Mengapa sumber kekuasaan J.J Rousseau menjadi tonggak dasar?

 

Mengapa sumber kekuasaan dari JJ Rousseau menjadi tonggak dasar dalam demokrasi yang berkembang hingga saat ini?Jawab :Selamat siang Bapak dan rekan semua, izin berpendapatMenurut saya mengapa sumber kekuasaan dari JJ Rousseau menjadi tonggak dasar dalam demokrasiyang berkembang hingga saat ini yaitu karena1. Dalam Teori Hukum Alam yang dikemukakan Rousseau, menurutnya perjanjian masyarakatdisini bersifat bertingkat. Jadi, mula-mula kekuasaan itu ada pada rakyat, kemudian olehmasing-masing orang ini kekuasaan tersebut diserahkan kepada masyarakat sebagai suatukesatuan dan seterusnya sampai kemudian sampai pada raja. Jadi penyerahan kekuasaanatau perjanjian masyarakat di sini sifatnya bertingkat ( Soehino, 2005: 149-150). DikatakanWolfgang Friedmann dalam bukunya

Legal Theory 

 bahwa Rousseau hanya mengenal satu jenis perjanjian, yakni

pactum unionis 

. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi dibentuk danditentukan oleh kemauan umum atau

volunte generale 

. Jadi, meskipun pemerintah berkuasa,yang memegang kedaulatan sesungguhnya adalah rakyat karena raja atau pemerintah itupada hakekatnya adalah wakil rakyat (Atmadja, 2012: 29)Untuk lebih jelasnya, terlebih dahulu kita pahami Apa yang dimaksud dengan Teori Hukum  Alam dan perjanjian masyarakat.

Teori Hukum Alam dan Perjanjian asyarakat

Hukum atau hukum kodrat dalam istilah latin disebut

Ius Naturale 

. Hukum alam adalah hukumyang tidak dibuat oleh badan legislatif melainkan karena kodrat atau alam dalam arti akal budi,manusiawi, berlaku di segala tempat atau universal, sepanjang masa dan tidak berubah-ubah.Dengan demikian teori hukum alam menerangkan bahwa asal kekuasaan adalah dari alamkodrat manusia (Atmaja, 2012:25). Manusia satu dengan yang lainnya saling mengadakanperjanjian agar kepentingannya terlindungi dan menyerahkan kekuasaan tersebut padaseseorang atau sekelompok orang. Disinilah sebenarnya asal dari sebuah kekuasaan.Dengan demikian, teori hukum alam juga mematahkan anggapan bahwa kekuasaandatangnya dari Tuhan. Dari teori hukum alam inilah lahir sebuah kontrak sosial.JJ. Rousseau yang juga sebagai penganut teori kedaulatan rakyat, memandang bahwakedaulatan rakyat adalah pengejawantahan

volunte generale 

 atau kehendak umum dari suatubangsa yang merdeka dengan perjanjian sosial dan konsensus bersama membentukorganisasi bernama negara untuk melaksanakan kepentingan bersama. Kedaulatan rakyat inimenjadi kedaulatan yang mutlak berdasarkan

volunte generale 

 dari rakyat itu. Ajarankedaulatan rakyat adalah ajaran yang memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau jugadisebut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat dalam kacamataRousseau bukanlah penjumlahan dari individu-individu dalam negara, melainkan adalahkesatuan yang dibentuk oleh individu-individu itu, dan yang mempunyai kehendak kehendakyang diperolehnya dari individu-individu tersebut melalui perjanjian masyarakat, yang olehRousseau kehendak tadi disebut kehendak umum atau

volunte generale 

. Jika yang dimaksuddengan rakyat itu adalah penjumlahan dari individu-individu di dalam negara bukan kesatuan

Demokrasi Rousessau demokrasi radikal adalah pernyataan ringkas untuk menggambarkan pemahaman demokrasi dari pemikir Swiss ini. Rousseau, Si Orang Jenewa, menganggap Demokrasi yang dipraktekkan di negara-negara seperti Inggris dan Perancis sebagai perampas kebebasan rakyat. Demokrasi tersebut adalah Demokrasi Perwakilan, Demokrasi di mana rakyat cuma berdaulat saat memilih dalam Pemilu, tetapi setelah pulang ke rumah, para wakil rakyat membuat undang-undang menurut kepentingannya sendiri, bukan kepentingan para pemilihnya.

Tulisan Jean-Jacques Rousseau yang termuat dalam On Social Contract akan dikritisi menggunakan sebuah kerangka.[1] Penggunaan kerangka ini mengingat tulisan Rousseau mengenai Demokrasi dalam On Social Contract cukup luas. Ia meliputi tema-tema Demokrasi yang sifatnya substantif, prosedural, maupun konstitusional. Karena keluasan tulisan Rousseau tersebut, maka penggunaan kerangka diharapkan dapat mempermudah artikel ini dalam mengkritisi pikiran Rousseau mengenai Demokrasi.

Jean Jacques Rousseau

Sumber Foto: //www.the-tls.co.uk/articles/jean-jacques-rousseau-contradictions-freedom/

Kerangka yang akan digunakan untuk mengukur konsep demokrasi Rousseau adalah kerangka Demokrasi seperti dipahami pada masa kini. Penggunaan kerangka ini ditujukan untuk mampu mendeskripsikan pemaknaan Demokrasi dan seluruh aspeknya seperti yang dimaksudkan oleh Rousseau, dan secara lebih lanjut paper ini dapat mengkritisinya secara – harapannya – sistematis. 

Kerangka yang akan digunakan untuk mengkritisi Demokrasi Rousseau adalah pendekatan Demokrasi yang ditawarkan Charles Tilly.[2] Dalam bukunya, Tilly (setelah mengamati aneka studi mengenai Demokrasi) mengetengahkan 3 pendekatan umum mengenai Demokrasi yaitu secara konstitusional, substantif, dan prosedural.[3] 

Pendekatan konstitusional, menurut Tilly, berkonsentrasi pada perundang-undangan yang diberlakukan suatu rezim berkenaan dengan aktivitas politik yang berlaku.[4] Aneka indikator dalam pendekatan ini adalah apakah suatu rezim bercorak oligarki, monarki, republik, dan jenis-jenis rezim lainnya dengan cara mengontraskan bentuk hukum dari setiap rezim.[5] Pendekatan ini pun memasukkan bagaimana tata hubungan antar lembaga negara seperti termaktub di dalam konstitusi, asal-usul kedaulatan, siapa dan dari mana asal dari orang-orang yang menjadi pejabat politik dan sejenisnya. 

Pendekatan substantif fokus pada kondisi kehidupan dan politik yang dipromosikan oleh suatu rezim.[6] Pada pendekatan ini indikatornya adalah apakah rezim mempromosikan kesejahteraan, kemerdekaan individu, keamanan, persamaan sosial, pertimbangan publik, dan resolusi konflik secara damai. Pendekatan ini fokus pada nilai-nilai yang berkembang di dalam Demokrasi. 

Pendekatan prosedural melihat Demokrasi melalui praktek-praktek pemilihan umum.[7] Indikator-indikator dalam praktek ini disempitkan ke dalam 4 bidang yaitu adanya sistem politik multipartai yang kompetitif, hak pilih universal untuk pemilih dewasa, pemilu reguler yang bersifat rahasia dan berlangsung jujur, dan akses publik untuk menilai calon-calon dari partai politik. Dengan demikian, secara umum pendekatan ini fokus pada fenomena pemilihan umum beserta komponen-komponen yang ada di dalamnya. 

Melalui ketiga pendekatan Demokrasi seperti telah disebutkan di atas, artikel ini akan mengkritisi pikiran Rousseau mengenai Demokrasi berikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam On Social Contract. Artikel ini pertama kali akan memuat pemikiran Rousseau yang dianggap masuk ke dalam setiap definisi Tilly beserta indikatornya, lalu mendeskripsikan pendapat Rousseau mengenai hal tersebut, dan baru setelah itu dilakukan pembahasan. 

Konsep-konsep Inti dalam Pemikiran Rousseau 

Sebagai eksponen tradisi romantis Eropa, Rousseau memandang segala sesuatu sebagai hubungan tak terpisahkan antara manusia dengan alam. Sebab itu, pandangannya mengenai negara tidak terlepas dari pandangannya mengenai keluarga. Bagi Rousseau, keluarga adalah bentuk masyarakat yang paling alamiah. Hubungan antara anak dengan ayahnya adalah sejauh pihak pertama perlu pemeliharaan dari pihak kedua.[8] Manakala kebutuhan pemeliharaan ini menghilang, tetapi pihak pertama dan kedua tetap tinggal bersama, maka bentuknya bukan alamiah lagi melainkan sukarela dan keluarga hanya ada selama konvensi (kesukarelaan) ini tetap ada. Dalam tulisan-tulisan lebih lanjut, bahwa konsep Rousseau mengenai negara tidak terlepas dari asumsinya mengenai keluarga. 

