Mengapa radikal bertentangan dengan agama

Salman bin Abdul Aziz Al Saud Raja Arab Saudi, mengapresiasi kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Menurutnya, ini harus menjadi contoh bagi negara negara lain dalam membangun kehidupan beragama.

Setiap warga negara harus memegang teguh nilai-nilai toleransi seperti di Indonesia. Rakyatnya terdiri dari beberapa suku dan agama, tapi hidup berdampingan secara damai.

Pesan moral ini disampaikan oleh Raja Salman dalam pertemuan tokoh lintas agama di Hotel Raffles Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat malam (3/3/2017)

“Stabilitas Indonesia dinilai buah dari semangat toleransi dan hidup berdampingan di antara semua lapisan penduduk Indonesia,” kata Raja Salman.

Umat beragama, kata Salman, disarankan agar terus menjalin komunikasi dan dialog antara umat beragama untuk memperkuat nilai-nilai toleransi

Raja Penjaga Dua Tanah Suci Makkah dan Madinah ini mendorong seluruh pihak aktif menjaga perdamaian. Oleh karenanya,radikalisme dan ekstremisme yang makin menggejala harus ditanggulangi bersama

Semua agama berusaha menjaga hak-hak manusia dan kebahagian. Karenanya memerangi radikalisme dan ekstremisme menjadi bagian yang penting.

“Radikalisme atau kekerasan bertolak belakang dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, memberikan rahmat bagi seluruh umat manusia,” kata Salman

Joko Widodo Presiden sendiri memperkenalkan secara singkat para tokoh lintas agama yang hadir dalam pertemuan tersebut. Semua yang hadir merupakan representasi dari kemajemukan yang ada di Indonesia.

Ada wakil dari agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Para tokoh lintas agama tersebut menjadi salah satu pilar dari terciptanya harmoni yang ada di Indonesia.

Ignatius Suharyo, uskup agung jakarta, berpandangan, pertemuan segitiga antara Presiden RI dengan Raja Arab Saudi dan tokoh lintas agama merupakan peristiwa yang sangat simbolik.

Bagian dari sejarah bangsa dan NKRi. Peristiwa ini mengingatkan uskup kepada beberapa tonggak sejarah bangsa Indonesia dari kebangkitan nasional tahun 1908 hingga kemerdekaan RI 1945.

“Tonggak sejarah yang mempersatukan seluruh kekuatan anak bangsa,” katanya.

Adapun Azyumardi Azra, yang mewakili umat Islam, menyambut baik ajakan Raja Salman untuk memerangi radikalisme dan ekstremisme.

“Niat mulia tersebut dapat tercapai dengan dukungan stabilitas ekonomi dan politik Indonesia. Karena itu Indonesia menyambut baik himbauan Raja Salman agar kerja sama kedua negara dalam menghadapi radikalisme dan terorisme harus diperkuat,” katanya.

Pandangan yang sama juga disampaikan wakil dari agama Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. (bid/ipg)

Keterangan gambar,

Pihak-pihak yang menyebarkan paham radikal antara lain mendukung khilafah seperti yang dikampanyekan kelompok ISIS di Timur Tengah.

Penyebaran dan penyusupan paham radikal di Indonesia dianggap makin mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir dan harus diambil langkah-langkah komprehensif untuk meredamnya.

Hal ini disampaikan delegasi akademisi dan pemerhati Islam dari Indonesia dalam dialog dengan sejumlah pemuka agama di London, Rabu (05/04) petang.

Jakob Tobing, presiden lembaga kajian Leimena Institute, memaparkan bahwa paham radikal "sudah masuk ke sekolah- sekolah dan juga rumah ibadah oleh pihak-pihak yang ideologi radikalnya berafiliasi dengan jaringan global".

Ia juga menyinggung soal hasil salah satu survei di kalangan anak-anak muda yang mengaku salah satu tokoh favorit mereka adalah pemimpin gerakan radikal di Timur Tengah.

Pengamat Islam dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Azyumardi Azra, mengatakan, salah satu saluran penyebaran paham radikal adalah ceramah-ceramah agama dan pendidikan di sekolah menengah atas melalui guru, yang menyampaikan ajaran Islam garis keras yang tidak mengakomodir keberagaman.

