Mengapa ilmu hukum disebut sui generis


              Ilmu hukum adalah “SUI GENERIS” yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu yang jenis sendiri. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang berbeda. Ciri ilmu hukum sebagai sui generis : karakter normatif ilmu hukum, Terminologi ilmu hukum, Jenis ilmu hukum, Lapisan ilmu hukum. Dari sudut kualitas sulit dikelompokkan dalam Ilmu Pengetahuan Alam atau dalam Ilmu Pengetahuan Sosial.  Ilmu Hukum memiliki Tatanan/lapisan Ilmu sendiri, menurut T Gijssels, terdiri dari Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Ilmu Hukum. Secara singkat perngertian ketiganya adalah dogmatik hukum Studi secara ilmiah tentang hukum pada tataran ilmu-ilmu positif. Teori hukum Studi yang obyek telaahnya adalah tatanan hukum sebagai suatu sistem. Dan, filsafat hukum Studi yang objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian (law as such). (B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, 2008, hlm. vii). Dogmatik hukum merupakan cabang disiplin hukum yang paling konkret, sedangkan filsafat hukum berada pada tataran paling abstrak. Oleh karena jarak di anatara keduanya sangat lebar, maka diperlukan cabang disiplin hukum yang mampu menjebatani keduannya, yakni teori hukum. (Shidarta, Pemetaan Aliran-aliran Pemikiran Hukum dan Konsekwensi Metodologisnya, 2009, hlm. 156)

Karakter “SUI GENERIS” menunjukan bahwa dalam ilmu hukum jangan pernah tidak dapat   menyampingkan karateristik normatifnya, yakni pada saat ilmu hukum memiliki sifat empiris anatilisnya. Keberadaan sifat empiris analitisnya karena Ilmu hukum merupakan “Ilmu Praktis yang bersifat normologis”. Ilmu Praktis Nomologis, berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris. Yakni pengetahuan tentang hubungan yang ajeg yang berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas deterministik. Contoh: Jika A (ada atau terjadi), maka B (ada atau terjadi). Selain itu, Ilmu Praktis Normologis disebut ilmu normatif, berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi. Asas Imputasi adalah (menautkan tanggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkrit tertentu, sehubungan tela terjadi perbuatan atau peristiwa atau keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa yang seharusnya terjadi tidak niscahaya dengan sendirinya terjadi. Contoh: Jika A (terjadi atau ada) maka seyogyanya B (terjadi). Ilmu hukum mengarah pada refleksi pemecahan masalah-masalah konkrit dalam masyarakat. Berbeda dari hakikat ilmu hukum empiris sebagai bagian dari ilmu sosial yang dipelajari untuk meramalkan proses sosial. (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 50)

Dari penjelasan tersebut berarti, terdapat perbedaan ilmu hukum normatif dengan dengan ilmu hukum empris yang merupakan ilmu sosial. Ilmu hukum normatif merupakan ilmu praktis, mengubah keadaan serta menawarkan penyelesaian terhadap problem masyarakat. Ilmu hukum memiliki karatersitik yang khas yang berbeda dengan ilmu lainnya

Ilmu Hukum memiliki karakter yang khas (sui generis) yang sifatnya normatif, praktis dan preskriptif, menjadikan metode kajian ilmu hukum akan berkaitan dengan apa yang seyogianya atau apa yang seharusnya, sehingga metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah dan ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum. Hal ini menjadikan Ilmuan hukum harus menegaskan: dengan cara apa ia membangun teorinya, menyajikan langkah-langkahnya agar pihak lain dapat mengontrol teorinya dan mempertanggungjawabkan mengapa memilih cara yang demikian. Ilmu hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu karena mempunyai sifat yang normatif dan mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematikanya. Keadaan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat mengakibatkan sebagian ahli hukum Indonesia berupaya mengempiriskan ilmu hukum melalui kajian-kajian sosiologik, bahkan upaya tersebut sampai kepada menerapkan metode-metode penelitian sosial ke dalam kajian hukum (normatif).

Menerapkan (memaksakan) metode penelitian sosial terhadap penelitian hukum, menimbulkan kejanggalan-kejanggalan (dalam arti telah terjadi kekeliruan), misalnya: menggunakan kata bagaimana, seberapa jauh, seberapa efektif  (dan lain-lain yang menggambarkan pada kajian ilmu sosial/gejala sosial) dalam perumusan masalah; menggunakan kata: sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, populasi dan sampling. Penggunaan kata-kata tersebut menunjukkan kepada studi-studi sosial tentang hukum, hukum sebagai gejala sosial, dan induk ilmunya yaitu ilmu sosial bukan ilmu hukum. Seharusnya, pengkajian ilmu hukum tersebut beranjak dari hakikat keilmuan ilmu hukum.

            Mempelajari hukum bertitik anjak dari memahami kondisi instrinsik aturan-aturan hukum. Kondisi intrinsik aturan-aturan hukum tersebut dipelajari tentang gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal umum, dan teoritis serta landasan pemikiran yang mendasarinya.  Landasan pemikiran tersebut terkait dengan berbagai konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Dengan demikian, tugas ilmu hukum (jurisprudence) yaitu menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum. Ilmu hukum tidak dapat di klassifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris, sebab ilmu sosial tidak memberi ruang bagi menciptakan konsep hukum, ia (ilmu sosial) hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan selalu hanya memberikan perhatiaannya kepada kepatuhan individu terhadap atauran hukum. Demikian juga dengan ilmu hukum tidak dapat diklassifikasikan ke dalam ilmu humaniora, sebab ilmu humaniora tidak memberikan tempat untuk mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial, hukum hanya dipelajari dalam kaitannya dengan etika dan moralitas.

            Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek. Ilmu sosial maupun ilmu humaniora hanya memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya, sehingga tidak tepat untuk mengkalssifikasikan ilmu hukum sebagi ilmu sosial atau ilmu humaniora. Ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat sui generis yakni tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum. Ilmu hukum hanya satu untuk jenisnya sendiri. Ilmu hukum hukum tidak mencari fakta historis dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana yang terdapat dalam penelitian sosial. Ilmu hukum berurusan dengan preskripsi-preskripsi hukum, putusan-putusan yang bersifat hukum, dan materi-materi yang diolah dari kebiasaan-kebiasaan. Oleh Paul Scholten, ilmu hukum bagi legislator terkait dengan hukum in abstracto, dan bagi hakim memberikan pedoman dalam menangani perkara dan menetapkan fakta-fakta yang kabur. Dengan demikian, ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan sekaligus sebagai ilmu terapan.


                                                                              BAB I   PENDAHULUAN A. Latar Belakang             Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS ) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai ASN adalah PNS dan PPPK yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan disertai tugas dalam suatu jabatan pemerintah atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. PNS adalah WNI yang memenuhi syarat tertentu diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. P3K adalah WNI yang memenuhi syarat tertentu yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja   untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan yang memperoleh penghasilan berdasarkan   peraturan perundang-undangan. ASN terdapat hak, kewajiban, larangan, dan sanksi ASN yang mempunyai dasar hukum  

 Pengakuan de facto dan pengakuan de jure Pengakuan de Facto Pengakuan de facto adalah pengakuan atas fakta adanya negara. pengakuan itu diberikan berdasarkan realita bahwa suatu masyarakat politik itu telah memenuhi syarat utama sebagai sebuah negara seperti mempunyai pemimpin, warganegara, dan wilayah. Pengakuan de facto demikian biasanya diberikan untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dielakkan dalam hubungan internasiona l . Pengakuan de facto sifatnya adalah sementara. Pengakuan tersebut diberikan sambil menunggu perkembangan lebih lanjut dari negara yang baru lahir itu. Apabila ternyata bahwa praktik negara itu dapat berlangsung lama, juga berlaku atas dasar-dasar yang dapat diterima menurut hukum dan kebiasaan internasional, kemudian pemerintahan menegakkan kekuasaan, dan memenuhi kewajibannya sebagai anggota keluarga bangsa sedunia, baru disusul pengakuan de jure. Adapun pengakuan de facto menurut sifatnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pengakuan