Lebih lanjut, Rousseau mengkaji apakah pemaksaan pihak yang lebih kuat terhadap yang lemah harus dipandang sebagai sesuatu yang normal ataukah tidak? Bagi Rousseau, hak pihak yang lebih kuat, tidak akan terus ada selama ia tidak mentransformasikan kekuatan menjadi hak dan kepatuhan menjadi kewajiban.[9] Hak dan kewajiban, keduanya bukan merupakan hal yang alamiah. Kekuatan melulu bersifat fisik, dan kepatuhan pada pihak yang lebih kuat hanya bersifat perlu, bukan berdasarkan consent (persetujuan). Dengan demikian, manusia hanya boleh patuh pada kekuasaan yang punya legitimasi. Masalah legitimasi ini merupakan dasar gagasan Rousseau dalam pembentukan perjanjian sosial. 

Mengenai tata cara bermasyarakat, Rousseau menyodorkan konsep pakta sosial atau kontrak sosial, yang menurutnya merupakan upaya manusia untuk melahirkan kekuatan baru di dalam kesatuan antarmereka. Kesatuan ini adalah totalitas kekuatan yang lahir lewat kombinasi aneka totalitas kekuatan para individu yang diyakini mampu mengarahkan tindakan mereka. Arahan dari kesatuan dorongan ini diyakini memungkinkan mereka bertindak selaku kesatuan. Kohesi utama dalam kontrak sosial ini adalah general will. 

Menurut Rousseau, general will (kehendak bersama) adalah satu-satunya entitas (sifatnya moral dan abstrak) yang berkuasa dalam negara, karena tujuan general will adalah kebaikan bersama (common good).[10] General will pada fase kemudian menjelma menjadi konsep baru yaitu sovereignty (kedaulatan). 

Dasar dari kedaulatan suatu negara adalah general will rakyatnya. Kedaulatan inilah satu-satunya pelaksana general will, dan dengan demikian, karena asalnya dari general will, kedaulatan tidak bisa ditransfer atau dibagi. Juga, menurut Rousseau, general will tidak bisa didelegasikan. Rousseau menyebut bahwa general will memberi penekanan atas kemampuan individu yang mengikatkan diri dalam kontrak sosial untuk menentukan kebaikan bersama (common good) di atas kepentingan sempit. 

Di dalam masyarakat, Rousseau menyatakan bahwa general will ini dapat muncul dengan cara mendidik warganegara guna mengisi kapasitas mereka dengan simpati bagi tujuan-tujuan bersama di atas kehendak egoistik. Bagi Rousseau, kehendak egoistik (private will) hanya akan mendorong pada terciptanya kekerasan dan ketimpangan.[11] Rousseau membedakan antara general will dengan will of all[12] dengan mana yang terakhir adalah seluruh kepentingan individu yang merupakan penjumlahan dari seluruh kepentingan individu di dalam negara. Will of all menurutnya akan mengalami konflik dengan general will. General will dapat ditemukan dengan menanyai satu per satu warganegara mengenai apa yang dimaksud dengan kehendak bersama. Mengenai mekanismenya mungkin serupa dengan sensus, dan problem akan muncul manakala jumlah warganegara terlalu besar, general will versi Rousseau ini akan sulit untuk dihadirkan. 

Rousseau memandang negara layaknya sebuah organisme yang bersifat totalitas. Negara harus bergerak secara kompak, satu suara, dan satu pendapat. Dasar dari totalitas ini adalah general wil yang berkonversi ke dalam Daulat (sovereign). Rousseau menyatakannya dalam ungkapan “setiap kami menyerahkan diri dan seluruh kuasanya secara bersama di bawah aturan tertinggi yakni general will; dan kita sebagai satu badan menerima setiap anggotanya sebagai bagian dari keseluruhan yang tidak terbagi.[13] Pernyataan ini merupakan asumsi sentral dalam pemikiran Rousseau mengenai konstitusi suatu negara. Penekanan kata ‘kami’ yang ditransfer menjadi ‘kita’ merupakan ciri khas pemikiran Rousseau mengenai kehendak bersama, bahwa dalam kehendak bersama tidak ada lagi kepentingan ‘kami’ karena yang ada adalah kepentingan ‘kita.’ Di sinilah pengaruh nyata aliran pemikiran romantisisme dalam pemikiran Rousseau. 

Orang-orang yang bersepakat untuk mengikatkan diri ke dalam suatu komunitas bersama pada gilirannya membentuk sebuah entitas bernama badan politik atau republik. Badan tersebut disebut state manakala ia bersifat pasif atau Daulat (sovereign) manakala ia bersifat aktif. Dengan demikian Rousseau memandang negara secara organik, bisa diam dan bergerak. . Negara bagi Rousseau adalah badan yang memiliki ruh, hidup, dan memengaruhi seluruh individu yang mengikatkan diri di dalamnya. Hal ini mirip dengan pemikiran Thomas Hobbes mengenai Leviathan: Negara menjadi sebuah makhluk, sebuah entitas yang memiliki potensi untuk bertindak. Rousseau kemudian membedakan julukan untuk para anggota organisasi ini. Mereka (para individu yang hidup di dalamnya) disebut sebagai rakyat (people), mereka disebut sebagai kolektivitas warganegara (citizen) manakala mereka menjadi partisipan dalam otoritas Daulat, dan disebut subyek manakala mereka terikat dengan undang-undang negara.[14] Rousseau, dengan demikian, telah memberi pernyataan tegas yang membedakan antara kapan penduduk suatu negara disebut sebagai rakyat, warganegara, dan subyek. 

Konstitusional 

Kembali ke masalah kontitusi suatu negara, klasifikasi Rousseau utamanya didasarkan pada aspek kuantitatif, yaitu berapa jumlah penduduk (rakyat) dari suatu negara yang menerapkan bentuk pemerintahan tertentu. Berdasarkan aspek ini, Rousseau mengklasifikasi bentuk pemerintahan menjadi Demokrasi, Aristokrasi, dan Monarki. 

Demokrasi terbentuk manakala Daulat memberikan kepercayaan pada seluruh atau bagian terbesar dari rakyat untuk memikul tanggung jawab pemerintahan, sehingga diharapkan seluruh warganegara menjadi anggota pemerintahan.[15] Aristokrasi terbentuk manakala hanya sejumlah kecil warganegara yang menjadi anggota pemerintahan.[16] Monarki terbentuk manakala seluruh pemerintahan ada di tangan satu pejabat penguasa.[17] Rousseau juga menandaskan bahwa bentuk-bentuk pemerintahan tersebut memiliki gradasinya sendiri di dalam kenyataan. Misalnya, Demokrasi dapat terdiri atas pemerintahan dari seluruh rakyat atau minimal lebih dari setengahnya sementara Aristokrasi berkisar pada bentuk pemerintahan dari yang terdiri atas setengah jumlah rakyat hingga jumlah yang terkecil apabila memungkinkan. 

Penyebutan ketiga bentuk pemerintahan Rousseau mirip dengan yang sebelumnya disebut oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno. Menurut Aristoteles, apabila kekuasaan berada di tangan banyak orang, ia disebut Polity (pemerintahan berdasarkan konstitusi) sebagai bentuk pemerintahan yang baik dan berupa Demokrasi sebagai bentuk buruknya. Apabila kekuasaan berada di tangan sedikit orang, Aristoteles menyebut Aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang baik dan Oligarki bentuk buruknya. Apabila kekuasaan berada di tangan satu orang, Aristoteles menyebutnya Monarki untuk bentuk baiknya dan Tirani kebalikannya.[18]

Berbeda dengan Aristoteles, Rousseau tidak memilih mana bentuk pemerintahan yang baik ataupun buruk, karena penilaiannya pragmatis, yaitu masing-masing dapat menjadi yang terbaik sesuai kondisi faktualnya. Dengan demikian, bagi Rousseau, Demokrasi cocok untuk negara berukuran kecil (Jenewa di mana Rousseau berasal adalah negara kota mirip dengan negara kota Yunani kuno), Aristokrasi negara yang luasnya moderat, dan Monarki untuk negara yang berlingkup besar.[19] Inilah pola pikir pragmatisme yang dianut Rousseau, karena pilihan bentuk-bentuk pemerintahan harus disesuaikan dengan tantangan lapangannya. Selanjutnya, Rosseau mengelaborasi apa yang ia maksud dengan Demorkasi, Aristokrasi, dan Monarki. 

Pandangan Rousseau atas Demokrasi 

Asumsi Rousseau mengenai bentuk pemerintahan Demokrasi cukup ambigu. Rousseau menyatakan bahwa tidak baik orang yang menyusun undang-undang lalu juga menjalankannya.[20] Namun, sehubungan dengan Demokrasi, Rousseau justru menyatakan bahwa semua warganegara harus menjadi penyusun undang-undang dan sekaligus melaksanakannya. Rousseau cenderung tidak percaya apabila pihak selain warganegara diberi kepercayaan untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang.[21]

Mengapa warganegara jangan mewakilkan kepentingannya dalam penyusunan dan pelaksanaan undang-undang kepada pihak selain dirinya? Bagi Rousseau, tidak ada yang lebih bahaya ketimbang adanya pengaruh kepentingan pribadi dalam relasi publik dan Rousseau menganggap korupsi kepentingan pribadi terhadap penyusunan undang-undang sebagai bahaya terbesar dalam negara.[22] Demokrasi, menurut Rousseau, menghendaki kekuasaan legislatif dan ekskekutif ada di satu tangan karena rakyat memerintah secara langsung, baik saat mereka menyusun undang-undang maupun tatkala melaksanakannya. Di sinilah letak ambiguitas pemikiran Rousseau dalam konteks Demokrasi. Bagi Rousseau, penyatuan dua kekuasaan di satu tangan (yaitu tangan warganegara sekalipun) kurang baik dan ini membuatnya pandangannya atas Demokrasi menjadi sama kurang baik pula. 

Bagi Rousseau, Demokrasi sejati tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada.[23] Alasan Rousseau adalah, Demokrasi seperti melawan aturan alamiah bahwa mayoritas seharusnya memerintah dan minoritas diperintah. Bagi Rousseau pula, adalah tidak mungkin rakyat secara terus-menerus selalu bersidang guna membicarakan masalah publik.[24] Apabila ini terjadi, maka siapa yang bertani, berdagang, mengajar, dan lain sebagainya. Keraguan Rousseau terhadap bentuk pemerintahan Demokrasi tampak dari asumsi-asumsinya mengenai empat prakondisinya mengenai Demokrasi: Pertama, negara harusnya sangat kecil sehingga rakyat mudah dirangkai tanpa kesulitan dan satu sama lain saling mengenal; Kedua, sederhananya tata cara mengambil keputusan untuk menghindari terlalu banyaknya persoalan dan diskusi yang bertele-tele; Ketiga, harus adanya tingkat kesetaraan status dan kekayaan; dan keempat, hanya ada sedikit atau tidak sama sekali, penguasaan kekayaan karena akan mengkorupsi mental baik si kaya maupun si miskin secara sekaligus, pihak pertama akibat penguasaannya dan yang kedua karena ketamakannya (untuk melakukan perampasan).[25]

Karena adanya empat prakondisi ini, maka bagi Rousseau, tidak ada bentuk pemerintahan yang sangat rentan memunculkan perang sipil dan gangguan internal selain Demokrasi. Bagi Rousseau pula, Demokrasi punya kecenderungan kuat dan terus-menerus untuk berubah (instabil), dan dengan demikian, secara ironis, Rousseau menyatakan bahwa rakyat yang ada di dalam Demokrasi bersemboyan “saya lebih suka kemerdekaan dengan segala bahayanya ketimbang stabilitas dalam perbudakan.”[26] Secara ironis pula, Rousseau menyatakan bahwa jikalau ada bangsa yang terdiri atas para dewa, maka ia akan diperintah secara Demokratis. Rousseau menutup pandangannya mengenai Demokrasi dengan menyatakan kesempurnaan Demokrasilah yang membuatnya menjadi pemerintahan tidaklah cocok bagi manusia.[27]

Pandangan Rousseau atas Aristokrasi 

Bentuk pemerintahan kedua yang dikaji oleh Rousseau adalah Aristokrasi. Sebelum mengkritisi Aristokrasi, Rousseau membedakan antara dua kehendak bersama (general will). Pertama berhubungan dengan seluruh warganegara di mana general will menjadi satu-satunya parameter dan yang kedua dengan anggota administrasi pemerintahan dengan mana tindakan mereka tidak selalu berhubungan dengan general will. Keduanya hanya dapat bicara atas nama rakyat sejauh mengatasnamakan Daulat (sovereign). 

Contoh dasar Rousseau mengenai Aristokrasi adalah bagaimana pola hubungannya.[28] Dalam bentuk pemerintahan ini, kepala keluarga memperdebatkan hubungan publik diantara mereka dan anggota keluarga muda dapat mengikutinya tanpa kesulitan. Rousseau mencontohkan, dalam masa hidupnya, bahwa suku-suku liar di Amerika Utara masih diperintah secara Aristokratis dimana pemimpinnya umumnya disebut pendeta, tetua, senat, ataupun gerontes. Sekali lagi Rosseau menunjukkan kecenerungan pemikiran romantisnya dengan mana Aristokrasi ini mirip dengan keluarga alamiah. 

Selanjutnya, Aristokrasi, dalam pandangan Rousseau, memiliki tiga watak yaitu alamiah, elektif, dan herediter. Aristokrasi yang berwatak alamiah hanya cocok bagi masyarakat sederhana (seperti suku-suku liar di Amerika Utara seperti telah disebutkan), Aristokrasi yang berwatak herediter adalah yang terburuk dari seluruh bentuk pemerintahan, dan Aristokrasi yang berwatak elektif adalah yang terbaik dan dalam watak inilah Aristokrasi menemui bentuk terbaiknya. 

Bagi Rousseau, Aristokrasi dalam watak elektif cenderung secara tegas memisahkan antara kuasa legislatif dan eksekutif, tidak seperti Demokrasi yang menggabungkan keduanya. Anggota yang kemudian menjadi pelaksana kuasa legislatif dan eksekutif diseleksi (selected).[29] Keanggotaan di dalam pemerintahan Aristokrasi terbatas hanya pada sedikit orang dan diperoleh berdasarkan kegiatan pemilihan, dan dengan demikian, lanjut Rousseau, aspek-aspek seperti integritas, intelijensi, dan pengalaman merupakan tolak ukurnya. Lebih jauh lagi, masih menurut Rousseau, rancangan pemerintahan akan jauh lebih mudah diaransemen, urusan-urusannya akan lebih mudah diperdebatkan sekaligus ditransaksikan melalui tata cara yang mengutamakan keteraturan dan kecerdasan.[30]

Sehubungan dengan luas wilayah negara, bagi Rousseau, Aristokrasi menghendaki luas yang jangan terlampau kecil seperti Demokrasi. Juga, jangan terlampau besar sehingga jarak antara yang memerintah dan yang diperintah menjadi terlalu jauh. Apabila jarak ini semakin jauh, dikhawatirkan akan mendorong setiap wilayah dapat menerapkan Daulat hanya bagi wilayahnya dan cenderung penguasanya merasa merdeka dari negara.[31]

Pandangan Rousseau atas Monarki 

Bagi Rousseau, badan penguasa (pemerintah) merupakan orang-orang yang bersifat kolektif secara artifisial. Artifisial karena mereka bukan pemegang Daulat yang sesungguhnya. Tugas mereka ini adalah memastikan kesatuan kolektivitas dengan mendorong penerapan undang-undang dan diberikan kepercayaan di dalam negara dengan kekuasaan eksekutif.[32] Manakala kekuasaan ini secara alamiah ada di tangan seseorang, sehingga di dalam dirinya terdapat hak untuk mengaplikasikan kekuasaan tersebut menurut undang-undang, maka orang itu disebut Monark atau Raja.[33]

Dalam Monarki, kehendak rakyat, kehendak penguasa, kekuatan publik negara, kekuatan privat pemerintah, semuanya mengacu pada satu impuls. Jadi, dalam Monarki seluruh kehendak dan kepentingan bercampur-baur. Demikian pula, seluruh energi yang menjalankan mekanisme negara ada di dalam satu kendali: Segala hal-hal tersebut melayani tujuan yang sama, tidak ada kekuatan oposisi.[34] Karena sifatnya yang menjamin kesatuan gerak, maka Rousseau memandang bentuk pemerintahan Monarki cocok diterapkan bagi negara yang luas wilayahnya besar.[35]

Dalam memetakan bentuk pemerintahan, Rousseau memformulasikan rumus. Rumusnya adalah, semakin besar pihak yang bertanggung jawab atas pemerintahan, maka semakin sedikit pula perbedaan numerik antara badan penguasa dengan subyeknya, sehingga dengan demikian hubungan keduanya seolah melebur. Dalam konteks ini, Demokrasi adalah yang paling ‘satu’ atau mengalami kesejatian persamaan. Hubungan ini meluas manakala kontrak-kontrak pemerintah dengan subyeknya bertambah dan berkulminasi manakala kekuasaan berada di tangan satu orang: Di mana jarak antara penguasa dan rakyat menjadi sedemikian jauh dan negara kehilangan kohesinya. Dalam konteks mengembalikan kembali kohesi ini, maka diperlukan lebih banyak administrasi fungsinya menyangga. Sanggaan ini (dalam Monarki) terdiri atas lord, para pangeran, ataupun kaum bangsawan. Di sinilah letak signifikansi dari Monarki, yang tentu saja tidak cocok baik negara berukuran kecil.[36]

Rousseau mengingatkan adanya cacat dari bentuk pemerintahan Monarki ketimbang Republik. Bahwa dalam bentuk pemerintahan Demokratis (republik), mereka yang didudukkan oleh suara publik di jabatan tinggi adalah selalu mereka yang tercerahkan, yaitu mereka-mereka yang memiliki kemampuan dan selalu mengerjakan tugas-tugasnya secara terhormat. Pada sisi lain di Monarki, seseorang yang duduk kerap kali mereka yang agak inkompeten, agak bajingan, agak tukang intrik, dan yang bakatnya agak menipu. Bagi Rousseau, mereka ini memperoleh keberhasilan duduk dalam posisinya akibat menang di pengadilan, dan mereka ini hanya melayani negara tidak lain sekadar menunjukkan ketidaklayakannya. Ketidaklayakan ini segera tampak manakala mereka duduk di jabatan publik.[37]

Dengan demikian, secara hati-hati Rousseau menandaskan bahwa untuk Monarki, yaitu agar negara bisa diperintah secara baik, ukuran dan keluasan negara harus dikalkulasi berdasarkan kemampuan penguasa yang memerintahnya.[38] Dari pendapat Rousseau ini dapat disimpulkan semakin mampu atau ahli penguasanya, maka dapat saja ukuran negara Monarki membesar, demikian pula sebaliknya. Rousseau juga mengetengahkan suatu bukti dalam Monarki yaitu ketiadaan pergantian kekuasaan, yang tidak terdapat pada dua bentuk pemerintahan lainnya (yaitu Demokrasi dan Aristokrasi). Kendati tentu saja, bagaimana mekanisme penggantian kekuasaan di Demokrasi dan Aristokrasi tidak terlampau jelas dalam pemikiran Rousseau. 

Pandangan Rousseau tentang Bentuk Pemerintahan Campuran 

Bagi Rousseau, tidak ada bentuk pemerintahan yang mudah untuk diaplikasikan di dunia nyata. Sehubungan dengan kekuasaan eksekutif, seorang pemimpin tunggal harus punya pejabat-pejabat di bawah subordinasinya, di sisi lain, pemerintahan rakyat harus punya pemimpin. Dengan demikian, pendistribusi kekuasaan eksekutif selalu ada gradasi, yang berkisar dari jumlah besar ke jumlah kecil (baik penguasa maupun rakyatnya): Ini berkisar pada apakah jumlah yang besar bergantung pada yang sedikit atau yang sedikit kepada yang besar.[39]

Lebih lanjut Rousseau menyatakan, manakala ketergantungan kekuasaan eksekutif atas legislatif tidak terlalu besar, yaitu manakala dominasi penguasa secara relatif atas Daulat lebih besar ketimbang rakyat terhadap penguasanya, disproporsi ini harus disembuhkan dengan membuat pembagian dalam kekuasaan eksekutif. Ketika pemerintahan terbagi, maka setiap elemennya punya otoritas yang sama atas subyeknya, dan perlu ditekankan bahwa akumulasi dari seluruh elemen tersebut tidak boleh lebih ‘powerfull’ manakala dihadapkan pada Daulat. Ketika suatu pemerintahan dianggap terlalu lemah, maka sejumlah komisi eksekutif dapat dibentuk untuk menguatkannya kembali, dengan mana hal seperti ini banyak dilakukan di negara-negara yang berbentuk Demokrasi. 

Substantif 

Pandangan Rousseau atas aspek substantif dari demokrasi akan diteropong menggunakan aneka indikator seperti kesejahteraan, kemerdekaan individu, keamanan, persamaan sosial, pertimbangan publik, dan resolusi konflik secara damai. 

Kesejahteraan 

Kesejahteraan dalam pemikiran Rousseau adalah kesejahteraan bersama.[40] Tidak ada kesejahteraan pribadi karena ada kemungkinkan kesejahteraan pribadi akan bertentangan dengan kesejahteraan bersama. Bagi Rousseau, kepentingan pribadi dan kesejahteraan bersama (general welfare) secara alamiah saling menegasikan satu sama lain.[41] Jaminan atas kesejahteraan ini hanya ada apabila individu memasukkan dirinya ke dalam kontrak sosial, dengan mana Rousseau menyatakan “hal yang hilang dengan kontrak sosial adalah kebebasan alamiah dan hak absolut atas segala sesuatu yang menggoda dan bisa diambilnya; apa yang ia peroleh melalui kontrak sosial adalah kebebasan sipil dan hak atas properti secara legal atas segala yang ia kuasai.”[42]

Sehubungan dengan masalah kesejahteraan, Rousseau mengakui penguasaan milik oleh individu, yaitu bagi pihak pertama yang mengokupasinya. Kepemilikan properti ini bukan secara alamiah milik penguasa.[43] Namun, manakala individu mengikatkan dirinya melalui kontrak sosial ke dalam negara, maka memberikan diri dan propertinya kepada komunitas (negara).[44] Negaralah kemudian melakukan penjaminan atas propertinya dalam bentuk aturan dalam undang-undang. Penguasaan oleh negara ini tidak sama dengan penguasaan oleh perampas kekuasaan. Properti setiap individu ada di dalam kuasa Daulat. Dengan demikian, penguasaan properti oleh publik menjadi jauh lebih besar ketimbang penguasaan oleh individu. Negara, sebab itu, adalah tuan bagi properti seluruh warganegara melalui kontrak sosial. 

Pertanyaan mengenai kesejahteraan ini adalah, apakah kepemilikan individu kemudian hilang manakala muncul kepemilikan publik? Bagi Rousseau tidak demikian, karena manakala individu mentransfer kepemilikan properti kepada publik, adalah bukan dalam makna dirampas, tetapi justru memastikan bahwa kepemilikan tersebut adalah punya legitimasi. Transfer kepemilikan kepada publik akan mengubah kondisi perebutan milik menjadi berhenti, karena hak milik tersebut ditegaskan dan dilindungi. Milik kemudian menjadi hak yang genuine, dan penikmatan individu atas hak kepemilikannya tersebut terjamin.[45]

Penyerahan properti individu pada kekuasaan publik dalam kontrak sosial, menurut Rousseau, dapat disebut pemberian kepercayaan pendayagunaan properti publik kepada warganegara dan hak ini dihormati oleh seluruh warganegara lainnya. Hak-hak mereka ini akan dipertahankan dan dibela oleh negara. Mengenai apa yang dimaksud dengan properti dalam pemikiran Rousseau, Colin Bird menyatakannya “Rousseau’s general will also defines the terms on which individuals justly enjoy legal rights, civil liberties, private property, and other economic entitlements and opportunities.”[46] Mengenai tidak spesifiknya properti dalam pikiran Rousseau harus dikembalikan pada pernyataan Rousseau bahwa hanya general will yang dapat mengidentifikasinya dan setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga general will di satu negara sangat bisa berbeda dengan general will di negara lainnya: Properti yang dilindungi di negara satu dapat saja berbeda dengan negaral lainnya. 

Kemerdekaan Individu 

Dalam hal kemerdekaan individu, Rousseau berbeda dengan Thomas Hobbes. Jika Hobbes merancang kontrak sosialnya untuk menciptakan stabilitas masyarakat, maka Rousseau lebih menekankan pada bagaimana menciptakan masyarakat yang adil.[47] Stabilitas negara bukan merupakan penekanan utama Rousseau karena ia berpendapat bahwa sumber utama ketidakstabilan negara adalah ketamakan dari orang-orang yang memimpin dan menjadi bagiannya, yang apabila terus terjadi, akan mendorong kehancuran negara. Rousseau berupaya mengembalikan kemerdekaan individu, dari yang pada masanya terletak di tangan Monarki, Aristokrasi, dan Teokrasi, untuk dikembalikan kepada setiap orang.[48] Sehubungan dengan masalah kemerdekaan ini, individu menempati tiga situasi yaitu hubungan antara individu dan komunitas, dengan Daulat sebagai rakyat, dan dengan Daulat sebagai individu.[49]

Rousseau menyatakan men are born free, but everywhere are in chains. Pernyataan ini cukup menyatakan pandangan Rousseau atas kemerdekaan individu. Dalam indikator kemerdekaan individu ini ada baiknya diketengahkan pandangan Rousseau mengei perbudakan. 

