Apa sajakah perbedaan isi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

UU Nomor 17 Tahun 2014 mengatur Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

  1. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara;
  2. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
  3. bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Mengingat: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3), Pasal 24C ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disingkat MPR adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  1. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota yang selanjutnya disingkat KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai penyelenggara pemilihan umum.
  4. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.
  6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
  7. Hari adalah hari kerja.

MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
MPR berwenang:

  1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden Dasar hasil pemilihan umum;
  3. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  4. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
  5. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
  6. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

MPR bertugas:

  1. memasyarakatkan ketetapan MPR;
  2. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  3. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
  4. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  1. Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
  3. Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
  2. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

  1. Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR.
  2. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sebagai berikut:“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Majelis Permusyawaratan

Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Anggota MPR berhak:

  1. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
  3. memilih dan dipilih;
  4. membela diri;
  5. imunitas;
  6. protokoler; dan
  7. keuangan dan administratif.

Paragraf 2

Kewajiban Anggota

Anggota MPR berkewajiban:

  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;

  1. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  2. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
  4. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

  1. Fraksi merupakan pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
  2. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
  3. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
  4. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.
  5. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
  6. MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.

Paragraf 2

Kelompok Anggota

  1. Kelompok anggota merupakan pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD.
  2. Kelompok anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah.
  3. Pengaturan internal kelompok anggota sepenuhnya menjadi urusan kelompok anggota.
  4. MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas kelompok anggota.

Alat kelengkapan MPR terdiri atas:

  1. pimpinan; dan
  2. panitia ad hoc MPR.

  1. Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
  2. Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

  1. Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna.
  2. Tiap fraksi dan kelompok anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MPR.
  3. Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR.
  4. Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR.
  5. Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
  6. Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota MPR yang tertua dan termuda dari fraksi dan/atau kelompok anggota yang berbeda.
  7. Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

  1. Pimpinan MPR bertugas:

    1. memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
    2. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
    3. menjadi juru bicara MPR;
    4. melaksanakan putusan MPR;

  1. mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  2. mewakili MPR di pengadilan;
  3. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan
  4. menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna MPR pada akhir masa jabatan.

  1. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

  1. Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena:

    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.

  2. Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:

    1. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau
    2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.

  3. Dalam hal pimpinan MPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota dari fraksi atau kelompok anggota asal pimpinan MPR yang bersangkutan menggantikannya paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak pimpinan berhenti dari jabatannya.
  4. Penggantian pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan MPR dan dilaporkan dalam sidang paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis kepada anggota.

  1. Dalam hal salah seorang pimpinan MPR atau lebih berhenti dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
  2. Dalam hal pimpinan MPR dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, pimpinan MPR yang bersangkutan tidak boleh melaksanakan tugasnya.
  3. Dalam hal pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan MPR yang bersangkutan melaksanakan tugasnya kembali sebagai pimpinan MPR.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Paragraf 2

Panitia Ad Hoc MPR

  1. Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan kelompok anggota MPR.
  2. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan kelompok anggota MPR.

  1. Panitia ad hoc MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) melaksanakan tugas yang diberikan oleh MPR.
  2. Setelah terbentuk, panitia ad hoc MPR segera menyelenggarakan rapat untuk membahas dan memusyawarahkan tugas yang diberikan oleh MPR.

  1. Panitia ad hoc MPR bertugas:

    1. mempersiapkan bahan sidang MPR; dan
    2. menyusun rancangan putusan MPR.

  2. Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sidang paripurna MPR.
  3. Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, dan tugas panitia ad hoc MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Paragraf 1

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

  1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  1. Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh paling sedikit 1/3 (satu per tiga) dari jumlah anggota MPR.
  2. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.

  1. Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR.
  2. Setelah menerima usul pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya yang meliputi:

    1. jumlah pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); dan
    2. pasal yang diusulkan diubah dan alasan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).

  3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak usul pengubahan diterima.

Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan kelompok anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).

  1. Dalam hal usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya.
  2. Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lama 60 (enam puluh) Hari.
  3. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.

Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan kegiatan sebagai berikut:

  1. pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya;
  2. fraksi dan kelompok anggota MPR memberikan pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan
  3. membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji usul pengubahan dari pihak pengusul.

