Contoh kasus masalah kesehatan pada masa prenatal

14 April 2021

Contoh kasus masalah kesehatan pada masa prenatal

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

(Ilustrasi) 'Baby blues' pada ibu melahirkan yang berlangsung selama lebih dari dua minggu patut diwaspadai, karena ini bisa berarti ibu telah masuk ke depresi pascapersalinan.

Setelah sekian lama bergelut dengan depresi, Violet (bukan nama sebenarnya) memutuskan mengakhiri hidup.

Depresi yang diidapnya semakin dalam sejak anak keduanya lahir. Perempuan asal Bandung ini merasa gagal menjadi ibu yang baik. Sudah sekian kali dia mencoba bunuh diri, dan di awal tahun ini, usahanya berhasil.

Pada 2019, seorang perempuan di Kota Bandung membunuh bayinya yang baru berumur beberapa bulan. Kepada polisi, dia mengaku mendapat bisikan gaib agar "mengirim anaknya ke surga".

"[Ini contoh] kasus gangguan mental emosional saat perinatal," kata Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan yang berpraktik di Bandung, Jawa Barat, kepada wartawan Yulia Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Maret lalu.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), perinatal adalah periode yang dimulai dari pembuahan hingga setahun pascapersalinan.

Penyebab munculnya depresi di masa perinatal memang belum diketahui secara pasti, namun perubahan hormon secara drastis di tubuh perempuan saat hamil dan melahirkan dapat menyebabkan perasaan yang lebih sensitif dan kondisi emosional tidak stabil.

Keterangan video,

Depresi ibu pascamelahirkan: 'Saya mau mati saja, tapi saya mau anak saya hidup”

Jika tidak terdeteksi sejak awal, akan terjadi keterlambatan penanganan dan proses penyembuhan. Nyawa sang ibu dan keselamatan anaknya pun menjadi taruhan, seperti yang terjadi dalam dua kasus di atas.

Di Bandung, sejumlah ibu dengan perinatal mental health disorder berjuang menyembuhkan diri di tengah stigma dan kesadaran masyarakat yang minim. Ini kisah mereka.

'Saya mau mati saja, tapi ingin anak saya hidup'

Sumber gambar, Dok. Mia Dwi Susilowati

Keterangan gambar,

Mia Dwi Susilowati bersama putrinya, Putih. Ditinggal dua laki-laki sandaran hidupnya, sang ayah dan suami, mendorong Mia jatuh ke depresi.

Dalam waktu berselang tiga bulan, Mia Dwi Susilowati kehilangan dua laki-laki sandaran hidupnya, ayah dan suami, di saat dirinya sedang berbadan dua.

Ayahnya, Joyo, tutup usia karena sakit saat usia kandungannya menginjak empat bulan. Tiga bulan kemudian, suaminya, Haryanto, meninggal setelah mengalami kecelakaan sesaat setelah mengantar Mia ke tempat kerja.

Musibah yang datang beruntun dan mendadak, ditambah dengan syok, trauma, serta perasaan bersalah, mendorong Mia jatuh ke lembah depresi.

Kondisinya yang sedang hamil memperburuk gangguan kejiwaannya. Dan bak pisau bermata dua, depresi juga berbalik mengganggu kehamilannya.

"Setelah [kecelakaan] itu, saya sempat nggak bisa ngantor selama beberapa bulan. Ketika datang ke kantor, badan gemetar, pikiran kosong, segala macam.

"Setelah itu pun, saya sempat tidak bisa tidur selama 3-4 hari. Akhirnya, khawatir karena kandungan yang terus-terusan kontraksi, [oleh dokter kandungan] disuruh ketemu dengan psikiater," tutur Mia, saat ditemui di Bandung, akhir Maret lalu.

Perjuangannya melawan depresi tidak mudah, meski setelah Mia berkonsultasi dengan psikiater.

Trauma dan lukanya seperti terus-menerus dibuka, seiring dengan penyelesaian kasus kecelakaan suaminya. Depresi Mia semakin memburuk, bahkan berkali-kali ia berpikir akan mengakhiri nyawa karena didera perasaan bersalah.

"Saya mau mati saja, tapi saya mau anak saya hidup. Saya sendiri sepertinya sudah nggak mungkin buat tetap hidup karena rasa bersalah terhadap suami. Kalau saja waktu itu saya tidak mau diantar ke kantor, kalau saja waktu itu saya biarkan dia bekerja, atau kalau saya biarkan dia di rumah, ini tidak akan terjadi. Itu rasa bersalah saya.

"Saya sempat mengunci diri di kamar mandi, mencoba bunuh diri. Bahkan saya pernah datang datang ke tempat kejadian [kecelakaan]. Terus saya diam saja di jalan itu, maunya menyeberang jalan saat [ada] bus lewat," ungkap Mia dengan suara bergetar.

Sumber gambar, Dok. Mia Dwi Susilowati

Keterangan gambar,

Mia bersama almarhum suaminya di hari pernikahan mereka. Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Haryanto, Mia dihantui rasa bersalah.

Mia mengakui, omongan orang-orang di sekitarnya semakin membuatnya merasa tersudut dan mempengaruhi kondisi kejiwaannya.

Ada yang membahas soal keadaan tubuh suaminya setelah tertabrak, bahkan ada yang menyalahkannya atas kematian sang suami. Beberapa menuduhnya kurang beriman sehingga mengalami depresi.

"Nah, itu yang semakin membuat berat dan merasa bersalah. Ditambah omongan orang, kalau stres tidak punya agama, atau agamanya tidak baik.

"Kamu stres bikin anak kamu menderita, katanya. Orang hanya fokus ke bayi saya, tapi tidak fokus ke apa yang saya rasakan, saya alami. Mereka tidak peduli. Menurut mereka, saya sanggup menjalaninya," ujarnya.

Keinginan bunuh diri berulang kali muncul selama masa kehamilannya. Mia bahkan sempat melakukan pencarian di internet tentang cara bunuh diri yang aman untuk ibu hamil.

"Kalau saya pakai silet, saya kehabisan darah dan anak saya tidak selamat. Kalau saya tabrakan terus kena perut, anak saya tidak selamat. Itu yang terus ada di pikiran. Saya searching bagaimana cara bunuh diri yang aman buat ibu hamil, dan ternyata tidak bisa. Itu yang membuat saya mengurungkan niat, ya sudah, sampai lahiran saja," kisah Mia.

Keinginan bunuh diri itu tak hilang sampai Mia melahirkan Putih, anaknya. Kali ini, Mia merasa kematiannya tidak akan terhalang lagi, karena Putih telah lahir dengan selamat. Tapi ternyata, Putih lah yang justru membuatnya bertahan hidup dan bersemangat untuk sembuh.

"Saya sudah melahirkan, anak saya sudah aman, sekarang aja matinya. Ternyata tidak bisa. Setiap mau [bunuh diri], lalu melihat anak nangis, rasanya tidak mungkin saya tidak berjuang [untuk sembuh].

Sumber gambar, Dok. Mia Dwi Susilowati

Keterangan gambar,

Setelah melalui sesi konseling bersama psikiater, Mia kini telah lepas dari depresi. Dukungan keluarga, juga keberadaan Putih, membantu pemulihannya.

"Ketika ibu-ibu mengeluh anaknya menangis tengah malam setelah melahirkan, itu justru penyelamat saya. Karena anak saya tengah malam menangis dan butuh saya di sisinya, itu justru jadi penyelamat buat saya," kata project manager di sebuah perusahaan IT ini.

Setelah berada di titik terendah dalam hidupnya dan merasa kehilangan arah, Mia kini kembali memiliki tujuan hidup dan berusaha keras meraih kesembuhannya.

Ia menjalani terapi selama 7 bulan hingga kemudian dinyatakan pulih. Selain Putih, dukungan untuk sembuh juga diterima dari ibunya yang sama-sama mengalami kehilangan tapi tetap kuat dan tabah berada di sampingnya.

