tirto.id - Kongres wanita pertama menghasilkan bentuk organisasi berwawasan kebangsaan yaitu Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Apa kaitan PPi dengan sejarah Hari Ibu 22 Desember di Indonesia? Berikut penjelasan selengkapnya. Kongres Perempuan I diadakan pada 22 Desember 1928. Kala itu, 600 perempuan berkumpul di pendapa Dalem Jayadipuran, Yogyakarta untuk membahas sejumlah isu terkait kesejahteraan kaum mereka. Dalam Kongres Perempuan Indonesia: Tinjauan Ulang (2007) yang disusun Susan Blackburn tertulis, seorang perempuan lajang yang kala itu baru berusia 21, Soejatin, berinisiatif menggelar Kongres Perempuan pertama yang mempertemukan kelompok-kelompok beraneka latar belakang. Ada macam-macam wacana yang dibahas dalam Kongres Perempuan Indonesia I. Mulai dari perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, taklik (perjanjian) dalam pernikahan Islam, poligami, hingga tunjangan untuk janda dan anak yatim. Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat Perempuan" dan istri Ki Hajar Dewantara, Nyi Hajar Dewantara yang membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian. Selain pidato soal perkawinan anak, ada pidato berjudul “Iboe" yang dibacakan Djami dari Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalamannya masa kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan. Di masa kolonial, anak laki-laki menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Tempat perempuan, dalam pikiran banyak orang Indonesa, akhirnya tak jauh dari kasur, sumur, dan dapur. Pandangan usang itu mengakar kuat dan pendidikan bagi perempuan tak dianggap penting. Perempuan tak perlu pintar, bukankah akhirnya ia akan ke dapur juga? Tapi Djami berpendapat lain. Meski menekankan pentingnya pendidikan perempuan dalam kerangka perannya sebagai ibu, pandangan Djami sudah maju untuk ukuran zaman itu. “Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya," katanya. Baca juga: Asal-Usul Hari Ibu Itulah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini juga Dewi Sartika begitu penting perannya. Ibu yang pandai akan punya modal besar untuk menjadikan anaknya pandai. Setahun setelah Kongres Perempuan I, gagasan untuk mengadakan Hari Ibu muncul dan disetujui pada Kongres Perempuan tahun 1938. Saat itu ditetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu. Beberapa dekade setelahnya, dalam peringatan kongres ke-25, Sukarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional bukan hari libur lewat Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959. Oleh karena itu, Susan Blackburn menyebut Hari Ibu di Indonesia adalah hari ulang tahun Kongres Perempuan Pertama, yang menjadi tonggak sejarah bagi pergerakan perempuan Indonesia. Sementara, Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara (2011) menulis "Hari Ibu di Indonesia berbeda makna dengan Mother's Day di Barat...Hari Ibu menandai emansipasi perempuan Indonesia dalam hubungannya dengan persatuan nasional dan nasionalisme."Baca juga: Ucapan Hari Ibu 22 Desember 2021 Bahasa Inggris dan Indonesia Sejarah Hari Ibu dan Kesetaraan PerempuanPanitia Kongres Perempuan Indonesia I dipimpin oleh R.A. Soekonto yang didampingi oleh dua wakil, yaitu Nyi Hadjar Dewantara dan Soejatin. Dalam sambutannya, dinukil dari buku karya Blackburn, R.A. Soekonto mengatakan: “Zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di dapur saja. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum." “Artinya," lanjut R.A. Soekonto, “perempuan tidak [lantas] menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan seperti zaman dahulu." Infografik sc sejarah hari ibu. (tirto.id/Fuad)
Kongres Perempuan Indonesia ke-1 diselenggarakan di Yogyakarta, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dimulai pada Sabtu malam 22-25 Desember 1928 dihadiri lebih dari 1000 orang. Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra dan beberapa organisasi kaum laki-laki, yang bertujuan memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan.[1] Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan.(Desember 2020) Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. Kongres Perempuan Indonesia ke-1 diselenggarakan di Yogyakarta, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dimulai pada Sabtu malam 22-25 Desember 1928 dihadiri lebih dari 1000 orang. Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra serta beberapa organisasi kaum laki-laki, yang bertujuan memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan.[1] Para perempuan ini mendapat inspirasi dari perempuan-perempuan perjuangan melawan penjajah pada abad ke-19.[2] Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang ini gedung tersebut dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (sekarang berganti nama menjadi Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta) di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.