Pemberontakan-pemberontakan berikut yang tidak terjadi masa kekuasaan kerajaan mataram islam adalah

Jakarta -

Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia. Mulanya Mataram hanya merupakan salah satu wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya.

Setelah Sultan Hadiwijaya yang sebelumnya dikenal dengan nama Joko Tingkir wafat, kerajaan berpindah ke kawasan Hutan Mentaok dan kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Mataram. Seperti apa kisahnya?

Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram didirikan oleh Danang Sutawijaya pada sekitar tahun 1586. Sutawijaya adalah anak dari Ki Ageng Pamanahan yang mendapat kepercayaan dari Raja Kerajaan Pajang Sultan Hadiwijaya untuk memimpin wilayah Hutan Mentaok. Sutawijaya memberi nama kawasan Hutan Mentaok menjadi Mataram, dan dia mendapat gelar Panembahan Senopati.

Pada suatu ketika terjadi huru-hara perebutan penerus tahta kekuasaan di Kerajaan Pajang antara Pangeran Benowo dengan Arya Pangiri. Pada tahun 1583 Arya Pangiri menjadi Raja Kerajaan Pajang menggantikan Sultan Hadiwijaya. Namun selama berkuasa dia mengabaikan kepentingan rakyat sehingga membuat Pangeran Benowo yang ketika itu menjadi penguasa di Jipang memberontak.

Dengan dibantu oleh Panembahan Senopati, Pangeran Benowo menyerang Pajang yang dipimpin Arya Pangiri. Pajang berhasil dikalahkan dan Pangeran Benowo dinobatkan menjadi raja ketiga.

Namun kekuasaan Pangeran Benowo tidak berlangsung lama, sebab dia lebih memilih untuk menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1586 kekuasaan Pangeran Benowo di Pajang berakhir tanpa meninggalkan putra mahkota.

Panembahan Senopati atau Sutawijaya kemudian menjadikan Pajang sebagai negeri bawahan Mataram. Sejak saat itulah kemudian resmi didirikan Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram resmi berdiri sekitar tahun 1586 dan dipimpin oleh Panembahan Senopati, seperti tertulis dalam buku Kitab Terlengkap Sejarah Mataram oleh Soedjipto Abimanyu.

Masa Kepemimpinan Panembahan Senopati

Sebagai pemimpin pertama kerajaan Mataram, Panembahan Senopati berupaya untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke berbagai daerah. Madiun dan Ponorogo merupakan dua wilayah yang berhasil ia kuasai pada tahun 1586, di awal masa kepemimpinannya. Disusul dengan seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berhasil ia taklukan.

Namun ada beberapa wilayah di kawasan Jawa Timur yang tidak dikuasai kerajaan Mataram, yakni Pasuruan, Panarukan, dan Blambangan.

Perluasan wilayah kemudian berlanjut ke Jawa Barat pada tahun 1595, seperti Cirebon dan Galuh.

Sambil memperluas wilayah kekuasan kerajaan Mataram, Panembahan Senopati juga mampu menyelesaikan pemberontakan yang terjadi di dalam kerajaan.

Pada tahun 1601, Sutawijaya atau Panembahan Senopati wafat. Kepemimpinannya kemudian digantikan oleh Anyakrawati atau Mas Jolang, putra dari Panembahan Senopati.

Masa Kepemimpinan Anyakrawati dan Adipati Martapura

Di masa kepemimpinan Mas Jolang, banyak kota-kota yang memberontak dan ingin memisahkan diri dari kerajaan Mataram. Beberapa kota yang melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri adalah Ponorogo, Surabaya, dan Demak.

Pemberontakan dilakukan terus-menerus, bahkan hingga Mas Jolang wafat pada tahun 1613. Kemudian kepemimpinan kerajaan Mataram diserahkan kepada Adipati Martapura. Adipati Martapura memerintah kerajaan Mataram dalam waktu yang singkat. Ia kemudian digantikan oleh Sultan Agung.

Masa Kepemimpinan Sultan Agung

Dijelaskan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan karya M. Juanedi al-Anshori bahwa Sultan Agung adalah sebutan yang berarti raja besar yang sangat berkuasa. Ia memerintah sejak tahun 1613 hingga 1645.


Berkat pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram dapat menjadi kerajaan yang paling berkuasa di pulau Jawa, terkhusus Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia juga memperluas wilayah ke Sukadana, Kalimantan dan Cirebon, Jawa Barat.


Saat ingin menguasai Banten, Sultan Agung ditantang oleh pihak Belanda yang datang dan singgah lebih awal di Banten.


Akhirnya terjadi bentrokan di antara kerajaan Mataram dan Belanda. Maka kerajaan Mataram harus berhasil mengalahkan Belanda terlebih dahulu agar dapat menguasai Banten. Adapun pusat kekuasaan Belanda terletak di Batavia.


Kerajaan Mataram kemudian menjatuhkan serangan ke Batavia sebanyak dua kali. Serangan pertama dilakukan pada 1628, tetapi hasilnya gagal. Kemudian disusul dengan serangan kedua pada 1629. Lagi-lagi hasilnya gagal dikarenakan persenjataan Belanda yang sangat luar biasa.


Namun Sultan Agung tidak patah semangat untuk mengalahkan Belanda. Ia melakukan berbagai upaya, seperti membangun jalan-jalan antara Mataram dan Batavia.


Sultan Agung juga bekerja sama dengan Portugis dan Inggris untuk mengalahkan Belanda. Namun cita-citanya tidak tercapai karena Sultan Agung wafat pada 1645.

Simak Video "Momen Silaturahmi Empat Trah Kerajaan Mataram Islam"



(erd/erd)

tirto.id - Kesultanan Mataram Islam merupakan kerajaan yang berpusat di Yogyakarta. Didirikan tahun 1584 Masehi oleh Panembahan Senapati yang menjadi raja pertama, sejarah keruntuhan Kesultanan Mataram Islam mulai terjadi pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646-1677).

Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (1981) menjelaskan, Panembahan Senapati (1590-1595) memimpin Kesultanan Mataram Islam dan menguasai beberapa wilayah di Jawa, yakni Yogyakarta, Jawa Tengah, termasuk daerah sepanjang Bengawan Solo hingga Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

Tahun 1601, Panembahan Senapati wafat dan digantikan anaknya yang bernama Raden Mas Jolang bergelar Prabu Hanyakrawati (1601-1613). Penguas selanjutnya adalah Raden Mas Wuryah atau Adipati Martapura, namun hanya menjabat satu hari pada 1613.

Pengganti Adipati Martapura adalah Raden Mas Jatmika atau Sultan Agung (1613-1645). Di masa inilah Kesultanan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya, sekaligus mulai menuai keruntuhan.

Sultan Agung bertakhta Kesultanan Mataram Islam hingga wafatnya pada 1645. Ia amat menentang Belanda atau VOC dan dua kali menyerang Batavia pada 1628 dan 1629 meskipun belum sepenuhnya berhasil.

Pemberontakan-pemberontakan berikut yang tidak terjadi masa kekuasaan kerajaan mataram islam adalah

Baca juga:

  • Warisan Sejarah Toleransi Sultan Agung di Kotagede
  • Sejarah Awal Kesultanan Mataram Islam, Letak, dan Pendiri Kerajaan
  • Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa

Gejolak di Era Amangkurat I

Sejak 1646, Raden Mas Sayidin menggantikan posisi ayahnya, Sultan Agung, yang wafat tahun 1646. Raden Mas Sayidin dinobatkan sebagai Sultan Mataram Islam ke-5 dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.

Berbeda dengan Sultan Agung yang gigih melawan Belanda, Amangkurat I justru bersikap lebih lunak terhadap kaum penjajah. Tahun 1646, misalnya, Amangkurat I menjalin perjanjian dengan VOC.

Isi perjanjian tersebut antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diperbolehkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC.

Dalam Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017), Joko Darmawan menerangkan, cara memerintah Amangkurat I tidak disetujui oleh beberapa kalangan, termasuk adiknya yang bernama Raden Mas Alit.

Raden Mas Alit, adik Amangkurat I, tidak setuju dengan caranya memerintah dan meluncurkan aksi perlawanan. Tahun 1647, ibu kota Kesultanan Mataram Islam dipindahkan dari Kotagede ke Plered, masih termasuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekarang.

Pemberontakan Raden Mas Alit berpuncak pada 1678 yang berakhir dengan tewasnya adik Amangkurat I itu dan menelan ribuan korban jiwa.

Baca juga:

  • Sejarah Perang Diponegoro: Sebab, Tokoh, Akhir, & Dampak
  • Sejarah Pemberontakan Ra Kuti di Majapahit Ditumpas Gajah Mada
  • Sejarah Kotagede: Sinergi Muhammadiyah di Jantung Mataram

Trunojoyo Mengancam Takhta Mataram

Berikutnya, giliran salah satu anak Amangkurat I, Raden Mas Rahmat atau Pangeran Adipati Anom, yang bergolak.

Adipati Anom sejatinya berstatus sebagai putra mahkota, namun ada kabar yang menyebutkan bahwa gelar tersebut akan dialihkan kepada anak Amangkurat I lainnya yakni Pangeran Singasari.

Pangeran Adipati Anom pun merencanakan pemberontakan terhadap takhta ayahnya. Ia kemudian mengajak Trunojoyo, putra penguasa Madura, untuk melaksanakan misi tersebut pada 1670.

Mien A. Rifai dalam Manusia Madura (2007), menjelaskan, Trunojoyo menyanggupi karena ia ingin Madura merdeka dari penguasaan Kesultanan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Amangkurat I.

Baca juga:

  • Sejarah Awal Kerajaan Gowa-Tallo Pra Islam & Daftar Raja-Raja
  • Kesultanan Gowa Masa Islam: Sejarah, Peninggalan, Daftar Raja
  • Aksi Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati

Pada 1674, Trunojoyo mendeklarasikan kemerdekaan Madura. Ia menjadi raja di Madura bahkan berniat mengambil-alih kekuasaan Mataram.

Pasukan Trunojoyo mendapat bantuan dari orang-orang Bugis/Makassar yang lari ke Jawa setelah Perjanjian Bungaya yang melemahkan Kesultanan Gowa era Sultan Hasanuddin.

Buku Catatan Masa Lalu Banten (1999) karya Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari menjelaskan, Kesultanan Banten juga ikut mendukung Trunojoyo.

Dalam Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2006), Mundzirin Yusuf menambahkan, Panembahan Giri dari Surabaya ikut memberi dukungan karena peristiwa pembantaian ulama dilakukan Amangkurat I pada 1649.

Baca juga:

  • Sejarah Perjanjian Bongaya: Cara Belanda Lemahkan Gowa
  • Apa itu Pengertian VOC, Sejarah Kapan Didirikan, dan Tujuannya?
  • Siapa Pendiri Majapahit? Ini Sejarah Raden Wijaya Raja Pertama

Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam

Pasukan Trunojoyo menjelma menjadi kekuatan besar yang menakutkan. Satu demi satu, wilayah-wilayah Mataram ditundukkan, termasuk Surabaya, Tuban, Lasem, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon. Puncaknya, Trunojoyo pun bersiap menyerang pusat kekuasaan Mataram di Yogyakarta.

Situasi ini justru membuat Pangeran Adipati Anom cemas karena khawatir ambisi Trunojoyo tidak bisa dibendung. Maka, pada Oktober 1676, Pangeran Adipati Anom berbalik mendukung ayahnya, Amangkurat I.

Trunojoyo terlalu kuat. Amangkurat I melarikan diri ketika Trunojoyo menyerang Plered. Dalam Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (1997), Sutrisno Kutoyo mengungkapkan, dalam pelarian, Amangkurat I sakit dan meninggal dunia di sekitar Tegal, Jawa Tengah.

Tahun 1677, Trunojoyo menguasai pusat pemerintahan Mataram, bahkan menikahi salah satu putri Amangkurat I yang saat itu ditawan.

Baca juga:

  • Peninggalan Sejarah Kerajaan Majapahit: Situs Prasasti dan Candi
  • Tahun Berapa Sejarah Kerajaan Majapahit Berdiri & Terletak di Mana?
  • Sejarah Pemberontakan Ranggalawe di Kerajaan Majapahit

Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerja sama dengan VOC untuk menumpas Trunojoyo sekaligus merebut kembali takhta Mataram Islam. Kompeni bersedia membantu tapi dengan syarat.

Berkat bantuan VOC, Trunojoyo berhasil dilumpuhkan pada 1679. Penguasa Madura itu lalu dijatuhi hukuman mati.

Sesuai kesepakatan, takhta Kesultanan Mataram Islam diberikan kepada Pangeran Adipati Anom dengan gelar Susuhan Amangkurat II, namun VOC menjadi lebih leluasa mencampuri urusan internal kerajaan.

Amangkurat II tidak melanjutkan Kesultanan Mataram Islam. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Kasunanan Kartasura dengan pusatnya di dekat Solo, Jawa Tengah, pada 1680.

Daftar Raja Mataram Islam

  1. Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati (1587-1601)
  2. Raden Mas Jolang atau Prabu Hanyakrawati (1601-1613)
  3. Raden Mas Wuryah atau Adipati Martapura (1613)
  4. Raden Mas Jatmika atau Sultan Agung (1613-1645)
  5. Raden Mas Sayidin atau Amangkurat I (1646-1677)

Baca juga:

  • Sejarah Kesultanan Banten dan Daftar Raja yang Pernah Berkuasa
  • Sejarah Kesultanan Ternate: Kerajaan Islam Tertua di Maluku Utara
  • Kesultanan Aceh: Sejarah Masa Kejayaan dan Peninggalan

Baca juga artikel terkait KESULTANAN MATARAM ISLAM atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates