Apa yang dikatakan ahok sehingga disebut penistaan agama


JAKARTA, KOMPAS.com -
Seorang anggota majelis hakim bertanya kepada terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mengenai pernyataan yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 sebelum pidato di Kepulauan Seribu.

Ahok membenarkan bahwa dia pernah mengutip Al-Maidah ayat 51 sebelum menyampaikan pidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

"Ada. Saat pakai baju hijau (seragam Pemprov DKI Jakarta), pimpin rapim yang soal password Wi-Fi Al-Maidah itu tahun 2015," kata Ahok, dalam persidangan kasus dugaan penodaan agama, di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2017).

(baca: Pekan Depan, Sidang Ahok Boleh Disiarkan Langsung)

Saat itu, kata Ahok, ia mengusulkan Surat Al-Maidah ayat 51 sebagai nama jaringan Wi-Fi untuk ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) yang dibangun di sekitar masjid.

Untuk dapat menggunakan jaringan tersebut, Ahok mengaku mengusulkan kata "kafir" sebagai kata kuncinya (password).

Ahok memiliki ide tersebut karena ingin menyindir beberapa oknum pegawai negeri sipil (PNS) DKI yang tak sepakat dipimpin gubernur non-muslim.

"Saya sampai tantang, demo saja. PNS tidak terima gubernur yang sah sesuai konstitusi," ucap Ahok.

(baca: Penjelasan Ahok soal "Wi-Fi" Al-Maidah)

Selain itu, Ahok juga menyindir pihak-pihak yang terus melakukan aksi unjuk rasa di Balai Kota-DPRD DKI Jakarta setiap hari Jumat. Pihak itu, menurut Ahok, menolak Jakarta dipimpin olehnya.

Ahok menjelaskan dirinya tidak lagi mengutip Al-Maidah sejak adanya peringatan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta.

"Habis (ada peringatan) itu, saya enggak singgung-singgung lagi," kata Ahok.

Adapun Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena mengutip surat Al Maidah ayat 51 saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Jaksa mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.

Kompas TV Kuasa Hukum Ahok Optimis di Sidang ke-17

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Apa yang dikatakan ahok sehingga disebut penistaan agama

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kiri) menghadiri sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, 21 Februari 2017. ANTARA/Pool/M Agung Rajasa

TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum pidana dari UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, Mudzakkir, mengatakan ada tiga kalimat dalam penggalan pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang ia analisis dalam kasus dugaan penodaan agama.

Tiga kalimat itu adalah 'Jangan percaya pada orang', 'Maka kamu enggak memilih saya kan' dan 'Dibohongi pakai Al-Maidah 51'. "Bagian berikutnya kata 'dibohongi' itu diulangi lagi dalam bentuk bahasa lain dinyatakan: "dibodohi'," kata Mudzakkir dalam kesaksiannya pada sidang kasus dugaan penodaan agama oleh Ahok, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017.

Baca : Diduga Menistakan Agama, Rais Aam PBNU : Ahok Tak Perlu Tabayyun

Mudzakkir mengatakan, kata 'orang' dalam penggalan 'jangan percaya pada orang', dikontruksikan menjadi satu kesatuan yang bermakna 'orang yang menyampaikan Surat Al-Maidah ayat 51'. Sedangkan pada bagian 'Maka kamu enggak memilih saya kan', menurut Mudzakkir, memiliki konteks pemilihan. "Konteksnya 'memilih saya', dalam konteks ini adalah pengucap atau pengujar kalimat itu tidak terpilih karena Al-Maidah 51," kata dia.

Selanjutnya 'Dibohongi pakai Al-Maidah 51', Muzakkir menyebutkan, kata 'dibohongi' yang kemudian dipertegas dengan kata 'dibodohi' menunjukkan kata tersebut berhubungan dengan Surat Al-Maidah ayat 51.

Simak pula: Ahli Agama: Ucapan Ahok Terindikasi Menyesatkan Umat

Menurut Mudzakkir, dari ketiga penggalan kata tersebut ia menyimpulkan bahwa yang masuk dalam kategori penodaan adalah kata 'dibohongi' dan 'dibodohi'. "Obyeknya dipakai Al-Maidah 51. Jadi dibohongi Al-Maidah 51 itulah kalau digabung maknanya istilah penodaan," ujarnya.

Ucapan Ahok yang mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 diawali saat kunjungan kerja ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Saat itu, ia menyampaikan ekpada penduduk setempat bahwa program budidaya ikan kerapu akan terus berjalan meskipun dirinya tidak terpilih sebagai gubernur. Berikut penggalan pidato Ahok.

Lihat juga: Sidang Ahok, Jalan di Depan Kementan Masih Sepi dari Massa

"Kan, bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem gitu loh. Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa. Karena ini kan hak pribadi Bapak-Ibu. Program ini jalan saja. Jadi Bapak-Ibu enggak usah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok," ujar Ahok dalam pidatonya.

Dalam sidang ke-11 hari ini Selasa, 21 Februari 2017, jaksa penuntut umum menghadirkan empat saksi ahli. Selain Mudzakkir, saksi ahli yang dihadirkan adalah Yunahar Ilyas sebagai ahli agama Islam, Abdul Chair Ramadhan sebagai ahli hukum pidana, dan Miftachul Akhyar sebagai ahli agama Islam.

FRISKI RIANA

Baca juga:
Aksi 212, Orator Ini Tuntut Ahok Dipenjara
Hadiri Aksi 212, Ini Alasan Rizieq Syihab

  • Isyana Artharini
  • Wartawan BBC Indonesia

Apa yang dikatakan ahok sehingga disebut penistaan agama

Sumber gambar, YouTube Pemprov DKI

Keterangan gambar,

Ahok saat bertemu dengan masyarakat Kepulauan Seribu akhir September lalu.

Meski sudah menjelaskan lewat akun Instagramnya bahwa dia tidak berniat menghina agama, namun sejumlah ormas Islam tetap melaporkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, ke polisi di dua lokasi berbeda.

Oleh tim sukses Ahok, pelaporan ini dinilai tidak akan berpengaruh terhadap para pemilih.

Dan Ahok sendiri sudah menyatakan tidak berniat melecehkan ayat suci Alquran, terkait pernyataannya soal surat Al Maidah dan menegaskan dia tidak suka mempolitisasi ayat-ayat suci.

Pernyataan yang diacu gubernur petahana ini terjadi saat bertemu dengan masyarakat di Kepulauan Seribu akhir September lalu.

Melalui akun Instagramnya, hari Kamis (06/10), Ahok menulis, "Saat ini banyak beredar pernyataan saya dalam rekaman video seolah saya melecehkan ayat suci Al Quran surat Al Maidah ayat 51, pada acara pertemuan saya dengan warga Pulau Seribu."

"Berkenaan dengan itu, saya ingin menyampaikan pernyataan saya secara utuh melalui video yang merekam lengkap pernyataan saya tanpa dipotong. Saya tidak berniat melecehkan ayat suci Alquran, tetapi saya tidak suka mempolitisasi ayat-ayat suci, baik itu Alquran, Alkitab, maupun kitab lainnya," tambahnya.

Sejauh ini, Majelis Ulama Indonesia Sumatera Selatan sudah melaporkan Ahok atas tuduhan penistaan agama pada Kamis (06/10).

Sementara Sekretaris Jenderal DPP FPI, Habib Novel Chaidir Hasan, juga sudah melaporkan Ahok atas tuduhan menghina agama ke Bareskrim Polri.

Ahok dilaporkan berdasarkan Pasal 156 a KUHP Jo pasal 28 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Keterangan gambar,

Populi Center mengatakan bahwa sekitar 42,5% pemilih beragama Islam memilih pasangan Ahok-Djarot.

Bukan hanya MUI Sumsel, MUI Pusat juga berencana akan ikut melaporkan Ahok ke Bareskrim, begitu juga dengan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.

Kontroversi surat Al Maidah ini juga mencuat setelah kelompok yang menamakan diri Advokat Cinta Tanah Air melaporkan Ahok ke Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta pada 27 September lalu karena gubernur petahana tersebut dianggap tidak bisa menafsirkan Al Maidah karena merupakan non-Muslim.

Terhadap berbagai aksi pelaporan ini, salah satu juru bicara tim sukses Ahok-Djarot, Sarifuddin Sudding mengatakan, "Masyarakat akan bisa memberikan penilaian, apalagi kalau kita mendengar secara utuh apa yang disampaikan Pak Ahok, saya rasa tidak ada yang salah, dari masyarakat saya rasa bukti-bukti nyata, kinerja, yang akan dilihat."

Sudding menambahkan isu iitu tidak akan banyak membawa pengaruh.

"Karena orang Jakarta sudah cerdas, akan melihat dari sisi kinerja, bagaimana yang sudah dilakukan yang bersangkutan, sehingga kita tidak akan menguras energi untuk memberi tanggapan pada hal yang seperti itu".

Ketika ditanya soal laporan yang diajukan polisi, Sudding mengatakan, polisi 'tidak akan serta-merta menindaklanjuti jika tidak cukup bukti'.

Pendapat Sudding soal pemilih ini dibenarkan oleh Nona Evita, peneliti dari Populi Center.

Lembaga polling ini pada Kamis (06/10) lalu baru mengeluarkan laporan terbaru yang menyatakan bahwa sekitar 42,5% pemilih DKI Jakarta tidak menghiraukan isu SARA. Menurut Nona, salah satu pertanyaan yang diajukan pada 600 responden adalah apakah mereka yang beragama Islam akan memilih calon pemimpin non-Islam.

Hasilnya, masyarakat penganut agama Islam paling banyak memilih pasangan Ahok-Djarot.

"Mereka lebih mementingkan tiga hal, pengalaman, bersih dari korupsi dan tegas," ujar Nona.

Perkembangan soal isu Ahok yang dituduh menghina agama terjadi setelah masa survei selesai, sehingga Nona mengatakan mereka tak bisa menjawab secara pasti seberapa besar isu ini akan berdampak pada pemilih, meski perkembangan terhadap tuduhan Ahok menghina agaima akan tetap mereka pantau dalam putaran survei selanjutnya.

"Efek sementara mungkin berpengaruh, tapi akan runtuh kalau misalnya akan ada kampanye terbuka, debat terbuka. Jika nanti sudah kampanye terbuka, tidak akan ada lagi (pembahasan) isu (pelecehan Al Quran) ini," ujar Nona.