Partai politik yang akan di jadikan sebagai partai politik tunggal pada awal kemerdekaan adalah

Ide dan gagasan mengenai partai politik di Indonesia sudah muncul jauh sebelum kemerdekaan Indonesia dalam makna proklamasi. Perdebatan mengenai topic kepartaian terus berlangsung dan memuncak pada awal-awal kemerdekaan. Elit politik Indonesia pada saat itu mulai memikirkan bahwasanya Indonesia menjadi Negara yang Demokratis. Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah infrastruktur demokrasi yang diharapkan mampu menyalurkan aspirasi rakyat melalui jalur demokratis. Namun disisi lain pula, beberapa elit politik juga tidak menghendaki adanya banyak partai politik. Para elit politik berkeinginan adanya sistem partai tunggal yang diharapkan bisa mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Bagi mereka, partai politik hanyalah pemecah belah rakyat dan menjadi sandungan bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam angapan pembentukan partai politik di awal kemerdekaan.

Lahirnya sebuah gerakan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir, tidak hanya sebagai jawaban atas Partai Nasional Indonesia (PNI) , melainkan juga dapat dipahami dalam konteks perdebatan tentang model-model kepartaian yang ada saat itu. Presiden RI pertama misalnya, yang masih memendam hasrat untuk merawat keberadaan sebuah partai pelopor, yang menjadi satu-satunya partai yang ada pada saat itu. Partai yang ada akan lebih membuat Indonesia menjadi lebih kuat dalam mengelola pemerintahan Negara sebagai salah satu bagian dari tugas partai politik.

Secara resmi, pada 27 Agustus 1945, pemerintah mengumumkan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara. Pemerintah juga menyebutkan mengenai pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjalankan fungsi parlemen kenegaraan. Namun, PNI hanya bertahan empat hari. Pada 1 September, partai tersebut dibubarkan karena dikhawatirkan bisa menjadi pesaing KNIP. Para elit politik memikirkan pembentukan partai politik yang lain. Maka muncullah “Maklumat Pemerintah 3 November 1945”. Isi dari maklumat tersebut adalah anjuran agar masyarakat membentuk partai-partai politik dalam rangka, seperti disebutkan dalam maklumat itu, “memperkuat perjuangan… mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masjarakat.”

Maklumat merupakan sebuah turning point untuk proses demokrasi dan kehidupan kepartaian di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa, perbedaan pandangan mengenai sistem partai tunggal dan multipartai sama menariknya dengan proses lahirnya partai-partai politik itu sendiri. Maka berawal dari hal tersebutlah dapat dilihat bagaimana pergulatan pemikiran para elit politik pada saat itu, terutama dalam hal bagaimana mereka memaknai demokrasi.

Berikut partai politik baru setelah dikeluarkannya “Maklumat Pemerintah” sebagai bagian dari proses pembentukan partai politik di awal kemerdekaan :

  1. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) –  didirikan oleh dr. Sukiman (0 7 Nopember 1945).
  2. Partai Komunis Indonesia (PKI) – didirikan oleh Moh. Jusuf sejak (Nopember 1945).
  3. Partai Buruh Indonesia (PBI) – dipimpin oleh Nyono – (8 Nopember 1945) yang merupakan contoh partai politik di awal kemerdekaan.
  4. Partai Rakyat Jelata (PRJ) – dipimpin oleh Sutan Dewanis dan (8 Nopember 1945).
  5. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) – dipimpin oleh Ds Probowinoto ( 10 Nopember 1945).
  6. Partai Sosialis Indonesia (PSI) – dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin ( 10 Nopember 1945).
  7. Partai Rakyat Sosialis (PRS) – dipimpin oleh Sutan Syahri ( 20 Nopember 1945).
  8. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) – dipimpin oleh I.J. Kasimo( 8 Nopember 1945).
  9. Partai Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) – dipimpin oleh J.B. Assa (Nopember 1945).
  10. Partai Nasional Indonesia (PNI) – dipimpin oleh Didik Joyosukarto (29 Januari 1946).