"Ada guru yang terpengaruh dengan paham radikal yang menyebarkan paham ini ke para murid ... ini dijumpai di sejumlah sekolah menengah atas di kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Makassar," papar Azyumardi kepada wartawan BBC Indonesia, Mohamad Susilo.

Paham radikal ini juga disebarkan ke kampus-kampus perguruan tinggi.

Paham radikal yang disebar ini, kata Azyumardi, tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia dan keberagaman. Para pengusung paham ini aktif mempromosikan pembentukan khilafah.

Keterangan gambar,

Amin Abdullah, Jakob Tobing, Alwi Shihah, dan Azyumardi Azra saat bertemu dengan pemuka agama dan pemerhati dialog antaragama di London.

Para pengusung khilafah tersebut, menurut Azyumardi, seakan mendapat ruang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia sejak turunnya Presiden Suharto pada 1998.

"Sejak 1998 dan 1999 mereka dengan bebas bisa mengkampanyekan khilafah dan syariah. Ini salah satu konsekuensi yang tidak diiinginkan dari proses demokrasi," kata Azyumardi.

Melihat situasi ini, lembaga-lembaga pendidikan, terutama kepala sekolah, guru, dan dosen harus waspada dan aktif memberikan panduan yang lebih jelas bagi siswa yang ikut kegiatan di sekolah dan kampus, sehingga penyebaran paham radikal bisa dihentikan.

Di tingkat masyarakat, kata Azyumardi, ada baiknya surat edaran Kapolri dua tahun lalu tentang ujaran kebencian diadopsi menjadi peraturan resmi. Mereka yang terbukti melanggar aturan itu dikenai sanksi.

Keterangan gambar,

Azyumardi melihat penyebaran paham radikal antara lain 'memanfaatkan kebebasan dan demokratisasi' yang bergulir sejak 1998.

"Di masyarakat, penyebaran paham radikal banyak yang dilakukan melalui mimbar, baik mimbar Jumat maupun mimbar pengajian. Sering kali penceramah memakai forum ini untuk mempromosikan paham-paham yang tidak sesuai dengan kehidupan, sejarah, budaya dan nilai-nilai bangsa (Indonesia)," katanya.

"Paham yang disebar itu tidak sesuai dengan nilai-nilai toleransi. Mereka tidak menghormati keberagaman, dan yang tak sesuai dengan pandangan mereka dianggap kafir atau murtad."

Dalam konteks ini, Azyumardi setuju jika para aktivis dan pengurus masjid secara berkala mendapatkan 'semacam pembinaan' oleh Dewan Masjid Indonensia dan Kementerian Agama.

Keterangan gambar,

Amin Abdullah berpendapat ada modal budaya yang kuat yang bisa meredam penyebaran paham radikal di Indonesia.

"Saya mendukung wacana dari Menteri Agama yang mengusulkan sertifikasi da'i dan penceramah ... kalau ada materi ceramah agama yang anti-NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus ada delik hukum yang diberlakukan terhadap mereka," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Amin Abdullah, mengatakan bahwa menghentikan penyebaran paham radikal bisa dilakukan dengan beberapa cara.

Di jalur pendidikan bisa dimulai dengan penyempurnaan materi pendidikan agama sehingga ada konten yang secara khusus membahas ekses yang bisa ditimbulkan dari paham radikal tersebut.

Perlu juga digalakkan kerja-kerja dari para pegiat untuk mempromosikan Islam yang moderat, Islam yang menghargai keberagaman, Islam yang bisa menunjukkan 'wajah yang damai, yang bisa menjadi rahmat bagi semuanya'.

Amin secara khusus menggarisbawahi bahwa masyarakat di Indonesia punya modal budaya yang bisa dioptimalkan untuk menghentikan paham atau ideologi radikal.

"Bahwa kita, masyarakat Indonesia, sejak awal adalah masyarakat yang terbuka, yang toleran, dan menghargai perbedaan atau keberagaman. Ini adalah modal budaya yang penting untuk menangkap paham radikal," kata Amin.

Dalam dua tahun terakhir ini, pemberitaan media massa nasional cukup intensif menyoroti geliat gerakan radikalisme agama yang sudah merangsek ke dunia pendidikan mulai dari lini pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Artikel berjudul “Melindungi Kampus” tulisan Prof. Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, secara lugas memperlihatkan bahwa nilai-nilai radikalisme agama telah berkembang di dalam tubuh kampus-kampus negeri nasional, dan fakta ini tidak dapat diremehkan. Majalah Tempo awal Juni lalu pun secara khusus juga merilis liputan investigatif “Paham Radikal di Kampus Kita” yang secara menyeluruh menyampaikan kesimpulan serupa adanya kondisi darurat radikalisme agama di dalam kampus-kampus kita. Lantas apa sebenarnya radikalisme agama itu? Apa yang sedang diperjuangkannya sehingga kita pantas mewaspadai dan melakukan langkah konkret menghadapinya?

Radikalisme agama yang sedang memperlihatkan perkembangannya yang semakin masif di Indonesia, menurut Muhammad A.S Hikam dalam bukunya Deradikalisasi menerangkan bahwa gerakan ini secara umum bersumber kepada aliran Wahabisme yang menekankan kemurnian hidup agama sesuai dengan hukum agama; dalam skala global paham ini mendasari gerakan NIIS dan Al Qaeda (A.S Hikam, 2018: 1). Dalam identifikasinya, Prof. Azra juga menyebutkan unsur tersebut seraya menambahkan beberapa unsur lainnya sebagai ciri khas gerakan ini, yaitu menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI; mempraktikan sikap takfiri yang mengafirkan rekan-rekan seagama yang berbeda pandangan; dan terakhir menolak toleransi dan kerja sama dengan penganut agama lain. Secara menyeluruh radikalisme agama adalah gerak keagamaan berbasis kepada tafsiran literal hukum agama demi pemahaman dan praksis keagamaan yang lurus dan murni, dan karena itu menolak Pancasila dan toleransi.

Sebagaimana diungkapkan cendikiawan Muslim Masdar Hilmy, agenda utama pergerakan ini adalah mengganti Pancasila ideologi bangsa dengan ideologi yang bersumber kepada hukum agama (shari’ah). Menolak Pancasila yang menjamin keberagaman identitas sebagai kenyataan khas bumi Nusantara, kelompok ini memegang kuat-kuat kemutlakan kesamaan identitas agama beserta penafsirannya, daripada keberagaman yang bermuara kepada penyangkalan sikap toleran. Hasil penelitian Pusat Penelitian Alvara di bulan September-Oktober 2017 lalu yang dibukukan dengan judul Radicalism Rising Among Educated People?, dalam pengantarnya mengemukakan bahwa radikalisme agama yang berkembang secara global, terutama di Timur Tengah bahkan di Indonesia adalah pandangan yang sempit keagamaan yang pada akhirnya mengajarkan intoleransi dan kekerasan berbasis pada fanatisme agama.

Watak dasar radikalisme agama demikian sungguh bertolak belakang dengan Pancasila. Sebagai pondasi dan jiwa yang mendasari bangunan bangsa dan negeri ini, kehadiran Pancasila pertama-tama justru melindungi dan menjamin keberagaman identitas primordial masyarakat bangsa Indonesia. Dalam arti itu, Pancasila menuntun bangsa ini untuk bersikap inklusif, moderat dalam menampilkan identitas kesukuan dan keagamaan kita, toleran dan gotong royong sebagai kepribadian khas bangsa Indonesia yang takdirnya adalah majemuk. Oleh Pancasila, keberagaman tidak dibungkan dan disamakan, melainkan dibiarkan hidup berkembang. Hal itu terlihat nyata pada kebijakan negara yang menjamin hak beragama dan beribadah setiap warganya sesuai dengan nilai agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan apapun latar belakang primordial warga bangsa ini, setiap orang memiliki kesetaraan di hak dan kewajiban dihadapan hukum negara.

Referensi:

Ali, Hasanudin & Lilik Purwandi, Radicalism Rising Among Educated People?, Jakarta: Alvara Research Institute, Juni 2018.

Hikam, Muhammad A.S., “Deradikalisasi Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisme”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.

Artikel dari Media Cetak:

  • Harian Kompas, Kamis 14 Juni 2018, hlm. 1 & 15, “Melindungi Kampus”.
  • Majalah Tempo, edisi 28 Mei-3 Juni 2018, hlm. 23 & hlm 36-48, “Paham Radikal di Kampus Kita”.