Kini, Mia merasa hidupnya sudah kembali menyenangkan.

"Sekarang jauh lebih menyenangkan. Bangun pagi sudah tidak ada pikiran bagaimana-bagaimana. Kalau tidur masih kesulitan, kadang masih terbawa mimpi kejadian yang dulu, cuma keinginan bunuh diri sudah tidak ada.

"[Rasanya], besok saya masih perlu hidup lagi karena saya mau lihat Putih tertawa, saya mau lihat Putih memanggil bapaknya, saya mau ceritakan tentang bapaknya, saya mau kerja, jadi saya sudah punya banyak rencana lagi," ucap Mia.

Sumber gambar, Dok. Mia Dwi Susilowati

Keterangan gambar,

'Saya mau lihat Putih memanggil bapaknya, saya mau ceritakan tentang bapaknya,' kata Mia.

Sebagai penyintas perinatal mental health disorder, Mia ingin pengalamannya menjadi pelajaran bagi perempuan-perempuan yang mengalami gangguan mental, terutama di masa kehamilan. Pesannya, agar segera memeriksakan diri ke profesional.

"Menurut saya, ketika kita sudah mulai berpikir buruk atau menyalahkan Tuhan, mungkin sebaiknya kita [berobat] ke profesional," ujarnya.

Namun Mia menyadari, stigma masih menjadi hambatan bagi seseorang berobat ke psikolog atau psikiater.

"Saya lihat ternyata orang-orang di dekat saya pun banyak yang mengalami hal yang sama tapi diam, tidak mau konsultasi karena takut dianggap gila, dianggap gak punya agama, takut dianggap lemah," ungkapnya.

Menurut Mia, dukungan dari keluarga terdekat sangat penting di masa-masa kehamilan. Apalagi pada ibu yang memiliki riwayat depresi sebelumnya. Keluarga juga harus menyadari kondisi kejiwaan ibu hamil.

"Butuh dukungan sekitar dan sekitarnya harus cukup aware ketika si ibu merasa lemah atau punya keluhan lain. Tolong segera ditanya, diajak melakukan hal-hal yang bikin bahagia, sedikit lupakan kalau dia punya anak, sedikit lupakan kalau dia hamil. Harus ada support system ini," pungkas Mia mengakhiri percakapan.

"Saya takut anak saya mati"

Sumber gambar, Dok. Richa Hadam

Keterangan gambar,

Richa Hadam mengaku merasa lebih sensitif dan perfeksionis saat hamil anak kedua.

Richa Hadam merasakan kebahagiaan saat hamil anak kedua. Terlebih, kehamilan ini sudah direncanakan beberapa tahun sebelumnya. Namun berbeda dengan yang pertama, kehamilan kedua ini diiringi perasaan cemas dan ketakutan berlebih.

Richa menduga, perasaan itu muncul karena sifatnya yang jauh lebih perfeksionis dibanding saat mengandung anak pertama. Pada masa kehamilan, Richa juga mengaku lebih sensitif dan mudah marah.

Anxiety disorder atau gangguan kecemasan yang dirasakan Richa semakin menjadi pascamelahirkan. Richa sendiri menyadari ada yang salah pada dirinya, tapi dia belum memahami "penyakit" apa yang diidapnya.

Kecemasannya semakin lama semakin besar dan sulit dikendalikan, sehingga mulai mengganggu kondisi fisik dan psikisnya.

"Ada kelelahan fisik dan psikis. Misalnya, malam-malam saya terus mengawasi anak saya. Saya takut kalau dia buang air besar, saya harus cepat-cepat bersihkan, kalau tidak, takut dia iritasi. Dia belum nangis minta susu, saya sudah susui karena takut anak saya tidak kenyang. Saya juga jadi lebih sensitif. Kalau kata orang zaman sekarang, gampang baper," ungkap Richa.

Gangguan kecemasan yang diidap Richa berubah menjadi depresi pascapersalinan atau postpartum depression karena tidak segera ditangani. Kondisi terberat dialami Richa saat muncul ketakutan meninggal yang menyebabkan terganggunya aktivitas keseharian dia sebagai seorang ibu dan juga istri.

Sumber gambar, Dok. Richa Hadam

Keterangan gambar,

Richa mengaku dari luar ia terlihat 'normal', namun ia tahu di dalam dirinya ada yang 'tidak normal'.

"Saya takut kalau saya meninggal, anak saya siapa yang mengurus. Ketika mereka membutuhkan saya, siapa yang ada buat mereka. Padahal saya sehat wal'afiat, tidak sakit, tapi muncul perasaaan ketakutan akan meninggal.

"Satu lagi, saya takut menyakiti anak saya. Ketika saya jalan lewat tangga rumah, saya takut anak saya jatuh. Pikiran-pikiran negatif ini muncul di luar kemauan saya, tapi membuat saya sangat tersiksa.

"Kalau saya ke dapur, saya takut pegang pisau dan terkena anak saya. Jadi, saya lebih baik tidak ke dapur. Saya jadi membatasi aktivitas," ujar warga Sumedang ini.

Di suatu titik, Richa bahkan mengaku tidak mau keluar rumah karena kecemasan yang berlebihan.

"Saya jadi superprotektif pada anak-anak saya. Kalau ada yang sakit, saya langsung panik. Kemudian saya jadi mudah tersinggung, begitupun dengan suami. Ketika suami sedikit cuek, acuh, mungkin karena capai pulang kerja, pikiran saya negatif.

"Saya merasa saya tidak cukup baik menjadi istri."

Richa tidak berani mengatakan gangguan mental yang dirasakan kepada suami dan keluarganya. Ia menutup erat semua yang dirasakan karena takut menerima stigma yang tidak baik.

Di luar, dia berusaha tampil "normal", tapi di dalam, Richa tahu ada yang "tidak normal."

"Kalau dari luar, saya kayak biasa ibu normal lainnya. Diajak ngobrol, tersenyum, bahkan tertawa. Tapi di dalam, saya sebetulnya sedih, di dalam saya teriak-teriak minta tolong," ungkap dia.

Setelah anak keduanya berumur 1,5 tahun, Richa akhirnya berobat ke psikiater. Suami dan ibunya mendukung penuh pemulihan Richa.

"[Ibu bilang], kamu bukan sakit jiwa atau 'gila' pergi ke psikiater, kamu punya guncangan emosional atau psikis tapi bisa disembuhkan, harus diobati, pokoknya harus ditangani sesegera mungkin. Karena ibu saya selalu menyemangati, maka saya mau konseling," ujar Richa.

Setelah menjalani terapi selama satu tahun, Richa merasa kondisinya lebih baik. Meski demikian, perempuan 32 tahun ini tetap membatasi pergaulannya demi menjaga kestabilan mental. Richa menilai, komentar-komentar orang sekitar terkadang menimbulkan tekanan mental tersendiri.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

(Ilustrasi) Para penyintas gangguan mental perinatal mengaku dukungan dari suami dan keluarga sangat dibutuhkan supaya tidak terjadi keterlambatan penanganan.

Dari pengalamannya, Richa mengungkapkan, ibu dengan kondisi depresi pascapersalinan sangat membutuhkan dukungan dari suami, keluarga, dan orang sekitarnya. Keluarga terdekat juga harus menyadari bila si ibu menunjukkan tanda-tanda depresi. Dukungan bisa diberikan pula dengan menghilangkan stigma.

"Kadang orang yang dalam keadaan depresi, itu stigma orang kurang bersyukur, kurang mendekatkan diri pada Tuhan. Saya pikir itu sudah beda jalur. Mendekatkan diri pada Tuhan itu sangat pribadi. Tidak depresi pun kita wajib mendekatkan diri sama Tuhan. Jangan memberikan stigma, jangan menghakimi kalau tidak tahu penyebabnya apa, tapi rangkul," kata Richa.