Itulah sedikit penjelasan terkait pembentukan partai politik pada era awal kemerdekaan Indonesia. Tentu jumlah partai politik pada masa tersebut tetap kalah dengan jumlah partai politik aktif saat ini. Pada dasarnya, sebuah partai politik pemerintahan, diharapkan dapat membantu menyalurkan aspirasi dan suara rakyat pada pemerintah.

Koran Sulindo – Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menjadi momentum penting bagi pergerakan kebangsaan Indonesia. Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Dua hari kemudian, 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah itu dimulailah masa pergolakan revolusi dan Perang Kemerdekaan melawan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia.

Sementara itu, dinamika perpolitikan nasional pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bergerak cepat. Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia dan tokoh utama pergerakan kebangsaan menginginkan terbentuknya sebuah “partai pelopor” atau “partai tunggal”.

Dalam sebuah pidatonya tanggal 23 Agustus 1945, Bung Karno menganjurkan untuk “… membangunkan suatu partai yang menjadi motor perjuangan rakyat dalam segala suasana dan lapangan, yaitu Partai Nasional Indonesia.… Apakah tujuan Partai Nasional Indonesia itu? Tujuannya ialah Republik Indonesia, membela Republik Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur bersandarkan kedaulatan rakyat. Dan apakah usahanya? Usahanya ialah memperkuat persatuan bangsa dan negara, memperbesar rasa cinta, setia, bakti kepada Tanah Air; mengikhtiarkan program ekonomi dan sosial sebagai tersebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, membantu tercapainya keadilan sosial dan perikemanusiaan dengan jalan perdamainan internasional….”

Pendirian partai pelopor itu dimaksudkan Bung Karno untuk menyesuaikan diri dengan keadaan revolusioner agar kekuatan-kekuatan politik tidak terpecah belah karena adanya banyak partai politik. Suatu partai politik yang bisa menjadi partai pelopor, menurut Bung Karno, haruslah partai yang punya asas perjuangan dan program yang 100% radikal: berjuang melenyapkan susunan masyarakat lama dan berjuang mewujudkan susunan masyarakat baru. Akan tetapi, bagi Bung Karno—ini inti pemikirannya—sebuah asas perjuangan dan program yang radikal akan menjadi “omong kosong” belaka, hanya akan menjadi aksara mati, jikalau partai tersebut “tidak membanting tulang membangkitkan massa aksi dan mengomando massa aksi ke arah surganya kemenangan.”

Dengan demikian, sebuah partai pelopor harus punya dua kriteria. Pertama: partai pelopor harus punya asas perjuangan dan program yang radikal. Kedua: partai pelopor harus aktif berjuang di tengah massa, membangkitkannya menjadi massa aksi, dan memimpin perjuangan massa aksi.

Lantas, bagaimana membangun sebuah partai pelopor? Kata Bung Karno lagi, yang pertama harus dilakukan adalah menyempurnakan diri: partai pelopor harus sempurna dalam keyakinan (ideologi), di dalam kedisiplinan, dan di dalam organisasinya. Partai pelopor harus mencetak kader yang teguh dan kukuh seperti baja. Disiplin partai pelopor meliputi tiga hal: disiplin teori, disiplin taktik, dan disiplin propaganda.Karena itu, kata Bung Karno, sebuah partai pelopor harus dipandu oleh sebuah teori revolusioner. Teori revolusioner ini harus dipasokkan kepada seluruh kader dan anggota melalui pendidikan reguler, kursus-kursus politik partai, majalah dan bacaaan-bacaan partai, dan sebagainya.

Selanjutnya, sebuah partai pelopor, kata Bung Karno, haruslah dibimbing oleh sebuah prinsip yang disebut democratisch centralisme (sentralisme demokrasi): sebuah prinsip kepemimpinan di dalam partai yang mengisyaratkan adanya kesatuan dalam aksi (tindakan). Prinsip sentralisme-demokrasi ini yang memberi ruang kepada kepemimpinan partai untuk memerangi setiap bentuk penyelewengan terhadap strijdpositie (posisi perjuangan) partai. Penyelewengan yang dimaksud Bung Karno adalah reformisme, amuk-amukan zonder (tanpa) pikiran, anarcho syndikalisme, dan penyelewengan ke arah perbuatan atau pikiran cap mata gelap.

Dalam menjalankan perannya, partai pelopor harus melakukan pekerjaan, pertama, mengolah kemauan massa dari onbewust (belum sadar) menjadi kemauan massa yang bewust (sadar). Bentukan dan konstruksi perjuangan, kata Bung Karno, harus diajarkan kepada massa dengan jalan yang gampang dimengerti dan mudah masuk dalam alam pikiran dan akal semangatnya. Untuk itu, kata Bung Karno, selain menjalankan pendidikan dan kursus politik kepada massa, partai pelopor juga harus punya majalah dan selebaran yang bertebaran seperti daun jati di musim kemarau. Selain itu, lanjut Soekarno, aksi massa harus dibuat beruntun-runtun seperti ombak samudra.

Kedua, partai pelopor harus mengobarkan keberanian massa untuk bangkit berjuang; memerangi segala bentuk reformisme yang menipu massa. Untuk itu, kata Bung Karno, partai pelopor mendidik massa dengan keinsyafan yang dibarengi dengan pengalaman-pengalaman langsung (ervaringen). Pengalaman-pengalaman inilah yang akan membuka mata massa mengenai kebohongan-kebohongan dan kekosongan taktik reformisme.

Karena itu, partai pelopor harus mampu mengolah dan memperkaya pengalaman perjuangan massa dari hari ke hari; menyuluhi massa sambil berjuang di tengah-tengah massa. Menurut Bung Karno, perjuangan untuk aksi dan hasil kecil-kecilan tidak boleh ditinggalkan. Perjuangan kecil-kecilan atau perjuangan sehari-hari harus diletakkan dalam kerangka mengolah stridjvaardigheid (kemahiran berjuang) massa. Perjuangan sehari-hari, kata Soekarno, adalah suatu schooling, suatu training, suatu gemblengan tenaga menuju sesuatu yang lebih besar.

Singkat cerita, kata Bung Karno, partai dituntut untuk selalu menyatu dengan rakyat. Partai berkewajiban membangkitkan kekuatan rakyat, yakni kekuatan rakyat yang sadar politik, rakyat yang paham akan ideologi, politik, dan cara meraih cita-cita melalui jalan politik. Inilah, tegas Bung Karno sekali lagi, sosok partai politik yang secara nyata menjadi senjata rakyat dalam mengubah nasib mereka.

Namun, partai pelopor ini tak sempat berdiri. Bahkan sembilan hari kemudian, 1 September 1945, gagasan tentang “partai pelopor” itu diabaikan karena dianggap akan menyaingi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)—sebuah organisasi yang resminya adalah pembantu presiden, namun melaksanakan fungsi partai dan funsgi parlemen sekaligus.  Gagasan partai pelopor itu menjadi sirna ketika pada tanggal 3 November 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah, yang ditandatangani Wakil  Presiden Mohamad Hatta.


Page 2

Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah itu muncullah bermacam partai politik yang didirikan berbagai kelompok aliran politik. Pada 7 November 1945 didirikan Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia). Bulan Desember 1945 berdiri Partai Sosialis, yang merupakan gabungan Partai Sosialis Indonesia yang dipimpinaAmir Sjarifudin dan Partai Rakyat Sosialis yang dipimpin Sutan Sjahrir.

Baca juga : Maklumat 3 November 1945: Selamat Datang Partai Politik

Selain itu juga bermunculan partai yang beraliran kiri. Pada 21 Oktober 1945, misalnya, didirikan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diketuai Mr Mohamad Jusuf. Tanggal 21 November 1945 berdiri Barisan Buruh Indonesia yang kemudian membentuk Partai Buruh Indonesia. Masih di bulan November 1945, para tokoh yang bersimpati kepada Tan Malaka membentuk Partai Rakjat Djelata. Partai-partai yang beraliran agama juga bermunculan, seperti Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), Partai Katholik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Partai Nasional Indonesia (PNI) baru dibentuk lagi pada 29 Januari 1946 sebagai hasil fusi tujuh kelompok nasionalis: Serikat Rakyat Indonesia (Serindo), PNI Madiun, Partai Republik Indonesia (yang dididirikan di Madiun oleh Dr Soeradji), PNI-Pati (yang dipimpin Sarino Mangunpranoto), Partai Kedaulatan Rakyat (yang didirikan Sujono Hadinoto di Yogyakarta), PNI-Sumatera (yang dipimpin Dokter AK Gani), dan PNI-Sulawesi (dipimpin  Manai Sophiaan). Pembentukan PNI itu dideklarasikan dalam Kongres Serindo yang diselenggarakan di Kediri, Jawa Timur, 28 Januari sampai 1 Februari 1946. Dari komposisi pimpinan partai, falsafah, dan program partai tersebut tampak jelas PNI 1946 mewarisi ideologi PNI 1927.

