Siapakah orang tua dari Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah?

Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan di Tambak Beras Jombang 31 Maret 1888 Masehi. Ayahnya bernama Kiai Hasbullah merupakan pengasuh pondok pesantren Tambak Beras.

Pendidikan

Selama 20 tahun beliau mendalami agama dari pesantren satu ke pesantren yang lain. Diantaranya adalah pondok pesantren Langitan Tuban, pondok pesantren Mojosari Nganjuk, pondok pesantren Tawangsari sepanjang, pondok pesantren Branggahan Kediri, pondok pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, pondok pesantren Tebuireng Jombang dan belajar di Mekah Al Mukaromah. Baca juga :
Pada tahun 1916 beliau mendirikan "Nahdlatul Wathon" dan pada tahun 1918, beliau juga mendirikan lembaga pendidikan "Taswirul Afkar". Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang yang sangat dinamis, lincah, pantang menyerah dan cerdas. Sahabat beliau sangatlah banyak karena pandai bergaul dengan para ulama dari berbagai organisasi Islam lainnya.

Siapakah orang tua dari Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah?


Jasa KH. Wahab Hasbullah

Beliau menjadi utusan Jami'iyyah Nahdlatul Ulama bersama Syekh Ghonaim Al Misri dan seorang mahasiswa yang tinggal di Mekah bernama Kyai Haji Dahlan Abdul Qohar. Mereka kemudian berhasil menemui Raja Ibnu Saud di Mekah untuk menyampaikan permohonan agar ajaran bermadzhab tetap dijamin di tanah haram.

Jabatan 

Dikalangan NU, Kyai Wahab adalah orang yang memprakarsai tradisi jurnalistik. Mendirikan majalah yang terbit tengah bulan "Soeara Nahdlotoel Oelama" dan menjadi pimpinan redaksi selama kurang lebih 7 tahun. Beliau juga penggagas lahirnya Jami'iyyah Nahdlatul Ulama bersama KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1926 di Surabaya Jawa Timur. Menjabat khatib  'Am (sekretaris umum) PBNU saat NU pertama kali didirikan. Setelah KH. Hasyim Asy'ari wafat, jabatan Rais 'Am (ketua umum) dijabat oleh Kiai Wahab. Beliau juga pernah menjadi anggota BPKNIP (badan pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota konstituante dan berkali-kali menjadi anggota DPR RI serta anggota Dewan Pertimbangan agung atau DPR.

Wafat

KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pada hari Rabu 12 Juli kok dah 1391 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 29 Desember 1971 Masehi Dalam usia 83 tahun. Dan dimakamkan di pemakaman keluarga pondok pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang Jawa Timur.

Itulah biografi singkat tentang Kyai Haji Wahab Hasbullah . Semoga Semoga apa yang kami sampaikan dapat menambah wawasan keilmuan sejarah anda.


Postingan Lebih Baru Postingan Lama

Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah | Biografi Singkat KH. Abdul Wahab Chasbullah | Profil KH. Abdul Wahab Chasbullah | Pendidikan | Karya | Pemikiran |

Biografi Singkat KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH : Profil, Pendidikan, Karya dan Pemikiran

KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah orang yang pertama kali bergelar Rais „Aam PBNU. Sebelumnya, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari bergelar Rais Akbar. Kiai Wahab adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang dikenal akrab dengan Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Dialah tokoh Nahdlatul Ulama yang memimpin Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi sehingga menjadi partai politik tersendiri.1 Beliau adalah putra tertua dari pasangan KH. Chasbullah dan Nyai Hj. Lathifah. Dari rahim Nyai Hj. Lathifah, lahir pula KH. Abdul Hamid, KH. Abdurrahim, Nyai Hj. Fatimah, Nyai Hj. Khadijah yang merupakan saudara kandung KH. Abdul Wahab Chasbullah. Kakek beliau KH. Sa’id adalah salah seorang santri terbaik sekaligus menantu dari pendiri Pesantren Tambakberas, KH. Abdussalam (Mbah Shihah). KH. Sa’id beristrikan Nyai Hj. Fatimah.

KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah keturunan darah biru (ningrat). Dalam buku yang ditulis oleh Hamdan Rasyid, Ali Zawawi, Mubtadi Faisal, menerangkan : Menurut cerita, Sa’id masih keturunan dari Sunan Pandan Arang Semarang yang apabila silsilahnya diurut ke atas bersambung kepada Siti Fathimah binti Muhammad SAW. Begitupun istri KH. Chasbullah, Nyai Lathifah, ibu kandung Kiai Wahab, masih keturunan Sunan Ampel. Dengan demikian dalam diri Kiai Wahab mengalir darah ningrat dari banyak jalur. Itulah sebabnya kenapa di depan nama Kiai Wahab sering divantumkan gelar ‘Raden’ yang merupakan tanda bahwa yang bersangkutan masih tergolong dari kalangan bangsawan atau arsitokrat masyarakat Jawa.

Dari runtutan silsilah keturunan, KH. Abdul Wahab Chasbullah juga masih kerabat dekat dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantrehn Tebuireng dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Nasab KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan KH. Hasyim Asy’ari bertemu pada datuk yang bernama KH. Abdussalam. KH. Abdul Wahab Chasbullah mempunyai banyak istri, namun bukan berarti beliau sosok Kiai yang suka berpoligami, karena beliau menikah berkali-kali dengan suatu alasan yang jelas, misalnya lantaran istrinya meninggal dunia, tidak mempunyai keturunan, dan istri beliau juga rata-rata adalah seorang janda. Istri-istri dan anak KH. Abdul Wahab Chasbullah diantaranya adalah :

  1. Maemunah binti Musa, dikarunia putra bernama KH. Wahib Wahab (Menteri Agama pada zama Orde Lama)
  2. Alwiyah binti alwi Tamim dari Pondok Pesantren Kertopaten, pernikahan ini berlangsung setelah istri pertama beliau wafat, dari Nyai Alwiyah juga dikaruniai satu putri yakni Khodijah.
  3. Asna binti Sa’id dari Surabaya, memiliki satu putra yang bernama KH. Najib
  4. Fathimah binti Burhan, dari pernikahanm ini tidak dikaruniai putra namun Nyai Fathimah mempunyai putra dari pernikahan sebelumnya yaitu Achmad Sjaichu (salah satu tokoh NU)
  5. Fathimah binti Ali asal Mojokerto, tidak berputra
  6. Askanah binti Idris dari Sidoarjo, tidak berputra
  7. Masmah asal Surabaya, sepupu Asna binti Sa’id, berputra KH. Mohammad Adib.
  8. Aslihah binti Abdul Majid asal Bangil, Pasuruan, mempunyai dua putri, yaitu Djumi’atin dan Mu’tamaroh.
  9. Sa’diyyah (Nyai Hj. Rohmah) binti Abdul Majid asal Bangil, Pasuruan, merupakan kakak Aslihah, mempunyai lima putra, yaitu: Machfudhoh, Hizbiyyah, Munjidah, Muhammad Hasib dan Muhammad Roqib

Hampir lima tahun KH. Abdul Wahab Chasbullah menderita sakit mata yang menyebabkan kebutaan. Awal dari sakitnya tersebut adalah ketika suatu hari beliau melakukan perjalanan ke salah satu daerah, dalam kereta api tanpa belaiu sadari sebuah handbag seorang penumpang menimpa kepalanya. Hal tersebut tidak begitu dihiraukan oleh beliau hingga pada kemudian hari baru beliau rasakan ada kelainan pada penglihatannya. Pengobatan sudah dilakukan, anamun Allah SWT menentukan lain. Sakit matanya tidak tertolong dan menyebabkan kebutaan, disertai dengan komplikasi sakit yang lain. Hingga akhirnya tepat empat hari pasca mu’tamar Nahdlatul Ulama yang ke-25 di Surabaya pada tanggal 20-25 Desember 1971. KH. Abdul Wahab Chasbullah menutup usia pada tanggal 29 Desember 1971 dalam rumah beliau di Komplek Pesantren Tambakberas.

Silsilah Kiai Wahab

Kiai Wahab lahir di Tambakberas pada 1888. Silsilah Kiai Wahab selengkapnya adalah Kiai Abdul Wahab bin Kiai Hasbulah bin Kiai Sa’id bin Kiai Syamsuddin (menurunkan para Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta) bin Kiai Nur Khalifah alias Pangeran Paku Praja (Trenggalek) bin Kiai Husain Fata Shalih alias Prabu Anom Kusuma bin Sayyid Abdul Wahid bin Sayyid Shalih alias Pangeran Santri bin Abdurrahman alias Jaka Tingkir, penguasa Kerajaan Pajang (menurunkan Mbah Nyai Lathifah, istri Kiai Chasbullah), bin Pangeran Pandan Arum alias Abdullah Faqih alias Syihabuddin bin Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri) bin Sayyid Jamaluddin Husain (dikuburkan di pekuburan Al-Baqi’ Mekkah) bin Sayyid Abdullah Khan bin Sayyid Amir Abdul Malik bin Sayyid Ali Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Ahmad Muhajir bin Sayyid al-Bashri bin Sayyid Muhammad an-Naqib bin Sayyid Ali alAridli bin Sayyid Ja’far ash-Shadiq bin Sayyid Muhammad al-Baqir bin Sayyid Zainul Abidin bin Sayyid Husain bin Sayyidah Fathimah alZahra’ (istri Ali bin Abi Thalib) binti Nabi Muhammad s.a.w.

Lumrahnya dalam kebiasaan budaya dan tradisi yang diagungagungkan orang Jawa. Yakni dalam menghormati para leluhurnya, maka tak heran jika dalam kehidupan keseharian, memandang kebesaran seseorang itu biasanya dengan menanyakan asal-usul keluarganya. Jadi, orang yang menjadi panutan atau tokoh dalam cerminan kehidupan biasanya dapat dilacak dari leluhurnya pernah ada yang menjadi orang besar. Ini berkaitan dengabn ilmu mistik dari Jawa yang dilestarikan melalui tradisi dan secara lisan.

Kiai Wahab Chasbullah dilihat dari sisi keturunan orang tuanya saja dikampungnya sudah terkenal sebagai tokoh yang mengerti ilmu agama yang lebih akrab disebut dengan Kiai yang dihormati dan disegani oleh masyarakat sekitarnya. Maka, moto yang dipakai tentunya; “kacang ra bakal ninggal lanjaran” yang artinya banyaknya orang besar banyak menungkinannya anaknya juga akan menjadi orang besar.

Masa Pendidikan Kiai Wahab Chasbullah

Sejak kecil hingga usia 13 tahun KH. Abdul Wahab Chasbullah mendapatkan pendidikan langsusng dari ayahnya, KH. Chasbullah di Pesantren Tambakberas, terutama pendidikan Al-Qur’an dan Tassawuf. Sejak kecil beliau memang memperoleh pendidikan yang bernafaskan keislaman secara langsung dari pondok pesantren dengan menjalani hidup sebagai seorang santri, karena ayahandanya adalah seorang pengasuh pondok pesantren Tambakberas Jombang pada masa itu Setelah menjadi santri di pondok ayahnya sendiri, untuk memperdalam keilmuannya selama kurang lebih 15 tahun, Wahab menjadi santri kelana yang belajar dari satu pesantren ke pesantren lain. Dengan menjadi santri kelana beliau mendalami berbagai ilmu agama dengan spesifikasi berbeda. Karena berbagai pesantren mempunyai kelebihan dan keistimewaan masing-masing.

Ada beberapa pesantren yang pernah jadi tempat menuntut ilmu KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah sebagai berikut :

  • Pesantren Langitan Tuban.

Selama setahun di Pesantren Langitan tersebut, Wahab yang masih remaja memperdalam keilmuan Islam yang dimodali oleh sang ayah ketika masih di Tambakberas. Di Langitan itulah destinasi pertama Wahab untuk mendapatkan ilmu yang lebih banyak lagi.

  • Pesantren Mojosari Nganjuk

Beliau belajar selama empat tahun dan mempelajari serta mendalami kitab-kitab fiqih, salah satu kitab yang didalaminya ialah Fath Al-Mu’in, kitab ini merupakan kitab fiqh yang agak berbeda dengan kitab-kitab fiqh lainnya. Kiai Shaleh dan Kiai Zainuddin merupakan guru beliau. Belajar empat tahun memang waktu yang cukup lama bagi Wahab untuk mendalami keilmuan Islam di Mojosari.

  • Pesantren Cepaka, Jawa Timur

Di Pesantren Cepaka ini beliau tidak terlalu lama belajar.Kurang lebihnya hanya enam bulan Wahab muda belajar di Pesantren tersebut.

  • Pesantren Tawangsari, Surabaya

Di pesantren yang diasuh ileh KH. Mas Ali ini, Wahab memperdalam lagi keilmuannya tentang fiqih. Kitab Al-Iqna’ menjadi kitab fiqh yang secara serius dikaji oleh Wahab muda.

  • Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura

Beliau belajar tata bahasa arab kepada Syaikhona Kholil selama kurun waktu tiga tahun. Pada saat belajar disini Wahab dinasehati oleh Kiai Kholil untuk belajar kepada KH. Hasyim Asy’ari. Oleh Kiai Kholil, Wahab muda juga dianggap macan, yang pada kemudian hari anggapan Kiai Kholil tersebut benar adanya, KH. Abdul Wahab Chasbullah dikenal sebagai macan oleh kawan maupun lawan.

  • Pesantren Beranggahan Kediri
  • Pesantren Tebu Ireng, selama empat tahun dan diangkat sebagai lurah pondok oleh KH. Hasyim As’ari
  • Di Makkah Al-Mukaromah, beliau belajar kurang lebih lima tahun. Dan selama di Makkah, beliau beliau belajar kepada beberapa Ulama, antara lain:
  • Syekh Mahfudz Termas
  • Kiai Muchtarom Banyumas
  • Syaikh Akhmad Khatib Minangkabau
  • Syaikh Sa’id Al-Yamani.
  • Syaikh Ahmad Abu Bakri Saha.

Melihat dari riwayat pendidikan beliau tersebut, KH. Abdul Wahab Chasbullah memang tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya dikalangan Ulama dan pejuang sebayanya pada waktu itu. Bukan hanya itu, dalam memberikan pengajian di pesantrennya, keilmuan dan pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak diragukan lagi.

KH. Abdul Wahab Chasbullah seorang ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu agama, seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, ‘Aqaid, Tassawuf, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Mantiq, Arudi, hingga Ilmu Munadzarah dari cabang Ilmu diskusi dan retorika. Selain itu beliau juga seorang organisator ulung yang mampu mengorganisir para ulama dalam sebuah organisasi dengan segala sumberdayanya. KH. Abdul Wahab Chasbullah terkenal dalam kemampuan dan keampuhannya dalam retorika, hal ini karena beliau menguasai betul ilmu Ushul Fiqh dan Mantiq. Banyak tulisan dalam buku yang menceritakan tentang kemampuan retorika beliau, baik itu dengan Kiai, Dewan Parlemen, dan beberapa tokoh lainnya. Kecerdasan dan bakat kepemimpinan yang dimiliki KH. Abdul Wahab Chasbullah sesungguhnya sudah tampak sejak dibangku pesantren. Beliau mudah bersosialisasi dengan santrisantri lain.

Beliau juga memimpin kelompok belajar dan diskusi santri yang dibuatnya. Dalam diskusi tersebut disamping pembahasan tentang pelajaran agama, permasalahan sosial kemasyarakatan juga dibahas. Dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan tersebut, maka sepulangnya dari pesantren KH. Abdul Wahab Chasbullah sama sekali tidak canggung untuk berinteraksi dengan segenap lapisan masyarakat. Dengan segenap kecerdasan intelektual dan kemampuan yang dimiliki, KH. Abdul Wahab Chasbullah mulai berjuang dan mengabdikan dirinya untuk umat.

Latar Belakang Sosial Politik

KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah seorang Ulama besar yang hidup dan berjuang di tiga zaman, yaitu; zaman peregerakan dan perjuangan merebut kemerdekaan, setelah Indonesia merdeka, dan awal masa Orde Baru. Beliau memang pernah merasakan pahit getirnya dunia politik. Pada zaman pergerakan dan perjuangan merebut kemerdekaan, sepulangnya KH. Abdul Wahab Chasbullah dari tempat menimba Ilmu di kota suci Makkah, beliau tidak langsung kembali ke Tambakberas untuk membantu dan mengajar di pesantren asuhan ayahnya. Hal ini tak berarti beliau tak mampu untuk menjalankan tugas itu, namun ada hal lain yang menggerakkan minat dari jiwanya yang energik dan penuh ambisi, seperti halnya berjuang di tengah-tengah kota besar yang penuh tantangan. Ambisinya tergugah akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, beliau sangat bisa merasakan sakitnya menjadi negeri jajahan, dimana banyak rakyat yang menderita, kemiskinan, hancurnya tatanan adat dan budaya, serta kekayaan alam yang terkuras.Yang lebih parah adalah kebodohan yang merajalela akibat sistem atau kebijakan penjajah yang tidak memihak pada peningkatan kecerdasan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, beliau memilih kota Surabaya menjadi tempat memulainya untuk berjuang, dimana kota Surabaya pada waktu itu adalah kota terbesar kedua sesudah Jakarta yang menjadi pusat perdagangan yang sedang berkembang. Lebih dari itu, pada tahun 1910-an Surabaya juga menjadi pusat politik berbagai organisasi, salah satu diantaranya adala SI (Sarekat Islam), KH. Abdul Wahab Chasbullah pernah mendirikan cabang Sarekat Islam ini di kota suci Makkah.

Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah yang penuh kegigihan adalah saat membela kaum tradisionalis, yang pada waktu itu timbul pertentangan dari kaum modernis (Muhammadiyah dan Al Irsyad) terhadap kaum tradisionalis. Paham Muhammadiyah; Bahwa umat Islam harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadits Nabi, kebenaran fatwa dan kitab para ulama dan amalan-amalan umat Islam harus ditinjau kembali dengan Ijtihad. Umat Islam harus melepaskan diri dari sikap taqlid kepada pendapat dan fatwa ulama tersebut, selain itu umat Islam harus meninggalkan tradisi-tradisi dan praktek keagamaan yang tidak murni dari Islam; selametan (Kenduri), ziarah kubur para ulama dan wali. Paham tersebut sangat bertentangan dengan sendi-sendi keislaman yang dianut kaum tradisionalis. Menurut kaum tradisionalis, ulama adalah pewaris Nabi dan penjaga hukum Islam, mereka sangat teliti dalam ber ijtihad, karena syarat seorang mujtahid adalah harus mengetahui nash al-Qur’an dan Hadits, memahami betul Ijma’ ulama terdahulu, mengetahui bahasa Arab, asbabun nuzul, asbabul wurud. Hubungan kaum tradisionalis dan modernis semakin buruk karena timbulnya perpecahan rancangan untuk Kongres Dunia Islam.

Kaum muslim tradisionalis khawatir Ibnu Saud akan melakukan reaksi terhadap reaksi terhadap pendidikan dan ritual beraliran syafi’i di Hijaz, sedangkan kaum modernis justru senang dengan tampilnya penguasa Wahabi di panggung kekuasaan. Dan hasil konferensi yang dipimpin oleh kaum modernis yang mengirim utusan dan tidak mengundang kaum tradisional untuk ikut serta. Karena rentetan peristiwa tersebut maka KH. Abdul Wahab Chasbullah atas restu KH. Hasyim Asy’ari mengumpulkan para ulama tradisional terkemuka seJawa dan Madura untuk membicarakan serta mendukung pembentukan komite Hijaz. Pada tanggal 31 Januari 1926 pertemuan antar Kiai dan Ulama berlangsung, yang dihadiri oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai tuan rumah, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Ridwan (Semarang), KH. Asnawi (Kudus), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi (Malang), KH. Alwi Abdul Aziz (Surabaya) serta ulama-ulama lainnya tersebut menghasilkan dua keputusan penting, yaitu: peresmian serta pengukuhan Komite Hijaz sebagai delegasi ke Kongres Dunia Islam di Makkah untuk memperjuangkan perlindungan dan kebebasan hukum-hukum Islam menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam wilayah kekuasaannya pada Raja Ibnu Saud, dan membentuk suatu Jam’iyyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat serta bertujuan menegakkan berlakunya syari’at Islam yang berhaluan pada empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Sungguh pun KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah pencetus ide sekaligus perintis dan penggerak ulama pembentukan Nahdlatul Ulama, beliau tidak bersedia menduduki jabatan Rais Akbar, jabatan tertinggi dalam Nahdlatul Ulama, beliau menyerahkan jabatan itu kepada KH. Hasyim Asy’ari, sebagai wujud rasa tawadlu‟ nya kepada sang guru. Dan KH. Abdul Wahab Chasbullah menduduki jabatan sebagai Katib „Aam (Sekretaris Umum).

Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah untuk membesarkan Nahdlatul Ulama benar-benar penuh totalitas. Perjuangan tetap berlanjut, Jepang yang berhasil menghancurkan bangunan-bangunan, serta politik ekonomi sosial yang didirikan Hindia-Belanda, maka berhasil menggeser kedudukan Belanda menjajah Indonesia. Dalam penjajahan Jepang, suasana sangat tidak menentu, ditambah pula penangkapan KH. Hasyim Asy’ari oleh tentara Jepang karena menolak melakukan saikerei; suatu ritual berupa membungkukan badan kearah kaisar Jepang yang menyerupai gerakan ruku’ dalam shalat, sehingga dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Disinilah perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah tampak tidak hanya dalam gerakan pendidikan dan sosial, melainkan juga berjuang secara fisik. Bahkan beliau sendiri yang turun tangan langsung dalam pembebasan KH. Hasyim Asy’ari keberhasilan pembebasan tersebut juga dibantu oleh KH. Abdul Wahid Hasyim, mereka berusaha melakukan diplomasi serta melakukan kunjungan ke saikoo sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang), shuutyokan (Residen Jepang di Surabaya), dan para petinggi Jepang dalam rangka melakukan negosiasi pembebasan KH. Hasyim Asy’ari. Belum selesai sampai disitu, perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah berlanjut dalam pembebasan tokoh Nahdlatul Ulama yang merupakan tulang punggung Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah.

KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam gerakannya melakukan perjuangan melawan penjajah selalu menggunakan cara dan taktik yang cerdas. Beliau melakukan gerakan perlawanan melalui negosiasi dan pembentukan kekuatan militer. Beliau membentuk Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah dan Barisan Kiai. Dengan adanya pasukan militer tersebut beliau terus melakukan gemblengan atau memberikan semangat dan motivasi kepada para kiai dan pemuda akan pentingnya perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.

Totalitas yang dilakukannya menunjukan bahwa beliau merupakan sosok pejuang yang memiliki nasionalisme yang kuat dengan mencurahkan seluruh potensinya dalam upaya melakukan perjuangan dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah demi tercapainya kemerdekaan Indonesia.