Kepada ibu-ibu yang mengalami kondisi serupa, Richa berpesan agar berani bicara dan tidak malu mengakui gangguan jiwa yang dialami supaya bisa diobati lebih cepat.

"Karena ini bukan aib. Postpartum depression itu bisa diobati, bukan aib, bukan hal yang memalukan. Justru semakin cepat ditolong, ditangani, akan lebih cepat sembuh," pesan Richa.

Mengenal perinatal mental health disorder

Gangguan kesehatan mental perinatal dapat menyerang perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan dari segala usia, etnis, dan latar belakang sosial ekonomi.

Meski WHO mendefinisikan perinatal sebagai periode yang dimulai dari pembuahan hingga setahun pascapersalinan, perinatal mental health disorder bahkan bisa dialami perempuan sebelum kehamilan.

Perinatal mental health disorder mencakup antara lain baby blues, gangguan kecemasan, depresi pascapersalinan, dan psikotik pascapersalinan.

"Baby blues, ketika tidak ditangani dengan baik akan berkembang menjadi postpartum depression. Biasanya, fasenya adalah dua minggu setelah melahirkan. Depresi pascapersalinan ini tingkatannya lebih tinggi, keluhannya lebih berat, gangguan fungsinya juga lebih berat," papar Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

(Ilustrasi) Fluktuasi hormon pada tubuh perempuan yang hamil dan melahirkan membuat mereka rentan mengalami depresi.

Gangguan kesehatan mental perinatal akan lebih buruk, jika pada saat depresi juga muncul gejala psikotik. Salah satunya, ibu mendengar suara-suara atau pikiran negatif saat depresinya memburuk.

"Suara-suara di telinganya mengatakan hal yang dia takutkan, sehingga membuat dia semakin irasional dan bisa melakukan segala sesuatu yang tidak mungkin. Hal terburuk dari depresi adalah menyakiti diri sendiri, menyakiti anak, atau bahkan bunuh diri," kata psikiater lulusan Universitas Padjadjaran ini.

Elvine menyebutkan, gangguan kesehatan mental perinatal merupakan kasus terselubung yang sering kali terlambat disadari dan ditangani, sehingga proses perbaikan dan pengobatan tidak berjalan baik.

Di samping itu, stigma yang muncul dari diri sendiri dan sosial terhadap pengobatan psikiatri kadang kala membuat pasien tidak patuh berobat dan malu meminta pertolongan.

"Proses pengobatan perlu didukung, terutama oleh pasangan. Pasangan dan keluarga perlu bekerja sebagai tim dengan mengenali tanda-tanda perburukan dan tanda-tanda bahaya serta mendengarkan kondisi pasien, menemani, dan mendampingi, juga membantu tugas rumah tangga agar si ibu tidak menjadi stress," ujar Elvine.

Kesehatan mental ibu hamil dan baru melahirkan juga telah menjadi perhatian dunia. Sejumlah penelitian dilakukan agar penanganan terhadap gangguan kesehatan mental perinatal bisa dilakukan sedini mungkin.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

(Ilustrasi) Dokter dan bidan dapat membantu penapisan calon ibu yang mengalami depresi.

Mengacu data WHO, sekitar 10% wanita hamil dan 13% wanita yang baru melahirkan mengalami gangguan mental, terutama depresi. Sementara depresi pascapersalinan, prevalensi secara global diperkirakan 100‒150 per 1000 kelahiran.

Di Amerika, menurut data terbaru yang dirilis Mei 2020, angka kasus gangguan depresi perinatal terbilang tinggi. Satu dari setiap 7 hingga 10 perempuan hamil dan satu dari setiap 5 hingga 8 perempuan yang baru melahirkan mengalami gangguan depresi.

Penelitian yang dirilis Maternal Mental Health Alliance pada 2014 mengungkapkan, diperkirakan antara 10% dan 20% wanita di seluruh negeri menderita penyakit mental perinatal. Dari wanita yang mengalami penyakit mental perinatal, 31% memiliki masalah kesehatan mental sebelumnya.

Mengenai psikotik pascapersalinan, NHS Inggris menyebutkan gangguan kesehatan mental tersebut terbilang serius yang dapat menyerang seseorang segera setelah melahirkan. Kondisi itu memengaruhi sekitar 1 dari 500 ibu yang baru melahirkan.

Sayangnya, tidak ada data kasus gangguan kesehatan mental perinatal di Indonesia. Padahal, disinyalir angka kasusnya cukup tinggi. Hasil pencarian di situs Kementrian Kesehatan RI dengan kata kunci 'depresi pasca persalinan' hanya menampilkan siaran pers yang memuat data Riskesdas 2007 mengenai angka rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan secara umum. Tidak ada angka kasus depresi pada ibu hamil dan melahirkan.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

(Ilustrasi) Gangguan kesehatan mental perinatal dapat menyerang perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan dari segala usia, etnis, dan latar belakang sosial ekonomi.

Nihilnya data kasus gangguan kesehatan mental perinatal di Indonesia, kata Elvine, menunjukkan program penapisan dan kesadaran untuk mengevaluasi gangguan kejiwaan ini masih perlu ditingkatkan.

Elvine melanjutkan, data prevalensi sangat diperlukan untuk menentukan kebijakan dan program yang tepat dalam rangka promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bisa melindungi wanita, anak, dan keluarganya dari risiko terkena maupun protokol tata laksananya secara holistik.

"Data ini juga akan sangat membantu dalam mengedukasi pasangan dan keluarganya bahwa ada risiko besar yang akan dihadapi di sekitar masa kehamilan dan persalinan. Sehingga penatalaksanaannya menjadi holistik dan memerhatikan kesejahteraan wanita itu sendiri.

"Kita sudah mengetahui bahwa dampak dari gangguan mental emosional pada masa perinatal memiliki dampak yang besar dan konsekuensi yang panjang," katanya.

Deteksi dini gangguan kesehatan mental perinatal

Mendeteksi dini gangguan kesehatan mental perinatal sangat berpengaruh pada kesembuhan dan mencegah kondisi si ibu menjadi lebih parah.

Dokter spesialis kandungan atau bidan bisa berperan melakukan penapisan sejak awal pada ibu hamil sebagai salah satu upaya pencegahan.

"Untuk pencegahannya sendiri, semenjak kontrol di bulan-bulan menjelang lahiran, nanti akan kita tanyakan apakah sudah siap untuk punya bayi atau misalkan sudah siap yang mengurusnya, seperti siapkan nanny, atau babysitter atau mungkin ada keluarga yang akan mendukung mengurus anak tersebut," kata Edwin Kurniawan, dokter spesialis obstetric dan ginekologi.

Suami, lanjut Edwin, juga harus dipersiapkan dan diedukasi supaya mendukung istri saat harus mengurus bayi sehingga meminimalkan terjadinya baby blues.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

(Ilustrasi) Suami berperan penting menjaga kesehatan mental ibu. Berbagi peran dalam pengasuhan anak adalah salah satu cara untuk mendukung istri.

Secara fisik, kata Edwin, gejala gangguan kesehatan mental perinatal memang tidak bisa dilihat. Tapi dokter atau bidan bisa dengan jeli melihat ciri-ciri pasien, misalnya jika si pasien memiliki riwayat konsumsi obat penenang.

Selain itu, dokter atau bidan juga bisa memperhatikan gesture atau tanda-tanda apakah pasien dan pasangannya siap memiliki bayi atau tidak, dan apakah sudah menyiapkan sistem pendukung yang baik atau belum.

"Mungkin yang mencolok pasien itu tidak menunjukkan rasa senang akan kehamilannya, itu sudah menjadi peringatan apakah ini harus dikonsultasikan ke psikiater lebih dini sehingga nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Umumnya kehamilan itu sesuatu yang menggembirakan bagi kebanyakan pasangan. Ketika menemukan ada ibu yang tidak senang dengan kehamilannya itu akan terlihat sangat mencolok," ujar Edwin.

Ibu hamil juga disarankan sadar diri akan kondisi kesehatan mentalnya. Dalam hal ini, Elvine menuturkan, ibu hamil bisa memulai dengan menganalisa pikirannya, apakah terlalu banyak pikiran negatif yang muncul ketika dia membesarkan anak.

Lalu, secara emosional, apakah stabil atau sering menangis dan lebih sering marah-marah dibandingkan sebelumnya. Dan yang ketiga adalah, bagaimana sistem pendukung keluarga, apakah keluarganya terlalu banyak menuntut.

"Itu akan jadi faktor penentu. Ketika kita memperhatikan itu semua, kita bisa melihat fungsi ibu itu normal atau tidak karena kadang secara emosional dia stabil, tapi dia tidak bisa berfungsi dengan baik sebagai ibu. Jadi kasarnya dia bisa acuh, menelantarkan anaknya, dia bisa menangis tanpa sebab walaupun dia sedang tidak ngapa-ngapain, itu artinya sudah ada gangguan," kata Elvine.

Ketika si ibu hamil tidak sadar atas kondisi dirinya, suami atau anggota keluarga lain bisa membantu mendeteksi dengan melihat perubahan emosi si ibu.

"Kadang ketika kita cerita ke pasangan kita, saya kayaknya nggak baik-baik aja, kayaknya saya nggak akan jadi ibu yang baik, orang lebih cenderung berkata kita berlebihan," ujar Elvine.

Perubahan lain, jika si ibu sudah tidak berfungsi dengan baik, misalnya tidak lagi merawat diri atau hubungannya memburuk dengan orang lain karena emosi yang tidak stabil.

"Itu artinya sudah perlu mencari pertolongan," kata Elvine.

Mitos seputar perinatal mental health disorder

Selain stigma, banyak mitos di seputar isu gangguan kesehatan mental perinatal yang menghambat penanganan dan penyembuhan ibu dengan masalah kejiwaan tersebut.

Mitos tersebut antara lain; penyakit ini bisa sembuh sendiri. Menurut Elvine, baby blues mungkin bisa sembuh sendiri dalam waktu kurang dari dua minggu.

"Tapi kalau lebih dari dua minggu, ibu harus minta tolong karena artinya, dia sudah masuk ke fase depresi. Kalau sudah masuk fase depresi, biasanya akan terjadi perburukan, bukan sembuh sendiri," jelas Elvine.

Mitos berikutnya, suami hanya perlu mencukupi secara ekonomi, tapi tidak membantu tugas-tugas wanita karena dianggap bukan tanggung jawab laki-laki atau suami.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

(Ilustrasi) Beberapa mitos yang harus dilawan seputar gangguan kesehatan mental perinatal: bahwa depresi bisa sembuh sendiri, dan suami hanya wajib memenuhi kebutuhan materi.

Padahal peran suami dalam membantu mengurus anak di fase-fase awal kehidupannya itu akan sangat meringankan tugas ibu.

"Mitos selanjutnya adalah nasihat-nasihat. Karena kadang yang disampaikan itu nasihat masa lalu. Sehingga ketika ibu sudah belajar apa yang baik apa yang tidak, dikonfrontasi atau ditentang dengan nasihat masa lalu akhirnya menjadi konflik.

"Nah ini yang perlu disampaikan. Hargai ibu-ibu muda dan ayah-ayah muda sehingga mereka bisa menumbuhkembangkan anak dengan kondisi yang sehat bukan dengan kondisi yang penuh dengan konflik," tutur Elvine.

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567.

Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa pada lamanintothelightid.orgdan Yayasan Pulih pada laman yayasanpulih.org.

Wartawan di Bandung, Yulia Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.