Perbudakan bagi Rousseau adalah bukan kondisi alamiah manusia. Ini diakibatkan karena manusia yang satu tidak punya otoritas alamiah yang bisa diberlakukan atas sesamanya.[50] Sebab itu, basis bagi seluruh otoritas yang berlegitimasi antar sesama manusia adalah konvensi yang disepakati. Bagi Rousseau, orang yang menjadi budak tidak mentransfer dirinya melainkan sekadar menjualnya. Transfer adalah memberikan bukan menjual, dan mereka menjual tidak lain sekadar mempertahankan kebutuhan dasar hidupnya. Dalam pandangan Rousseau pula, tidak ada manusia yang memberikan dirinya tanpa maksud, dan apabila ada hal tersebut merupakan konsep yang absurd. Bahkan, jika pun ada manusia yang memberikan dirinya, mereka tidak bisa mentransfer anak-anak mereka karena setiap manusia terlahir merdeka: Mereka punya hak untuk menentang perbudakan yang berlaku turun-menurun. 

Untuk mengelaborasi pemikiran Rousseau mengenai kemerdekaan individu ini, cukup menarik untuk mempelajari pendapat-pendapatnya mengenai perang dan manusia sebagai satu pribadi. Pertama, perang bagi Rousseau tidak pernah terjadi antara manusia melawan manusia tetapi antara negara melawan negara.[51] Jadi, perang terjadi manakala invidu sudah mengikatkan diri ke dalam kolektivitas, dan kolektivitaslah yang berperang, bukan individu. 

Dalam perang, antarindividu menjadi musuh bukan karena mereka sesama manusia melainkan karena kecelakaan saja: Juga tidak ada perang antar warganegara melawan warganegara. Mereka hanya menjadi musuh manakala mereka menjelma menjadi serdadu dan dengan demikian permusuhan hanya bisa terjadi ada antara negara melawan negara, karena konsep serdadu erat berkait dengan konsep negara. Satu pihak agresor dan pihak lain sebagai pembela tanah air. 

Kedua, manusia sebagai satu pribadi sampai kapanpun adalah tetap sebagai satu pribadi kendatipun ia menguasai setengah dunia ini. Sebagai satu pribadi (individu) ia memiliki kepentingan pribadi yang berbeda dengan manusia lain. Manakala kerajaannya berakhir, satu manusia yang berkuasa atas setengah dunia akan meninggalkan apa yang ia kuasai dalam kondisi terpecah dan berantakan karena kuasa tersebut sekadar kepentingan pribadi, bukan kepentingan keseluruhan. 

Dari kedua pendapat di atas mengentara pemahaman Rousseau atas kemerdekaan manusia. Pertama, saat manusia sudah mengikatkan diri ke dalam negara (menjadi warganegra) cenderung untuk berpihak pada perdamaian. Perang, sebab itu, bukan tabiat dari warganegara melainkan tabiat negara. Kedua, saat manusia belum mengikatkan diri ke dalam negara, maka yang ada di benaknya adalah bagaimana memaksimalisasi kepentingan pribadinya. Kondisi ini berakhir saat manusia mengikatkan diri ke dalam negara, yang setelahnya manusia sebagai warganegara. Setelah menjadi warganegara inilah, manusia mulai mengembangkan nilai-nilai moralnya dan memberi perhatian kepada kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rousseau melangkah lebih jauh dari konsep kebebasan negatif yaitu kemerdekaan individu untuk bertindak tanpa batasan pihak lain menjadi kebebasan positif.[52] Satu-satunya pihak yang mampu menjamin kebebasan positif ini adalah negara, tetapi perlu ditekankan bahwa negara tidaklah otonom melainkan selalu bersandar pada persetujuan rakyat, general will.[53] Bagi Rousseau, kemerdekaan individu muncul setelah undang-undang diterapkan, dengan mana undang-undang ini diproduksi oleh badan berdaulat di mana seluruh individu dalam negara menjadi anggotanya.[54]

Keamanan 

Dalam Social Contract, Rousseau menekankan bahwa harus ada suatu cara dengan mana sebuah sistem perundang-undangan mampu mengamankan setiap warganegara terhadap ketergantungannya secara personal pada kehendak orang lain.[55] Tema ketergantungan personal ini cukup mendalam dalam tulisan Rousseau dalam Kontrak Sosial, karena dalam buku tersebut, ia berargumentasi bahwa kondisi tidak aman adalah manakala seseorang dipaksa untuk patuh pada kehendak individu lain, atau dengan kata lain, saat sesuatu di luar diri individu memiliki kontrol atas dirinya. Jalan keluar untuk keamanan individu adalah membuat setiap individu menjadi subyek dari undang-undang dan harus mereka sendiri yang membuatnya. Keamanan hanya akan ada apabila terdapat undang-undang yang mengatur keamanan individu. 

Dalam pandangan Rousseau, negara adalah kolektivitas individu yang muncul melalui kesatuan para anggotanya. Kemudian perhatian Rousseau beranjak pada bagaimana cara memeliharanya. Untuk memelihara, maka negara harus punya kekuataan koersif dalam rangka menggerakkan dan mengendalikan setiap bagian di dalam dirinya dengan cara yang paling menguntungkan bagi keseluruhan. Keadaan ini mendorong Rousseau menyatakan bahwa negara, atas nama general will yang mewujud ke dalam Daulat, punya kekuasaan absolut.[56] Masalah kekuasaan absolut ini penting untuk dibahas sehubungan dengan masalah keamanan individu karena konsep kekuasaan absolut Rousseau ini rentan untuk dikorupsi. 

Rousseau mengetengahkannya dalam persoalan seberapa jauh penghargaan atas hak-hak Daulat diperbandingkan dengan hak-hak warganegara dan juga antara tugas-tugas yang harus dijalankan warganegara sebagai subyek dan hak-hak alamiahnya sebagai manusia.[57] Bagi Rousseau, yang ditransfer oleh setiap orang (dalam kontrak sosial) adalah kekuasaannya, barang-barangnya, dan kemerdekaannya, yang jumlahnya mencukupi dan penting saja, sehingga komunitas dapat menggunakannya. Sehubungan dengan hal mencukupi dan penting ini, maka otoritas Daulat lah yang menjadi hakim dalam hal derajatnya. Warganegara berhutang pada negara seputar layanan yang diberikan, dengan mana Daulat memintanya. Sebagai subordinasi dari Daulat, pejabat pemerintah tidak dapat membebani warganegara hal-hal yang kemudian justru menjadi mubazir bagi komunitas. 

Dalam masalah hidup, Rousseau cukup permisif. Setiap orang punya hak untuk membahayakan hidupnya sendiri dalam rangka mempertahankannya.[58] Bagi Rousseau, tidaklah salah orang terjun dari suatu ketinggian gedung manakala menyelamatkan dirinya dari kebakaran. Dalam konteks negara, Rousseau mengajukan pendapat bahwa mereka yang ingin hidupnya dilindungi oleh orang lain juga harus, saat dibutuhkan, memberikan hidupnya kepada mereka.[59] Namun, bukan warganegara yang menjadi hakim mengenai hal ini melainkan dalam pertimbangan kepentingan negara (general will).[60] Penentuan penyerahan hidup seorang individu dalam kontrak sosial Rousseau tidaklah mudah, melainkan melalui sejumlah pertimbangan, karena menurut Rousseau adalah bukan tujuan para pihak yang mengikatkan diri ke dalam kontrak sosial untuk membiarkan diri mereka dihukum gantung. 

Hukuman gantung, bagi Rousseau, hanya cocok diterapkan bagi pemberontak dan pengkhianat negara.[61] Perlindungan negara bagi perilaku mereka telah berakhir karena mereka melanggar bahkan memeranginya. Salah satu harus hilang dari muka bumi, yaitu apakah negara ataukah individu pelanggar. Dengan demikian, penilaian tinggi Rousseau atas hidup manusia tetap memiliki batas, yaitu tidak berlaku bagi para pelanggar tertib sosial. Setiap peradilan dan tuntutan yang diadakan atas mereka adalah deklarasi bahwa mereka telah memecahkan perjanjian sosial dan konsekuensinya para pelanggar ini bukan lagi anggota negara.[62] Namun, Rousseau mengingatkan bahwa semakin sering berlakunya hukuman mati menunjukkan malasnya sebuah pemerintahan. Tidak ada seorangpun yang sedemikian jahatnya, sehingga ia sama sekali tidak bermanfaat. Hak peradilan untuk menentukan hidup matinya seseorang adalah prerogatif Daulat.[63]

Persamaan Sosial 

Konsep Rousseau mengenai persamaan sosial setiap manusia harus dipandang dalam konteks kontrak sosial, yaitu di dalam negara sipil. Bagi Rousseau, di dalam kondisi alamiah, di mana ada unsur kekuatan yang bervariasi antara individu yang satu dan lainnya, terdapat kecenderungan manusia saling mendominasi. Bergabungnya orang-orang ke dalam negara sipil membuat insting yang tadinya ada dikonversi menjadi prinsip keadilan dalam perilakunya. Juga, penggabungan ini menyertakan unsur moral ke dalam perilaku manusia, sesuatu yang tadinya tidak ada dalam kondisi alamiah.[64]

Bagi Rousseau, unsur yang hilang dari bergabungnya manusia ke dalam negara sipil adalah kemerdekaan alamiah dan hak-hak yang tidak terbatas atas segala sesuatu, hak yang selalu menggoda dan berusaha untuk dipenuhinya.[65] Hilangnya dua kondisi ini (kemerdekaan alamiah dan hak yang tidak terbatas) digantikan dengan kemerdekaan sipil dan hak atas properti yang ia kuasai. 

Rousseau menyatakan, internalisasi kebebasan moral adalah hal yang membuat manusia menjadi tuan sejati atas dirinya. Sebaliknya, apabila manusia sekadar hanya menuruti seleranya sendiri justru membuatnya menjadi budak. Rousseau menyimpulkan, apabila seseorang mematuhi undang-undang yang diterapkan pada dirinya maka ia berada dalam kondisi merdeka.[66]

John Gingell menyatakan bahwa salah satu pemikiran yang jelas dari Rousseau adalah kritiknya yang mendalam atas ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik di abad ke-18 di Perancis.[67] Saat itu di Perancis berlaku kondisi dengan mana sukses dan kemakmuran seseorang sangat bergantung pada patronase aristokratis ketimbang nilai instrinsik seorang individu. Dalam logika Rousseau, ketimpangan jadi berlaku karena tidak ada pengaturan negara yang mengeliminasinya. Dengan demikian, kemanusiaan bagi Rousseau hanya akan hadir setelah individu bergabung ke dalam masyarakat.[68] Secara lebih lanjut, persamaan sosial akan tercipta hanya sejauh kontrak sosial diberlakukan. Kondisi persamaan sosial ini akan hadir saat terjadi rekonsiliasi antara undang-undang dengan kemerdekaan individu, yang basisnya adalah general will.[69]

Pertimbangan Publik 

Dalam kajian mengenai pertimbangan publik ini, dapat kita cari pada pandangan-pandangan Rousseau mengenai penyusunan undang-undang (law). Undang-undang adalah pengaturan yang dibuat oleh seluruh rakyat, bersifat umum, dan tidak terbagi-bagi obyeknya. Obyek undang-undang selalu bersifat umum, dalam mana undang-undang mempertimbangkan subyek-subyek dari suatu negara sebagai suatu kolektivitas dan bertindak secara abstrak.[70] Undang-undang tidak pernah bertindak atas nama individu maupun tindakan-tindakan khusus, melainkan atas nama general will. Bagi Rousseau, undang-undang semata-mata bicara mengenai kondisi-kondisi yang berhubungan dengan masyarakat dan sebab itu rakyat, yang menjadi subyek dari undang-undang sajalah yang bisa menciptakannya.[71]

Masih dalam rangka pertimbangan publik ini, Rousseau bicara mengenai hubungan undang-undang dengan general will.[72] Ia menyatakan bahwa rakyat, pada dirinya sendiri, selalu menginginkan kebaikan, tetapi tidak selalu melihatnya. Sebab itu general will menjadi pedoman karena ia selalu benar. Peran general will ini signifikan karena individu dapat saja melihat kebaikan dan kemudian menolaknya, di sisi lain publik menginginkan kebaikan tersebut tetapi tidak dapat melihatnya. Sebab itu, baik individu maupun publik, memerlukan pedoman. Di sinilah terletak pentingnya negara memiliki legislator (penyusun undang-undang), selaku terjemahan dari general will.[73]

Dalam konteks pertimbangan publik versi Rousseau, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pertimbangan publik tetap mendapat tempat dalam pemikiran Rousseau. Meskipun definisi Rousseau atas pertimbangan publik ini tidak terlampau jelas, tetapi keyakinan Rousseau mengenai pentingnya penyusunan undang-undang yang berlaku umum dan mengedepankan kebaikan bersama merupakan suatu indikasi bahwa pertimbangan publik merupakan hal yang diutamakan dalam pemikiran Rousseau. 

Resolusi Konflik secara Damai 

Resolusi konflik secara damai merupakan satu nilai substantif dalam Demokrasi. Konflik di dalam Demokrasi diselesaikan bukan melalui kekerasan fisik melainkan melalui lembaga-lembaga yang memiliki otoritas dan legitimasi di mata rakyatnya. Sehubungan dengan hal ini maka Rousseau kurang spesifik dalam membahasnya. Rousseau hanya menekankan bahwa di dalam negara, perebut kedaulatan selalu potensial untuk ada.[74] Bagi Rousseau, perebut kedaulatan tersebut selalu mendorong kegiatannya di masa-masa sulit guna memainkan kegelisahan publik. Di masa-masa seperti inilah dituntut peran dari seorang legislator, yang mengedepankan kehendak bersama ketimbang kepentingan sempit dari seorang tiran. Dengan kata lain, Rousseau belum menentukan mekanisme resolusi konflik secara damai, apakah oleh general will, majelis rakyat, ataukah institusi politik tertentu. 

Prosedural 

Dari perspektif prosedural, aneka pandangan Rousseau mengenai demokrasi akan diukur menggunakan serangkaian konsep seperti sistem politik multipartai yang kompetitif (dalam era Rousseau, partai politik belum menggejala, tetapi berwujud faksi-faksi dalam masyarakat), hak pilih universal untuk pemilih dewasa, pemilu reguler (dalam masa Rousseau belum ada, tetapi pergantian kekuasaan), dan akses publik atas calon-calon pemimpin mereka.

Sistem Politik Multipartai yang Kompetitif 

Dalam pemikiran Rousseau, sistem politik multipartai yang kompetitif dapat dikatakan tidak ada. Rousseau sama sekali tidak menyebutkannya paling tidak di dalam bukunya Social Contract. Bagi Rousseau semakin besar tingkat kerukunan yang berlaku di majelis-majelis publik berarti semakin banyak keputusan bulat yang dicapai, semakin banyak kepentingan umum mendominasi.[75] Sebaliknya, semakin banyak perdebatan panjang, pertikaian, dan kekacauan adalah tanda bahwa kepentingan-kepentingan khusus ada dalam kekuasaan dan negara berada dalam kemunduran.[76] Dari pendapat Rousseau mengenai kebulatan dan kesepakatan yang dihargai tinggi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem politik multipartai yang kompetitif kurang mendapat tempat di dalam pemikirannya. Sistem politik multipartai, dengan mana partai-partai politik yang mengemban kepentingan masing-masing dan beragam, adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam adanya perdebatan dan pertikaian di majelis seperti terjadi dalam negara Demokrasi moderen. Karakteristik dan keberadaan partai politik adalah hal yang selalu ingin dihindari dalam logika Rousseau mengenai kebaikan general will dan Daulat. 

Sehubungan dengan masalah mengapa Rousseau tidak memberi penekanan sama sekali atas sistem politik multipartai yang kompetitif adalah indikasi bahwa Rousseau cenderung memperkenalkan totalitarianisme seperti dilansir oleh Terence Ball.[77] Menurut Ball, terdapat empat alasan mengapa pemikiran Rousseau dekat dengan totalitarianisme. Pertama, adalah perhatian Rousseau pada general will yang selalu benar dan tidak dapat salah. Kedua, penekanan berulang-ulang Rousseau bahwa pihak yang berbeda harus ‘dipaksa untuk bebas.’ Ketiga, adanya figur legislator yang digambarkan seperti dewa dan tidak menyenangkan. Keempat, adanya agama sipil yang menyuplai rasionalisasi atas undang-undang dan lembaga-lembaga yang dapat memaksa. Keempat catatan ini mendorong munculnya pendapat bahwa pemikiran Rousseau adalah paradoks, karena pada satu sisi Rousseau sangat mengagung-agungkan hak individu di dalam masyarakat, tetapi di sisi lain Rousseau mengembangkan perangkat-perangkat konsep yang justru memiliki kecenderungan untuk menghentikan pelaksanaan hak-hak tersebut apabila disalahgunakan (totalitarianisme politik). Aparatus politik dari Rousseau sehubungan dengan general will akan sulit dikontrol. Hal ini terjadi manakala fenomena Revolusi Perancis dan Kediktatoran Robbespierre mengambil spiritnya dari pemikiran Rousseau juga Karl “Moses Mordechai” Marx, yang menelurkan komunisme dengan diktator proletariatnya yang absolutis. 

Hak Pilih Universal untuk Pemilih Dewasa 

Mengenai hak pilih universal untuk pemilih dewasa, dapat dipastikan pandangan Rousseau adalah positif. Hal ini didasarkan pada maksimalitasnya dalam Daulat. Bagi Rousseau, warganegara, siapapun dia dan apapun status sosio-ekonominya, secara bersama-sama adalah pemilik negara. Dalam Kontrak Sosial, Rousseau tidak bicara langsung mengenai hak pilih universal, melainkan dapat dicari dalam pandangannya mengenai hak-hak memberi opini, mengusulkan sesuatu, membedakan masalah, dan berdebat yang harus dijamin oleh negara.[78]

Mengenai hak pilih ini, Rousseau menyatakan bahwa hak tersebut harus dikaitkan dengan general will. Pemilihan dalam pikiran Rousseau adalah berbeda dengan pemilihan di era modern yang bersendikan Demokrasi perwakilan. Pemilihan di dalam pikiran Rousseau adalah harus selaras dengan general will.[79] Hak pilih dalam pikiran Rousseau harus pula mandiri, dengan mana individu warganegara tidak melakukan pemberian suara melalui blok-blok politik yang terorganisir, partai-partai, ataupun koalisi-koalisi.[80] Hasil dari pilihan warganegara ini adalah general will yang diterjemahkan ke dalam bentuk undang-undang bersama, dan bukan keputusan kekuasaan eksekutif tertentu, edict, ataupun deklarasi, karena seluruh yang terakhir ini sifatnya partikularis, bukan bersama. 

Pemilu Reguler 

Rousseau berbicara mengenai pemilihan pejabat politik, yaitu penguasa (ruler) dan pejabat pemerintahan (administrator). Pemilihan tersebut didasarkan atas dua cara, pertama dengan pemilihan (choice) dan kedua dengan suara terbanyak (lot). Mengenai pemilihan dengan suara terbanyak, dengan mengutip Montesquieu, Rousseau menyatakannya sebagai sesuatu yang alamiah dalam Demokrasi.[81] Pemilihan dengan suara terbanyak inheren di dalam Demokrasi karena pejabat-pejabat yang dipilih adalah untuk lebih jarang bertindak, sebab yang sering bertindak diidealkan adalah seluruh warganegara. 

Rousseau melanjutkan, bahwa dalam Demokrasi sejati, memegang jabatan bukanlah suatu manfaat melainkan tugas berat yang secara tidak adil dibebankan pada satu atau beberapa warganegara.[82] Mengenai jatuhnya tugas berat ini ke pundak seorang warganegara, Rousseau menyatakan bahwa hanya undang-undang yang dapat melakukannya. Undang-undanglah yang memberikan tugas kepada salah satu atau sejumlah warganegara, untuk bekerja berdasarkan jumlah suara yang diberikan kepadanya. Di dalam Aristokrasi, penguasalah yang memilih penguasa, bukan warganegara. 

Bagi Rousseau terdapat sejumlah kelemahan akibat seseorang dipilih berdasarkan suara terbanyak di dalam Demokrasi sejati. Di dalam Demokrasi sejati segala sesuatunya bersifat setara, tidak hanya dalam hal standar kemampuan dan moral, tetapi juga prinsip-prinsip politik dan kesejahteraan, dan dengan demikian pemilihan dengan suara terbanyak ini merupakan pengabaian atas kemampuan warganegara lainnya. Untunglah, dalam pandangan Rousseau, tidak ada negara Demokrasi sejati di dunia.[83]

Metode pemilihan dan suara terbanyak ini kemudian diperbandingkan oleh Rousseau, yang menganggap bahwa yang pertama cocok diterapkan guna mengisi jabatan-jabatan yang memerlukan kemampuan khusus seperti jabatan kemiliteran, sementara yang kedua hanya apabila dibutuhkan syarat seperti pengertian bersama, kesetaraan, dan integritas karena syarat-syarat seperti ini telah ada di diri setiap warganegara[84]. Bagi Rousseau, di dalam bentuk pemerintahan Monarki tidak ada pengangkatan pejabat berdasarkan pemilihan dan suara terbanyak: Pilihan pejabat hanya ditentukan oleh si Monark sendiri. 

Akses Publik atas Calon-calon Pemimpin Mereka 

Akses publik atas calon-calon pemimpin mereka relatif kurang jelas dalam pandangan Rousseu. Kendati demikian, akan dilakukan upaya untuk mendekatinya dari sejumlah pandangannya mengenai badan legislatif. Bagi Rousseau, kekuasaan yang lebih penting di dalam suatu negara adalah kekuasaan menyusun undang-undang (legislatif) ketimbang pelaksanannya (eksekutif). Rousseau menyatakan bahwa prinsip kehidupan politik terletak pada otoritas Daulat. Kekuasaan legislatif adalah jantung dari negara, kekuasaan eksekutif adalah benaknya, yang membuat setiap bagian dalam negara bergerak.[85] Benak ini mungkin saja berhenti bekerja, tetapi individu masih dapat tetap hidup. Namun, apabila jantung berhenti berkerja maka ‘hewan’ (animal) akan mati. Bagi Rousseau, kuasa legislatif yang menyusun undang-undang ini harus beradaptasi terhadap perkembangan negara. 

Rousseau juga menekankan pentingnya pelayanan publik bagi warganegara.[86] Mengenai ini Rousseau menyatakan bahwa segera setelah pelayanan publik bukan lagi perhatian utama dari warganegara, dan mereka lebih memilih untuk melakukannya bukan oleh dirinya sendiri melainkan dompetnya, maka negara ada di ambang kehancuran.[87] Mereka hanya memilih deputi-deputi untuk melakukan pelayanan publik sementara dirinya sendiri memilih untuk tinggal di rumah. Bagi Rousseau, di negara bebas sejati, para warganegaranya melakukan segala sesuatu dengan tangannya, dan bukan dengan uang. Semakin baik negara didirikan, semakin tinggi prioritas yang diberikan di benak warganegara untuk masalah publik ketimbang bisnis partikulir. 

Rousseau tidak memandang akses publik atas deputi atau perwakilan sebagai sesuatu yang penting akibat pandangannya bahwa keterlibatan warganegara dalam urusan-urusan publik adalah maksimal. Justru kehadiran deputi atau perwakilan ini menunjukkan negara dalam situasi di ambang kehancuran akibat warganegara tidak lagi perhatian terhadap kelangsungan aktivitasnya, karena para Deputi ini justru dicurigai memiliki kepentingannya sendiri yang bertentangan dengan general will. Deputi dan perwakilan politik dipandang Rousseau sebagai malah akan menggerogoti kekuatan negara. 

Rousseau juga menyatakan bahwa deputi yang ditunjuk oleh warganegara bukanlah mewakili Daulat karena Daulat tidak bisa ditransfer ataupun diwakili. Deputi hanyalah agen dari warganegara dan mereka ini tidak bisa membuat keputusan yang definitif.[88] Mungkin dapat dikatakan secara bebas, bahwa dalam pemikiran Rousseau Deputi sekadar orang suruhan yang mekanis serta tidak boleh berpikir. 

Bagi Rousseau, setiap undang-undang yang bukan diratifikasi oleh seluruh warganegaranya adalah bukan undang-undang. Mengenai hal ini, Rousseau mengkritik rakyat Inggris yang secara percaya diri mereka nyatakan sebagai warganegara bebas. Bagi Rousseau, kepercayaan ini adalah salah karena rakyat Inggris hanya bebas selama proses pemilikan anggota Parlemen. Segera sesaat setelah anggota Parlemen terpilih dan menjalankan tugasnya, rakyat Inggris justru ada dalam masa perbudakan karena mereka telah menjual ‘dirinya’ berupa ‘kepercayaanya’ kepada para pejabat terpilih yang dikhawatirkan memiliki kepentingan pribadinya sendiri dalam proses pembuatan undang-undang.[89] Korupsi dalam pembuatan undang-undang bagi Rousseau adalah pengkhianatan tertinggi di dalam negara. 

Mengenai gagasan perwakilan, Rousseau menyatakannya sebagai warisan feodal, yang bersifat tidak adil dan absurd, karena praktek tersebut mendegradasikan umat manusia: Manusia tidak dihormati lagi harga dirinya. Bagi Rousseau, di republik-republik lama bahkan Monarki, rakyat tidak memiliki perwakilan dan kata ‘perwakilan’ sendiri pun tidak dikenal. Bagi Rousseau, undang-undang tidak lain merupakan deklarasi dari kehendak bersama, dan sehubungan dengan kekuasaan legislatif, rakyat tidak bisa diwakili.[90] Namun, kekuasaan eksekutif dapat dan harus diwakili, dan harus dicatat bahwa kekuasaan eksekutif ini sekadar untuk mengaplikasikan undang-undang semata. Di sinilah sulitnya pembedahan pemikiran Rousseau, bahwa rincian bagaimana kekuasaan eksekutif yang diidealkannya tidak terlampau jelas. Penjelasan Rousseau seolah-olah berputar-putar antara kuasa eksekutif yang dipercayakan pada pihak lain dibolehkan dan dilarang olehnya. 

Bagi Rousseau, segera setelah kekuasaan legislatif dibentuk, kekuasaan eksekutif menyusul.[91] Kekuasaan eksekutif ini cenderung fokus pada tindakan-tindakan yang bersifat partikular dan tidak serupa dengan kekuasaan legislatif dan harus terpisah darinya. Pakta yang dibuat antara rakyat dengan individu-individu tertentu di kekuasaan eksekutif adalah tindakan partikular. Pakta ini bukan merupakan undang-undang ataupun tindakan dari Daulat. Ini akibat otoritas tertinggi (Daulat) tidak bisa dimodifikasi maupun ditransfer. Adalah absurd bahwa otoritas ini, sehubungan dengan kekuasaan eksekutif, mengangkat pihak yang lain menjadi superiornya. [sb]

Daftar Kutipan

[1] Jean-Jacques Rousseau, Discourse on Political Economy and The Social Contract: Translated with an Introduction and Notes by Christopher Betts (New York: Oxford University Press) pp. 43 – 175. 

[2] Charles Tilly, Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) p.7. Tilly menggunakan 4 pendekatan, tetapi untuk kebutuhan penulisan paper ini hanya akan digunakan 3 pendekatan saja yaitu Konstitusional, Substantif, dan Prosedural. 

[3] ibid. 

[4] ibid. 

[5] ibid. 

[6] ibid., p. 7 - 8 

[7] ibid., p. 8. 

[8] ibid., p. 46. 

[9] ibid., p. 48. 

[10] ibid., p. 63 

[11] John Gingell, eds., et.al., Modern Political Thought: A Reader (New York: Routledge, 2000) p. 136. 

[12] ibid., p. 137. 

[13] ibid, p. 55 

[14] ibid, p. 56 

[15] ibid, p. 99 

[16] ibid. 

[17] ibid. Di era Rousseau, bentuk pemerintahan monarki adalah yang paling lazim digunakan. 

[18] Leslie Lipson, The Democratic Civilization (New York: Feiffer & Simons, 1964), p. 16 – 7. 

[19] Jean-Jacques Rousseau, Discourse … op.cit., p. 100. 

[20] ibid., p. 101. 

[21] ibid., p. 100. 

[22] ibid. 

[23] ibid. 

[24] ibid. 

[25] ibid. 

[26] ibid. p. 102. 

[27] ibid. 

[28] ibid. 

[29] ibid. p. 103. 

[30] ibid. 

[31] ibid. p. 104. 

[32] ibid.

[33] ibid. 

[34] ibid., p. 105. Mungkin di sinilah letak mengapa pula Aristoteles menganggap Monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik. 

[35] ibid., p. 106. 

[36] ibid. 

[37] ibid., p. 107. 

[38] ibid. 

[39] ibid., p. 110. 

[40] ibid, p. 134. 

[41] ibid, p. 172. Appendix. 

[42] Jeremy Jenning, “Rousseau, Social Contract and the Leviathan” dalam David Boucher, The Social Contract from Hobbes to Rawls (New York: Routledge, 1994) p. 120. 

[43] Jean-Jacques Rousseau, Discourse …. op.cit., p. 60. 

[44] ibid. 

[45] ibid. p. 62. 

[46] Colin Bird, An Introduction to Political Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) p. 89. 

[47] John Gingell, eds., et.al., Modern … , op.cit., p. 137. 

[48] Jeremy Jenning, “Rousseau, Social Contract and the Leviathan” dalam David Boucher, The Social Contract from Hobbes to Rawls, p. 122. 

[49] ibid.p. 123. 

[50] Jean-Jacques Rousseau, Discourse … ,  op.cit., p. 49. 

[51] ibid., p. 51. 

[52] John Gingell, eds., et.al., Modern … ,  op.cit, p. 136. 

[53] ibid. 

[54] ibid. 

[55] David West, “History …” ,  op.cit., p. 119. 

[56] Jean-Jacques Rousseau, Discourse …,  op.cit., p. 67. 

[57] ibid, pp. 67-8. 

[58] ibid,, p. 71. 

[59] ibid, 

[60] ibid, 

[61] ibid, 

[62] ibid,, pp. 71-2. 

[63] ibid,, p. 72. 

[64] ibid,, p. 59. 

[65] ibid,. 

[66] ibid,

[67] John Gingell, Modern …,  op.cit., p. 134. 

[68] David West, “Continental Philosophy” dalam Robert E. Goodin, eds., et.al., A Companion to Contemporary Political Philosophy, Volume I (Malden: Blackwell Publishing, 2007) p. 40. 

[69] ibid,., p. 119. 

[70] ibid,, p. 74. 

[71] ibid,., p. 75. 

[72] ibid,. 

[73] ibid,. 

[74] ibid,, p. 85. 

[75] ibid,, p. 136. 

[76] ibid,.

[77] Terence Ball, “History and the Interpretation of Text” dalam Gerald F. Gaus and Chandran Kukanthas, eds., Handbook of Political Theory, (London: Sage Publications, 2004) pp. 18 – 30. 

[78] Jean-Jacques Rousseau, Discourse … op.cit., p. 136. 

[79] Colin Bird, An Introduction …,  op.cit., p. 88. 

[80] ibid., p. 88. 

[81] Jean-Jacques Rousseau, Discourse …  op.cit.,., p. 139. 

[82] ibid, p. 139. 

[83] ibid., p. 140. 

[84] ibid.

[85] ibid., p. 121, 

[86] ibid., p. 126. 

[87] ibid.

[88] ibid., p. 127. 

[89] ibid. 

[90] ibid., p.128. 

[91] ibid., p. 129.

Buku Sumber

Sumber tulisan yang jadi bahasan adalah buku Jean-Jacques Rousseau berbahasa Inggris (terjemahan dari bahasa Perancis) oleh Christopher Betts. Judul buku tersebut adalah Discourse on Political Economy and The Social Contract. Tulisan ini fokus hanya pada The Social Contract yang tertera di halaman 43 – 168 buku terjemahan Betts ini. Untuk pengutipan, maka judul lengkap buku ini adalah Jean-Jacques Rousseau, Discourse on Political Economy and The Social Contract, Translated by Christopher Betts (New York: Oxford University Press, 1994) pp. 43 – 168

Buku Pelengkap

Charles Tilly, Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) 

Colin Bird, An Introduction to Political Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) 

David West, “Continental Philosophy” dalam Robert E. Goodin, eds., et.al., A Companion to Contemporary Political Philosophy, Volume I (Malden: Blackwell Publishing, 2007) 

Jean-Jacques Rousseau, Discourse on Political Economy and The Social Contract: Translated with an Introduction and Notes by Christopher Betts (New York: Oxford University Press) pp. 43 – 175. 

Jeremy Jenning, “Rousseau, Social Contract and the Leviathan” dalam David Boucher, The Social Contract from Hobbes to Rawls (New York: Routledge, 1994) 

John Gingell, eds., et.al., Modern Political Thought: A Reader (New York: Routledge, 2000) 

Leslie Lipson, The Democratic Civilization (New York: Feiffer & Simons, 1964), p. 16 – 7. 

Terence Ball, “History and the Interpretation of Text” dalam Gerald F. Gaus and Chandran Kukanthas, eds., Handbook of Poltiical Theory, (London: Sage Publications, 2004) pp. 18 – 30.

 

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA