Jelaskan apa yang akan dilakukan jika pengambilan keputusan secara mufakat dan kekeluargaan menemui jalan buntu?

OPINI ditulis oleh: Mhd Hendra Wibowo

Situasi dan kondisi yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia tidak selalu sama dari masa ke masa, saat ini dan ke depan perguruan tinggi di Indonesia harus mampu bersaing tidak hanya dalam skala lokal dan nasional tetapi juga global atau regional. Berbagai kesepakatan internasional (global dan regional) yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia secara langsung maupun tidak langsung juga berdampak pada pengelolaan perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Misalnya dalam menghadapi AFTA (ASEAN Free Trade Area), APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), dan yang terbaru adalah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), maka perguruan tinggi di Indonesia harus memiliki ‘kecepatan dan ketepatan berpikir dan bertindak’ dalam merespon beragam perubahan yang muncul untuk mencapai tujuan organisasi.

Perguruan tinggi saat ini tidak hanya dituntut untuk menghasilkan SDM yang berkualitas dan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan pasar kerja, tetapi juga hasil riset dan inovasi yang dapat dirasakan masyarakat. Perguruan tinggi dituntut untuk berperan dalam peningkatan pembangunan ekonomi nasional melalui berbagai hasil riset dan inovasi yang dapat diterapkan di masyarakat. Untuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), implementasi otonomi pengelolaan perguruan tinggi juga menuntut perguruan tinggi untuk berupaya memgembangkan usaha-usaha yang dapat membangkitkan pendapatan seiring dengan meningkatnya biaya operasional dan terbatasnya dukungan finansial dari Pemerintah. Tata kelola perguruan tinggi harus menerapkan prinsip-prinsip good university governance, antara lain transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), kewajaran dan kesetaraan (fairness).

Untuk menghadapi situasi dan kondisi di atas diperlukan kepemimpinan akademik (academic leadership) yang efektif, yaitu kepemimpinan perguruan tinggi yang mampu mengantisipasi kondisi internal dan eksternal yang dinamis dan penuh dengan tantangan. Kepemimpinan yang berkualitas sangat diperlukan pada semua tingkat organisasi, terutama pada tingkat top manajemen perguruan tinggi yang secara umum dikenal dengan istilah Rektor. Rektor merupakan pimpinan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi. Menurut PP No. 4 tahun 2014, Pemimpin Perguruan Tinggi adalah Rektor pada Universitas dan Institut, Ketua pada Sekolah Tinggi, Direktur pada Politeknik, Akademi, dan Akademi Komunitas.

Organ penyelenggara perguruan tinggi saat ini tidak hanya terdiri atas Rektor, khususnya di PTN BH, selain Rektor juga terdapat Majelis Wali Amanat (MWA), Senat Akademik (SA), dan Dewan Guru Besar (optional). Jika dianalogikan dengan sistem pengelolaan negara (pemerintahan), Rektor merupakan lembaga eksekutif yang menjalankan pemerintahan perguruan tinggi, MWA merupakan perwakilan dari stakeholder perguruan tinggi yang fungsinya seperti Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR), SA berperan seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memliki fungsi legislasi, pengawasan dan lain-lain, sedangkan DGB berperan sebagai penasehat Rektor terkait pengembangan keilmuan, pemikiran atau pandangan terkait isu strategis nasional dan/atau internasional. Terdapat peran dan fungsi yang berbeda pada setiap organ penyelenggara perguruan tinggi tersebut.

Diantara organ perguruan tinggi seperti disebutkan di atas, Rektor di perguruan tinggi sangat menentukan dalam penyelenggaraan sistem manajemen perguruan tinggi. Rektor memiliki wewenang dalam menyusun dan/atau menetapkan kebijakan operasional akademik dan nonakademik, menyusun dan melaksanakan rencana strategis dan rencana jangka panjang, mengelola kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi sesuai dengan norma dan etika akademik serta rencana kerja dan anggaran tahunan, dan lain-lain. Peran Rektor sebagai pimpinan perguruan tinggi menjadi sangat penting dalam mencapai visi, misi, dan tujuan yang selanjutnya dapat diukur melalui capaian kinerja institusi perguruan tinggi.

Berdasarkan uraian di atas dan memperhatikan peran penting seorang Rektor sebagai pimpinan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi, maka mekanisme pemilihan Rektor menjadi hal yang sangat penting dalam menentukan (memilih) Rektor yang berkualitas. Setiap perguruan tinggi mempunyai mekanisme pemilihan Rektor yang mungkin berbeda. Untuk contoh di Institut Pertanian Bogor (IPB), kewenangan untuk menetapkan tata cara pemilihan Rektor ada pada MWA berdasarkan usulan SA. Untuk itu, tulisan ini akan menyampaikan opini bagaimana mekanisme atau tata cara pemilihan Rektor di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), khususnya di IPB dan implementasinya yang dinilai oleh penulis mulai meninggalkan nilai budaya musyawarah mufakat sebagai kearifan lokal bangsa Indonesia.

  1. Pengertian Musyawarah dan Demokrasi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, musyawarah berarti pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Dalam masyarakat di Indonesia istilah musyawarah juga dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari”, yang hanya dilakukan untuk urusan keduniawian. Berdasarkan hal tersebut, pengertian musyawarah adalah suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian (Wikipedia, diakses 6 Maret 2016). Kata mufakat dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti setuju atau sepakat. Mufakat merupakan kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan proses pembahasan dan perundingan bersama. Dengan demikian, musyawarah mufakat adalah proses membahas persoalan secara bersama demi mencapai kesepakatan bersama. Musyawarah mufakat dilakukan sebagai cara untuk menghindari pemungutan suara yang mungkin akan menghasilkan kelompok minoritas dan mayoritas. Dalam proses musyawarah mufakat diperlukan kerendahan hati dan keikhlasan diri.

Arti kata demokrasi menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Demokrasi juga berarti gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Lebih lanjut Wikipedia (diakses 6 Maret 2016) menyatakan demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan.

Di dalam demokrasi terdapat mekanisme pengambilan keputusan baik secara langsung maupun perwakilan (tidak langsung). Mekanisme pengambilan keputusan tersebut dapat dilakukan melalui pengambilan suara terbanyak (voting) dan musyawarah mufakat. Jadi dapat dilihat bahwa musyawarah mufakat merupakan bagian dari demokrasi, khususnya pada mekanisme pengambilan keputusan bersama.

  1. Tata Cara Pemilihan Rektor IPB

Ketentuan terkini tentang tata cara pemilihan Rektor perguruan tinggi negeri mengacu pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 1 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri. Selanjutnya beberapa perubahan atas Permenristekdikti No. 1/2015 telah dilakukan pada Permenristekdikti No. 1 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri. Adapun pasal-pasal yang diubah adalah Pasal 4, Pasal 10 ayat (1) huruf (i), Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1).

Permenristekdikti No. 1/2015 dan Permenristekdikti No. 1/2016 merupakan peraturan teknis dari Pasal 29 PP No. 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Di dalam Pasal 2 Permenristekdikti No. 1/2015 secara jelas dinyatakan bahwa Rektor pada PTN adalah dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas tambahan sebagai pemimpin perguruan tinggi. Permenristekdikti No. 1/2015 yang selanjutnya diubah dengan Permenristekdikti No. 1/2016 telah mengatur secara detail persyaratan untuk diangkat menjadi Rektor PTN, yaitu:

  1. Pegawai Negeri Sipil yang memiliki pengalaman jabatan sebagai dosen dengan jenjang akademiksebagai berikut:
    1. bagi calon Rektor universitas/institut paling rendah Lektor Kepala; atau
    2. bagi calon Ketua sekolah tinggi dan politeknik/akademik paling rendah Lektor.
  2. beriman dan bertaqwa kepada Tugan Yang Maha Esa;
  3. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat berakhirnya masa jabatan Rektor/Ketua/Direkturyang sedang menjabat;
  4. memiliki pengalaman manajerial:
    1. paling rendah sebagai ketua jurusan/ketua program studi/kepala pusat atau sebutan lainpaling singkat 2 (dua) tahun di perguruan tinggi;atau
    2. paling rendah sebagai pejabat eselon II.a dilingkungan instansi pemerintah.
  5. bersedia dicalonkan menjadi pemimpin perguruantinggi yang dinyatakan secara tertulis;
  6. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan secaratertulis oleh dokter pemerintah yang berwenang;
  7. setiap unsur penilaian prestasi kerja pegawai palingrendah bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
  8. tidak sedang menjalani tugas belajar atau izin belajarlebih dari 6 (enam) bulan dalam rangka studi lanjutyang meninggalkan tugas tridharma perguruan tinggiyang dinyatakan secara tertulis;
  9. tidak sedang menjalani hukuman disiplin tingkatsedang atau berat;
  10. tidak pernah dipidana berdasarkan keputusanpengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetapkarena melakukan perbuatan yang diancam pidanapaling rendah pidana kurungan;
  11. berpendidikan Doktor (S3) bagi calon Rektor/Ketuadan paling rendah Magister (S2) bagi calon Direktur;dan
  12. tidak pernah melakukan plagiat sebagaimana diaturdalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terdapat empat tahapan pemilihan Rektor yang ditetapkan berdasarkan Permenristekdikti No. 1/2015, yaitu a) tahap penjaringan bakal calon, b) tahap penyaringan calon, c) tahap pemilihan calon, dan d) tahap pengangkatan. Tahap penjaringan dan penyaringan calon Rektor merupakan proses yang dilakukan oleh Senat Akademik, sedangkan tahap pemilihan calon dan pengangkatan Rektor melibatkan Menteri terkait. Pada tahap pemilihan Rektor telah ditetapkan dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup dengan ketentuan Menteri memiliki 35% hak suara dan Senat memiliki 65% hak suara dimana masing-masing anggota Senat memiliki hak suara yang sama.

Khusus untuk IPB yang berstatus sebagai PTN BH, ketentuan tentang pemilihan Rektor IPB diatur dalam PP No. 66 tahun 2013 tentang Statuta IPB, dimana Pasal 43 menyatakan bahwa MWA memiliki wewenang menetapkan tata cara pemilihan Rektor berdasarkan usulan SA serta mengangkat dan memberhentikan Rektor dan wakil Rektor. Tata cara pemilihan Rektor IPB tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Permenristekdikti No. 1/2015.

Tata cara pemilihan Rektor IPB periode 2017-2022 belum ditetapkan oleh MWA IPB, namun sebagai gambaran implementasi tata cara pemilihan Rektor IPB dapat dilihat pada TAP MWA Nomor 115/MWA-IPB/2012 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Rektor IPB. Berdasarkan TAP MWA Nomor 115/MWA-IPB/2012 diketahui bahwa persyaratan bakal calon Rektor adalah:

  1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  2. berkewarganegaraan Indonesia;
  3. sehat jasmani dan rohani;
  4. berpendidikan Doktor;
  5. memiliki kompetensi, integritas, komitmen, dan kepemimpinan yang tinggi;
  6. memiliki jiwa kewirausahaan;
  7. berwawasan luas mengenai pendidikan tinggi; dan
  8. berusia setinggi-tingginya 60 (enam puluh ) tahun pada saat jabatan Rektor sebelumnya berakhir.

Proses pemilihan Rektor IPB terdiri atas 6 tahapan yaitu: (1) Tahap Sosialisasi, (2) Tahap Penjaringan Bakal Calon Rektor, (3) Tahap Seleksi Administratif Bakal Calon Rektor, (4) Tahap Penetapan Bakal Calon Rektor, (5) Tahap Pemilihan Calon Rektor; dan (6) Tahap Pemilihan Rektor. Pada tahap penjaringan Bakal Calon, mekanismenya adalah sebagi berikut:

  1. Setiap departemen dapat mengusulkan maksimum 3 (tiga) Bakal Calon Rektor;
  2. Tenaga kependidikan unit rektorat dapat mengusulkan  maksimum 3 (tiga) Bakal Calon Rektor;
  3. Tenaga kependidikan per fakultas dapat mengusulkan maksimum 3 (tiga) Bakal Calon Rektor;
  4. Mahasiswa per fakultas dapat mengusulkan maksimum 3 (tiga) Bakal Calon Rektor; melalui BEM Fakultas;
  5. Alumni IPB dapat mengusulkan maksimum 3 (tiga) Bakal Calon Rektor, melalui Himpunan Alumni IPB.

Pada tahap penjaringan Bakal Calon, IPB juga memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk mengajukan Bakal Calon Rektor IPB melalui Himpunan Alumni IPB. Selanjutnya dilakukan penetapan Bakal Calon Rektor melalui penilaian oleh SA, serta pemilihan oleh Sivitas Akademika dan Tenaga Kependidikan, sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang Bakal Calon Rektor dari seluruh kandidat yang memenuhi persyaratan administratif.

Dari 9 orang Bakal Calon Rektor, SA kemudian menetapkan 6 (enam) orang Bakal Calon Rektor yang memperoleh suara terbanyak untuk mengikuti tahap pemilihan Calon Rektor. Pemilihan oleh Sivitas Akademika dan Tenaga Kependidikan dilakukan dengan cara masing-masing memilih satu orang secara langsung, bebas dan rahasia di unit masing masing. Perimbangan nilai suara Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa adalah 1 (satu) suara Dosen setara dengan 10 (sepuluh) suara Tenaga Kependidikan dan setara dengan 100 (seratus) suara Mahasiswa.

Tahap pemilihan Calon Rektor dilakukan dalam Rapat Pleno SA dimana masing-masing anggota SA memilih secara bebas dan rahasia 3 (tiga) Bakal Calon Rektor untuk direkomendasikan sebagai Calon Rektor. Berdasarkan suara terbanyak, SA kemudian menetapkan 3 (tiga) Calon Rektor untuk mengikuti Tahap Pemilihan Rektor. Pemilihan Rektor IPB dilakukan dalam Sidang Paripurna MWA dengan mekanisme MWA memilih 1 (satu) Calon Rektor secara musyawarah, apabila tidak dapat dicapai kesepakatan maka ditentukan dengan suara terbanyak sebagai Rektor Terpilih. Dalam pemungutan suara, anggota MWA yang mewakili unsur Menteri mempunyai 35% hak suara dari jumlah seluruh hak suara dan 65% sisanya dibagi rata kepada setiap anggota lainnya, kecuali anggota dari unsur Rektor yang tidak mempunyai hak suara.

  1. Mengkritisi Penerapan Demokrasi dan Musyawarah dalam Pemilihan Rektor IPB

4.1. Demokrasi dalam Pemilihan Rektor IPB

Berdasarkan uraian di atas, penulis menilai bahwa apa yang dilakukan oleh IPB dalam proses pemilihan Rektor-nya telah cukup demokratis. Berdasarkan penyaluran kehendak stakeholder-nya, IPB menerapkan mekanisme demokrasi campuran, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (perwakilan). Demokrasi langsung terlihat pada tahapan pemilihan Bakal Calon Rektor yang melibatkan unsur-unsur masyarakat umum, alumni, tenaga kependidikan dan sivitas akademika IPB (dosen dan mahasiswa). Demokrasi langsung juga diterapkan pada tahap pemilihan Calon Rektor yang akan menetapkan 6 Calon Rektor dari 9 orang Bakal Calon Rektor, dimana Sivitas Akademika dan Tenaga Kependidikan diberi hak memilih satu orang secara langsung, bebas dan rahasia dengan perimbangan nilai suara yang berbeda untuk Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa.

Demokrasi tidak langsung mulai diterapkan oleh IPB pada tahap pemilihan Calon Rektor dan tahap pemilihan Rektor.  Pada tahap pemilihan Calon Rektor, yang mempunyai hak suara adalah anggota SA IPB dan pada tahap pemilihan Rektor yang mempunyai hak suara adalah anggota MWA kecuali anggota dari unsur Rektor. Pada kedua tahap tersebut berarti hak dari sivitas akademika, tenaga kepedidikan, alumni, dan masyarakat untuk memilih Rektor IPB diwakilkan kepada anggota SA dan MWA.

Hal yang penulis kritisi dalam proses demokrasi pemilihan Rektor di PTN, khususnya di IPB adalah hak suara unsur Menteri yang mencapai 35% yang penulis nilai sangat besar. Penulis tidak tahu dasar penetapan angka 35% hak suara unsur Menteri dalam pemilihan Rektor di PTN. Menurut penulis, hal tersebut tidak sesuai dengan hak otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi yang meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik seperti tercantum dalam Pasal 62 UU No. 12/2012. Dengan hak suara sebesar 35% akan memberikan kewenangan yang besar kepada Pemerintah dalam menentukan Rektor di PTN, mengingat kemungkinan untuk menyatukan suara para anggota MWA lainnya dengan total hak suara 65% sulit terjadi. Hak suara anggota MWA lainnya kemungkinan besar akan terpecah kepada 3 orang calon Rektor. Menurut penulis, dengan otonomi yang diberikan kepada PTN, seharusnya Pemerintah juga memberikan keleluasaan kepada PTN dalam memilih dan menentukan Rektor-nya.

4.1. Musyawarah Mufakat dalam Pemilihan Rektor IPB

Mekanisme pengambilan keputusan secara musyawarah dalam pemilihan Rektor IPB telah diatur pada TAP MWA Nomor 115/MWA-IPB/2012 yang menyatakan bahwa MWA memilih 1 (satu) Calon Rektor secara musyawarah, apabila tidak dapat dicapai kesepakatan maka ditentukan dengan suara terbanyak sebagai Rektor Terpilih. Namun pada realitanya menurut penulis, saat ini sangat jarang terjadi musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan untuk memilih 1 (satu) calon Rektor. Pengambilan keputusan dalam memilih 1 (satu) calon Rektor pada akhirnya seringkali menggunakan mekanisme pemungutan suara atau voting.

Pada tahap penjaringan dan penyaringan bakal calon Rektor IPB, penulis dapat menyadari jika mekanisme musyawarah mufakat tidak tepat digunakan karena melibatkan banyak pihak dan orang, sehingga tidak akan efektif jika menggunakan mekanisme musyawarah mufakat. Namun pada tahap pemilihan calon Rektor yang dilaksanakan dalam Rapat Pleno SA (menentukan 3 orang dari 6 orang calon Rektor), menurut penulis mekanisme pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat seharusnya sudah dapat dilakukan, karena tidak melibatkan banyak pihak dan telah menggunakan demokrasi perwakilan.

Ketentuan yang sangat penulis kritisi yang penulis nilai akan turut menghilangkan budaya musyawarah mufakat khususnya di PTN adalah ketentuan dalam Pasal 7 (e) Permenristekdikti No. 1/2015 yang menyatakan bahwa pemilihan Rektor dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup dengan ketentuan Menteri memiliki 35% hak suara dan Senat memiliki 65% hak suara dimana masing-masing anggota Senat memiliki hak suara yang sama. Pada Permenristekdikti No. 1/2015 tidak terdapat ketentuan yang mengatur mekanisme pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat. Hal inilah yang penulis nilai dapat menghilangkan budaya musyawarah mufakat sebagai kearifan lokal bangsa Indonesia.

Apabila ketentuan dalam Pasal 7 (e) Permenristekdikti No. 1/2015 tidak diubah dan diikuti oleh semua PTN dalam proses pemilihan Rektor, maka dapat dipastikan budaya musyawarah mufakat sebagai kearifan lokal bangsa Indonesia juga akan turut hilang. Penulis bersyukur di IPB sesuai ketentuan dalam TAP MWA Nomor 115/MWA-IPB/2012 masih mengatur mekanisme pengambilan keputusan dengan cara musyawarah.

Penulis ingin mengulas sedikit nilai-nilai luhur yang terdapat pada budaya musyawarah mufakat yang dinilai sebagai cara untuk menghindari pemungutan suara yang menghasilkan kelompok minoritas dan mayoritas. Dengan musyawarah mufakat diharapkan dua atau beberapa pihak yang berbeda pendapat tidak terus bertikai dan mendapat jalan tengah. Karena itu, dalam proses musyawarah mufakat diperlukan kerendahan hati dan keikhlasan diri. Musyawarah mufakat memiliki beberapa manfaat langsung yang dapat dirasakan dalam kehidupan kemasyarakatan, yaitu:

  • musyawarah mufakat merupakan cara yang tepat untuk mengatasi berbagai silang pendapat,
  • musyawarah mufakat berpeluang mengurangi penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan kepentingan, dan
  • musyawarah mufakat berpotensi menghindari dan mengatasi kemungkinan terjadinya konflik.

Apabila kita melihat kembali falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila, khususnya sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, jelas terlihat bahwa musyawarah mufakat merupakan nilai yang dihasilkan dari akar budaya bangsa Indonesia. Butir-butir pengamalan Pancasila bahkan ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Butir-butir pengamalan sila keempat Pancasila adalah:

  • mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat;
  • tidak memaksakan kehendak kepada orang lain;
  • mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama;
  • musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan;
  • dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah;
  • musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur;
  • keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Selajan dengan butir-butir pengamalan sila keempat Pancasila, beberapa prinsip yang harus dipegang teguh dalam membuat keputusan bersama secara musyawarah mufakat adalah:

  • pendapat disampaikan secara santun;
  • menghormati pendapat orang lain yang bertentangan pendapat;
  • mencari titik temu diantara pendapat-pendapat yang ada secara bijaksana;
  • menerima keputusan bersama secara besar hati, meski tidak sesuai dengan keinginan;
  • melaksanakan keputusan bersama dengan sepenuh hati.

Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia telah mengatur bagaimana seharusnya kita bersikap dan bertindak dalam proses demokrasi, khususnya dalam mekanisme pengambilan keputusan bersama. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila keempat, yang mengutamakan “musyawarah mufakat” dalam pengambilan keputusan bersama hendaknya dapat kita amalkan dan jangan ditinggalkan. Oleh karena itu, segala ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangan baik ditingkat nasional maupun perguruan tinggi yang terkait dengan mekanisme pengambilan keputusan bersama hendaknya memasukkan ketentuan musyawarah sebagai mekanisme pengambilan keputusan bersama yang utama, apabila tidak tercapai barulah menggunakan mekanisme pemungutan suara (voting). Hal ini tidak hanya sekedar melestarikan budaya bangsa tetapi lebih dari itu, mengamalkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang telah jelas manfaat dan kebaikannya.

Semoga tulisan ini dapat mengingatkan kembali kepada kita semua akan pentingnya musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan bersama. Pengambilan keputusan dalam demokrasi bukan berarti ‘memenangkan’ atau ‘berpihak’ pada kelompok mayoritas tanpa memperhatikan hak-hak minoritas, tetapi sikap rendah hati, keihklasan diri, menghormati pendapat orang lain, mengutamakan kepentingan bersama, kebijaksanaan dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan nilai-nilai luhur yang harus kita amalkan dalam berdemokrasi.

Referensi

  • Kamus Besar Bahasa Indonesia. [internet]. [diacu 2016 Maret 6]. Tersedia dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php.
  • Ketetapan Majelis Wali Amanat IPB Nomor 115/MWA-IPB/2012 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor Institut Pertanian Bogor.
  • Panitia Ad Hoc Komisi D Dewan Guru Besar IPB. 2012. Academic Leadership. Naskah Akademik.
  • Pengertian Musyawarah: Apa itu Musyawarah? [internet]. [diacu 2016 Maret 6]. Tersedia dari http://www.pengertianahli.com/2014/04/pengertian-musyawarah-apa-itu-musyawarah.html#.
  • Pengertian Musywarah. [internet]. [diacu 2016 Maret 6]. Tersedia dari http://cindy-cindyaritonang.blogspot.co.id/2012/01/pengertian-musyawarah.html
  • Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur Pada Perguruan Tinggi Negeri.
  • Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri.
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2013 tentang Statuta Institut Pertanian Bogor.
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
  • Wikipedia. Demokrasi. [internet]. [diacu 2016 Maret 6]. Tersedia dari https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi.
  • Wikipedia. Musyawarah. [internet]. [diacu 2016 Maret 6]. Tersedia dari https://id.wikipedia.org/wiki/Musyawarah.
  • Wikipedia. Pancasila. [internet]. [diacu 2016 Maret 8]. Tersedia dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila.