Undang-undang yang memuat tentang zee yang berlaku di indonesia adalah

Definisi Wilayah ZEE

Berdasarkan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (“UU Kelautan”), Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (“ZEE”) adalah:

Suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

ZEE merupakan bagian dari wilayah yurisdiksi Indonesia[1] di mana Indonesia memiliki hak berdaulat.[2] Ketentuan lebih lanjut mengenai hak berdaulat ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.[3]

Hak-hak Berdaulat Negara Pantai

Kemudian Pasal 56 United Nations Convention on the Law of the Sea (“UNCLOS”) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) menyebutkan yurisdiksi dan tugas dari negara pantai di wilayah ZEE sebagai berikut:

  1. Dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai mempunyai:
  1. Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploritasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;
  2. Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan Konvensi ini berkenaan dengan:
  1. pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;
  2. riset ilmiah kelautan;
  3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
  1. Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini.
  1. Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
  2. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI.

Selain itu, Pasal 61 angka 1 UNCLOS berbunyi:

Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam zona ekonomi eksklusifnya.

Berkaitan dengan pengawasan di wilayah ZEE, Pasal 73 angka 1 UNCLOS mengatur yurisdiksi Negara pantai sebagai berikut:

Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

Yoshifumi Tanaka dalam bukunya The International Law of the Sea merangkum hak berdaulat negara pantai sebagaimana dimaksud dalam UNCLOS:

  1. Hak berdaulat dari negara pantai hanya dapat dilakukan di wilayah ZEE.
  2. Hak berdaulat dari negara pantai terbatas pada hal yang diatur oleh hukum internasional (ratione materiae).
  3. Negara pantai dapat melaksanakan fungsi legislatif dan pelaksanaan yurisdiksi.
  4. Negara pantai dapat melaksanakan hak berdaulatnya di wilayah ZEE pada semua orang terlepas dari kewarganegaraan mereka (sehingga tidak ada limitasi ratione personae).
  5. Hak berdaulat dari negara pantai terhadap wilayah ZEE merupakan sesuatu yang eksklusif dalam artian pelaksanaannya membutuhkan persetujuan dari negara pantai tersebut. Memang betul bahwa negara lain memiliki hak untuk mengakses sumber kekayaan alam di dalam ZEE sebuah negara pantai.[4] Meski demikian, hal tersebut hanya dapat dilakukan atas seizin negara pantai.

Sehingga bisa disimpulkan, hak negara pantai di wilayah ZEE hanya berkaitan dengan keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana disebutkan di atas. Jadi, negara pantai tidak dapat menggunakan yurisdiksinya di luar keperluan tersebut.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

[1] Pasal 7 ayat (2) UU Kelautan

[2] Pasal 7 ayat (3) huruf c UU Kelautan

[3] Pasal 7 ayat (4) UU Kelautan

[4] Pasal 62 angka 2, Pasal 69, dan Pasal 70 UNCLOS

(2)

Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 3260(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44)

PENJELASANATASUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 5 TAHUN 1983TENTANG

ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

I. UMUM

Sejak lama Pemerintah Republik Indonesia merasakan pentingnya arti zona ekonomi eksklusif untuk mendukung perwujudan Wawasan Nusantara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segenap sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di zona ekonomi eksklusifnya.

Berhubung dengan hal yang dikemukakan di atas maka untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumber daya alam non hayati, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Rezim hukum internasional tentang zona ekonomi eksklusif telah dikembangkan oleh masyarakat internasional melalui Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga dan praktek negara (State practice) dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai dari bahaya dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan-kegiatan perikanan berdasarkan rezim laut bebas.

Di samping itu zona ekonomi eksklusif juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumber daya alam di zona tersebut.

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut memberikan kepada Republik Indonesia sebagai negara pantai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dan yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan hak berdaulat tersebut.

Selain daripada itu Indonesia berkewajiban pula untuk menghormati hak-hak negara lain di zona ekonomi eksklusifnya antara lain kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut di zona ekonomi eksklusif.

Khusus yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, maka sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati, sepanjang Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh sumber daya alam hayati tersebut.

Di samping pengumuman asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan di atas yang terutama ditunjukan kepada dunia luar, asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan tersebut perlu pula dituangkan dalam suatu undang-undang agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban dalam zona ekonomi eksklusif dan dengan demikian tercapai pula kepastian hukum.

Berhubung dengan itu disusunlah Undang-undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menetapkan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Republik Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif.

Undang-undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan pokok saja sedangkan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan undang-undang ini akan diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

II. PASAL DEMI PASALPasal 1

Yang dimaksud dengan istilah sumber daya alam hayati dalam undang-undang ini adalah sama artinya dengan istilah sumber daya perikanan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perikanan.

Pasal 2

Pasal ini menegaskan dan mengukuhkan definisi geografis Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tercantum dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tertanggal 21 Maret 1980.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)


Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak digunakan untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional.
Keadaan khusus tersebut adalah misalnya terdapatnya suatu pulau dari negara lain yang terletak dalam jarak kurang dari 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal untuk menetapkan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Pasal 4

Ayat (1)

Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam di perairan yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif.

Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables and pipelines).

Ayat (2)

Ayat ini menentukan, bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan-persetujuan internasional tentang landas kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia.

Ayat (3)

Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku seperti yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di zona ekonomi eksklusif setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal, pesawat udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut.

Pasal 5

Ayat (1)

Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia.Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan.

Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Ayat (2)

Sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali, namun tidak berarti tak terbatas.
Dengan adanya sifat-sifat yang demikian, maka dalam melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Ayat (3)

Dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia berkewajban untuk menjamin batas panen lestari (Maximum sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang diperbolehkan (allowable catch).Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional.Penunjukan pada Pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk menegaskan bahwa jenis-jenis sedenter (sedentary species) yang terdapat pada dasar laut zona ekonomi eksklusif tunduk pada rezim landas kontinen (Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia).

Oleh karena itu tidak tunduk pada ketentuan ayat ini.

Pasal 6

Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia mempunyai hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.

Meskipun Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.

Pasal 7

Setiap penelitian ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah permohonan untuk penelitian disetujui terlebih dahulu oleh Pemerintah Republik Indonesia. Apabila dalam jangka waktu 4 (empat) bulan setelah diterimanya permohonan tersebut Pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan a. menolak permohonan tersebut, atau

b. bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemohon tidak sesuai dengan kenyataan atau kurang lengkap, atau

c. bahwa pemohon belum memenuhi kewajiban atas proyek penelitiannya yang terdahulu.

maka suatu proyek penelitian ilmiah kelautan dapat dilaksanakan 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan penelitian oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 8

Ayat (1)

Wewenang perlindungan dan pelestarian sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia secara internasional didasarkan pada praktek negara, yang sekarang telah diterima pula dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut, sedangkan secara nasional landasannya terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ayat (2)

Pembuangan ("dumping") dilaut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut; berhubung dengan itu perlu diatur tempat, cara dan frekuensi pembuangan serta jenis, kadar dan jumlah bahan yang dibuang melalui perizinan.
Pembuangan meliputi pembuangan limbah dan pembuangan bahan-bahan lainnya yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut; pembuangan limbah yang biasanya dilakukan oleh kapal selama pelayaran tidak memerlukan izin.

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Kewajiban untuk memikul tanggung jawab mutlak dan membayar ganti rugi bagi rehabilitasi lingkungan laut dan/atau sumber daya alam dalam jumlah yang memadai ini merupakan konsekuensi dari kewajiban untuk melestarikan keserasian dan keseimbangan lingkungan.Karena itu kewajiban ini melekat pada barang siapa yang melakukan perbuatan, tidak melakukan perbuatan/membiarkan terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau kerusakan sumber daya alam.

"Tanggung jawab mutlak" ("strict liability") berarti bahwa tanggung jawab tersebut timbul pada saat terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam, tidak dapat dielakkan dan secara prosedural tidak diperlukan upaya pembuktian lagi.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul dari pencemaran lingkungan laut dan/atau kerusakan sumber daya alam yang terjadi akan menentukan besarnya kerugian. Penelitian ekologis tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian tersebut dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari pihak pemerintah, pihak penderita dan pihak pencemar.
Tim dimaksud akan dibentuk secara khusus untuk tiap-tiap kasus.

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Terhadap kapal-kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup di laut khususnya bagi kapal dan/atau orang-orang yang berkebangsaan asing dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan jalan melakukan penangkapan atas kapal-kapal dan/atau orang-orang tersebut.Terhadap kapal-kapal dan/atau orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dapat diperintahkan (perintah ad hoc) ke suatu pelabuhan atau pangkalan yang ditunjuk oleh penyidik di laut untuk diproses lebih lanjut.Penangkapan tersebut di atas tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai dengan batas waktu penangkapan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu satu hari.Oleh karena itu untuk tindakan penangkapan dilaut perlu diberi jangka waktu yang memungkinkan para aparat penegak hukum di laut membawa kapal dan/atau orang-orang tersebut ke pelabuhan atau pangkalan.Jangka waktu maksimum tujuh hari dianggap sebagai jangka waktu maksimal untuk menarik/menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sampai ke suatu pelabuhan atau pangkalan.Ketentuan mengenai penahanan terhadap tindak pidana menurut undang-undang ini belum diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, sedang terhadap tindak pidana tersebut penahanan adalah merupakan satu upaya untuk dapat memproses perkaranya lebih lanjut.

Berhubung dengan hal tersebut, sekalipun ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda tetapi dengan dikualifikasi sebagai kejahatan, maka tindak pidana tersebut perlu dimasukkan dalam golongan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang dapat ditunjuk sebagai penyidik adalah misalnya Komandan kapal, Panglima Daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasion Angkatan Laut. Penetapan Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang-orang tersebut yang ditangkap karena diduga melakukan pelanggaran, sesuai dengan praktek yang berlaku, dapat diajukan oleh perwakilan negara dari kapal asing yang bersangkutan, pemilik, nahkoda atau siapa saja menurut bukti-bukti yang sah mempunyai hubungan kerja atau hubungan usaha dengan kapal tersebut.

Ayat (2)

Penetapan besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-alat perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda maximum.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas