang bertikai tersebut.

Persaudaraan dengan non-Muslim

Persaudaraan yang diperintahkan Al-Qur’an tidak hanya tertuju kepada sesama Muslim, namun juga kepada sesama warga masyarakat termasuk yang non-Muslim. Salah satu alasan yang dijelaskan Al-Qur’an adalah bahwa manusia itu satu sama lain bersaudara karena mereka berasal dari sumber yang satu, Surah al-Hujurat: 13 menegaskan hal ini:

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah mencipta- kan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu ber­bangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti (al-Hujurat:13)

Persamaan seluruh umat manusia ini juga ditegaskan oleh Allah dalam Surah an- Nisa’: 1.

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasang­annya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari kedua­nya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluarga­an. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (an-Nisa’: 1)

Kedua ayat di atas adalah ayat-ayat yang turun setelah Nabi hijrah ke Medinah (Madaniyat), yang salah satu cirinya adalah biasanya didahului dengan panggilan ya ayyuhallazina amanu (ditujukan kepada orang-orang yang beriman), namun demi persaudaraan persatuan dan kesatuan, ayat ini mengajak kepada semua manusia yang beriman dan yang tidak beriman ya ayyuhan-nas (wahai seluruh manusia) untuk saling membantu dan saling menyayangi, karena manusia berasal dari satu keturunan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, serta saling menghormati hak-hak asasi manusia.

Ayat tersebut memerintahkan bertakwa kepada rabbakum tidak menggunakan kata Allah, untuk lebih mendorong semua manusia berbuat baik, karena Tuhan yang memerintahkan ini adalah rab, yakni yang memelihara dan membimbing, serta agar setiap manusia menghindari sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Tuhan yang mereka percayai sebagai pemelihara dan yang selalu menginginkan kedamaian dan kesejahteraan bagi semua makhluk. Di sisi lain, pemilihan kata itu membuktikan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan yang tidak boleh putus. Hubung­an antara manusia dengan-Nya itu, sekali­gus menuntut agar setiap orang senan­tiasa memelihara hubungan antara manusia dengan sesamanya. Dalam kaitan inilah Sayyid Qutub menyatakan bahwa sesungguhnya berbagai fitrah yang seder­hana ini merupakan hakikat yang sangat besar, sangat mendalam, dan sangat berat. Sekiranya manusia mengarahkan pen­dengaran dan hati mereka kepadanya niscaya telah cukup untuk mengadakan berbagai perubahan besar di dalam ke­hidupan mereka dan mentransformasikan mereka dari beraneka ragam kebodohan kepada iman, kepemimpinan dan petunjuk, kepada peradaban yang sejati dan layak bagi manusia.

Nabi Muhammad Saw juga menegaskan hal ini dalam beberapa hadisnya, di antaranya adalah:

Abu Nadrah meriwayatkan dari seseorang yang mendengar khutbah Nabi Saw pada hari Tasyriq, di mana Nabi saw bersabda, ‘Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena taqwanya apakah aku telah menyampaikan? Mereka menjawab: “Rasulullah Saw telah menyampaikan. (Riwayat Ahmad)

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt tidak memandang kepada bentuk rupa kamu dan harta benda kamu, akan tetapi Dia hanya memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu. (Riwayat Muslim dan Ibnu Majah)

Dari Khuzaifah berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Semua kamu adalah keturunan Adam dan Adam berasal dari tanah... ”

Beberapa ayat yang menegaskan hal ini antara lain Surah al-A‘raf : 189 dan Surah az-Zumar : 6 menyatakan bahwa seluruh umat manusia dijadikan dari diri yang satu. Sedangkan dalam Surah Fatir : 11, Gafir: 67; al-Mu’minun : 12-14 diterangkan asal-usul kejadian manusia, yaitu dari tanah kemudian dari setetes air mani dan proses-proses selanjutnya.

Ayat-ayat dan juga beberapa hadits di atas menjelaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, manusia tidak ada perbedaan. Mereka semuanya sama, dari asal kejadian yang sama yaitu tanah, dari diri yang satu yakni Adam yang diciptakan dari tanah dan dari padanya diciptakan istrinya.

Oleh karenanya, tidak ada kelebihan seorang individu dari individu yang lain, satu golongan atas golongan yang lain, suatu ras atas ras yang lain, warna kulit atas warna kulit yang lain, seorang tuan atas pembantunya, dan pemerintah atas rakyatnya. Atas dasar asal-usul kejadian manusia seluruhnya adalah sama, maka tidak layak seseorang atau satu golongan membanggakan diri terhadap yang lain atau menghinanya.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa misi utama Al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat adalah untuk menegakkan prinsip persaudaraan dan mengikis habis segala bentuk fanatisme golongan maupun kelompok. Dengan persaudaraan tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerja sama sekalipun di antara warganya terdapat perbedaan prinsip yaitu perbedaan akidah. Perbedaan-perbedaan yang ada bukan dimaksudkan untuk menunjukkan superioritas masing-masing terhadap yang lain, melainkan untuk saling mengenal dan menegakkan prinsip persatuan, persaudaraan, persamaan dan kebebasan. (AH)