  1. Dalam sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc melaporkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c.
  2. Fraksi dan kelompok anggota MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap hasil kajian panitia ad hoc.

Halaman:UU 17 2014.pdf/16 Halaman:UU 17 2014.pdf/17 Halaman:UU 17 2014.pdf/18 Halaman:UU 17 2014.pdf/19 Halaman:UU 17 2014.pdf/20 Halaman:UU 17 2014.pdf/21 Halaman:UU 17 2014.pdf/22 Halaman:UU 17 2014.pdf/23 Halaman:UU 17 2014.pdf/24 Halaman:UU 17 2014.pdf/25 Halaman:UU 17 2014.pdf/26 Halaman:UU 17 2014.pdf/27 Halaman:UU 17 2014.pdf/28 Halaman:UU 17 2014.pdf/29 Halaman:UU 17 2014.pdf/30 Halaman:UU 17 2014.pdf/31 Halaman:UU 17 2014.pdf/32 Halaman:UU 17 2014.pdf/33 Halaman:UU 17 2014.pdf/34 Halaman:UU 17 2014.pdf/35 Halaman:UU 17 2014.pdf/36 Halaman:UU 17 2014.pdf/37 Halaman:UU 17 2014.pdf/38 Halaman:UU 17 2014.pdf/39 Halaman:UU 17 2014.pdf/40 Halaman:UU 17 2014.pdf/41 Halaman:UU 17 2014.pdf/42 Halaman:UU 17 2014.pdf/43 Halaman:UU 17 2014.pdf/44 Halaman:UU 17 2014.pdf/45 Halaman:UU 17 2014.pdf/46 Halaman:UU 17 2014.pdf/47 Halaman:UU 17 2014.pdf/48 Halaman:UU 17 2014.pdf/49 Halaman:UU 17 2014.pdf/50 Halaman:UU 17 2014.pdf/51 Halaman:UU 17 2014.pdf/52 Halaman:UU 17 2014.pdf/53 Halaman:UU 17 2014.pdf/54 Halaman:UU 17 2014.pdf/55 Halaman:UU 17 2014.pdf/56 Halaman:UU 17 2014.pdf/57 Halaman:UU 17 2014.pdf/58 Halaman:UU 17 2014.pdf/59 Halaman:UU 17 2014.pdf/60 Halaman:UU 17 2014.pdf/61 Halaman:UU 17 2014.pdf/62 Halaman:UU 17 2014.pdf/63 Halaman:UU 17 2014.pdf/64 Halaman:UU 17 2014.pdf/65 Halaman:UU 17 2014.pdf/66 Halaman:UU 17 2014.pdf/67 Halaman:UU 17 2014.pdf/68 Halaman:UU 17 2014.pdf/69 Halaman:UU 17 2014.pdf/70 Halaman:UU 17 2014.pdf/71 Halaman:UU 17 2014.pdf/72 Halaman:UU 17 2014.pdf/73 Halaman:UU 17 2014.pdf/74 Halaman:UU 17 2014.pdf/75 Halaman:UU 17 2014.pdf/76 Halaman:UU 17 2014.pdf/77 Halaman:UU 17 2014.pdf/78 Halaman:UU 17 2014.pdf/79 Halaman:UU 17 2014.pdf/80 Halaman:UU 17 2014.pdf/81 Halaman:UU 17 2014.pdf/82 Halaman:UU 17 2014.pdf/83 Halaman:UU 17 2014.pdf/84 Halaman:UU 17 2014.pdf/85 Halaman:UU 17 2014.pdf/86 Halaman:UU 17 2014.pdf/87 Halaman:UU 17 2014.pdf/88 Halaman:UU 17 2014.pdf/89 Halaman:UU 17 2014.pdf/90 Halaman:UU 17 2014.pdf/91 Halaman:UU 17 2014.pdf/92 Halaman:UU 17 2014.pdf/93 Halaman:UU 17 2014.pdf/94 Halaman:UU 17 2014.pdf/95 Halaman:UU 17 2014.pdf/96 Halaman:UU 17 2014.pdf/97 Halaman:UU 17 2014.pdf/98 Halaman:UU 17 2014.pdf/99 Halaman:UU 17 2014.pdf/100 Halaman:UU 17 2014.pdf/101 Halaman:UU 17 2014.pdf/102 Halaman:UU 17 2014.pdf/103 Halaman:UU 17 2014.pdf/104 Halaman:UU 17 2014.pdf/105

  1. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (2) terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
  2. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (2) tidak terbukti, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilanjutkan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 1

Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang

  1. Anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 2

Hak Mengajukan Pertanyaan

  1. Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan.
  2. Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Presiden, pertanyaan tersebut disusun secara tertulis, singkat, dan jelas serta disampaikan kepada pimpinan DPR.

  1. Apabila diperlukan, pimpinan DPR dapat meminta penjelasan kepada anggota DPR yang mengajukan pertanyaan.
  2. Pimpinan DPR meneruskan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum dan meminta agar Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum memberikan jawaban.
  3. Pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat tertutup atau terbuka.
  4. Pimpinan DPR tidak dapat mengumumkan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang bersifat tertutup.
  5. Pimpinan DPR dapat mengumumkan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang bersifat terbuka.

  1. Jawaban atas pertanyaan anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pertanyaan diterima oleh Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum.
  2. Penyampaian jawaban oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Paragraf 3

Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat

  1. Anggota DPR berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.

  1. Tata cara penyampaian usul dan pendapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai hak mengajukan pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

  1. Dalam menyampaikan usul dan pendapat dalam rapat, anggota mendaftar pada ketua rapat.
  2. Hak menyampaikan usul dan pendapat dalam rapat diberikan terlebih dahulu kepada anggota yang datang lebih awal.
  3. Usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan secara lisan dan/ atau tertulis, singkat, dan jelas kepada ketua rapat.
  4. Apabila diperlukan, ketua rapat dapat meminta anggota yang menyampaikan usul dan pendapat untuk memperjelas usul dan pendapatnya.

Paragraf 4

Hak Memilih dan Dipilih

  1. Anggota DPR mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 5

Hak Membela Diri

  1. Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

  1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
  2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
  3. Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Halaman:UU 17 2014.pdf/110 Halaman:UU 17 2014.pdf/111 Halaman:UU 17 2014.pdf/112 Halaman:UU 17 2014.pdf/113 Halaman:UU 17 2014.pdf/114 Halaman:UU 17 2014.pdf/115 Halaman:UU 17 2014.pdf/116 Halaman:UU 17 2014.pdf/117 Halaman:UU 17 2014.pdf/118 Halaman:UU 17 2014.pdf/119 Halaman:UU 17 2014.pdf/120 Halaman:UU 17 2014.pdf/121 Halaman:UU 17 2014.pdf/122 Halaman:UU 17 2014.pdf/123 Halaman:UU 17 2014.pdf/124 Halaman:UU 17 2014.pdf/125 Halaman:UU 17 2014.pdf/126 Halaman:UU 17 2014.pdf/127 Halaman:UU 17 2014.pdf/128 Halaman:UU 17 2014.pdf/129 Halaman:UU 17 2014.pdf/130 Halaman:UU 17 2014.pdf/131 Halaman:UU 17 2014.pdf/132 Halaman:UU 17 2014.pdf/133 Halaman:UU 17 2014.pdf/134 Halaman:UU 17 2014.pdf/135 Halaman:UU 17 2014.pdf/136 Halaman:UU 17 2014.pdf/137 Halaman:UU 17 2014.pdf/138 Halaman:UU 17 2014.pdf/139 Halaman:UU 17 2014.pdf/140 Halaman:UU 17 2014.pdf/141 Halaman:UU 17 2014.pdf/142 Halaman:UU 17 2014.pdf/143 Halaman:UU 17 2014.pdf/144 Halaman:UU 17 2014.pdf/145 Halaman:UU 17 2014.pdf/146 Halaman:UU 17 2014.pdf/147 Halaman:UU 17 2014.pdf/148 Halaman:UU 17 2014.pdf/149 Halaman:UU 17 2014.pdf/150 Halaman:UU 17 2014.pdf/151 Halaman:UU 17 2014.pdf/152 Halaman:UU 17 2014.pdf/153 Halaman:UU 17 2014.pdf/154 Halaman:UU 17 2014.pdf/155 Halaman:UU 17 2014.pdf/156 Halaman:UU 17 2014.pdf/157 Halaman:UU 17 2014.pdf/158 Halaman:UU 17 2014.pdf/159 Halaman:UU 17 2014.pdf/160 Halaman:UU 17 2014.pdf/161 Halaman:UU 17 2014.pdf/162 Halaman:UU 17 2014.pdf/163 Halaman:UU 17 2014.pdf/164 Halaman:UU 17 2014.pdf/165 Halaman:UU 17 2014.pdf/166 Halaman:UU 17 2014.pdf/167 Halaman:UU 17 2014.pdf/168 Halaman:UU 17 2014.pdf/169 Halaman:UU 17 2014.pdf/170 Halaman:UU 17 2014.pdf/171 Halaman:UU 17 2014.pdf/172 Halaman:UU 17 2014.pdf/173 Halaman:UU 17 2014.pdf/174 Halaman:UU 17 2014.pdf/175 Halaman:UU 17 2014.pdf/176 Halaman:UU 17 2014.pdf/177 Halaman:UU 17 2014.pdf/178 Halaman:UU 17 2014.pdf/179 Halaman:UU 17 2014.pdf/180 Halaman:UU 17 2014.pdf/181 Halaman:UU 17 2014.pdf/182 Halaman:UU 17 2014.pdf/183 Halaman:UU 17 2014.pdf/184 Halaman:UU 17 2014.pdf/185 Halaman:UU 17 2014.pdf/186 Halaman:UU 17 2014.pdf/187 Halaman:UU 17 2014.pdf/188 Halaman:UU 17 2014.pdf/189 Halaman:UU 17 2014.pdf/190 Halaman:UU 17 2014.pdf/191 Halaman:UU 17 2014.pdf/192 Halaman:UU 17 2014.pdf/193 Halaman:UU 17 2014.pdf/194 Halaman:UU 17 2014.pdf/195 Halaman:UU 17 2014.pdf/196 Halaman:UU 17 2014.pdf/197 Halaman:UU 17 2014.pdf/198 Halaman:UU 17 2014.pdf/199

  1. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap jabatan sebagai:

    1. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
    2. hakim pada badan peradilan; atau
    3. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.

  2. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
  3. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

  1. Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.

  1. Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.

Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (1) berupa:

  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis; dan/atau
  3. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara Badan Kehormatan.

Paragraf 1

Pemberhentian Antarwaktu

  1. Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena:

  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri; atau
  3. diberhentikan.

  1. Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota;
    3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
    4. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
    5. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    6. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
    7. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
    8. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
    9. menjadi anggota partai politik lain.

  1. Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur.
  4. Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota.

  1. Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD kabupaten/kota, masyarakat dan/atau pemilih.
  2. Keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada rapat paripurna.

  1. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
  2. Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota, paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  3. Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD kabupaten/kota meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  4. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur.
  5. Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari bupati/walikota.

  1. Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 ayat (1), Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota dapat meminta bantuan dari ahli independen.

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara Badan Kehormatan.

Paragraf 2

Penggantian Antarwaktu

  1. Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) dan Pasal 406 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  2. Dalam hal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota, anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  3. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikannya.

  1. Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU kabupaten/kota.

  1. KPU kabupaten/kota menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 406 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur melalui bupati/walikota.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bupati/walikota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur.
  4. Paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan gubernur.
  5. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 368 dan Pasal 369.
  6. Penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 3

Pemberhentian Sementara

  1. Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara karena:

    1. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
    2. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.

  2. Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
  3. Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan.
  4. Anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

  1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugas MPR, DPR, dan DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD yang susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas usul lembaga masing-masing.
  2. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugas DPR, dibentuk Badan Keahlian DPR yang diatur dengan Peraturan Presiden.
  3. Badan Keahlian DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara fungsional bertanggung jawab kepada DPR dan secara administratif berada di bawah Sekretariat Jenderal DPR.
  4. Pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan pimpinan DPD melalui alat kelengkapan melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan sarana dan prasarana dalam kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD.

Paragraf 2

Pimpinan Organisasi

  1. Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413, masing-masing dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal yang diusulkan oleh pimpinan lembaga masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang kepada Presiden.

  1. Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada dasarnya berasal dari pegawai negeri sipil profesional yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Sebelum mengajukan usul nama calon sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pimpinan lembaga masing-masing harus berkonsultasi dengan Pemerintah.
  3. Usul nama calon Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan lembaga masing-masing untuk diangkat dengan keputusan Presiden.
  4. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga masing-masing.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan tata cara pertanggungjawaban sekretaris jenderal diatur dengan peraturan lembaga masing-masing.

  1. Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR dan Badan Keahlian DPR, serta Sekretariat Jenderal DPD terdiri atas pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap.
  2. Ketentuan mengenai manajemen kepegawaian MPR, DPR, dan DPD diatur dengan peraturan lembaga masingmasing yang dibahas bersama dengan Pemerintah untuk ditetapkan dalam peraturan pemerintah.

Paragraf 4

Kelompok Pakar atau Tim Ahli

  1. Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tugas DPR dan DPD dibentuk kelompok pakar atau tim ahli yang diperbantukan terutama kepada anggota.
  2. Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPR atau Sekretaris Jenderal DPD sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota.

  1. Tenaga ahli alat kelengkapan DPR, tenaga ahli anggota DPR, dan tenaga ahli fraksi adalah tenaga yang memiliki keahlian tertentu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi alat kelengkapan DPR, anggota dan fraksi.
  2. Dalam satu kali periode masa bakti DPR terdapat paling sedikit 1 (satu) kali kenaikan honorarium tenaga ahli dan staf administrasi anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Rekrutmen tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh alat kelengkapan DPR, anggota dan fraksi yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Sekretaris Jenderal DPR.

  1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD provinsi, dibentuk sekretariat DPRD provinsi yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Sekretariat DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD provinsi yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD provinsi.
  3. Sekretaris DPRD provinsi dan pegawai sekretariat DPRD provinsi berasal dari pegawai negeri sipil.

Paragraf 2

Kelompok Pakar atau Tim Ahli

  1. Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tugas DPRD provinsi, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
  2. Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD provinsi sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah.
  3. Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan wewenang dan tugas DPRD provinsi yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD provinsi.

  1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota, dibentuk sekretariat DPRD kabupaten/kota yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/walikota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  3. Sekretaris DPRD kabupaten/kota dan pegawai sekretariat DPRD kabupaten/kota berasal dari pegawai negeri sipil.

Paragraf 2

Kelompok Pakar atau Tim Ahli

  1. Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
  2. Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah.

  1. Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota.

Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam undang-undang tersendiri.

  1. Penyampaian rincian unit organisasi, fungsi, dan program untuk pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 huruf c mulai dilaksanakan tahun 2014 untuk penyusunan APBN Tahun 2015.
  2. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara tetap melaksanakan tugas sampai dengan berakhir masa keanggotaan DPR periode 2009-2014.

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap melaksanakan wewenang dan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) sampai dengan berakhir masa jabatan.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkanm pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 182

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RIAsisten Deputi Perundang-undangan

Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


Page 2

Anda tidak memiliki hak akses untuk menyunting halaman ini, karena alasan berikut:

Alamat IP Anda berada dalam rentang yang telah diblokir di semua wiki Wikimedia Foundation.

Pemblokiran dilakukan oleh Jon Kolbert (meta.wikimedia.org). Alasan yang diberikan adalah Open proxy/Webhost: Visit the FAQ if you are affected .

  • Mulai di blokir: 7 November 2021 17.35
  • Kedaluwarsa blokir: 7 Desember 2023 17.35

Alamat IP Anda saat ini adalah 168.138.160.234 dan rentang yang diblokir adalah 168.138.0.0/16. Harap sertakan semua rincian di atas dalam setiap pertanyaan Anda.

Jika Anda yakin Anda diblokir merupakan sebuah kesalahan, Anda dapat menemukan informasi tambahan dan petunjuk di kebijakan global Tanpa proksi terbuka. Jika tidak, untuk membicarakan hal ini, silakan mengirim permintaan untuk diperiksa di Meta-Wiki atau mengirim surel ke antrean VRT steward di dengan menyertakan semua rincian di atas.

Anda dapat melihat atau menyalin sumber halaman ini.

== Lihat juga == * [[Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014/Penjelasan|Penjelasan]]

Kembali ke Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.