[3] Tercatat sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi pembukaan yang diadakan mulai tanggal 22 Desember 1928. Di antara yang hadir terdapat juga tokoh-tokoh organisasi-organisasi terkemuka di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang dipimpin dan didominasi oleh kaum lelaki, seperti Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond. Para peninjau mencatat sejumlah tokoh penting yang hadir antara lain: Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Dr. Soekiman (PSI), A.D. Haani (Walfadjri). Selain resepsi pembukaan, ada 3 pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres.[3] Pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik, misalnya surat kabar lokal berbahasa Jawa, “Sedijo Tomo” menyatakan kekagumannya atas hasil-hasil kongres tetapi juga mengingatkan agar gerakan perempuan yang meski terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri-ciri Timur-nya. Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga ikut mengapresiasi kongres ini sebagaimana dilaporkan oleh Penasihat Urusan Pribumi, Charles Olke van der Plas, yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Andries Cornelis Dirk de Graeff, dengan kalimat berikut:
Bahkan van der Plas menyebutkan bahwa ia telah menugaskan istri seorang pegawai bawahannya, Patih Datoek Toemenggoeng, untuk menghadiri kongres dengan catatan harus memberikan laporan lengkap kepadanya. Nama istrinya adalah Rangkajo Chailan Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, seorang Minang yang memimpin gerakan perempuan yang sedang naik daun. Laporannya menyebutkan bahwa sekitar 600 perempuan hadir mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tidak berpendidikan. Jika dinilai sebagai kekurangan yang tercatat saat penyelenggaraan kongres, masalah keterwakilan gerakan organisasi-organisasi dari daerah-daerah merupakan isu yang dihadapi. Walau catatan kongres menunjukkan bahwa ada 30 organisasi mengirimkan utusan, tetapi sebagian merupakan cabang dari organisasi yang sama. Sejumlah organisasi di Sumatra mengirimkan telegram berisi dukungannya namun kelihatannya tidak bisa hadir lebih disebabkan karena masalah jarak dan keterbatasan transportasi. Saat mencatat kegiatan kongres, Ny. Toemenggoeng terkejut karena tidak ada organisasi-organisasi Sunda yang menurut panitia penyelenggara kongres tidak mengenal adanya organisasi Sunda, jawaban yang menurut Ny. Toemenggoeng keliru karena Ny. Abdoerachman sudah mendirikan organisasi yang sangat terkenal di Bogor dengan nama Kemadjoean Isteri tahun 1926. Belum lagi gerakan pendidikan Sakola Kautamaan Isteri (Sekolah Keutamaan Perempuan) yang didirikan oleh R. Dewi Sartika di Bandung pada tahun 1904. Menurut catatan Susan Blackburn,[4] beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi "kaum Pribumi", suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain. Jika dibandingkan dengan kongres perempuan Indonesia yang diadakan pada tahun-tahun berikutnya, Kongres Pertama ini memang didominasi oleh etnis Jawa dan acara pembukaan pun diawali dengan lagu penyambutan dalam bahasa Jawa yang diciptakan oleh Soekaptinah. Namun demikian, Selama kongres, hanya 1 perwakilan organisasi yang berpidato menggunakan bahasa Jawa sedangkan sisanya berbahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia zaman Hindia Belanda). Mengenai bahasa Melayu ini sejak Mei 1928 sudah dijadikan materi dalam kursus yang diselenggarakan oleh Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta (semula adalah organisasi sayap perempuan dari Pemoeda Indonesia dan kemudian menjadi sayap perempuan PNI). Kongres Pemuda Kedua yang menghasilkan "Sumpah Pemuda" yang diadakan terlebih dulu pada bulan Oktober 1928 telah menginspirasi tokoh-tokoh perempuan dari kelompok guru muda Jong Java yang telah membentuk cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta, untuk membentuk Panitia Kongres Perempuan yang diketuai oleh R.A. Soekonto dengan Nyi Hajar Dewantara sebagai wakilnya & Soejatien (Ketua Poetri Indonesia Cabang Yogya) sebagai sekretaris. Ketiga tokoh perempuan ini sebenarnya tidak asing dengan dunia pergerakan karena memiliki hubungan dengan tokoh pergerakan nasionalis Indonesia. R.A. Soekonto adalah kakak dari Ali Sastroamidjojo, sedangkan Nyi Hajar Dewantara merupakan istri dari Ki Hajar Dewantoro, kemudian Soejatien (saat Kongres masih lajang) adalah murid Soekarno & Ki Hajar Dewantoro. Beberapa pidato yang dibacakan oleh tokoh-tokoh perempuan pada saat Kongres:
Pada 22 Desember 1953, dalam acara peringatan ke-25 Kongres ini, Presiden RI Soekarno menetapkan sebagai Hari Ibu Nasional melalui Dekret Presiden RI No. 316 Tahun 1953. Sejak saat itulah, setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia. Tokoh tokoh besar yang terlibat dalam kesuksesan kongres perempuan pertama adalah sebagai berikut: [1]
Berikut adalah susunan panitia kongres I: [5]
Keputusan-keputusan Kongres Perempuan Pertama tersebut adalah sebagai berikut : [1]
Kepada Pemerintah Belanda waktu itu dikirim tiga mosi sebagai berikut :[1]
|