Pasca proklamasi kemerdekaan, presiden Soekarno mengangkat KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) bernama Dr. Douwes Dekker dan Dr. Rajiman Wedyodiningrat yang bertugas memberikan nasihat baik diminta maupun tidak kepada presiden.

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, KH. Abdul Wahab Chasbullah bergabung dalam gerilya menentang kembalinya kekuasaan Belanda dengan menyumbangkan hartanya untuk perlengkapan militer, bekerjasama dengan unit-unit geerilya, dan membantu mengkoordinasi rekrutmen-rekrutmen dan pelatihan santri di Jawa Timur.

Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah habis-habisan untuk membesarkan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama baik itu jauh sebelum Indonesia merdeka hingga Indonesia merdeka. Dengan segenap jiwa, raga, harta, dan tenaga beliau curahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam melalui Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu hingga beliau sudah udzur pun masih terpilih menjadi Rais „Aam Nahdlatul Ulama. Jika kita melihat perjuangan dan pengabdian beliau, memang tidak ada yang lebih pantas untuk menggeser jabatan itu. Hingga akhirnya beliau wafat, jabatan itu digantikan oleh adik iparnya sekaligus teman berjuangnya, KH. Bisri Syansuri.

Karya-karya Kiai Wahab

KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah sosok orang besar yang tak menuliskan karyanya diatas kertas, melainkan menuliskan karyanya di atas bumi, dengan segala perjuangannya yang beliau persembahkan untuk umat, baik itu dalam dunia pesantren dan bangsa Indonesia. Dengan hasil karya perjuangannya, kita bisa menikmati dan merasakannya hingga saat ini. Maka dari karya-karya KH. Abdul Wahab Chasbullah melalui perjuangan yang terbingkai dalam ucapan dan perbuatannya, kita bisa menyimpulkan pemikiran-pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah walaupun beliau tidak pernah menggoreskan tinta tentang pemikiran ataupun pandangan hidupnya pada selembar kertas.

Wafatnya Kiai Wahab

KH. Abdul Wahab Chasbullah menjadi Rais „Aam Nahdlatul Ulama sampai akhir hayatnya. Muktamar NU ke – 25 di Surabaya merupakan muktamar terakhir yang diikuti oleh beliau, sebagaimana doanya dihari-hari terakhir hidupnya untuk dapat memberikan suara pilihannya kepada partai NU dan mengikuti muktamar ini. Sebenarnya, ia dalam keadaan sakit.

Khutbah al-Iftitah muktamar yang lazim dilakukan oleh Rais Aam Nahdlatul Ulama kemudian diserahkan kepada KH. Bisri Syansuri, yang biasanya membantunya dalam menjalankan tugas sebagai Rais Aam untuk membacakannya. KH. Abdul Wahab Chasbullah meninggalkan muktamar dalam keadaan sakit yang akut. Hampiir lima tahun ia menderita sakit mata, yang menyebabkan kesehatannya semakin menurun.

Empat hari setelah menghadiri muktamar, Kiai Wahab dpanggil Sang Maha Kuasa Allah SWT tepat dikediamannya, Komplek Pesantren Tambakberas Jombang. Orang yang berjasa dan berjuang keras dalam berdirinya Nahdlatul Ulama ini wafat pada Rahbu, 29 Desember 1971.Kiai Wahab wafat pukul 10.00 dan dimakamkan pukul 17.00 hari itu juga.

Wafatnya sosok Kiai Wahab Chasbullah bagaimanapun juga meninggalkan jejak sejarah harum bagi Nahdlatul Ulama yang berjuang bersama untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sepeninggalan Kiai Wahab Chasbullah pucuk pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama yakni Rais Aam digantikan oleh sahabat sekaligus sang adik ipar yakni Kiai Bisri Syansuri menggantikan posisi sebagai Rais Aam PBNU.