Al- Adil berhasil menguasai beberapa daerah sehingga beliau menjadi penguasa tunggal dan bergelar

PERKEMBANGAN ISLAM MASA DINASTI AYYUBIYAH A. PROSES BERDIRINYA DINASTI AYYUBIYAH Ayubiyah (569 H/1174 M - 650 H/1252 M) pusat pemerintahan Dinasti Ayubiyah adalah Cairo, Mesir. Wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Mesir, Suriah dan Yaman. Dinasti Ayubiyah didirikan Salahudin Yusuf al-Ayyubi, setelah menaklukan khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah, al-Adid. Salahudin berhasil menaklukan daerah Islam lainnya dan pasukan salib. Selain dikenal sebagai panglima perang, Salahudin juga mendorong kemajuan di bidang agama dan pendidikan. Berakhirnya masa pemerintahan Ayubiyah ditandai dengan meninggalnya Malik al-Asyraf Muzaffaruddin, sultan terakhir dan berkuasanya Dinasti Mamluk. Peninggalan Ayubiyah adalah Benteng Qal'ah al-Jabal di Cairo, Mesir. Ayyubiyah adalah sebuah dinasti berlatarbelakang Sunni yang berkuasa di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekah, Hijaz, dan Diyarbakir (wilayah tenggara Turki). Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi. Penamaan al-Ayyubiyah dinisbatkan kepada nama belakangnya AL-Ayyubi, diambil dari nama kakeknya yang bemama Ayyub. Nama besar dinasti mi diperoleh sejak Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berhasil mendirikan kesultanan yang bermazhab Sunni, menggantikan kesultanan Fatimiyah yang bermazhab Syi'ah. Salahuddin al-Ayyubi memulai karir politik ketika usianya masih muda. Ayahnya sendiri yang bernama Najmuddin bin Ayyub menjabat sebagai kômandan pasukan di kota Ba'labak (sebelah utara Suriah). Najmuddin bin Ayyub ditunjuk menjadi komandan oleh Nuruddin Zanki, panglima militer yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1164 M, Salahuddin al-Ayyubi mengikuti ekspedisi pamannyá, Asaduddin Syirkuh ke Mesir. Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1169 M, Salahuddin al- Ayyubi diangkat menjadi wazir (gubernur) oleh penguasa Dinasti Fatimiyah dalam usia 32 tahun. la menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh, yang wafat setelah dua bulan menjabat sebagai wazir. Sebagai Perdana Menteri, Salahuddin dianugerahi gelar AlMalik an-Nasir artinya 'penguasa yang bijaksana'. Setelah Al-Adid (Khalifah Dinasti Faimiyah yang terakhir) wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin alAyyubi mulai menjalankan kekuasaan keagamaan maupun politiknya secara penuh. Semenjak saat itu, Dinasti Ayyubiyah berkuasa hingga sekitar 75 tahun !amanya. Setelah Salahuddin menguasai Dinasti Fatimiyah, ia menghapus kebiasaan mendoakan khalifah Faimiyah dalam khutbah Jurnat. Tradisi itu digantinya dengan mendoakan khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu AI-Mustaç!i yang berkuasa sejak 566 H/i 170 M hingga 575H/1 180M. Namun demikian, ia tidak menghalangi rakyatnya yang ikut faham Syi'ah. Sejak Dinasti Ayyubiyah berkuasa di Mesir bulan Mei táhun 1175M, Al-Mustadi memberikan beberapa daerah seperti Yaman, Palestina, Suriah Tengah, dan Magribi kepada Salahuddin. Dengan demikian, ia mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah. Selama sam dasawarsa (10 tahun) kepemimpinannya kemudian, Salahuddin berhasil menaklukkan Mesopotamia (wilayah di sekitar Irak dan Iran sekarang). la berhasil mengangkat para penguasa setempat menjadi pemimpinnya. Dinasti Ayyubiyah berkuasa sekitar 75 tahun. Tercatat 9 orang khalifah yang pemah menjadi penguasa, yaitu sebagai berikut: 1. SalahuddinYusuf al-Ayyubi.(564-589 HI 117 1-1193 M); 2. Malik al-Aziz Imaduddin (589-596 H/1193-1198 M); 3. Malik al-Mansur Nasiruddin (595-596 HI (1198-1200 M); 4. Malik al-Adil Saifuddin (596-615 H/1200-1218 M); 5. Málik al-Kamil Muhammad (615-635 H/ 1218-1238 M); 6. Malik al-Adil Saifuddin (635-637 H/ 1238-1240 M); 7. Malik as-Saleh Najmuddin (637-647 HI 1240-1249 M); 8. Malik al-Mu'azzam Turansyah (647 H! 1249-1250 M); 9. Malik al-AsyrafMuzaffaruddm (647-650 HI 1250-1252 M). Di antara kesembilan khalifah tersebut, terdapat beberapa penguasa yang menonjol, yaitu: Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (1171-1193 M), Malik al-Adil Saifuddin (1200-1218 M), dan Malik al-Kamil Muhammad (1218-1238 M). 1. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (1171-1193 M) Siapa yang tak mengenal Salahuddin al-Ayubi (1138-1193) Nama lengkapnya, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi Abdul Muzaffar Yusuf bin Najmuddin bin Ayyub. la berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) dari kampung halamannya (dekat Danau Fan) ke daerah Tikrit, Irak. Salahuddin lahir di benteng Tikrit tahun 532 H/i 137 M, tepat ketika ayahnya menjadi pemimpin Benteng Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, Gubernur Seljuk untuk kota Mosul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek (di Lebanon) tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Salahuddin) diangkat menjadi Gubernur Balbek oleh Sultan Suriah bernama Nuruddin Mahmud. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi panglima perang Muslim yang berhasil merebut Kota Yerusalem pada Perang Salib itu tak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga peradaban Barat. Sosoknya begitu memesona. Ia adalah pemimpin yang dihormati kawan dan dikagumi lawan. Pada akhir 1169 M, Salahuddin mendirikan sebuah kerajaan Islam bernama Ayyubiyah. Di era keemasannya, dinasti ini menguasai wilayah Mesir, Damaskus, Aleppo, Diyarbakr, serta Yaman. Para penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa kecilnya, Salahuddin dididik ayahnya untuk menguasai sastra, ilmu kalam, menghafal Al-Quran dan Ilmu Hadis di madrasah. Dalam buku-buku sejarah dituturkän bahwa cita-cita awal Salahuddiri ialah menjadi orang yang ahli agama Islam (ulama). la senang berdiskusi tentang Ilmu Kalam, Al-Quran, fikih, clan Hadis. Karakter kuat Salahuddin sudah terlihat semenjak masa kecilnya. Ia memiliki sikap yang rendah hati, santun, dan penuh belas kasih. Dia tumbuh di lingkungan keluarga agamis tetapi juga kesatria. Selain mempelajari ilmuilmu agama, Salahuddin mengisi masa mudanya. dengan menekuni teknik perang, strategi perang, dan dunia politik. la pernah melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk menekuni teologi Sunni. Proses tersebut berlangsung selama sepuluh tahun di lingkungan istana Nuruddin Mahmud. Dunia kemiliteran semakin diakrabinya setelah Sultan Nuruddin menempatkan ayahnya sebagai kepala divisi militer di Damaskus. Pada umur 26 tahun, Salahuddin sudah bergabung dengan pasukan pamannya, Asaduddin Syirkuh. Ketika itu, Gubernur Suriah (Nuruddin Zanki) menugaskan Syirkuh memimpin pasukan Muslimin ke Mesir, sekaligus 8 l Pendalaman Materi Sejarah Kebudayaan Islam membantu Perdana Menteri Syawar (masa Dinasti Faimiyah) untuk menghadapi pemberontak Dirgam. Misi tersebut berhasil sehingga Syawar kembali menjabat sebagai perdana menteri tahun 560 H/1164 M. Pada tahun 1169, Salahuddin diangkat sebagai panglima menggantikan pamannya yang meninggal dunia. Salahuddin semakin menunjukkan kepiawaiannya sebagai pemimpin. la mampu mengerahkan clan mengorganisasi pasukannya serta memperkuat pertahanan di Mesir, terutama untuk menghadapi kemungkinan serbuan balatentara Salib. Serangan pasukan Salib ke Mesir berkali-kali mampu dipatahkannya. Impian bersatunya kaum Muslim pun tercapai pada September 1174, Salahuddin berhasil menundukkan Dinasti Fatithiyah di Mesir untuk patuh pada kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Dinasti Ay ubiyah akhirnya berdiri di Mesir rnenggantikan dinasti sebelumnya yang bermazhab Syi'ah. Keberhasilan Salahuddin dalam memimpin Mesir membuat Nuruddin Zanki merasa khawatir tersaingi. Akibatnya, hubungan mereka memburuk. Tahun 1175 Nuruddin mengirimkan pasukan untuk menaklukan Mesir. Tetapi gagal karena ia meninggal saat armadanya sedang dalam perjalanan. Tampuk kekuasaan diserahkan kepada putranya yang masih sangat muda. Salahuddin pernah berangkat ke Damaskus untuk mengucapkan bela sungkawa. Kedatangannya tersebut banyak disambut dan dielu-elukan di Damaskus. Akhirnya, tiga tahun kemudian raja muda tersebut sakit dan meninggal dunia pula. Posisinya langsung digantikan oleh Salahuddin yang sudah dikenal umat Islam secara luas. la diangkat menjadi khalifah di Suriah dan Mesir. Pergantian kekhalifahan itu sendiri dilakukan Salahuddin dengan cara yang sangat terhorrnat. la menikahi janda mendiang Sultan demi menghormati keluarga dinasti sebelumnya. la memulai kepemimpinannya dengan menghidupkan kembali roda perekonomian, menata kembali sistem militer, dan menaklukan negara-negara Muslim kecil agar bersatu melawan pasukan Salib. Impian bersatunya bangsa Muslim tercapai setelah September 1174, Salahuddin berhasil menundukkan Dinasti Fatimiyah di Mesir agar patuh pada khalifah Abbasiyah di Baghdad. Dinasti Ayyubiyah akhirnya berdiri di Mesir menggantikan Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi'ah. Berikut karekter yang dimiliki Salahuddin al-Ayyubi yang sangat kharismatik dan kepandaiannya: a. Kepemimpinan Salahuddin merupakan salah seorang sultan yang memiliki kemanipuan mernimpin yang luar biasa. la mengangkat orang-orang cerdas dan terdidik sebagai pembantunya (wazir), seperti Al-Qacli al-Faclil dan Al- Katib alIfahãni, termasuk sekretaris pribadinya bemama Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal sebagai penulis biografinya. Salahuddin al-Ayyubi juga tidak membuat kekuasaan menjadi terpusat di Mesir. la membagi wilayah kekuasaannya kepada saudara dan keturunannya. Di masanya lahir beberapa kesultanan kecil Dinasti Ayyubiyah seperti Mesir, Damaskus, Aleppo, Harnah, Horns, Mayyafaiqin, Sinjar, Kayfa, Yaman, dan Kerak. Dalarn kegiatan perekonornian, Salahuddin bekerja sama dengan penguasa Muslim di wilayah lain. la menggalakan perdaganggan dengan kota-kota di sekitar Laut Tengah dan LautHindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan. Selain itu, Salahuddin dianggap sebagai tokoh pembaru di Mesir karena dapat mengembalikannya ke mazhab Sunni. Khalifah Al-Mustadi dari Dinasti Abbasiyah pernah memberi gelar AlMu'iz li Amiral-Mu'rninin (penguasa yang mulia) karena keberhasilannya itu. AlMustadi juga menyerahkan Mesir, Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah, dan Magrib sebagai wilayah kekuasaan Salahuddin pada tahun 1175 M. Semenjak saat itulah ia dianggap sebagai Sultan al-Islam wa al-Muslimin (pernimpin umat Islam dan kaum Muslimin). b. Keperwiraan Salahuddin al-Ayyubi dikenal sebagai perwira militer yang memiliki kecerdasan tinggi. Pada masa pemerintahannya, kekuatan militer Dinasti Ayyubiyah terkenal sangat tangguh, diperkuat pula oleh pasukan Barbar di Turki dan Afrika. la membangun tembok kota di Kairo dan bukit muqattam sebagai benteng pertahanan. Salah satu kárya bersejarahnya selama menjadi sultan adalah berupa benteng pertahanan bernama Qal'atul Jabal, yang dibangunnya pada tahun 1183 M di Kairo. Kehidupan Salahuddin al-Ayyubi penuh dengan perjuangan menunaikan tugas negara dan agarna. Perang yang dilakukannya sepenuhnya bertujuan mernbela negara dan agama. la rnerupakan seorang ksatria dan memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Ketika menguasai Iskandariyah, Salahuddin tetap mengunjungi orang-orang Kristen. Pada saat perdamaian tercapai dengan tentara Salib, ia mengijinkan orang Kristen berziarah ke Baitul Makdis. Sebagai khalifah pertama Dinasti Ayyubiyah, Salahuddin berusaha menyatukan seluruh provinsi Arab, terutama di Mesir dan Syam di bawah satu kekuasaan. Namun usahanya mi banyak mendapat tantangan dari penguasa yang merasa kedudukaimya terancam karena kepemimpinan Salahuddin. Untuk menghadapi hal tersebut, ia melakukan berbagai upaya antara lain: 1) Memadamkan pemberontakan oleh Hajib, orang yang paling dituakan dalam keluarga AlAdid (khalifah terakhir Dinasti Fatimiyyah), sekaligus perluasan wilayah Mesir sampai ke selatan Nubiah (568 H/i 173 M); 2) Perluasan wilayah Dinasti Ayyubiyah ke Yaman (569 H/1173 M); 3) Perluasan wilayah Dinasti Ayyubiyah ke Damaskus dan Mosul (570 H/1175 M). Usaha-usaha yang dilakukan Salahuddin tersebut menuai basil yang gemilang. la mampu menyatukan Mesir, Suriah, Nubah, Yaman, Tripoli, dan wilayah lainnya di bawah komändo Ayyubiyah. Tujuannya agar persatuan umat Islam menjadi kuat dalam melawan gempuran tentara Salib. Perang Salib yang terjadi pada masa Salahuddin merupakan Perang Salib periode kedua. Perang tersebut berlangsung sekitar tahun 1144 hingga 1192 M. Periode mi disebut, juga periode reaksi umat Islam. Tujuan utamanya adalah membebaskan kembali Baitul Maqdis (AL-Aqa). Peristiwa perang terpenting yang telah dilalui oleh Salahuddin al-Ayyubi antara lain: 1) Pertempuran Safuriyah (583 H/1187 M); 2) Pertempuran Hittin (bulan Juli 583 11/1187 M); 3) Pembebasan Al-Quds/Baitul Maqdis (27 Rajab 583 H/i 187 M). Kehadiran Salahuddin dalam perang Salib merupakan anugerah. Strategi yang dikembangkannya mampu menyatukan umat Islam dalam membela agamanya. Salahuddin dapat disebut sebagai pahiawan besar bagi umat Islam. Kecintaannya terhadap agama dan umat begitu tulus. Hampir seluruh kehidupannya dikorbankan untuk menegakkan kedaulatan negara dan umat Islam. Keperwiraan Salahuddin terukir dalam sejarah, tidak hanya diakui oleh kaum Muslimin tetapi juga oleh umat Kristen. Tak heran jika kota-kota Islam yang dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat intelektual. Di puncak kejayaannya, beragam jenis sekolah dibangun di seluruh wilayah kekuasaan dinasti itu. Madrasahmadrasah itu dibangun tak hanya sekadar untuk membangkitkan dunia pendidikan, tetapi juga memopulerkan pengetahuan tentang mazhab Sunni. Menurut Ibnu Jabir, di masa kepemimpinan Salahuddin, di Kota Damaskus berdiri sebanyak 20 sekolah, 100 tempat pemandian, dan sejumlah tempat berkumpulnya para sufi. Bangunan madrasah juga didirikan di berbagai kota, seperti Aleppo, Yerusalem, Kairo, Alexandria, dan di berbagai kota lainnya di Hijaz. Sejumlah sekolah juga dibangun oleh para penerus takhta kerajaan Ayyubiyah. “Istri-istri dan anak-anak perempuan penguasa Ayyubiyah, komandan, dan orangorang terkemuka di dinasti itu mendirikan dan membiayai lembaga-lembaga pendidikan,’’ ujar Abdul Ali dalam Islamic Dynasties of the Arab East: State and Civilization During the Later Medieval Times. Meski Dinasti Ayyubiyah menganut mazhab fikih Syafi’i, mereka mendirikan madrasah yang mengajarkan keempat mazhab fikih. Sebelum Ayyubiyah menguasai Suriah, di wilayah itu tak ditemukan sama sekali madrasah yang mengajarkan fikih mazhab Hanbali dan Maliki. Setelah Ayyubiyah berkuasa di kawasan itu, sejarawan Ibnu Shaddad menemukan 40 madrasah Syafi’i, 34 Hanafi, 10 Hanbali, dan tiga Maliki. Salah satu madrasah yang dibangun pada era Dinasti Ayyubiyah adalah Madrasah Adiliyyah di Suriah. Madrasah ini terletak di Bab Al-Bareed, sebelah kanan sekolah AlZahiriyah di Damaskus, Suriah. Madrasah Adiliyyah berada di kawasan Pasar Hamidiyyah. Di kompleks itu, juga terdapat Madrasah Jaqmasiyyah dan Hammam (ruang mandi) Al-Malik AzZahir. Madrasah Adiliyyah dibangun oleh Raja al-Adil Sayf al-Din Abu Bakar Muhammad bin Ayub atau Sultan al-Adil I pada 1215 M. Madrasah ini merupakan pengganti madrasah Nuriyah al Kubra yang dibangun, tetapi tak sempat diselesaikan. Selain sebagai tempat menuntut ilmu, madrasah Nuriyah juga dijadikan sebagai pemakaman oleh pendirinya, Nuruddin. Pembangunan Madrasah Adiliyyah diselesaikan oleh putra Sultan al-Adil bernama alMu’azzam. “Madrasah ini merupakan salah satu contoh penting dari arsitektur Ayyubiyah di Suriah,’’ tulis laman arsitektur Archnet. Berdasarkan pertimbangan stabilitas politik Dinasti Ayyubiyah, Shalahuddin menempuh kebijaksanaan menunjuk anak dan saudaranya sebagai penggantinya dan sebagai penguasa di wilayah kekuasaan Ayyubiyah yang lain. Selain itu, ia juga mengandalkan kaum kerabat dan orang-orang yang tulus dalam membantunya. Dalam memilih mereka, Shalahuddin selalu berpegang kepada pertimbangan rasional, sampaisampai ia pernah memecat putranya al-Malik azhZhahir Ghazi, sebagai gubernur Aleppo dan menyerahkannya kepada saudaranya al-Adil, ketika kepentingan negara menuntut hal tersebut. Ketika berhasil merangkul suatu wilayah Islam, ia tetap mempertahankan pemerintahannya apabila mereka setuju untuk menjadi subordinasinya dan mau melaksanakan kebijakannya dalam rangka mencapai berbagai tujuannya, bahkan berbagai tujuan Islam secara umum. Orang yang menolak, maka ia membiarkannya pergi kemana ia suka. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dalam menjalin kesepahaman dengan mereka. Apabila salah seorang gubernur membelot dari pemerintahannya, ia pun menutup mata dari berbagai kesalahannya, menghadapinya dengan wajah manis dan tetap menghormatinya. Seperti yang dilakukannya terhadap Taqiyuddin Umar saat hendak membangkang terhadapnya dan bermaksud pergi ke Maghribi karena dia telah dipecat dari jabatannya sebagai Gubernur Mesir. Dalam menunjuk dan memecat para pejabatnya dia selalu memperhatikan kepentingan umum di samping pertimbangan kondisi politik dan militer bagi negara. Kebijakan politiknya bercirikan keadilan dan kerendahan hati, tidak menyinggung perasaan seorang pun, tidak berlaku angkuh kepada siapapun, dan tidak arogan terhadap seorangpun, karena sikap otoriter bukanlah tabiatnya. Cara demikian ini diikuti oleh seluruh penguasa, namun prinsip senioritas kepemimpinan bangsa Arab yang telah lama berlaku tidak dapat menerima sistem suksesi secara turun-temurun. Selanjutnya sistem ini menimbulkan konflik dan intrik di kalangan istana. Pada usia 45 tahun, Salahuddin telah menjadi orang paling berpengaruh di dunia Islam. Selama kurun waktu 12 tahun, ia berhasil mempersatukan Mesopotamia, Mesir, Libya, Tunisia, wilayah barat jazirah Arab dan Yaman di bawah kekhalifahan Ayyubiyah. Kota Damasküs di Syria dijadikan sebagai pusat pemerintahannya. Salahuddin meninggal di Damaskus pada tahun 1193 M dalam usia 57 tahun. 2. Malik al-Adji Saifuddin (596-615 H /1200-1218 M) la lebih sering dipanggil Al-Adil. Nama lengkapnyaAl-Malik al-Adil SaifuddinAbu Bakar bin Ayyub, putra Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara müda Salahuddin Yusuf al- Ayyubi. Al-Adil menjadi penguasa ke-4 Dinasti Ayyubiyah. Pemerintahannya berlangsung tahun 596 H11200 M hingga 615 H11218 M dan berkedudukan di Damaskus. la menjadi Sultan menggantikan AL-Afdal yang tewas dalam peperangan. Al-Adil merupakan seorang pënguasa yang berbakat, efektif, dan bijaksana. Prestasi yang diraihnya selama berkuasa antara lain: a. Tahun 1168 - 1169 M, mengikuti Syirkuh (pamannya) melakukan ekspansi militer ke Mesir; b. Tahun 1174 M, menguasai Mesir atas nama Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang saat itu mengebangkan pemerintahan di Damaskus; c. Tahun 1169 M, dapat memadamkan pemberontakan orang-orang Kristen Koptik di wilayah Qift, Mesir; d. Tahun 1186-1195 M, kembali ke Mesir untuk memerangi pasukan Salib; e. Tahun 1192-1193 M, menjadi gubernur di wilayah utara Mesir; f. Tahun 1193 M, menghadapai pemberontakan Izzuddin di Mosul; f. Menjadi gubernur Syiria (sekarang Suriah) dengan ibu kota Damaskus (Damsyik atau Syam); g. Menjadi Sultan di Damaskus. 3. Malik al-Kamil Muhammad (1218-1238 M) Nama lengkapnya adalah Al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu Al-Ma'ali Muhammad. Al- Kamil merupakan putra dan Al-Adil. Pada tahun 1218, ia memimpin pertahanan menghadapi pasukan Salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta). Dia menjadi Sultan setelah ayahnya wafat. Pada tahun 1219, Al-Kamil hampir kehilangan tahta karena persekongkolan kaum Kristen Koptik. la mengungsi ke Yaman untuk menghindari kômplotan tersebut. Persekongkolan itu berhasil dipadamkan bersama saudaranya bernama Al-Mu'azzam yang menj abat sebagai Gubernur Suriah. Pada bulan Februari 1229 M, Al-Kamil menyepakati gencatan senjata selama 10 tahun dengan Frederick II, yang berisi antara lain: a. la mengembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan Salib; b. Kaum Muslimin dan Yahudi dilarang memasuki kota itu kecuali di sekitar Masjid al-Aqsa dan Masj id Umar. Selain itu, beberapa peristiwa penting yang dialami Al-Malik al-Kamil, antara lain: a. Menjadi Sultan Dinasti Ayyubiyah pada tahun 1218 M, menggantikan AlAdil yang meninggal; b. Pada tahun 1219M, kota Dimyat j atuh ke tangan orang-orang Kristen; c. Al-Kamil telah beberapa kali menawarkan perdamaian dengan pasukan Salib berupa perjanjian damai, tetapi dengan imbalan mengembalikan Yerussalem kepada pasukan Salib; d. Membangun kembali tembok di Yerussalem yang dirobohkan oleh AlMu'azzam, saudaranya sendiri. e. Mengembalikan salib ash yang dulu terpasang di kubah Baitul Maqdis kepada orang Kristen; Al-Kamil meninggal dunia path tahun 1238 M Kedudukannya sebagai sultan digantikan oleh Salih Al-Ayyubi. B. KEBUDAYAAN ISLAM PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH Kebudayaan Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah tak luput dari pendiri dinasti tersebut yaitu Salahudin al-Ayyubi. Berikut beberapa berbagai sisi dari Dinasti Ayyubiyah: 1. Situasi Politik Keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 565 H/6661 M. Ia tetap mempertahankan lembaga– lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi‟ah menjadi Sunni. Penaklukan atas Mesir oleh Shalahuddin pada tahun 565 H/6656 M, membuka jalan politik bagi pembentukan madzhabmadzhab hukum Sunni di Mesir. Madzhab Syafi‟i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya Shalahuddin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Sebelumnya, Shalahuddin masih menghormati simbol-simbol Syi‟ah pada pemerintahan al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal (565 H/6656 M), Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadhi) di Baghdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo. Jatuhnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi‟ah. Salah satu penyebaran faham Syi‟ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik Syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahuddin mengubah masjid Al-Azhar menjadi madrasah agama yang mengajarkan mazhab Sunni. Shalahuddin juga mendirikan sekolah-sekolah dan zawiyahzawiyah dan memberikan perhatian kepada mazhab Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT, Serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat masjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Kesultanan yang telah dibangun oleh Shalahuddin dari Tigris sampai ke Nil telah dibagi-bagikan kepada beberapa ahli warisnya. Sayangnya, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mewarisi kepandaiannya. Pada mulanya, anaknya, al-Malik al-Afdhal menggantikan tahta ayahnya di Damaskus, al-Aziz meneruskan kekuasaan di Kairo, al-Zahir mewarisi tahta di Aleppo dan saudara bungsu sekaligus orang kepercayaan Shalahuddin yakni al-Adil mewarisi kekuasaan di Karak dan Syubak. Pada tahun 511 H/6616 M, al-’Adil memanfaatkan perselisihan antara keponakan-keponaknnya untuk mengambil kedaulatan atas Mesir dan sebagian besar Suriah untuk dirinya sendiri. Antara tahun 6616 M dan 6611 M, al-’Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-’Adil yang bergelar Saifuddin itu mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Pada tahun 516 H/6111 M, al-Adil mengangkat anaknya sebagai gubernur Mesopotamia Setelah al-Adil wafat pada tahun 664 H/6169 M, Dinasti Ayyubiyahditeruskan oleh keturunan al-Adil yang memerintah di Mesir, Damaskus dan Mesopota mia. Beberapa penguasa lain yang masih berasal dari keluarga Ayyubiyah, memerintah di Emessa, Hamah, dan Yaman. Dinasti Ayyubiyah di Mesir merupakan keturunan utama dan sering berselisih dengan saudara mereka yang lain, yakni keluarga Ayyubiyah di Damaskus yang memperebutkan kedaulatan atas Suriah. Rangkaian perselisihan yang terjadi dalam dinasti Ayyubiyah tidak hanya membuat Islam kehilangan kekuatannya untuk melakukan serangan, tetapi satu demi satu daerah taklukan Shalahuddin seperti Beirut, Safawi, Tiberias, Askalon bahkan Yerussalem jatuh ketangan orang Franka pada tahun 615 H/6111 M. Dalam hubungannya dengan kaum Franka, masingmasing anggota keluarga Ayyubiyah memilih berdamai dengan mereka. Di periode Ayyubiyah inilah kaum Franka mencapai integrasi penuh sebagai penguasa lokal di kawasan Mediterania Timur. Para penguasa Ayyubiyah beraliansi dengan mereka, atau berperang baik melawan mereka dan di pihak merek (Hillenbrand, 2003: 144.) Perjanjian pertama antara orang Franka dan pribumi, setelah Shalahuddin wafat, berlangsung di Mesir di bawah pimpinan al-Kamil (61696139 M). Al-Kamil adalah seorang pemimpin Mesir yang menggantikan ayahnya, al-Adil yang telah menjadi pemimpin utama Dinasti Ayyubiyah, dan menerima upeti dalam jumlah tertentu dari Suriah. Usaha pertamanya adalah membersihkan wilayahnya dari tentara salib yang mendarat sesaat sebelum kematian ayahnya di dekat Dimyat. Dan pada tahun berikutnya mereka telah menduduki kota itu. Serangan ke Mesir ini berhasil dilakukan berkat dukungan penting dari republik maritim Italia. Mereka juga beranggapan bahwa pusat kekuasan Islam telah beralih dari Suriah ke Mesir. Menurut mereka, penaklukan Mesir akan membuka jalan untuk berlayar menuju Laut Merah, dan ikut serta dalam perdagangan yang menguntungkan di perairan Samudera Hindia. Setelah hampir dua tahun berada dalam perselisihan (November 6161 M - Agustus 6116 M), al-Kamil memaksa orang Franka untuk meninggalkan Dimyat, serta memberi jalan yang bebas dan gratis bagi mereka.6 Pada tahun 6111 M, dalam suatu perjanjian yang curang, Yerussalem diputuskan untuk diserahkan kepada Frederick, juga daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Akka, dengan jaminan bahwa al-Kamil akan menerima bantuan dari Frederick untuk melawan musuh, yang kebanyakan dari mereka adalah keluarga Ayyubiyah. Ini merupakan perjanjian luarbiasa antara pihak Kristen dengan Islam. Yerussalem tetap berada di bawah kekuasaan bangsa Franka sampai tahun 6144 M. Pada tahun 6141 M, penguasa Ayyubiyah, al-Shalih Ismail menyerahkan sejumlah kastil di Galilee dan Lebanon Selatan yag telah ditaklukkan Shalahuddin kepada kaum Franka. Al-Shalih Ismail berinisiatif melakukan hal ini karena ingin mendapatkan bantuan dari kaum Franka untuk melawan keponakannya al-Shalih Ayyub. Para penguasa Ayyubiyah berusaha keras membina hubungan komersial dengan negara-negara maritim Italia untuk mendapatkan uang dan perdamain. Para penguasa Ayyubiyah memperoleh kekayaan berlimpah dari pelabuhan-pelabuhan di kawasan Mediterania Timur, seperti Jaffa, Acre, dan Tirus. Mereka khawatir setiap gangguan serius terhadap kedamaian di kawasan Mediterania Timur dapat memprovokasi kaum Barat Eropa untuk kembali melancarkan Perang Salib berikutnya. Oleh karena itu mereka lebih memilih berdamai dengan kaum Franka daripada berkonfrontasi. Hal ini tampak ketika al-Kamil lebih memilih melakukan perjanjan dengan kaum Franka (669 H/6116 M), daripada menaklukkan Dimyat. Penulis sejarah masa itu, ibn Washil, mengatakan bahwa al-Kamil mengetahui jika raja-raja di Eropa dan Paus mendengar terjadi agresi terhadap kelompok mereka, maka mereka akan mengirimkan balatentara kaum Franka secara besar-besaran untuk menyerang Mesir. Dengan demikian, para penguasa Ayyubiyah membiarkan semangat emosional yang mencapai puncaknya dengan penaklukan Yerussalem mengendur melalui perjanjian dengan kaum Franka, dan pada saat khotbahkhotbah keagamaan masih sangat giat membicarakan jihad, diskursus Islam ini menjadi kurang berhubungan dengan realitas politik pada periode Ayyubiyah (Hillenbrand, 2003144145) 2. Situasi Ekonomi Pada masa pemerintahan Shalahuddin, Dinasti Ayyubiyah menikmati kelapangan ekonomi dan kehidupan sejahtera, karena waktu itu pintu-pintu pemasukan banyak dan sumber-sumber ekonomi beragam. Sumber-sumber tesebut antara lain sebagai berikut: a. Menguasai seluruh simpanan kekayaan yang pernah dimiliki keluarga Dinasti b. Fatimiyah setelah Mesir berada di bawah kekuasaannya. c. Sumber Income dari Jizyah yang diberlakukan kepada golongan non Muslim. d. Sumber income dari fidyah (tebusan) yang ditarik dari para tawanan. e. Sumber-sumber yang berasal dari harta ghanimah (rampasan) yang dihasilkan f. melalui peperangan. g. Sumber-sumber pemasukan dari kharaj (pajak) yang diambil dari para tuan tanah di daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan secara damai. Shalahuddin bukanlah termasuk di antara para sultan yang sering membelanjakan harta benda diluar peruntukannya atau menempatkannya pada bukan tempatnya. Akan tetapi dia membelanjakannya di jalan Allah, mendirikan benteng-benteng, membangun pertahanan dan merenovasi berbagai bangunan, serta membagun setiap proyek yang dapat mendatangkan keuntungan bagi negara. a) Kondisi pertanian Mesir adalah negara agraris. Di sana mengalir sungai Nil. Rakyatnya adalah para petani yang senang menggarap tanah dan bertani. Salah satu bentuk perhatian Sultan Shalahuddin terhadap pertanian adalah membangun irigasi, membuat kanal, dan meratakan jalan-jalan. Ia juga memberikan dukungan dan perhatian terhadap kondisi para petani. Namun pemerintahan Shalahuddin yang terlalu mengandalkan pertanian dengan air limpahan, pada awalnya menyebabkan pengaruh yang buruk bagi kondisi ekonomi Mesir. Penyebabnya adalah irigasi dan mata-mata air yang ada tidak cukup untuk mengairi ladang-ladang pertanian. Oleh karena itu tidak aneh jika terjadi kelaparan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi karena kekurangan air. Adapun penyebab dari kekurangan yang diciptakan oleh Sultan Shalahuddin ketika itu adalah karena Ia membagi-bagikan tanah kepada anak-anaknya. Dengan kata lain, Ia menggunakan sistem feodalisme, sehingga para petani baginya hanya menjadi pembantu dan hamba sahaya. Hal ini menyebabkan para sultan Dinasti Ayyubiyah memberikan perhatian untuk menyediakan kecukupan sumber-sumber air bagi para petani. Akibatnya tidak terjadi lagi kekurangan air yang menyebabkan sulitnya kondisi ekonomi Mesir. b) Kondisi perdagangan dan industri Sultan Nuruddin Zenki berusaha menyatukan dua negara, yakni antara Syam dan Mesir. Shalahuddin pun menyambut ajakan itu karena Shalahuddin adalah penguasa Mesir berdasarkan pengangkatan Nuruddin. Oleh karena itu, hubungan perdagangan antara kedua negara menjadi semakin kuat. Keadaan yang demikian ini tentu sangat positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik. Mesir mengekspor barang-barang tenunan, karpet, kulit, dan kayu ke Syam, sedangkan Syam mengimpor kurma, buah-buahan, sutra, dan beberapa macam bejana keramik, serta tembaga (Al-Shayim 2003: 70) Perdagangan antara kedua negara semakin membaik ketika Karnak dan beberapa pusat perdagangan yang sebelumnya dipegang oleh pasukan Salib dapat dikuasai. Sebelumnya, di tempat itu pasukan Salib sering merampok dan merampas barangbarang dagangan kaum muslimin. Ketika jalan-jalan perdagangan telah diamankan, maka perdagangan semakin berkembang antara kaum muslimin dan beberapa negaranegara Eropa. Dalam bidang industri, saat itu berkembang beberapa industri kecil seperti penyamakan kulit serta penyulingan minyak zaitun dan minyak simsim. Selain itu berkembang pula industri sabun dan tenunan. Dengan perkembangan itu, maka beberapa kota menjadi terkenal dengan industrinya, seperti Akhmim di Shaid, Dimyat di Wajhil-Bahri, dan Bahnisa di Mesir bagian Tengah. c) Kondisi kehidupan sosial Daulah Abbasiyah, beserta raja, khalifah, dan para amirnya terkenal sebagai pemerintahan yang boros dan berlebihan. Demikian juga halnya para khalifah dan amir Daulah Fatimiyah yang mengadakan banyak perayaan peringatan keagamaan, maulid, dan berbagai acara. Dalam acara-acara tersebut, mereka selalu mengadakan jamuan makan bagi masyarakat umum. Pada masa Daulah Ayyubiyah kondisi social masyarakatnya adalah kebalikan dari semua itu. Hal itu karena Sultan Shalahuddin mencurahkan seluruh perhatiannya untuk berjihad, sehingga sebagian besar kekayaan negara dipergunakan untuk membeli dan memproduksi alat perang dan perbekalan tentara. Hal ini lebih terlihat ketika Shalahuddin memegang kekuasaan di Mesir, saat itu pasukan Salib yang kuat sudah berada di perbatasan Syam, dan bersiap-siap untuk menduduki kota Iskandariyah dan Dimyat. Walaupun Shalahuddin tetap memenuhi keinginan masyarakat untuk mengadakan acara-acara sosial atau peringatan keagamaan, namun biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut sangat terbatas karena sebagian besar kekayaan negara digunakan untuk berjihad. Namun demikian, para sultan Ayyubiyah senang memuliakan tamu, memberi bekal kepada ibnu sabil, membuat makanan setiap hari bagi para pelajar di Al-Azhar, juga bagi seluruh sekolah yang mereka bangun. Kondisi kehidupan sosial di Mesir pada waktu itu adalah dalam keadaan sederhana, tidak boros dan tidak kekurangan (Al-Shayim 2003: 71) Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran melawan sisa-sisa kekuatan pasukan salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk mempertahankan Mesir. Karena kesatuan mulai melemah akhirnya pada masa pemerintahan al-Kamil, Dinasti Ayyubiyah yang bertempat di Diyar bakir dan alJazirah mendapat tekanan dari Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah. Selanjutnya, al-Kamil mengembalikan Yerussalem kepada kaisar Frederick II yang membawa kedamaian dan kestabilan ekonomi bagi Mesir dan Suriah. Oleh karena itu, pada masa tersebut perdagangan kembali dikuasai oleh kekuatan Kristen Mediterrania. Setelah al-Kamil meninggal, yakni pada tahun 6139 M, Dinasti Ayyubiyah dirongrong oleh pertentangan-pertentangan intern pemerintah. 3. Situasi Peradaban Islam a. Bidang Pendidikan Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan, terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan Salahuddin. Damaskus, ibu kota Suriah asih menyimpan jejak arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan kedua tokoh tersebut. Nuruddin berhasil merenovasi dinding-dinding pertahanan kota, menambahkan beberapa pintu gerbang dan menara, membangun gedung-gedung pemerintahan yang masih bisa digunakan hingga kini, juga mendirikan madrasah pertama di Damaskus terutama untuk pengembangan Ilmu Hadis. Madrasah terus berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Suriah. Madrasah yang didinkan Nuruddin di Aleppo (Halb), Emessa, Hamah dan Ba'labak mengikuti mazhab Syafi'i. Madrasah tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan masjid atau disebut sekolah masjid. Namun demikian, madrasah mi secara formal, yaitu menerima murid-murid dan mengikuti model madrasah yang dikembangkan masa Dinasti Niamiyah. Nuruddin juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Rumah Sakit al-Nun. mi menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah Rumah Sakit al-Walid. Fungsinya pun tidak hanya sebagai tempat pengobatan, tetapi juga sebagai sekolah kedokteran. Pada bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni menulis indah (kaligrafi). Prasasti-prasasti yang ditulisnya menjadi daya tank para ahli paleografi (ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu, diperkirakan seni kaligrafi Arab bergaya Kufi muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui clan melahirkan gaya kaligrafi Naskhi. Lukisan inskripsi Basmalah dalam skrip Kufi, abad ke. di Museum Islam, Kairo, Mesir. Salah satu prasasti yang masih bisa dilihat dan dibaca sampai saat mi terdapat di menara Benteng Aleppo. Menurut catatan orang Suriah dan Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan mahakarya arsitektur Arab kuno. Berkat jasa Nuruddin, keberadaannya terus dipertahankan, dipelihara, dan direnovasi hingga sekarang. Makam Nuruddin sendiri, yang terletak di akademi Damaskus alNuriyah, hingga kini juga masih dihbrmati dan diziarahi. Pada masa Nuruddin, fungsi masjid dikembangkan sebagai lembaga pendidikan atau sekolah di Suriah. Bahkan pada pemerintahan selanjutnya, lahir suatu tradisi barn, yaitu pemakaman para pendiri sekolah masjid di bawah kubah kuburan yang mereka dirikan, baik masa Dinasti Ayyubiyah maupun masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Salahuddin al-Ayyubi juga mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan dan aristektur. la memperkenalkan pendidikan madrasah ke berbagai wilayah yang dikuasainya, seperti ke Ye erusalem, Mesir, dan lain-lain. Ibnu Jubayr (1145 —1217 M), seorang ahli geografi menyebutkan bahwa terdapat beberapa madrasah di kota Iskandariah. Madrasab terkemuka dan terbesar berada di Kairo yang memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Salahiyah. Hanya saja, madrasah bersejarah tersebut tidak bisa ditemukan lagi saat mi, namun sisa- sisa arsitekturnya masih bisa dilihat. Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur Arab mi melahirkan beberapa monumen bersejarah di Mesir. Salah satunya yang tenndah dan menjadi model terbaik adalah Madrasah Sultan Hasan di Kairo. Di samping mendirikan sejumlah madrasah, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Rancangan bangunannya mengikuti model Rumah Sakit Nuriyah di Damaskus. Ciri khasnya adalah tempat pengobatan yang sekaligus dijadikan sekolah kedokteran. Salah seorang dokter terkenal yang menjadi dokter pribadi Salabuddin bernama Ibnu Maymun, meskipun ia beragama Yahudi. Pada masa Salahuddin Al-Ayyubi, umat Islam mulai mengenal perayaan han labir Nabi Muhammad Saw. Di Indonesia, perayaan tersebut dikenal dengan istilah Maulud Nabi. Pada awalnya Al-Azhar merupakan tempat ibadah (masj id). pusat kaj ian ajaran Syi ah. dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam. Al-Azhar didirikan oleh Jauhar al-Katib al-Siqli, seorang panglima Dinasti Fatimiyah pada tahun 970 M. Pendirian itu merupakan penntah Khalifah Al-Muiz Lidinillah. Sebelumnya. Masjid Al-Azhar bernama Masjid Al-Qahirah atau Al-Jami' al-Qahirah, dan sekarang dikenal dengan Al-Azhar. Pembangunan Al-Azhar dimulai tanggal 4 April 970 M/24 Jumadil Ula 359 H dan selesai 7 Ramadan 361 H/22 Juni 972 M. Saat itu, bangunan mi diresmikan sebagai tempat ibadah, yang ditandai dengan pelaksanaan Shalat Jumat berjamaah setelah Al-Azhar resmi menjadi masjid negára, kegiatan ilmiah pertama kalinya berupa berkumpulnya para ulama pada bulan Oktober 975 M/Shafar 365 H. Mereka terdiri dan para fliqaha terkenal dan pejabat pemerintahan Fatirniyah di AlAzhar. Saat itu, Abu al-Hasan Nu'man bin Muhammad al- Qirawaniy, seorang Qadi al-Qudat (Hakim Agung) Dinasti Fàiimiyah menyampaikan cerarnah umum (Studium Generalle). Tidak dapat diketahui dengan jelas, perubahan tiama dan Masjid ALQahirah menjadi Masjid AlAzhar. Saniyah Qura'ah berpendapatbahwa penamaan terse-but berawal dan usulanYa'kub Ibnu Killis, seorang wazir masaAl-Aziz BiIlah. Usulan itu dinisbatkan kepada nama istana Khalifah Al- QUsyur al-Zahirah, atau dikaitkan dengan narna putri Nabi Muhammad, yaitu Fatimah al-Zahrah. Pendapat lain mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkhan dengan sebuah planet, yaitu Venus yang memiliki cahaya cemerlang. Ada pula ahli yang menisbahkan istilah AlAzhar dari kata bunga. Istilah mi kemudian menjadi simbol dan 'kemegahan' peradaban Muslim di Kairo. Namun demikian, terlepas darl latar belakang penamaan tersebut, yang jelas bahwa para pendirinya berharap Masjid Al-Azhar membawa kejayaan umat Islam maupun dunia. Dalam sejarah panjangnya, masjid mi terus dikembangkan fungsinya. Awalnya hanya sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syi'ah, tetapi belakangan berfungsi juga sebagai Perguruan Tinggi Islam di Kairo Mesir. Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi'ah berakhir, kekuasaannya digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang be'madzhah Sunni. Pergantian tersebut berdampak pula pada sejarah Al-Azhar. Salahuddin al-Ayyubi juga mengeluarkan kehijakan untuk pen gembangan Al- Azhar, antara lain: “Al-Azhar tidak boleh digunakan untuk Shalat Jumat dan kegiatan madrasah. Alasannya, pada rasa Dinasti Fathirniyah Al-Azhar dijadikan pusat pengembangan ajaran Syi'ah. Masjid Al-Azhar tidak dipakai untuk Shalat Jumat dan kegiatan pendidikan sekitar 100 tahun.” Dimulai semenjak Salahuddin berkuasa (1171-1267 M) sampai dihidupkan kembali oleh Sultan Malik al-Zahir Baybars dan Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir. Meskipun Al-Azhar ditutup untuk Shalat Jumat dan madrasah masa Dinasti Ayyubiyah, tidak berarti kegiatan keagamaan dan pendidikan tidak berkembang Salahuddin memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ia membangun madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaanya. Ia bahkan mendirikan pendidikan tinggi (kulliyat) dan universitas. Sekitar 25 kulliyat didirikan pada masanya. Di antara kulliyat yang terkenal adalah: Manãzil al-Izza, Al-Kulliyat al- 'Adiliyyah, Al-Kulliyat al-Arsufiyyah, AL-Kulliyat al-Facliliyyah, AL-Kulliyat al-Azkasyiyah, dan ALKulliyat al-'Asuriyah. Nama-nama tersebut umumuya dinisbahkan kepada para pendirinya. Meskipun ada larangan untuk tidak menggunakan Al-Azhar sebagai pusat kegiatan madrasah, masjid tersebut tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh para murid dan gurunya, hanya sebagian saja dari mereka yang meninggalkan Al-Azhar. Pada masa pemerintahan Malik alAziz Imadudin Usman (putra Salahuddin), tepatnya tahun 1193 M/589 H, datang seorang ulama bemama Abdul Latif al-Bagdadi. la mengajar di Al-Azhar selama Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkan ALBaghdadi meliputi Ilmu Mantiq dan Bayan. Desain Masjid Arsitektur Al-Azhar memiliki pelataran besar berbentuk persegi panjang. Seperti Masjid Umayyah di Damaskus, tiang kolom masjid memanfaatkan kolom-kolom kuno untuk menunjang arcade. Arcade tersebut memiliki banyak lengkungan. Gaya dekoratifnya sebagian besar mengikuti gaya Masjid Ibn Tulun. Pola ornamentasinya mengikuti gaya Mesopotamia yang dibawa ke Mesir oleh Ibn Tulun. Pelataran masjid berukuran 5004 meter. Terdapat empat fasade dihiasi dekorasi bermotif daun, hiasan rosette besarnya diletakkan di puncak arcade yang mengelilingi pelataran. Terdapat balkon lapang untuk memandang ke segala arah. Hall di bagian dalam terdiri dari lima lajur menghadap ke arah kiblat. Ruangannya menerapkan pola hypostyle clengan langitlangit kayu datar yang ditopang oleh kolom-kolom, mirip dengan gaya Masjid Amr di Kairouan, Tunisia. Kedatangan Al-Bagdadi menambah semangat -beberapa ulama yang masih menetap di Al-Azhar. Ulama itu antara lain: Ibn al-Farid (ahli sufi terkenal), Syeikh Abu al-Qasim al-Manfaluti, Syeikh Jamal al-Din al- Asyuyuti, Syeikh Sahab al-Din al-Sahruni, dan Syams al-Din bin Khalikan (ahli sejarah yang menga-rang Kitãb Wafiyat al-'Ayan). Selain mengajar mantiq dan bayan, Al-Bagdadi juga mengajar Hadis dan fikih. Materi tersebut diajarkannya di pagi hari, sementara pelajaran kedokteran dan ilmu Iainnya diberikan siang hingga sore hari merupakan upaya Al-Bagdadi untuk mengenalkan Iebih jauh mazhab Sunni di Mesir. Selama Dinasti Ayyubiyah berkuasa di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang dikembangkannya. Al-Azhar sendiri telah difungsikan sebagai masjid, lembaga pendidikan, sekaligus pusat pengembangan aj aran-aj aran Sunni. Dinasti Ayyubiyah merupakan penguasa yang setia kepada kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Acuan kebijakan pemerintahannya berkiblat ke Baghdad yang bermazhab Sunni. Al-Azhar dijadikan salah satu lembaga strategis dalam pembelajaran, penyebaran, dan pengembangan ajaran atau mazhab Sunni. b. Bidang Ekonomi dan Perdagangan Dalam hal perekonomian, Dinasti Ayyubiyah bekerja sama dengan penguasa Muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah dan Laut Hindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan. Saat itu, jalur perdagangan Islam dengan dunia internasional semakin ramai, baik melalui jalur laut maupun jalur darat. Hal itu juga membawa pengaruh bagi negara Eropa dan negara-negara yang dikuasainya. Selain itu, dunia perdagangan sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas dan perak (dinar dan dirham), termasuk pengenalan mata uang dan tembaga yang disebut fulus. Percetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad al-Kamil bin al-'Adil al-Ayyubi. Fulus disediakan sebagai alat tukar untuk barang yang nilamya. kecil. Dalam bidang industri, masa Ayyubiyah sudah membuat kincir hasil ciptaan orang Syiria. Kincir tersebut lebih canggih dibanding buatan orang Barat saat itu. Di zaman Ayyubiyah juga sudah dibangunan pabrik karpet, pabrik kain, dan pabrik gelas. c. Bidang Militer dan Sistem Pertahanan Pada masa pemerintahan Salahuddin, kekuatan militernya terkenal sangat tanggub. Pasukannya bahkan diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika. Mereka sudah menciptakan alat-alat perang, pasukan berkuda, pedang, dan panah. Dinasti mi juga memiliki burung elang sebagai mata- mata dalam peperangan. Salahuddin telah membangun monument berupa tembok kota di Kairo dan Muqattam, yaitu Benteng Qal'al Jabal atáu lebih dikenal dengan Benteng Salahuddin al-Ayyubi, yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya. Benteng ini terletak di sekitar Bukit Muqattam,berdekatan dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide pembangunan benteng merupakan basil pemikirannya sendiri yang terwujud tahun 1183M. Bahan untuk pondasi benteng diambilkan dan bebatuan pada Piramida di Giza. Benteng ini bahkan dikelilingi pagar yang tinggi dan kokoh. Benteng Qal'al Jabal memiliki beberapa pintu utama, diantaranya pintu Fath, pintu Nasr, pintu Khalk. dan pintu Luq. Di benteng mi terdapat pula saluan air yang berasal dan sungal Nil. Saluran air itu pernah menjadi tempat minum para tentara. Di bagian utara benteng terdapat Masjid Muhammad Ali Pasha yang terbuat dari marmar dan granit. Dalam kawasan benteng, te'rdapat juga di Muzium Polis, Qasrul Jawhara (Muzium Permata) yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Sementara itu, Mathaf al-Fan al-Islami (Muzium Kesenian Islam) yang terletak di pintu Khalk, menyimpan ribuan barang yang melambangkan kesenian Islam semenjak zaman Nabi Saw., termasuk surat Rasulullah Saw. kepada penguasa Mesir bemama Maqauqis untuk memeluk Islam. C. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DAN TOKOH-TOKOHNYA PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH 1. As-Suhrawardi al-Maqtul Nama lengkapnya ialah AbU al-Fuffil Yabya bin Habai bin Amirak Sihab al-Din asSuhrawardi al-Kurdi. Ia lahir pada tahun 549 H11153 M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Barat Laut Iran dekat Zanjan. Dia memiliki banyak gelar seperti Syaikh al-Isyraq, Master of Illuminationist, Al-Hakim, Asy - Syahid, the Martyr, dan Al-Maqtul. Suhrawardi melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. la pergi ke Kota Maraga, Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum, dan teologi kepada Majd alDin al-Jili. Sedangkan filsafat diperdalamnya kepada Fakhr al-Din al- Mardini. Perjalanan Suhrawardi selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah untuk belajar logika kepada Zahir al-Din alQail. Ilmu Logika juga dipelajarinya dari buku Baä'ir al-Nairiyah if 'Jim Al-Maniq, karya Urnar ibn Sahian al-Sawi. Dari Isfahan, Suhrawardi meneruskan ke Anatolia Tenggara. la diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Pengembaraannya pun tidak terhenti di situ, Suhrawardi berangkat ke Persia, pusat lahirnya tokoh-tokoh sufi. Di sinilah dia tertarik pada pernikiran sufi sekaligus filosof. Ajaran Tarekat Suhrawardi dalam karyanya berjudul Kitãb 'Awãr al-Ma 'ãrf dibahas tentang latihan rohani praktis, yang terdiri dari: a. Ma'rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah, bahwa Allah saja-lah wujud hakiki dan pelaku mutlak. b. Faqr, yaitu tidak memiliki harta; seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jika sudah melewati tahap kezuhudan. c. Tawakkal, yaitu mempercayakan segala urusan kepada pelaku mutlak (Allah). d. Mahabbah, artinya cinta kepada Allah. e. Fana' dan Baqa', fana' artinya akhir dari perjalanan menuju Allah, sementara baqa' berarti awal dari perjalanan menuju Allah. Pemikiran Suhrawardi tentang akal dan hati disebut juga konsep cahaya (iluminasi atau isyraqiyyah), yang lahir sebagai perpaduan antara akal (logika) dan hati (intuisi). Secara sederhana, pemikiran Suhrawardi itu dapat digambarkan sebagai berikut: dimulai dan Mir alAnwãr yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. la Maha Sempurna, Mandiri, dan Esa sehingga tidak ada sam pun yang rnenyerupai-Nya. la adalah Allah. Mir al-Anwär mi hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Mir al-Aqrab (cahaya pertama/terdekat). Selain Mir al-Aqrab tidak ada lagi yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dan Mir al-Aqrab muncul cahaya kedua, clan cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dan cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat sinarannya, masing-masing cahaya menerima pancaran langsung dari Mir al-Anwãr. Tiap-tiap cahaya teratas meneruskan cahayanya ke masingmasing cahaya di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari NUr al-Anwar secara langsung. Dengan demikian, semakin ke bawah tingkat suatu cahaya maka sernakin banyak pula ia menerima pancaran. Adapun karya-karya Suhrawardi antara lain: Kitãb at-Talwihãt al-Lauiyyãt al- 'Arsyiyyãt, Al-Mu qawamat, Ijikmah al- 'Isyraq, Al-Lamahãt, Hayakil al-Nür yang membahas tentang akidah; Kitãb Risãlahft al-'Isyraq yang membahas filsafat secara singkat dan bahasa yang mudah dipahami; Kitãb Qissah al-Gurbah al-Garbiyyah, Al- 'Aqi al-A hmar, dan Yauman ma 'a Jamã 'at al-Sufiyyin' yang berisi penjelasan tentang dunia sufI yang sulit dipahami; Kitãb Risãlah al-Tair dan Risãah ft al-'Isyq, yaitu terj emahan dan filsafat kiasik, dan; Kitãb al- Waridãt wa al- Taqdisat, berisi tentang doa dan lain-lain. 2. Ibn Al-Aim (588-660 H/1192- 1262 M) Nama lengkapnya ialah Kamäluddin Abu al-Qasim Urnar ibn Alimad ibn Haibatullãh ibn Abi Jaradah al-'Aqil. la berasal dari bani Jaradah yang pindah dari kota Basrah ke Allepo karena wabah penyakit. Al-A?im sendiri lahir di Allepo. Ayahnya menjadi qacli mazhab Hanafi di kota itu. Sejak tahun 616 HI 1219 M, ia mulai mengajar di Allepo setelah mendalami berbagai pengetahuan di Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz, Irak, dan Allepo sendiri. AL-Aim pun kemudian menjadi qacli di Allepo pada masa kekhalifahan Amir al-Aziz dan Al-Na 1 ir dari Dinasti Ayubiyah. Bukan hanya itu, ia bahkan menjadi duta besar di Baghdad dan Kairo pasa masa kedua khalifah tersebut. Karya Al-Aim yang paling menonjol berjudul Zubdah al-Hallab min Tarikh Halaba: Bugyah at-Talib fi Thaiikh Halaba, berisi tentang sejarah Allepo/Halaba yang disusun secara alfabetik. Kitab mi terdiri dari 40 juz atau 10 jilid. Al-Aim melarikan din ke Kairo ketika tentara Mongol menguasai Allepo. la wafat di sana pada tahun 658 H/1160 M. 3. Al-Busyiri Nama lengkapnya adalah Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin 'Abdullah asSonhaji al-Busyiri, lahir pada tahun 1212 M di Maroko. Sejak masa kanak-kanak, ia dididik oleh ayahnya sendiri, terutarna dalam mempelajari Al-Quran untuk mendalami ilmu agama dan sastrã Arab. Al-Busyiri adalah seorang sufi besar, pengikut Tariqat Syaziliyah. la menjadi salah satu murid Sultanul Auliya Syeikh Ahul Hasan Asy-Syazily, r.a. la juga berguru kepada ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath bin Ya'mari, dan Al-'Iz bin Jama'ah al-Kanani al- Hamaw. Al-Busyiri dikenal sebagai orang yang wara' (takut dosa). Dia pernah ditawari menjadi pegawai pemerintahan kerajaan di Mesir, tetapi ditolaknya karena melihat perilaku pegawai kerajaan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Al-Bushiri cukup menonjol dalam bidang sastra. Hasil karyanya yang terkenal yaitu Qasidah Burdah. Syair ciptaannya itu dibaca dalam berbagai acara pada abad 7 Hijrah. Qasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah Saw. Puisi pujian Al- Busyiri kepada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi Nabi, tetapi mengungkap pula keutamaan Nabi, yaitu penerima mukjizat Al-Quran. Namun demikian, Al-Busyiri tidak hanya terkenal dengan karya Burdahnya, tetapi ia juga seorang ahli fikih, kalam, dan tasawuf. Beberapa ulama sufi pernah menjadi guru Al-Busyiri, yaitu: Imam Abu Hayyan; Abul Fath bin Sayyid an-Nas al-Ya'mari al-Asybali al-Misri (pengarang Kitäb 'Uyun al-Mar fi Sirah Sayyid AlBasyar) Al 'Iz bi Jama'ah al-Kanani alHamawi (seorang hakim di Mesir); dan masih banyak ularna-ulama besar Mesir lainnya yang memberikan ilmunya kepada Al-Busyiri. 3. Abdul Latif al-Bagdadi la adalah seorang ulama berpengaruh dan teladan bagi ulama Al-Azhar lainnya. Abdul Latif al-Bagdadi dikenal sebagai ahli ilmu mantiq, bayan, Hadis, fikih, kedokteran, dan ilmu lainya. la bahkan salah seorang tokoh beipengaiuh dalam pengembangan dan penyebaran mazhab Sunni di Mesir. Abu Abdullah al-Quda'i Beliau adalah ahli fikih, Hadis, dan sejarah. Beberapa karyanya yang me:ionjol antara lain: Asy-Syihãb (Bintang), Sanãd as-Sihãh (Perawi Hadis-Hadis Sahih), Manaqib al-Irnãrn asy- Syafi 'i(Budi Pekerti Imam Syafi'i), Anba 'ai-Anbiyã' (Cerita Para Nabi), 'Uyün al-Ma'ãr(f (Mata Air Ilmu Pengetahuan), dan buku Sejarah Mesir. D. FAKTOR-FAKTOR RUNTUHNYA DINASTI AYYUBIYAH Pada tahun 1199 M, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi meninggal di damaskus, dan digantikan oleh saudaranya, sultan al-„Adil. Pada tahun 1218 M, al-’Adil meninggal setelah kalah perang melawan Pasukan Salib dan kota dimyath jatuh ke tangan Tentara Salib. Setelah meninggal al-’Adil digantikan oleh oleh al-Kamil. Al-Kamil melanjutkan perang melawan tentara salib. Akan tetapi, antara al-Kamil dengan saudaranya Al-Mulk al-Mu‟azham (gubernur Damaskus) terjadi konflik. Al-Kamil merasa bahwa alMu‟azham akan menyingkirkannya. Oleh karena itu, al-Kamil mengirim duta kepada Frederick Barbarossa dengan menawarkan kerjasama dan Yerussalem di jadikan sebagai imbalan atas bantuan Frederick (Yatim, 1998: 79). Setelah meninggal al-Kamil digantikan oleh putranya, Abu Bakar dengan gelarnya alAdil II (berlangsung selama tiga tahun). Kepemimpinan Abu Bakar ditolak oleh saudaranya, al-Malik al-Shalih Najm alDin Ayyub. Budak-budak Abu Bakar bersengkongkol dengan alMalik al-Shalih sehingga berhasil menjatuhkan Abu Bakar dan mengangkat al-Malik al-Shalih Najm al-Din Ayyub (1240-1249M) sebagai Sultan. Selama al-Malik al-Shalih menjadi pemimpin, pamannya, Ismail bekerja sama dengan pimpinan Pasukan Salib. Frank mengepung Damaskus. AlMalik dapat mematahkan konfras tersebut dan mengalahkan pasukan Frank di dekat Gaza. Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi berhasil mendirikan tiga buah Madrasah di kairo dan iskandariyah untuk mengembangkan Mazhab Sunni. Al-Kamil mendirikan sekolah Tinggi al-Kamiliyah yang sejajar dengan perguruan tinggi lainnya. Ibnu Khalikan menggambarkan bahwa al-Kamil adalah pecinta Ilmu Pengetahuan, pelindung para Ilmuan, dan Seorang Muslim yang bijaksana (Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, 1993: 86). Untuk mempertahankan kekuasaan, al-Malik al-Shalih mendatangkan budak-budak dari Turki dalam jumlah besar untuk dilatih kemiliteran yang ditempatkan di dekat sungai Nil yang juga disebut Laut (Al-Bahr) sehingga mereka disebut Mamluk Al-Bahr. Setelah meninggal al-Malik Al-Shalih diganti oleh anaknya, Turansyah. Konflik terjadi antara Turansyah dengan Mamluk Bahr, Turansyah dianggap mengabaikan peran Mamluk al-Bahr dan lebih mengutamakan tentara yang berasal dari Kurdi. Oleh karena itu Mamluk al-Bahr di bawah pimpinan Baybars dan Izzudin Aybak melakukan kudeta terhadap Turansyah (1250 M). Turansyah pun terbunuh, maka berakhirlah dinasti Ayyubiyah (Sunanto, 2003: 157).

Rangkuman 1. Dinasti Ayyubiyah adalah dinasti yang berdiri setelah keruntuhan Dinasti Fatimiyah yang tidak mampu menghalau kekuatan serangan tentara Salib pada masa itu. Dinasti Ayyubiyah berdiri pada tahun 6611 M oleh Shalahuddin al- Ayyubi, yang dulunya adalah seorang panglima perang raja Nuruddin. Dinasti Ayyubiyah berkembang menjadi dinasti yang besar dan tangguh di bawah kepemimpinan Shalahudin al-Ayyubi. Ia menjulang reputasinya ketika berhasil melawan tentara Salib dan berhasil membebaskan Yerussalem. Shalahuddin al-Ayyubi dengan sekuat tenaga bersama pasukannya menghalau tentara Salib hingga kaum muslim menguasai kota Yerussalem. 2. Selain mempertahankan dan memperluas kekuasaan, Shalahuddin al-Ayyubi juga mendirikan sarana pendidikan untuk generasi penerus yang mana lebih menekankan pada nilai-nilai ajaran Sunni. Pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah, al-Azhar selain dijadikan sebagai tempat pendidikan juga sebagai wadah politik dan pertahanan ajaran Sunni. Hal ini dilakukan setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah. Selain itu, khalifah setelahnya pun banyak mendirikan perguruan-perguruan tinggi yang semakin pesat. 3. Hubungan politik dengan pendidikan yang terjadi pada saat itu tidak membuat pendidikan malah menurun. Banyak ulama-ulama yang berdatangan dari berbagai penjuru dengan mengajarkan ilmu-ilmu nya pada generasi penerus, menambah khazanah keilmuan dan melahirkan para ilmuan-ilmuan pada saat itu serta dibuktikan dengan banyaknya bermunculan madrasah-madrasah dan pembangunan diberbagai bidang, baik pendidikan, keilmuan, arsitektur, filsafat, perdagangan (ekonomi) maupun militer. Berakhirnya Dinasti Ayyubiyah setelah khalifah terakhir terbunuh karena adanya konflik antara Turansyah dengan Mamluk Bahr.