Jakarta - Polda Metro Jaya mengevaluasi kerawanan kejahatan jalanan yang terjadi di tengah keramaian masyarakat. Kerawanan kejahatan yang tadinya terjadi pada malam hingga dini hari, kini mulai bergeser ke siang dan sore hari. "Sekarang memang berubah, yang tadinya malam, sekarang pelaku banyak main siang hari sampai malam hari," kata Kepala Biro Operasional Polda Metro jaya Kombes Daniel Pasaribu, Senin (22/3/2015). Menurut dia, pergeseran jam kerawanan ini sebagai efek teori balon. Polisi yang mengintensifkan patroli pada malam hari, membuat para pelaku melakukan aksinya pada siang hari. "Sekarang kita intensifkan patroli itu tidak hanya pada malam hari, tetapi juga pada siang hari," ujarnya. Meski demikian, Daniel mengklaim angka kriminalitas di wilayah hukum Polda Metro Jaya mengalami penurunan. Kejadian menonjol seperti aksi begal, diakui dia secara kuantitas tidak terlalu banyak."Tetapi memang secara kualitas begal ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Namun secara umum angka kriminalitas khususnya 3C (Curas, Curat dan Curanmor) cenderung menurun dibandingkan Januari-Februari kemarin," paparnya.Untuk daerah rawan kejahatan, Jakarta Pusat disebut Daniel menduduki wilayah yang paling rawan. Disusul Tangerang dan Jakarta Timur. "Tetapi secara keseluruhan dari hasil anev Mabes Polri, Polda Metro Jaya itu ranking ke enam wilayah rawan. Artinya, Polda Metro Jaya bukan yang paling rawan," imbuhnya.Terkait pergeseran jam kerawanan kriminalitas ini, Daniel mengimbau agar masyarakat tetap waspada. Hindari membawa barang-barang yang dapat menarik perhatian pelaku kejahatan agar terhindar dari aksi kriminalitas."Minta pengawalan ke kantor polisi terdekat jika hendak melakukan transaksi uang dalam jumlah yang banyak," tuntasnya.(mei/aan)
Severity: Warning Message: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /home/balipolrigo/public_html/system/core/Exceptions.php:271) Filename: core/Common.php Line Number: 564 Backtrace: File: /home/balipolrigo/public_html/application/models/Artikel_model.php Line: 206 Function: get File: /home/balipolrigo/public_html/application/controllers/Artikel.php Line: 33 Function: artikel_wilayah File: /home/balipolrigo/public_html/index.php Line: 315 Function: require_once
Lihat Foto JAKARTA, KOMPAS.com - Kriminolog Adrianus Eliasta Meliala mengatakan, saat ini tindak kejahatan di jalanan atau lebih dikenal dengan istilah streets crime terjadi pada waktu yang tak menentu. Ia mengatakan kejahatan di jalanan pada masa sekarang tak hanya menggunakan teori kuno yang menyatakan saat-saat paling rawan tindak kriminal adalah di malam hari. "Saat ini yang dimanfaatkan para pelaku kejahatan adalah fenomena yang dalam kriminologi disebut sebagai share responsibility," ujar Adrianus kepada Kompas.com, Sabtu (10/6/2017). Ia menjelaskan, yang dimaksud dengan fenomena share responsibility ini adalah kecenderungan masyarakat pada masa sekarang untuk menempatkan diri pada tanggung jawab masing-masing saat suatu tindak kejahatan terjadi. Masyarakat seolah tidak peduli, kemudian menyerahkan tanggung jawab itu ke orang lain yang belum tentu punya rasa tanggung jawab untuk menolong. Baca: Polisi Sebut Perampokan dengan Kekerasan Kejahatan Khas Jelang Lebaran "Jadi misalkan ada kejahatan, orang tak akan serta merta bertindak. Tapi mereka berpikir, misal aku masih kecil, aku perempuan, aku mau kerja, aku ada urusan sehingga aku tidak berkewajiban menolong," terang Adrianus. Ia mengatakan, kecenderungan masyarakat yang semacam ini justru terjadi di siang hari. Hal inilah yang menyebabkan pelaku kejahatan berani bertingak pada siang hari, meski dalam situasi ramai. "Jadi misal ada sepuluh orang ada di sekitar lokasi kejahatan. Belum tentu ada yang langsung memutuskan untuk menolong. Padahal kejahatan jalanan itu singkat sekali eksekusinya," ucap dia. Baca: Ini Tips dari Polisi agar Terhindar dari Perampokan Saat Ambil Uang Seperti diketahui aksi perampokan sadis terjadi di SPBU Jalan Daan Mogot KM 12, Cengkareng Timur, Jakarta Barat, Jumat (9/6/2017) siang. Perampokan terjadi saat korban, Davidson Tantono (30) tengah turun dari mobilnya untuk menambal ban mobilnya yang kempis. Sempat terjadi tarik-menarik tas berisi uang yang dirampok. Namun, perampok kemudian menembak Davidson di bagian kepala hingga tewas. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Baca berikutnya TANJUNG REDEB – Sistem keamanan keliling atau siskamling masih sangat perlu dijalankan. Supaya menekan terjadinya tindak pidana di masyarakat. Hal ini disadari Lurah Karang Ambun Arif Mulyono. Dikatakannya, selama ini siskamling tidak sepenuhnya dijalankan di seluruh RT di wilayahnya. Karena itu, dalam waktu dekat dirinya akan menginstruksikan kepada RT, agar menjalankan siskamling khususnya di malam hari. Menurutnya, tindak pidana atau kriminalitas berpotensi lebih besar dibandingkan saat siang hari. “Karena kan memang sering terjadi kejahatan di malah hari. Jadi nanti kami akan mengumpulkan para RT untuk membicarakan soal kegiatan ronda ini,” ujarnya kepada Berau Post Jumat (22/11). Hanya saja, untuk benar-benar mengaktifkan siskamling dengan ronda malam. Ia menyadari masih cukup banyak masyarakatnya yang belum sadar akan pentingnya kegiatan ini. Atau bahkan hanya ingin bermalas-malasan di rumah. Karena itu, Arif meminta agar hal tersebut tidak terjadi pada masyarakat di wilayahnya. Pasalnya, kegiatan ini juga dilakukan untuk menjaga masyarakat dari tindakan kriminal yang tidak diinginkan. “Selain untuk menjaga kampung dari tidak kejahatan, ini juga menjaga masyarakat dari hal yang tidak diinginkan pada saat beraktivitas di malam hari,” terangnya. “Karena tidak bisa dipungkiri banyak kejahatan yang bisa saja terjadi pada malam hari,” sambungnya lagi. Untuk melakukan kegiatan Siskamling ini, dirinya mengaku akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian sebagai pihak keamanan dari masyarakat. “Karena memang untuk kegiatan ini kami pasti akan meminta bantuan kepada pihak kepolisian sebagai keamanan,” pungkasnya. (*aky/arp) Mengapa Orang Melakukan Kejahatan? Oleh: Margaretha Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya Apa yang menyebabkan sebagian individu bisa melakukan kekerasan, penipuan, dan merugikan orang lain sedang yang lain tidak melakukan kejahatan pada orang lain? Tulisan pendek ini akan mengulas definisi, bentuk dan beberapa penjelasan Psikologi yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan Definisi kejahatan Ketika berbicara tentang kejahatan, sebenarnya banyak hal yang dapat diulas. Paling tidak dimulai dengan definisi kejahatan. Kejahatan sering diartikan sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman. Kejahatan terjadi ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak langsung, atau bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada hukuman. Dalam perspektif hukum ini, perilaku kejahatan terkesan aktif, manusia berbuat kejahatan. Namun sebenarnya “tidak berperilaku” pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya: penelantaran anak atau tidak melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi tindakan kekerasan pada anak di sekitar kita. Adapula perspektif moral. Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1) mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008). Bentuk kejahatan Selanjutnya, ketika membicarakan kejahatan kita juga perlu mengidentifikasi pelaku dan korban. Pelaku adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang, sedangkan korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan hidupnya. Pada kasus pidana, identifikasi akan berkaitan dengan pembuatan tuntutan dan pertanggungjwaban hukum. Walaupun begitu, terkadang tidak mudah mengidentifikasi pelaku dan korban, terutama pada kasus dimana pelaku adalah korbannya juga, contohnya: pelaku prostitusi sebenarnya juga adalah korban dari perilakunya. Kejahatan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa macam: kejahatan personal (pelaku dan korban kejahatan adalah sama), interpersonal (ada pelaku yang merugikan orang lain), dan kejahatan sosial masyarakat (efek kejahatan pelaku merugikan kehidupan orang banyak di masyarakat). Dari segi pelaksanaannya kejahatan juga bisa dibagi menjadi kejahatan terorganisir (sering disebut kejahatan “kerah putih” yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan) dan tidak teroganisir (kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir). Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan: pembunuhan, tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan, penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi yang lain. Teori kejahatan Begitu banyaknya bentuk dan macam kejahatan, maka menarik untuk mengetahui apa hal yang menyebabkan orang bisa melakukan tindak kejahatan. Sebenarnya sejak dulu manusia berusaha menjelaskan mengapa beberapa orang menjadi penjahat. Penjelasan paling awal adalah Model Demonologi. Dulu dianggap bahwa perilaku kriminal adalah hasil dari pengaruh roh jahat. Maka cara untuk menyembuhkan gangguan mental dan perilaku jahat adalah mengusir roh kejahatan, biasanya dilakukan dengan beberapa cara menyiksa, mengeluarkan bagian tubuh yang dianggap jahat (misalkan darah, atau bagian organ tubuh lainnya). Namun dalam kajian Psikologi Forensik, dikenal beberapa pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan: Kriminologi awal (Cesare Lombroso), Psikoanalisa (Sigmund Freud), dan Teori Bioekologi-Sosial. Cesare Lombroso adalah seorang kriminolog Italia yang pada tahun 1876 menjelaskan teori ‘determinisme antropologi’ yang menyatakan kriminalitas adalah ciri yang diwariskan atau dengan kata lain seseorang dapat dilahirkan sebagai “kriminal”. Ciri kriminal dapat diidentifikasi dengan ciri fisik seseorang, contohnya: rahang besar, dagu condong maju, dahi sempit, tulang pipi tinggi, hidung pipih atau lebar terbalik, dagu besar, sangat menonjol dalam penampilan, hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik, jenggot minim atau kebotakan dan ketidakpekaan terhadap nyeri, serta memiliki lengan panjang. Ia menyimpulkan juga kebanyakan kejahatan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang melakukan kejahatan artinya terjadi degenarasi atau kemunduran. Ia berpandangan harusnya sikap pasif, kurangnya inisiatif dan intelektualitas perempuan membuatnya sulit melakukan kejahatan. Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisa memiliki pandangan sendiri tentang apa yang menjadikan seorang kriminal. Ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan. Freud menyatakan bahwa penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego berlebihan. Orang dengan superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum; cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah justru dengan melakukan kejahatan. Kejahatan dilakukan untuk meredakan superego karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalah. Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip “kesenangan”. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Di dalamnya termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Freud percaya bahwa jika ini tidak bisa diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal. Sebenarnya pemahaman moral tentang benar dan salah yang telah ditanamkan sejak masa kanak harusnya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan mengontrol Id. Namun jika pemahaman moral kurang dan superego tidak berkembang dengan sempurna, akibatnya anak dapat tumbuh menjadi menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan Id, serta mau melakukan apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya. Menurut pandangan ini, kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego. Ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id akan lemah dan membuat manusia rentan melakukan penyimpangan. Dari perspektif Belajar Sosial, Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil proses belajar psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan pada perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, lalu terjadi pengulangan paparan yang disertai dengan penguatan atau reward; sehingga semakin mendukung orang untuk mau meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat. Contohnya: jika anak mengamati orang tuanya mencuri dan memahami bahwa mencuri uang menimbulkan reward positif (punya uang banyak untuk bersenang-senang); maka anak akan mau meniru perilaku mencuri. Di sisi lain, perilaku yang tidak diikuti dengan reward atau menghasilkan reaksi negatif maka anak belajar untuk tidak melakukan; atau dengan kata lain meniru untuk tidak mengulangi agar menghindari efek negatif. Dalam perspektif ini, Bandura percaya bahwa manusia memiliki kapasitas berpikir aktif yang mampu memutuskan apakah akan meniru atau tidak mengadopsi perilaku yang mereka amati dari lingkungan sosial mereka. Teori Sosial menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya. Dalam perspektif ini, kesannya individu dilihat sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya pada pendekatan Bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal (si individu itu sendiri, termasuk di dalamnya aspek kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya. Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Contohnya: seseorang yang memiliki gangguan kepribadian, pernah mengalami pola pengasuhan traumatis dan saat ini hidup di lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya lebih mudah melakukan kejahatan. Apakah semua kejahatan harus diperlakukan sama? Kejahatan memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bahkan perilaku kejahatan yang sama dapat didasari oleh alasan yang berbeda. Misalkan perlaku mencuri, seorang melakukannya untuk bertahan hidup, sedang yang lain untuk mencari uang sebanyak mungkin agar bisa menghindari pekerjaan sesedikit mungkin. Berbagai penjelasan teori kejahatan di atas dapat digunakan untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Mengapa dan bagaimana perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Kepekaan dan keahlian dalam memilah-milah perspektif teori dalam menjelaskan kejahatan sangat dibutuhkan dalam mencari titik terang suatu kasus kejahatan. Dengan pemahaman tersebut, harapannya, juga bisa dipahami bagaimana masing-masing harus diperlakukan dan diberikan konsekuensi hukum serta rehabilitasi psikologisnya. Proses koreksi dan rehabilitasi perilaku kejahatan sebaiknya dilakukan berdasarkan penjelasan perilaku kejahatan yang akurat dan tepat. Referensi: Davies, G., Hollin, C., & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley; Sussex. |