Reaksi raja najasyi terhadap rombongan kaum muslimin yang mencari perlindungan adalah

  1. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 395.
  2. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 3, hlm. 873.
  3. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 3, hlm. 873.
  4. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jld. 1, hlm. 386.
  5. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 3, hlm. 882.
  6. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 654.
  7. BaihaqiDalail al-Nubuah, jld. 2, hlm. 49.
  8. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 395.
  9. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 395.
  10. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 395.
  11. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 395.
  12. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 396.
  13. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 396.
  14. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 396.
  15. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 396.
  16. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 791.
  17. Baihaqi, Dalail al-Nubuah, jld. 2, hlm. 49.
  18. Ibnu Hisyam, Zendeqani Muhammad, jld.1, hlm.213.
  19. Ibnu Abdul Bar, al-Isti'ab, jld.4, hlm.1793; Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld.5, hlm.567
  20. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 655.
  21. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 792.
  22. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 4, hlm. 1289; Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 726.
  23. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 728.
  24. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 790.
  25. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh , jld. 1, hlm. 495.
  26. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah , jld. 1, hlm. 350.
  27. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 3, hlm. 873.
  28. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 3, hlm. 878.
  29. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 395.
  30. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh,jld. 2, hlm. 655.
  31. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 438.
  32. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 438.
  33. Muqaddasi, Afarinesh wa Tarikh, jld. 2, hlm. 706.
  34. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 438.
  35. Ibnu Khaldun, al-Ibar al-Tarikh, jld. 1, hlm. 438.
  36. Ibnu Hisyam, Zendegani Muhammad saw, jld. 2, hlm. 244.
  37. Ibnu Hisyam, Zendegani Muhammad saw, jld. 2, hlm. 244.

Muslimahdaily - Kisah datang dari negeri Habasyah, negeri di mana ajaran Nashrani bersemai dan dianut mayoritas orang. Negeri di Afrika tersebut dipimpin oleh seorang raja yang sangat bijaksana. Ialah Ashshanah bin Abjar yang terkenal dengan gelar An Najasyi. Ialah salah satu tokoh besar yang sangat berjasa bagi perkembangan Islam.

Kisah bermula ketika kaum muslimin di Kota Makkah mendapat gangguan dari kaum kafir Quraisy. Mereka mendapat tekanan, celaan, serangan hingga siksaan. Rasulullah begitu berduka melihat keadaan kaumnya. Hingga akhirnya diputuskan agar muslimin berhijrah ke Negeri Habasyah. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya di Habasyah ada seorang raja yang tidak suka berlaku zalim kepada sesama. Pergilah ke sana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya sampai Allah memberikan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”

Berangkatlah sekitar 80 orang muslimin dan muslimat ke negeri Habasyah. Mereka menempuh perjalanan darat yang panjang dan menyeberangi laut dengan kapal. Mereka diterima dengan baik begitu sampai di Habasyah. Muslimin hidup dengan tenang, aman dan bebas beribadah.

Hingga kemudian Quraisy geram dengan perlindungan Raja Habasyah pada muslimin. Dikirimlah dua utusan Quraisy yang paling cerdas berdiplomasi untuk menghadap Raja Najasyi. Kedua utusan tersebut yakni ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amr bin Al ‘Ash yang saat itu masih kafir. mereka membawa hadiah yang sangat banyak untuk mengambil hati sang raja.

Begitu menghadap Raja An Najasyi, kedua utusan Quraisy bersujud sebagaimana penduduk Habasyah menghormati rajanya. Sang raja pun menerima dengan baik karena sebelumnya telah mengenal Amr bin Al Ash. ‘Amr pun segera angkat bicara,

“Paduka Raja, tiba di negeri Anda para pengacau dari kaum kami. Mereka telah murtad sari agama nenek moyang kami (menyembah berhala) dan tidak pula menganut agama Anda (Nashrani). Mereka mengikuti agama baru yang tidak kami kenal dan Anda pun tak mengenalnya. Kami berdua diutus pimpinan kaum kami (Abu Sufyan) untuk meminta Anda melepaskan mereka kepada kami. Kaum mereka lah yang lebih tahu apa yang diakibatkan agama baru itu.”

An Najasyi pun meminta pendapat para penasihat kerajaan. Mereka pun berbicara hal senada dengan utusan Quraisy. Namun sang raja justru enggan dan bersikap bijak, “Tidak, demi Allah. Aku tak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun sebelum mendengarkan keterangan langsung dari mereka sendiri. Jika mereka di atas kejahatan, aku akan menyerahkan mereka pada kalian. Namun jika mereka di atas kebenaran, aku akan melindungi dan menjamin mereka selama keinginan mereka tinggal di negeri ini.”

Maka diundanglah muslimin ke istana Raja Habasyah. Mereka datang, mengucapkan salam dan segera duduk di tempat yang telah disiapkan. ‘Amr bin Al Ash segera menghardik, “Mengapa kalian tak sujud kepada raja?!”

Muslimin pun menjawab, “Kami tidak sujud selain kepada Allah.” Mendengar jawaban tersebut justru Raja An Najasyi merasa kagum dan simpati. “Apa yang sebenarnya kalian anut?” tanya sang raja.
Mewakili muslimin, sepupu Rasulullah, Ja’far bin Abi Thalib pun menjawab, “Paduka Raja, kami sama sekali tak menciptakan agama baru. Akan tetapi, Muhammad bin Abdillah telah diutus oleh Rabb-Nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar. Sebelumnya, kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan, menyembah api, memutus silaturahmi, memakan bangkai, berbuat zalim, tidak menghormati tetangga, dan yang kuat memangsa yang lemah.

Allah lalu mengutus seorang Rasul yang kami ketahui asal usul dan garis keturunannya, kami percayai kejujurannya, sifat amanahnya dan kesuciannya. Beliau memerintahkan kami menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan meninggalkan penyembahan berhala dan bebatuan.

Beliau memerintahkan kami untuk selalu jujur, menunaikan amanah, menyambung silaturahim, berbuat baik pada tetangga, menjauhi yang haram, dan menghargai darah (nyawa). Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu, dan memakan harta anak yatim. Kami pun beriman dan mengikuti ajarannya dan menjalankan apa yang beliau bawa. Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Demikian Ja’far memberikan penjelasan.

Raja An Najasyi pun meminta dibacakan tentang ajaran yang disampaikan Rasulullah. Ja’far pun kemudian membacakan surat Maryam ayat 16-24. Raja Najasyi dan uskup kerjaan langsung menangis begitu mendengar kisah Maryam dalam ayat tersebut. “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam berasal dari sumber yang sama,” ujar Raja An Najasyi.
“Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian selama aku masih hidup,” lanjut An Najasyi kepada utusan Quraisy.

‘Amr bin Al ‘Ash pun marah besar. Ia keluar dari istana Habasyah sembari merencanakan esok hari ia akan memberitahukan pada sang raja bahwa umat Islam meyakini Isa sebagai rasul Allah, dan bukan anak Allah sebagaimana yang diyakini An Najasyi dan Nasrani pada umumnya.

Benar saja, keesokan hari, ‘Amr bin Al Ash menemui Raja An Najasyi lagi seraya berkata, “Paduka Raja, mereka telah menjelaskan banyak hal kepada Anda. Namun mereka juga menyembunyikan banyak hal. Mereka telah menuduh dan meyakini bahwa Isa hanyalah seorang hamba.”

Raja Habasyah pun kembali memanggil Ja’far bin Abi Thalib. Saat ditanya hal tersebut, Ja’far yang juga kakak dari khalifah keempat Ali bin Abi Thalib tersebut menjawab, “Kami mengatakan tentang Isa sebagaimana yang diajarkan nabi kami. Sungguh, Isa putra Maryam adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Beliau adalah kalimat Allah yang dihembuskan kepada Maryam sang perawan suci.”

Lagi-lagi, reaksi Raja An Najasyi justru bukannya menolak melainkan meyakininya. Sang pemimpin beragama Nashrani itu meyakini bahwasanya Nabi Isa bukanlah putra Allah. Ia pun berkata, “Demi Allah, memang Isa bin Maryam tidaklah keluar dari apa yang kau ucapkan, walaupun seruas jari pun.”

Sontak jawaban An Najasyi membuat utusan kafir Quraisy kaget dan kecewa. Mereka pun pulang dengan membawa hadiah yang ditolak Raja Najasyi. Kepada muslimin, sang raja berkata, “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeri ini. Barang siapa berani mengganggu kalian, aku akan menindaknya secara tegas. Aku tidak sudi untuk disuap dengan segunung emas sekalipun untuk mengganggu salah seorang di antara kalian.”

Namun pernyataan An Najasyi yang membenarkan ucapan muslimin tentang Nabi Isa justru membuat negeri Habasyah gonjang-ganjing. Para uskup kerajaan Habasyah berbisik-bisik di belakang raja. Rakyat Habasyah dibuat heboh. Raja An Najasyi dikabarkan telah keluar dari agama Nashrani karena menganggap Nabi Isa hanyalah hamba dan utusan-Nya. Rakyat siap memberontak kepada An Najasyi.

Tibalah ketika aksi kudeta itu tiba. Raja Najasyi telah bersiap dengan baju perangnya. Muslimin diminta menaiki kapal dan berlindung dari kekacauan dalam negeri. Sebelum keluar menghadapi pemberontak, sang raja menulis sebuah pernyataan dalam sebuah kulit hewan,

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan penutup para Rasul. Aku juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan Rasul Allah. Beliau adalah ruh yang berasal dari Allah dan kalimat-Nya yang ditiupkan ke rahim Maryam.”

Begitu berdiri tegap di hadapan rakyat yang memberontak, An Najasyi menunjukkan pernyataannya yang tertulis dalam kulit tersebut. Sungguh di luar dugaan, rakyat Habasyah tiba-tiba membubarkan diri. Mereka tak jadi memberontak dan memilih meredamkan amarah. Bahkan, rakyat Habasyah nampak senang dan menerima pengakuan sang raja. Lebih dari itu, banyak di antara rakyatnya yang kemudian turut beriman dan berislam.

Demikianlah kisah Raja An Najasyi, pemimpin negeri Habasyah. Setelah peristiwa itu, Raja Najasyi menjadi mualaf dan melindungi muslimin yang berhijrah. Ia juga menjalin hubungan baik dengan Rasulullah meski dibatasi dengan jarak yang jauh.

Saat An Najasyi wafat, Rasulullah bahkan shalat gaib untuk menyalati jenazah sang raja. Itulah satu-satunya shalat gaib yang dilakukan Rasulullah seumur hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabiyullah menyalati jenazah An Najasyi yang dimakamkan di Habasyah, sementara Rasulullah shalat jenazah bersama para shahabat dari jazirah Arab.

Sumber: Sirah Tabi’in karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya.

Last modified on Kamis, 14 Desember 2017 07:04