Banda Aceh – Seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah bersumpah dan berjanji untuk bekerja dengan sebaik-baiknya, maka dia harus berkomitmen untuk mewujudkannya. Sebagai abdi negara, abdi masyarakat dan amanah dari Allah SWT maka dia harus berkomitmen untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dan menunjukkan profesionalismenya. Demikian disampaikan Plt Kabag Humas Wirzaini Usman, Rabu (5/3/2014) saat memimpin apel pagi jajaran Sekretariat Daerah Kota Banda Aceh di halaman Balaikota Banda Aceh. Menurut Wirzaini, Kata ‘Komitmen’ bisa diartikan berjanji pada diri kita atau berjanji dengan pada orang lain dan kemudian setiap individu yang telah berkomitmen berupaya untuk merealisasikannya. Katanya, Sejak di alam rahim, ketika Allah meniupkan ruh, Allah telah bertanya sebagaimana tercantum dalam surah Al-A’raf ayat 172; Apakah Aku ini Tuhanmu , dan Mereka menjawab: Betul Engkau Tuhanku, kami bersaksi”. Artinya, sejak saat itu setiap manusia telah memiliki komitmen dengan Allah sebagai hambanya yang akan taat dan patuh dengan ajaran-Nya. “Seharusnya dalam alam kehidupan di dunia ini, kita tetap berkomitmen dgn pengakuan ikatan rabbani, yakni berpegang teguh pada aturan-aturan Allah. Tetapi sebagian dari kita tidak berkomitmen dan melanggar komitmen tersebut. Mereka menodai kehidupan ini dengan kotoran-kotoran maksiat, dan jauh dari komitmen awal bahwa Allah adalah Tuhannya” jelas Wirzaini. ketika seseorang ingkar dengan janji atau komitmen yang telah dia buat, itu dapat diartikan sebagai pengkhianat. Sebagai hamba Allah, dia mengingkari setiap janjinya dengan Allah itu bisa diartikan dengan munafik, musyrik atau sebutan lainnya. “Namun ketika seorang PNS mengingkari janjinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, gelar apa yang pantas kita sematkan , mungkin nanti bisa sama-sama kita carikan gelar nama yang tepat” ujar Wirzaini menutup arahan apelnya. (Mkk)
Kamu adalah umat yang terbak yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS 3:110, Ali ‘Imran) Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS 103 :1-3, Al ‘Ashr) Sebagai konsekuensi logis atas keimanan terhadap Islam, maka seorang yang mengaku beragama Islam harus memiliki rasa terikat diri (komitmen) kepada Islam. Komitmen tersebut menurut Endang Saifuddin Anshari, MA meliputi: mengimani, mengilmui, mengamalkan, menda’wahkan dan bersabar dalam ber-Islam. MENGIMANI ISLAM Setiap orang yang mengaku beragama Islam atau muslim harus mengimani kesempurnaan dan kemutlakan kebenaran Islam, sebagai suatu ajaran yang universal dan abadi (eternal), yang mengatur hubungan antara manusia sebagai makhluq dengan Allah sebagai Khaliq (Pencipta), antara manusia dengan manusia lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Setiap manusia diberi kebebasan untuk melakukan pemilihan dalam hidupnya. Allah telah memberi kebebasan kepada manusia untuk mengambil salah satu dari dua alternatif, yaitu iman atau kafir. Namun demikian bagi seorang yang telah beriman, diharapkan supaya selalu tetap beriman dan tidak ragu-ragu agar terhindar dari kesesatan. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS 3:102, Ali ‘Imran) Komitmen muslim dalam mengimani Islam seharusnya membawa kepada kepasrahan diri kepada Allah, sebagaimana makna Islam itu sendiri. Abul A’la Maududi berpendapat, bahwa Islam bermakna kepatuhan dan kerajinan menjalankan kewajiban kepada Allah. Islam bermakna memasrahkan diri kepada Allah. Islam bermakna mengorbankan kebebasan dan kemerdekaan diri sendiri demi Allah. Islam bermakna menyerahkan diri di bawah kekuasaan kerajaan dan kedaulatan Allah. Seseorang yang mempercayakan segala urusannya kepada Allah adalah seorang muslim, dan seorang yang mempercayakan urusan-urusannya kepada dirinya sendiri atau kepada siapapun selain Allah bukanlah seorang muslim. Mempercayakan segala urusan kepada Allah berarti menerima bimbingan Allah yang diberikan melalui Kitab Suci-Nya dan bimbingan yang diberikan oleh Rasul-Nya. Selanjutnya hanya Al Quraan dan Sunnah Rasul sajalah yang harus diikuti dalam setiap masalah kehidupan. Sekali lagi yang dapat dinamakan seorang muslim hanyalah orang yang rela mengesampingkan pemikirannya sendiri, adat kebiasaan masyarakat dan dunia serta nasehat-nasehat dari orang lain, selain nasehat dari Allah dan Rasul-Nya. Seorang muslim adalah orang yang dalam setiap persoalan selalu berkonsultasi dengan Kitab Allah dan kata-kata Rasul-Nya, untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan dan apa yang tidak boleh ia lakukan. Seorang Muslim ialah orang yang mau menerima tanpa ragu-ragu sedikitpun petunjuk apa saja yang didapatnya dari Allah dan Rasul-Nya, dan menolak apapun yang dilihatnya bertentangan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, karena ia telah mempercayakan dirinya sepenuhnya kepada Allah. Dan tindakan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah inilah yang menjadikan seseorang dapat disebut seorang muslim. Sebaliknya, seseorang tidaklah dapat dinamakan seorang muslim bila ia tidak bergantung pada Al Quraan dan Sunnah Rasul, tetapi melaksanakan apa yang dikatakan oleh pikirannya sendiri, atau mengikuti apa yang diperbuat oleh nenek moyangnya, atau menyesuaikan diri dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya dan oleh orang-orang di dunia pada umumnya, tanpa mencari petunjuk dalam Al Quraan dan Sunnah tentang bagaimana menangani masalah urusan-urusannya, atau bila ia tahu apa yang diajarkan oleh Al Quraan dan Sunnah tetapi ia keberatan untuk menurutinya dengan mengatakan: “Ah, ini tidak sesuai dengan akal pikiran saya, karena itu saya tidak bisa menerimanya”, atau “Karena ajaran Al Quraan dan Sunnah ini bertentangan dengan ajaran nenek moyang saya, maka saya tidak akan mengikutinya”, atau “Karena masyarakat dan orang-orang di seluruh dunia tidak menyetujui ajaran Al Quraan dan Sunnah, maka saya juga tidak akan menyetujuinya”. Orang yang berpandangan seperti ini tidak dapat dinamakan seorang muslim, dan bila ia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim, ia hanyalah seorang pendusta. Demikianlah, komitmen muslim didalam mengimani Islam seharusnya memberi bekasan yang paling dalam kepada seorang manusia yang menganggap dirinya muslim. Pendapat Abul A’la Maududi di atas tentunya sangat patut kita renungkan. Karena keimanan yang benar adalah keimanan yang konsekuen di jalan lurus (shiratal mustaqim). MENGILMUI ISLAM Setiap muslim harus berusaha memperdalam pengetahuannya tentang ajaran agama Islam, sesuai dengan kemampuannya, dan dilakukan sepanjang hidupnya (long life education). Mengilmui Islam adalah merupakan suatu kewajiban dalam rangka melaksanakan tugas penghambaan kepada Allah dengan cara yang benar, sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang beriman dan memiliki pengetahuan adalah manusia yang memiliki nilai lebih, karena itu mereka layak memperoleh derajat di sisi Tuhan-nya. Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58:11, Al Mujaadilah)
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS 54:17,22,32,40, Al Qamar). Disamping Al Quraan, sumber ajaran Islam yang lain adalah Sunnah Rasul yang dikenal dengan sebutan Al Hadits, yaitu ucapan dan tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mapupun taqrir beliau. Al Hadits telah dicatat dan dikodifikasikan oleh para ulama dalam kitab-kitab kumpulan hadits, yang terkenal di antaranya adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan lain sebagainya. Di dalam kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut akan kita dapatkan suri tauladan beliau dalam mengimplementasikan Al Quraan. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS 33:21, Al Ahzab). Selama umat Islam berpegang pada Al Quraan dan Al Hadits mereka tidak akan tersesat. Demikian pula sebaliknya, meninggalkan keduanya menyebabkan mereka tersesat dari jalan yang lurus dan terombang-ambing dalam badai kehidupan. Karena itu, seharusnya umat Islam berusaha untuk mengilmui Islam dengan mempelajari Al Quraan dan Al Hadits sesuai dengan kemampuannya. Tidak hanya sekedar mengikuti fatwa-fatwa para ulama dan pendapat-pendapat para intelektual tanpa mengetahui dasarnya, apalagi taqlid buta. Mengkaji Al Quraan dan Al Hadits merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Dimulai dari cara membacanya kemudian diikuti dengan menelaah dan memahami isi kandungannya, bahkan bila memungkinkan sampai dapat mengajarkannya kepada orang lain. Memang, tidak setiap muslim harus menjadi ulama yang ahli Al Quraan dan Al Hadits maupun ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan keduanya. Namun, yang perlu ditekankan adalah adanya kesadaraan diri untuk mengilmui Islam dari sumbernya yang asli. Sebagai seorang muslim disamping menuntut ilmu agama sebagai tugas utama dalam menuntut ilmu, juga dipersilahkan untuk menuntut ilmu yang lain apabila ingin mencari keutamaan sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki, baik ilmu-ilmu kealaman, sosial maupun humaniora. MENGAMALKAN ISLAM Setiap muslim seharusnya memanfaatkan keimanan dan pemahamannya tentang Islam dalam aktivitas amal shalih sesuai dengan kemampuannya. Perilaku kesehariannya akan diwarnai oleh keyakinannya terhadap Islam. Iman bukan saja membekas di dalam hati tetapi juga terungkap dalam kehidupannya. Pengetahuannya tentang Islam tidak berhenti sebagai islamologi belaka sebagaimana para orientalis, namun dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu yang dimiliki menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya. Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS 9:105, At Taubah). Orang yang mengerjakan amal shalih dalam keadaan beriman akan mendapat kehidupan yang baik dan pahala yang lebih baik, sebagaimana dalam firman-Nya: Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesunggguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS 16:97, An Nahl). MENDA’WAHKAN ISLAM Islam adalah agama bagi seluruh umat manusia, tidak hanya untuk ras atau golongan tertentu. Islam adalah agama universal. Wajar apabila seorang muslim memiliki rasa terikat diri untuk menda’wahkan Islam dan menyebarkan agama ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk menda’wahkan Islam, sesuai dengan kemampuannya, kepada orang yang sudah beragama Islam maupun yang belum memeluk Islam (non muslim). Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS 41:33, Al Fushshilat) Menda’wahkan Islam adalah merupakan komitmen muslim yang memiliki nilai kemanusiaan tinggi. Mengajak kepada aqidah tauhid, membimbing ke jalan yang lurus dan membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dalam melaksanakan misi da’wah, meskipun dapat dilaksanakan sendiri-sendiri oleh setiap individu muslim adalah merupakan suatu kebaikan -terlebih dalam dunia modern ini- untuk melaksanakannya secara kolektif dan terorganisir dengan memanfaatkan segenap potensi yang dimiliki. Da’wah Islam apabila dilakukan secara kolektif dan profesional, insya Allah, akan dapat memberikan hasil lebih efisien, efektif, dan memuaskan. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS 3:104, Ali Imran). Ayat tersebut menunjukkan, bahwa seorang mukmin yang memegang teguh komitmennya dalam menda’wahkan Islam adalah merupakan orang-orang yang beruntung, yang memiliki harapan akan janji Allah untuk mendapatkan balasan yang baik. Punya nilai tersendiri tentunya, apabila seorang muslim setelah dia mengimani, mengilmui, dan mengamalkan Islam, kemudian dia menda’wahkan Islam sesuai dengan kesanggupannya dengan terlibat dalam aktivitas da’wah islamiyah SHABAR DALAM BERISLAM Setiap muslim harus bersabar di dalam mengikuti kebenaran. Sabar berarti berusaha untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan tabah lahir dan batin, serta diikuti dengan sikap tawakkal kepada Allah Yang Maha Kuasa. Sabar bukan berarti sekedar ‘nrimo’ atau pasrah dalam menerima masalah, namun lebih dari itu juga memiliki makna akan adanya usaha (ikhtiyar). Jadi sabar selain memiliki pengertian kepasrahan (tawakkal) kepada Allah, juga mengandung makna berusaha untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Karena itu, tidaklah mengherankan ada orang yang berpendapat bahwa sabar itu tidak ada batasnya, mengingat firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS 3:200, Ali ‘Imran). Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati dan Allah akan menguji setiap manusia dengan fitnah, termasuk juga pengakuan atas keimanan mereka. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS 29:2-3, Al Ankabuut). Sudah seharusnya, apabila seorang muslim dalam rangka untuk tetap istiqamah dalam memeluk Islam menjadikan sabar sebagai bagian dari komitmennya, dan menjadikannya sebagai penolong. Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS 2:153, Al Baqarah) |