Sebagai ketua dipilih Sarmidi Mangunsarkoro, yang sebelumnya menjabat Sekjen Serindo. Dalam jajaran pemimpin partai hasil kongres tersebut tercatat sejumlah tokoh nasionalis terkemuka, seperti Mr Sartono, Mr Wilopo, Sidik Djojosukarto, AK Gani, Manai Sophiaan, Mr Sumanang, dan Sudiro. Para anggota penting dewan partai punya hubungan akrab satu sama lain dalam PNI 1927, Partindo, dan kemudian Gerindo. Selama pendudukan Jepang, mereka juga menjalin kerja sama erat dengan Soekarno dalam birokrasi dan organisasi massa seperti Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan Jawa Hokokai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, mereka terus membina hubungan yang erat dengan Soekarno dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Secara formal, ideologi PNI dirumuskan sebagai sosialisme-nasionalisme-demokrasi atau sosio-nasional-demokrasi, mengikuti dasar-dasar PNI 1927 dan Partindo yang dirumuskan Soekarno.

Baca juga : Gerak Sejarah PNI

Di masa revolusi kemerdekaan, praktis semua partai politik berdaya-upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari rongrongan pasukan dan pemerintah Belanda. Namun, di tengah suasana mempertahankan kemerdekaan itu, pertengahan September 1948 meletus Peristiwa Madiun – pemberontakan bersenjata yang melibatkan PKI/FDR. Tapi, pemberontakan PKI ini berhasil ditumpas pemerintah republik.

Perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya membuahkan hasil gemilang. Pada 27 Desember 1949, Kerajaan Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk wilayah Irian Barat (yang baru berhasil dibebaskan pada tahun 1963). Dan sejak tahun 1950 dimulailah apa yang disebut sebagai era demokrasi liberal atau demokrasi parlementer.

Pada tahun 1955, pemerintah menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama untuk memperebutkan 257 kursi parlemen. Pemilihan umum ini diikuti 36 partai politik. Hasil pemilu menunjukkan PNI dan Masjumi sebagai partai politik utama pada masa itu.

Kedua partai ini masing-masing memperoleh 57 kursi di parlemen, meski perolehan suara PNI mengungguli Masjumi. Lalu disusul Nahdlatul Ulama dengan 45 kursi dan PKI meraih 39 kursi.

Yang termasuk sebagai “partai sedang” adalah PSII (meraih 8 kursi), Parkindo (8 kursi), Partai Katolik (6 kursi), Partai Sosialis Indonesia (PSI, 5 kursi), Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti, 4 kursi), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI, 4 kursi), dan Partai Murba (2 kursi). Sisa kursi parlemen lainnya dipegang oleh puluhan partai kecil.

Dua partai besar, PNI dan Masjumi, kemudian memegang peran penting dalam perpolitikan nasional pasca-Pemilu 1955. Hal tersebut tampak dari komposisi parlemen (party politics), juga dalam posisi-posisi kunci dalam pembentukan kabinet (cabinet politics). Pada masa itu pula PNI dan Masjumi secara silih berganti memegang peran penting baik di parlemen maupun di dalam pemerintahan. Namun, dalam masa ini pula muncul “kuda hitam” PKI yang selalu berhasil merombak komposisi tersebut tergantung pada jauh-dekatnya dengan PNI. Dalam masa ini, PKI membuat loncatan jauh ke depan setelah Peristiwa Madiun tahun 1948. Dengan demikian, ketiga partai inilah yang memberi warna periode demokrasi parlementer tersebut.

Masa demokrasi parlementer ini ditandai dengan jatuh-bangunnya kabinet. Akibatnya, sistem politik Indonesia di masa itu dipenuhi ketidakstabilan. Banyak pihak menyalahkan perilaku partai-partai politik sebagai sumber dari kegagalan berjalannya demokrasi parlementer.

Mengenai kelemahan-kelemahan partai politik, Wilopo—mantan perdana menteri dan Ketua PNI—mengatakan: “Dengan multipartai dan sistem kabinet parlementer ternyata tidak dapat dibentuk pemerintahan yang kuat dan tahan lama. Negara berkembang memerlukan justru kabinet yang kuat dan tahan lama, karena memerlukan tonggak-tonggak perjalanan yang kukuh untuk permulaan hidupnya. Ini sebenarnya bukan salahnya sistem kabinet parlementer. Hal ini tergantung bagaimana kita sendiri memperbuatnya. Dari kalbu partai-partai politik sendiri dulu tidak ada ditentukan benih-benih perbaikan. Dalam keadaan demikian sudah barang tentu datang campur tangan dari luar.”

Meski dinilai gagal, perlu diakui pula periode demokrasi parlementer ini berjasa. Dalam bidang legislasi, misalnya, partai-partai melalui lembaga legislatif—baik DPR Sementara maupun parlemen hasil Pemilu 1955—sangat produktif dalam pembuatan undang-undang, yaitu rata-rata 29 dan 48 undang-undang per tahun. Dalam soal akuntabilitas politik, kinerka kedua parlemen itu juga pantas dipuji. Sekalipun menghadapi perang dengan Belanda, semua hasil perundingan dengan pihak Sekutu dibawa ke parlemen dan diterima baik, meski melalui perdebatan sengit.

PNI sendiri, meski tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1955, kerap dikritik sejumlah kalangan. Hasil Pemilu 1955 menunjukkan PNI tidak berhasil menggarap massa rakyat kecil di perkotaan Jawa serta wilyah di luar Jawa. Dalam pengamatan Rocamora, kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 justru telah mempercepat proses transformasi ke arah bentuk organisasi politik yang konservatif. Sejumlah besar pemimpin cabang—yang memiliki garis politik nasionalisme-radikal—kemudian duduk dalam parlemen dan Konstituante.  Bersamaan dengan itu mulailah terjadi pergeseran-pergeseran sejumlah besar pemimpin cabang yang paling commited dan hal ini memudahkan masuknya para pendatang baru yang seringi berkarakter opurtunis. Wafatnya Sidik Djojosukarto, mantan Ketua Umum PNI yang secara garis politik dekat dengan Bung Karno, pada September 1956 telah membuat sayap nasionalis-radikal dalam PNI kehilangan figur teladan yang dominan.

Tampilnya Suwirjo dari kubu konservatif sebagai Ketua Umum PNI dalam Kongres PNI VIII di Semarang makin mengucilkan kubu nasionalisme-radikal. Kongres ini juga menghasilkan perubahan-perubahan penting pada struktur organisasi PNI. Dewan nasional partai yang dahulu terdiri dari suatu kelompok kecil yang ditunjuk dewan pimpinan pusat di dalam struktur baru diubah menjadi badan pekerja kongres, yang keanggotaannya diperluas dengan memasukkan anggota-anggota yang dipilih dewan pimpinan daerah. Badan pekerja ini juga memiliki kekuasaan yang lebih luas dalam penentuan garis politik partai. Perubahan-perubahan organisatoris tersebut nantinya akan mendatangkan kemunduran bagi PNI.

Baca juga : Bung Karno: PNI Bukan Main!

Bung Karno sendiri beberapa kali mengkritik para pemimpin PNI. Pada awal tahun 1960, pemimpin PNI bermain-main dengan ide untuk bergabung dengan Liga Demokrasi, suatu organisasi yang menentang rencana Presiden Soekarno untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Ketua Umum PNI Suwirjo baru mengumumkan perlawanan terhadap Liga Demokrasi setelah ditekan para pemimpin muda partai. Dan akhirnya, PNI menerima tanpa syarat gagasan DPR Gotong-Royong.

Peran PNI di pentas perpolitikan kembali penting setelah Presiden Soekarno mengumumkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang menandai Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia]