Jelaskan cara MENENTUKAN koefisien muai panjang suatu batang logam apa saja yang harus diukur

PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si) Program Studi Fisika Oleh : Antonius Iis Sugianto NIM : 34 PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 7

ii

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu Lukas :9 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan Matius 5:8 Don't worry if it doesn't work right. If everything did, you'd be out of a job. Fantasy, abandoned by reason, produces impossible monsters; united with it, she is the mother of the arts and the origin of marvels. By Goya Presented to my Supported : Jesus Christ you always in my heart Bapak + Mamak Mas Wanto + Mbak Tina Mas Joko + Mbak Hermi Adikku Retha iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 3 Juli 7 Penulis, Antonius Iis Sugianto v

ABSTRAK PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON Antonius Iis Sugianto 34 Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai koefisien muai panjang logam besi dengan metode interferensi cincin newton menggunakan sinar Natrium sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang 589 nm. Dari penelitian ini diperoleh hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu yang diukur dengan perubahan pola-pola interferensi. Hubungan ini dapat diperlihatkan dengan menggunakan grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu. Untuk grafik 4. diperoleh persamaan garis L = 6 x -8 T x -8 ; sedangkan pada grafik 4. persamaan garis yang diperoleh persamaan L = 6 x -8 T 6 x -8 ; pada grafik 4.3 persamaan garis yang diperoleh persamaan L = 6 x -8 T + -8 ; untuk grafik 4.4 persamaan garis diperoleh persamaan L = 6,5 x -8 T 8,97 x -8 ; dan grafik 4.5 diperoleh persamaan garisnya adalah L = 6 x -8 T 9 x -8. Dengan menggunakan metode grafik, hubungan antara perubahan panjang logam besi ( L) dan suhu ( T ) memberikan hasil (,7 ±,38). -6 / C. Hasil yang diperoleh sangat sesuai dengan nilai yang telah dilaporkan yaitu (,7 ±,6). -6 / C. vi

ABSTRACT DETERMINING COEFFICIENT OF LINEAR EXPANSION OF IRON METAL BY USING INTERFERENCE RINGS NEWTON METODS Antonius Iis Sugianto 34 A research had been conduced to know coefficient of linear expansion of iron metal by interference rings newton metods This research utilized the lamp Natrium as its light source wich has 589 nm wavelength. Based on this research, the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change wich are measured with change of the interference pattern was know. The relation is presented in the graph of the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change. Based on graph 4.-4.5, the linear function are as folows: L = 6 x -8 T x -8, for graph 4., for graph 4. L = 6 x -8 T 6 x -8, for graph 4.3 L = 6 x -8 T + x -8, for graph 4.4 L = 6,5 x -8 T 8,97 x -8, and for graph 4.5 L = 6 x - 8 T 9 x -8. With using graph methods, relation between the changes of iron metal length Vs temperature give results is (,7 ±,38). -6 / C. The result that get same as the result that reported is (,7 ±,6). -6 / C. vii

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Penentuan Koefisien Muai Panjang Logam Besi Dengan Metode Interferensi Cincin Newton ini dengan baik. Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Universitas Sanata Dharma pada program studi Fisika. Selama penulisan skripsi ini penulis telah memperoleh bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:. Ir Ign. Aris Dwiatmoko, M.Sc, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma.. Ibu Sri Agustini Sulandari, M.Si. Selaku pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing selama mengerjakan tugas akhir ini. 3. Seluruh dosen Fisika dan segenap civitas akademika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 4. Dr Ign. Edi Santosa, MS, selaku Kepala Laboratorium Fisika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan izin memakai alat & ruangan Lab Fisika untuk penelitian skripsi. 5. Seluruh teman-teman Fisika : (Wedhus, Nzoo, Mili, Mamat, Yoan, Minto, Onenk, Sujiwo Tejo alias Aris) dan Mbak Asri Fis trimakasih bantuannya selama penelitian ini. viii

6. Teman-teman kost Tampan ; Simbah, Mak e + Pak e, Omen s, Dono, Golank thanks a lot of. 7. My Love Family: Bapak + Mamak, Mas Wanto + Mbak Tina, Mas Joko + Mbak Hermi, adikku Retha dan keponakanku tercinta Wisnu + Tyas. Trimakasih Semua saran, semangat dan doanya atas diriku, sehingga dapat menyelesaikan kuliah dengan baik walaupun penuh perjuangan yang berat. 8. teman P3W (mellin, li, obeth, punto, danank, prizka, henny) u all best friend s, kapan-kapan jalan bareng lagi dan suatu saat kita akan ketemu lagi alias reuni, don t remember my..!!! 9. Buat teman-teman yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu, Saya ucapkan banyak terimakasih yang telah memberi dukungan dan bantuan baik saran, pendapat, kritik atau sekedar menemani di laboratorium gelap. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran amat penulis harapkan demi perkembangan riset fisika eksperimen di USD khususnya dan di Indonesia umumnya. Akhirnya, besar harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembaca. Yogyakarta, 5 Agustus 7 Penulis ix

DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang..... Perumusan Masalah....3. Batasan Masalah... 3.4. Tujuan Penelitian... 3.5. Manfaat Penelitian... 4 BAB II DASAR TEORI.. Hukum Pembiasan dan Pemantulan... 5.. Prinsip Huygens... 7... Prinsip Huygens dan Hukum Pemantulan... 8... Prinsip Huygens dan Hukum Pembiasan... 8.3. Lintasan Optis....3.. Prinsip Fermat dalam Pembiasan dan Pemantulan Cahaya....3.. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan... 4.4. Interferensi Cahaya... 7.5. Interferensi Cahaya pada Selaput Tipis....6. Cincin Newton... 5 x

.7. Pemuaian... 9.7.. Pemuaian Panjang... 3.7.. Pemuaian Luas... 3.7... Hubungan antara koefisien muai luas dan koefisien muai panjang... 3.7.3. Pemuaian Volume atau Kubik... 33.7.3.. Hubungan antara koefisien muai kubik dan koefisien muai panjang... 34 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.. Tempat dan Jenis Penelitian... 36 3.. Alat dan Bahan yang Dipergunakan... 36 3.3. Prosedur Percobaan... 38 3.4. Analisis Data.... 4 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Data Hasil Penelitian... 4 4.. Pembahasan... 5 BAB V PENUTUP 5.. Kesimpulan... 54 5.. Saran... 55 DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka... 56 LAMPIRAN xi

DAFTAR GAMBAR Gambar. Pemantulan dan pembiasan cahaya... 5 Gambar. Perambatan gelombang datar dalam ruang bebas dengan metode Huygens... 7 Gambar.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar... 8 Gambar.4 Pembiasan gelombang datar pada kaca... 9 Gambar.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium... Gambar.6 Cahaya dari A tiba di B setelah dipantulkan di C... Gambar.7 Cahaya dari D tiba di E setelah dibiaskan di F... 3 Gambar.8 Bentuk pulsa gelombang pada ujung terikat... 5 Gambar.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas... 6 Gambar. Sumber cahaya yang melewati celah... 8 Gambar. Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis... Gambar. Alat untuk mengamati Cincin Newton... 5 Gambar.3 Pola Cincin Newton... 6 Gambar.4 Cincin Newton dengan tebal film tertentu... 7 Gambar.5 Pemuaian panjang pada suatu logam... 3 Gambar 3. Gambar rangkaian percobaan... 38 Gambar 3. Rangkaian sistem optis... 39 Gambar 4. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 8 C... 43 Gambar 4. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 8 C... 45 Gambar 4.3 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 9 C... 47 Gambar 4.4 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 9 C... 49 Gambar 4.5 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 9 C... 5 xii

DAFTAR TABEL Tabel 4. Tabel data ke perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C)... 4 Tabel 4. Tabel data ke perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C)... 44 Tabel 4.3 Tabel data ke3 perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C)... 46 Tabel 4.4 Tabel data ke4 perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C)... 48 Tabel 4.5 Tabel data ke5 perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C)... 5 xiii

BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang Fenomena yang berkaitan dengan kalor sudah ada sejak zaman dulu, contohnya orang purbakala memanaskan suatu benda menggunakan sumber panas yaitu api, tetapi sudah pasti suhu pada api tersebut tidak dapat diukur dengan tepat. Pada saat tersebut, belum dipikirkan cara mengukur suhu dengan tepat. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengukuran suhu dan kalor telah banyak dikaji orang, demikain juga konsep pemuaian banyak dikaji secara mendalam. Kajian konsep pemuaian akan banyak membantu pemahaman sifat fisis suatu benda akibat terjadi perubahan suhu. Sebagai contoh, termometer suhu badan yang digunakan untuk mengukur suhu badan manusia didasarkan pada konsep pemuain. Aplikasi pengetahuan tentang kaitan antara suhu dan pemuaian sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh pada rel kereta api akan memuai jika rel kereta api terjadi kenaikan suhu, sehingga akan mempengaruhi kodisi rel yang berakibat kondisi rel melengkung yang akan membahayakan kereta api yang melintas. Supaya rel kereta tidak melengkung dalam pembangunan rel kereta api diberi celah dalam sambungannya. Contoh yang lain adalah pada pemuaian alkohol pada sensor suhu suatu ruangan dapat digunakan sebagai peringatan tanda bahaya (alarm kebakaran).

Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur besar pemuaian suatu benda adalah dengan menggunakan interferometer Michelson. Interferometer Michelson dapat mengukur perubahan panjang suatu benda yang memuai berdasarkan pola-pola interferensi, dengan ketelitian yang tinggi. Pengukuran suhu suatu objek dengan menggunakan parameter memiliki beberapa kelemahan, misalnya termometer diletakkan pada permukaan logam, maka yang teramati tidak hanya suhu logam tetapi juga akibat pengaruh suhu luar, sehingga ada panas yang terbuang atau tidak terukur dan menyebabkan suhu logam tidak teramati dengan tepat. Pada kesempatan ini, peneliti ingin menggunakan metode yang lain yaitu dengan metode interferensi cincin Newton. Metode Cincin Newton yaitu didasarkan pada perubahan pola-pola interferensi. Dengan menganalisis hasil perubahan pola ini, akan diperoleh koefisien muai panjang benda yang diukur... Perumusan Masalah Karena masalah yang diteliti adalah pengaruh perubahan suhu terhadap perubahan panjang dengan menggunakan metode interferensi Cincin Newton, maka yang menjadi perumusan masalah dalam permasalahan penelitian ini adalah. Bagaimana menampilkan pola interferensi maka diperoleh nilai koefisien muai panjang besi menggunakan metode interferensi Cincin Newton?. Bagaimana hubungan antara perubahan panjang logam dengan perubahan pola-pola terang atau gelap pada interferensi Cincin Newton yang terjadi?

3 3. Bagaimana menentukan koefisien muai panjang dari data perubahan panjang yang dihasilkan?.3. Batasan Masalah Pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengaruh perubahan suhu terhadap perubahan panjang sebuah logam. Perubahan panjang ini diperoleh dari perubahan pola-pola interferensi Cincin Newton. Dengan mengukur perubahan pola, dapat ditentukan perubahan panjang logam. Koefisien muai panjang logam dapat diketahui dengan menganalisa grafik hubungan antara perubahan panjang logam dengan perubahan suhu..4.tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah. Menampilkan pola interferensi maka diperoleh koefisien muai panjang logam dengan metode interferensi Cincin Newton.. Mengetahui hubungan antara perubahan panjang dengan perubahan pola-pola terang atau gelap pada interferensi Cincin Newton. 3. Menentukan koefisien muai panjang besi, dengan menganalisis perubahan panjang besi pada setiap perubahan suhu.

4.5.Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah. Menambah wawasan peneliti mengenai cara menentukan koefisien muai panjang suatu logam besi dengan metode interferensi Cincin Newton. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai koefisien muai panjang suatu bahan

BAB II DASAR TEORI.. Hukum Pembiasan Dan Pemantulan Ketika gelombang dari tipe apapun mengenai sebuah penghalang misalnya sebuah cermin, gelombang-gelombang baru dibangkitkan dan bergerak menjahui penghalang tersebut. Fenomena ini disebut pemantulan. Ketika sebuah berkas cahaya mengenai bidang batas yang memisahkan dua medium yang berbeda, seperti misalnya bidang batas udara-kaca, energi cahaya tersebut sebagian dipantulkan dan sebagian yang lain memasuki medium kedua, perubahan arah dari sinar yang ditransmisikan tersebut disebut pembiasan (Tipler, ). Jalannya cahaya pada pemantulan dan pembiasan diperlihatkan pada Gambar. N θ θ θ 3 n n Bidang batas Gambar. Pemantulan dan pembiasan cahaya 5

6 Pada Gambar., N adalah garis normal, n indeks bias medium, n indeks medium, θ sudut datang cahaya, θ sudut pantul cahaya, dan θ 3 sudut bias cahaya. Pada peristiwa pemantulan dan pembiasan suatu cahaya dari medium dengan indeks bias n ke medium dengan indeks bias n berlaku:. Cahaya yang dipantulkan dan yang dibiaskan terletak pada satu bidang yang dibentuk oleh cahaya datang dan normal bidang batas di titik datang, seperti terlihat pada Gambar.. Untuk pemantulan, sudut datang (θ ) sama besar dengan sudut pantul (θ ) atau θ = θ (.) 3. Untuk pembiasan, Perbandingan antara sinus sudut datang (θ ) dengan sinus sudut bias (θ 3 ) merupakan nilai yang konstan atau sinθ sinθ 3 = n (.) Sudut bias bergantung pada laju cahaya pada kedua media dan bergantung pada sudut datang. Hubungan analitis antara (θ ) dan (θ 3 ) ditemukan secara eksperimental pada sekitar tahun 6 oleh Willebrord Snell yang kemudian dikenal sebagai hukum Snelli (Giancoli, ); n = θ (.3) sin θ n sin dengan n indeks bias medium, n indeks medium dan θ 3 sudut bias cahaya. 3

7. Prinsip Huygens Teori Huygens menjelaskan bahwa semua titik pada muka gelombang dapat dipandang sebagai sumber titik yang menghasilkan gelombang sferis (bola) sekunder (spherical secondary wavelet). Muka gelombang adalah suatu permukaan yang merupakan tempat kedudukan titik-titik medium dengan fase yang sama yang dicapai oleh gerakan gelombang pada waktu yang sama (Alonso dan Finn, 99). Setelah selang waktu t, posisi muka gelombang yang baru adalah permukaan selubung yang menyinggung semua gelombang sekunder ini (Halliday dan Resnick, 984). Secara skematis, Prinsip Huygens diperlihatkan pada Gambar. ct Muka gelombang pada t = Posisi baru muka gelombang Gambar. Perambatan gelombang datar dalam ruang bebas dengan metode Huygens

8... Prinsip Huygens Dan Hukum Pemantulan Gelombang datang c p a θ a θ λ l udara cermin Gambar.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar Pada Gambar.3 sebuah gelombang Huygens dengan θ adalah sudut datang yang berpusat di titik a akan mengembang sampai pada titik l setelah selang λ. Dimana segitiga siku-siku alp dan a lp keduanya memiliki sisi lp yang berhimpit c dan sisi al (=λ) sama dengan sisi a p. Jadi keduanya segitiga siku-siku tersebut sama dan sebangun dan dapat disimpulkan bahwa θ adalah sudut pantul antara muka gelombang dan cermin sama dengan sudut datang, berarti θ = θ... Prinsip Huygens Dan Hukum Pembiasan

9 Gelombang datang v θ θ 3 θ e h λ c λ θ e 3 v udara kaca Gambar.4 Pembiasan gelombang datar pada kaca Pada gambar.4 muka gelombang dihubungkan satu dengan yang lainnya λ menurut penggambaran Huygens, selang waktu = v ketika gelombang Huygens dari titik e bergerak sampai pada titik c. Cahaya dari titik h, menjalar dalam kaca dengan laju yang lebih kecil. Jarak yang ditempuhnya dalam selang waktu tersebut akan lebih pendek, yaitu: v λ = λ v dengan λ panjang gelombang di medium (udara), λ panjang gelombang di medium (kaca), ν kecepatan cahaya di medium (udara), ν kecapatan cahaya di medium (kaca). Gelombang yang dibiaskan harus menyinggung lengkungan berjari-jari λ berpusat pada titik h. Oleh karena c terletak pada muka gelombang yang baru, maka bidang singgung tadi harus melalui titik ini. Sudut antara sinar yang dibiaskan dengan

normal bidang batas yaitu θ 3, sama dengan sudut antara muka-gelombang yang dibiaskan dengan perbatasan kaca-udara ini, dengan kata lain θ 3 adalah sudut bias. Panjang gelombang di udara λ, maka diperoleh: sinθ sinθ 3 λ = λ = v v = kons tan ta Dengan θ adalah sudut antara gelombang datang terhadap garis normal atau sudut antara muka gelombang datang dengan perbatasan kaca-udara. Hukum pembiasan, dinyatakan dalam persamaan: sinθ = n sinθ 3 (.4) Dimana n dinyatakan sebagai perbandingan antara laju cahaya dalam kedua medium tersebut, yaitu: v n = (.5) v Dengan demikian hukum pembiasan dapat dituliskan sebagai n θ = n θ (.6) sin sin 3 n indeks bias pada medium, n indeks bias pada medium, θ sudut datang dan θ 3 sudut bias

.3. Lintasan Optis Panjang lintasan optis didefinisikan sebagai panjang lintasan gelombang cahaya di dalam hampa atau vakum jika gelombang tersebut merambat dalam suatu medium, maka panjang lintasan adalah hasil perkalian antara indeks bias dengan panjang lintasan dalam zat antara tersebut. Lintasan optis melewati suatu medium tampak pada gambar.5 n v n v s Gambar.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium Jika suatu gelombang cahaya melewati udara dengan indeks bias n =, kemudian masuk ke medium lain dengan indeks bias n, maka panjang lintasan optis ( p lo ) > adalah p lo = s n () s ds (.7) Jika n yang tidak bergantung pada s, maka plo = n s (.8)

.3.. Prinsip Fermat Untuk Pembiasan Dan Pemantulan Cahaya Menurut Piere Fermat lintasan optis yang dilalui oleh cahaya untuk merambat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu perjalanannya minimum (Tipler, ). Jika digambarkan suatu cahaya yang bergerak dari udara ke suatu medium dengan lintasan optis lo akan tampak seperti Gambar.6, B θ A a θ x θ θ C d d-x b n bidang batas n Gambar.6 Cahaya dari A tiba di B setelah di pantulkan di C Pada gambar.6 panjang total lo sinar adalah lo = AC + CB, maka besar masingmasing nilai AC dan CB dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Phytagoras = a x dan BC = b + ( d x) AC + Sesuai dengan prinsip fermat lintasan optis (lo ) adalah lintasan terpendek, oleh sebab itu [ lo] d dx =. Dengan demikian

3 [ lo] d dx = = = d dx ( d x) ( ) a + x x + b + ( d x) ( ) a + x b + ( d x) = sinθ sinθ a x + x sinθ = sinθ + b + [ ] ( d x) d x [ ] [ ] (.9) D a θ x θ F d-x n bidang batas θ θ 3 3 b n E d Gambar.7 Cahaya dari D, tiba di E setelah dibiaskan di F Pada gambar.7 panjang total lo sinar adalah lo = DF + FE. Karena cahaya tersebut bergerak dari medium ke medium maka lintasan optis totalnya menjadi lo = n DF + n EF, maka besar masing-masing nilai DF dan FE dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Phytagoras DF n + = dan ( ) a x FE = n b + d x

4 lo lintasan paling pendek bila [ lo] d dx =, maka didapatkan hubungan sebagai berikut [ lo] d dx = d dx = n = ( d x) ( ) a + x x + n b + ( d x) [ ] ( ) a + x b + ( d x) n n = n sin θ n x a n sin θ = n + x + n n 3 sin θ 3 sin n b d x + [ ] ( d x) [ ] (.).3.. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan Jika gelombang datang sinusoidal, yaitu y ym ( kx ωt) = sin, maka persamaan gelombang pantul dapat ditentukan dengan menganggap gelombang pada dinding pemantul analog dengan tali yang diikat pada tonggak (ujung tetap dan ujung bebas). Analogi dengan ujung tetap bila gelombang datang dari medium yang lebih renggang ke medium rapat. Berarti simpangan di x = harus selalu sama dengan nol. Agar simpangan pada x = selalu sama dengan nol, diperlukan suatu gelombang pantul khayal yang ditunjukkan oleh gambar.8

5 ( kx t) y = ym sin ω gelombang datang x = Gelombang pantul khayal ( kx t) y = ym sin ω Gambar.8 Bentuk pulsa gelombang pada ujung terikat Jadi persamaan gelombang pantul adalah: y = y = y m m sin sin ( kx ωt + ϕ) ( kx + ωt 8 ). y m amplitudo gelombang, ω kecepatan sudut, k bilangan gelombang dan t waktu yang ditempuh. Jadi untuk gelombang sinus pembalikan fase pada gelombang pantul, dan dapat dinyatakan sebagai tambahan sudut fase sebesar 8 atau beda fase ϕ = pada fase gelombang pantul ini berarti bahwa panjang jarak yang ditempuh seolah-olah bertambah λ. Hasil superposisi gelombang datang dan gelombang pantul oleh ujung terikat adalah gelombang stasioner

6 y = y y = y y = y m m y = y + y { sin ( kx ωt) + sin ( kx ωt + 8 )} { sin ( kx ωt) + sin ( kx + ωt) } m sin kx cosωt (.) Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase tetap (pemantulan pada ujung bebas), sedangkan kalau pemantulan terjadi dari medium renggang ke medium rapat fasenya berubah atau terjadi loncatan fase 8 (pemantulan pada ujung tetap).. Analogi dengan pemantulan pada ujung tetap, pemantulan pada ujung bebas terjadi bila gelombang datang dari medium yang lebih rapat. Analogi ini tampak pada gambar.9 ( kx t) y = ym sin ω ( kx t) y = + ym sin ω gelombang datang Gelombang pantul khayal Gambar.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas

7 Jika gelombang datang dinyatakan oleh y = ym sin ( kx ωt) maka gelombang pantul oleh ujung bebas diberikan oleh y = + ym sin ( kx ωt) superposisi kedua gelombang ini adalah:, maka hasil y = y + y y = y m y = y {sin m ( kx ωt) sin ( kx + ωt) cos kxsinωt } (.) Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase tetap (pemantulan pada ujung bebas).4. Interferensi Cahaya Interferensi adalah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau lebih yang bertemu pada satu titik di ruang (Tipler, ). Seperti halnya cahaya pada gelombang bunyi dimana interferensi bunyi menghasilkan gejala penguatan dan pelemahan bunyi, maka di dalam interferensi cahaya dihasilkan gejala terang dan gelap. Dapat diungkapkan bahwa hasil perpaduan (resultan) dari kedua gelombang mempunyai amplitudo resultan yang bergantung pada selisih fase kedua gelombang tersebut. Dalam hal ini akan mengakibatkan terjadinya superposisi (hasil penjumlahan) yang saling memperlemah ataupun memperkuat, kata lain bisa terjadi interferensi destruktif atau konstruktif. Interferensi destruktif akan terjadi bila dua gelombang tersebut datang dengan fase yang berlawanan. Sedangkan interferensi

8 konstruktif akan dihasilkan jika dua gelombang mempunyai frekuensi yang sama, datang dengan fase yang sama. r S d θ θ r S r P R Gambar.9 Sumber cahaya yang melewati celah Kita ketahui bahwa persamaan gelombang pada celah adalah: Y = Acos φ = Acosω t dengan A amplitudo gelombang, ω kecepatan sudut dan t waktu yang ditempuh. Jika sinar yang datang dari celah S pada waktu sampai pada titik P mempunyai sudut fase φ = kr ω, dan sinar dari S mempunyai sudut fase t φ = k( r + r ω t ) = kr + k r ω t maka gelombang cahaya dari celah S dapat ditulis sebagai berikut: Y = Acosφ = Acos( kr ω t) (.3) dan untuk S dapat ditulis:

9 Y Y = Acosφ = Acos = Acos ( kr + k r ω t) ( φ + ϕ) (.4) π dengan ϕ = k r = ( r) (.5) λ ϕ merupakan beda sudut fase kedua gelombang yang sampai di titik P karena ada perbedaan lintasan optis ( r) yaitu panjang lintasan gelombang cahaya didalam vakum atau hampa apabila gelombang tersebut berjalan pada suatu medium. Hasil superposisi kedua gelombang ini dapat dinyatakan dengan fungsi gelombang Y dan Y pada titik P: dengan φ = Y R kr ω t = Y + Y = Acos φ + Acosφ φ = Acos cos φ φ + maka atau ϕ ϕ Y R = Acos cos kr ω t + (.6) Y R = A ϕ)cos kr R ( ϕ ω t + amplitudo resultan dapat ditulis sebagai: ϕ A R ( ϕ) = Acos( ) (.7) Hasil dari interferensi yang teramati adalah intensitas gelombang cahayanya. Karena perubahan intensitas gelombang terhadap waktu terlalu cepat untuk diamati,

maka yang diperolah adalah intensitas rata-ratanya. Kuadrat Intensitas rata-rata dari gelombang resultan itu berbanding lurus dengan kuadrat amplitudo resultan. Besarnya intensitas tersebut dituliskan sebagai berikut: I ~ A R ϕ I ~ Acos I ~ 4 A cos ϕ Jika dibandingkan antara intensitas gelombang resultan dengan intensitas gelombang datangnya, maka: I I o 4 A = cos A ϕ = 4cos ϕ φ Intensitas akan bernilai maksimum untuk cos = sehingga ϕ cos = ± ϕ =, π,π,...,mπ (.8) dengan m =,,,. jika persamaan (.8) dimasukkan ke dalam persamaan (.5), maka diperoleh nilai r adalah: Intensitas bernilai minimum bila: r = mλ (.9)

dengan m =,,, ( + ) π ϕ = m (.) jika persamaan (.) dimasukkan ke dalam persamaan (.5) maka diperoleh nilai r sebagai berikut: ( m + ) λ r = (.) Jika selisih lintasan r dan panjang gelombang cahaya λ, maka persamaan (.9) dan (.) menjadi: r = mλ terjadi interferensi terang (.) r = ( m + ) λ terjadi interferensi gelap (.3) Gejala-gejala interferensi dapat ditunjukkan dengan percobaan fresnel, percobaan young, gejala interferensi cahaya pada selaput tipis, gejala cincin newton dan sebagainya..5. Interferensi Cahaya Pada Selaput Tipis Bila cahaya yang dipantulkan dari gelembung-gelembung sabun atau dari lapisan tipis minyak yang mengambang diatas air, peristiwa ini dihasilkan oleh efek interferensi antara dua rentetan gelombang cahaya yang dipantulkan pada permukaan yang berlawanan dari selaput tipis larutan sabun atau minyak (Sears dan Zemansky,

97). Secara skematis interferensi pada selaput tipis dapat ditunjukkan pada Gambar. E G O F d θ θ A D θ θ 3 3 B C H n n n 3 Gambar. Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis Sinar monokhromatik O dari media dengan indeks bias n menembus selapis tipis zat bening yang plan-pararel dengan tebal = d, dengan indeks bias n. Sinar yang datang dari A sebagian dipantulkan menuju titik E dan sebagian lagi dibiaskan menuju titik B, pada titik B sinar sebagian dibiaskan dan sebagian lagi dipantulkan oleh media dengan indeks bias n 3 menuju titik C, pada titik C sinar sebagian dipantulkan dan sebagian dibiaskan menuju titik F. Karena sinar yang berinteferensi ini ada yang merambat di udara dan ada yang melalui zat bening, sedang panjang gelombang sinar di udara dan zat bening berlainan, maka hasil interferensinya pada titik G tidak hanya ditentukan selisih jarak yang ditempuh ( r)

3 seperti halnya jika sinar-sinar yang berinterferensi hanya melintasi udara saja, tetapi dalam hal ini ditentukan oleh apa yang disebut selisih lintasan optik yang ditempuh. Lintasan optis pada Gambar. adalah r = ( OA+ AE + EG) n r = ( OA) n + ( AB + BC) n + ( CF + FG) n (.4) Beda lintasan optik r antara r dan r adalah r = r r, (.5) jika persamaan (.4) kedalam persamaan (.5), maka beda lintasan optik adalah karena r = CF = DE = {( OA) n + ( AB + BC) n + ( CF + FG) n} {( AB + BC) n + ( CF + FG) n } ( AE + = ( CF + FG AE EG) n = ( CF AE) n + ( AB + BC) n, maka CF AE= AD sehingga + ( AB + BC) n EG) n ( OA+ AE + EG) n (.6) r = AD n ( + n + AB BC) mengingat maka d AB = cosθ d AB + BC = AB = cosθ 3 3 (.7) Sehingga d r = AD n + cosθ n Nilai AD dapat dihitung dengan meninjau ACD, yaitu AC = d tgθ 3 3 sehingga AD = AC sinθ = d tgθ 3 sinθ n (.8)

4 Dari hukum pemantulan n sin θ = n sin θ 3, maka persamaan (.8) dapat dituliskan menjadi AD = d tgθ3 sinθ3 n (.9) Dari persamaan (.6), (.7) dan (.9), diperoleh beda lintasan optis. Jika n <, maka beda lintasan optisnya adalah:, n3 n r = d tgθ sinθ n sinθ3 r = d sinθ 3 n cosθ d n r = cosθ ( sin θ + ) d n r = ( sin cosθ 3 3 3 3 3 3 d + n cosθ + λ θ3) + λ 3 d + n cosθ 3 + λ + λ (.3) Dengan menggunakan identitas trigonometri cos θ = sin θ, maka persamaan (.3) menjadi r = r = d n d n cos cosθ 3 θ3 + λ cosθ3 + λ Cahaya jatuh normal cos θ =, maka terjadi interferensi terang (maksimum) n d = m + λ dan interferensi gelap (minimum) n d = mλ

5.6. Cincin Newton Cincin Newton adalah hasil dari interferensi antara gelombang, satu dipantulkan dari pelat gelas bidang dan lainnya dipantulkan dari dasar permukaan lensa. Interferensi terjadi antara sinar pantul oleh permukaan cembung dan sinar pantul oleh keping gelas maka jika dilihat dari arah sinar pantul akan tampak cincin terang dan gelap sesuai dengan tebal film atau d seperti yang terlihat pada gambar. cahaya datang E R udara Keping gelas lensa D C n r B A d n n 3 Gambar. Alat untuk mengamati cincin newton dengan R jari-jari kelengkungan lensa, r jari-jari cincin, d tebal film, n indeks bias lensa, n indeks bias udara atau selaput tipis dan n 3 indeks bias keping gelas. Hasil interferensi pada percoaan Cincin Newton terlihat pada Gambar.3

6 Gambar.3 Pola Cincin Newton Hubungan antara jari-jari kelengkungan lensa (R), jari-jari cincin (r) dan tebal film (d) pada Gambar (.) adalah: EC = R r dan ( R d ) r ED = R = + sehingga R R = ( R d) = R + r Rd + d + r atau Karena r = dr d (.3a) d << R maka r Rd sehingga tebal film dianggap sebagai d r = (.3b) R Karena n, n3 < n, maka beda lintasan optic adalah n r n r r = d n + λ = + λ = + λ (.3) R R Jadi untuk cincin Newton terang yang ke-m, diberikan oleh

7 n R r + λ = mλ sehingga r = λ m R (.33) untuk n = (udara), dengan λ panjang gelombang, r jari-jari cincin terang, m bilangan nomor cincin (,, 3, 4, ), dan R jari-jari kelengkungan lensa Untuk cincin Newton gelap yang ke-m diperoleh r = λ m R (.34) Pada pusat pola (r = ) terjadi gelap (m = ). Pada tempat tersebut jarak antara lensa cembung datar dengan permukaan logam d = Jika jarak antara permukaan lensa cembung datar dan keping gelas adalah d o seperti gambar (.4), maka didapatkan tebal film d + d. Agar terjadi cincin gelap maka beda lintasan optis r d n 3 n n d ± d Gambar.4 Cincin newton dengan tebal film tertentu

8 r = ( d + d ) + λ = + λ n m atau ( d d ) = λ m (.35) + Pada pusat pola: d =, sehingga d = λ m Agar pada pusat pola terjadi terang maka d = m + λ Pola gelap orde m = pada posisi d = d dan pada posisi d = d untuk orde m = adalah sehingga d d = λ = λ λ d = Jadi ( m m ) mλ λ λ d = ( d d) = = = (.36)

9.7. PEMUAIAN Telah kita ketahui bahwa jika suatu benda berubah suhunya maka benda tersebut akan mengalami perubahan fisis atau kimia. Perubahan fisis yang terjadi adalah pemuaian atau penyusutan. Pemuain adalah perubahan sifat fisis dari benda akibat panas atau dalam hal ini akibat perubahan temperatur (Naga, 99). Ada beberapa jenis pemuaian yang dialami suatu benda yang mengalami perubahan suhu, yaitu:. Pememuaian zat padat, yang terdiri dari a. Pemuaian panjang b. Pemuaian luas atau bidang c. Pemuaian volume atau ruang. pemuaian zat cair 3. pemuaian gas jika suatu benda memuai pada satu dimensi, maka pemuaiannya dinamakan pemuaian panjang. Pemuaian dua dimensi dinamakan pemuaian luas atau pemuaian permukaan. Sedangkan pada tiga dimensi dinamakan sebagai pemuaian ruang. Pada teori molekul atau atom, suatu benda dianggap terdiri dari molekul atau atom yang saling tarik-menarik, maka pemuaian suatu benda adalah perbesaran jarak antar molekul atau atom zat tersebut. Pada kasus pemuaian suatu benda, massa suatu benda adalah tetap, tetapi yang bertambah adalah volume yang ditempati oleh molekul atau atom benda tersebut.

3.7.. Pemuaian Panjang Jika benda berbentuk kawat atau batang diberikan suatu kalor maka batang tersebut akan mengalami perubahan panjang sebagai akibat kenaikan suhu (Gambar.5). L L L Gambar.5 Pemuaian panjang pada suatu logam Pada Gambar.5 dapat dilihat bahwa mula-mula logam dengan suhu awal T memiliki panjang L. Setelah dipanaskan logam akan mengalami perubahan suhu sebesar T dan mengalami perubahan panjang L. Setelah mengalami perubahan suhu maka panjang logam menjadi L. Secara matematis pemuaian panjang dapat dituliskan sebagai: L = L (.37) L Pemuaian panjang suatu logam ternyata berbanding lurus dengan panjang mula-mula, dan berbanding lurus dengan kenaikan suhu T, maka faktor ketidak-sebandingan serta lainnya dapat dinyatakan dengan suatu faktor α. Secara matematis konsep pemuaian dapat ditulis L = α L T (.38)

3 Faktor α dinamakan koefisien muai panjang yang dapat didefinisikan sebagai perubahan fraksional panjang dibagi perubahan suhu (Sears dan Zemansky, 98) yang dapat dituliskan sebagai. L α = (.39) L T Nilai koefisien muai panjang tidaklah konstan tapi bergantung pada jenis zat. Dengan memakai konsep perubahan L sebagai hasil dari panjang setelah dipanasi, L di kurangkan dengan panjang mula-mula L maka persamaan (.38) dapat dituliskan L = α L L L L = L T = α L T ( + α T ) dengan L panjang setelah dipanaskan, L (.4) panjang mula-mula, α koefisen muai panjang dan T perubahan suhu..7.. Pemuaian Luas Bila kita memandang pemuaian pada dua dimensi, maka kita memperoleh pemuaian luas. Pertambahan luas pada suatu bidang yang mengalami perubahan suhu berbanding lurus dengan luas mula-mula (S ), berbanding lurus dengan perubahan suhu ( T) dan berbanding lurus dengan koefisien muai luas (β). Secara matematis dapat dituliskan sebagai: S = S β T (.4)

3 jika terdapat suatu benda dengan luas permukaan S, maka kita dapat mendefisikan koefisien muai luas sebagai: S β = (.4) S T koefisien muai luas β bergantung pada zat dan suhu. Pada saat T =, luas permukaan adalah S, maka diperoleh hubungan: S = S S S S = S S = S β T = S + S β T β T ( + β T ) (.43) dengan S luas bidang setelah dipanaskan, S luas mula-mula, β koefisen muai luas dan T perubahan suhu..7... Hubungan antara koefisien muai luas dan koefisien muai panjang Menurut ilmu ukur ukur, luas dapat disubstitusikan dengan luas berbentuk empat persegi. Jika luas empat persegi panjang dinyatakan dengan S dengan sisi a dan b, sehingga S t = a b (.44) pada T =, panjang sisi-sisinya adalah a dan b, maka luasnya diperoleh: S = a b Sehingga hubungan antara koefisien muai panjang dengan koefisien muai luas menjadi:

33 S = a t S = a t = S karena α T <<, sehingga: S t ( + α T ) xb b ( + α T ) [ + α T + ( α T ) ] = S ( + α T ) ( + α T ) Jadi = S ( + β T ) (.45) S t Maka didapatlah hubungan antara koefisien muai panjang dengan koefisien muai luas: β = α (.46).7.3. Pemuaian Volume atau Kubik Pemuaian dalam tiga dimensi adalah pemuaian kubik atau volum, pemuaian volume pada suatu benda yang mengalami perubahan suhu berbanding lurus dengan volume mula-mula (V ), berbanding lurus dengan perubahan suhu ( T), berbanding lurus dengan koefisien muai volum (γ). Secara matematis dapat dinyatakan dengan: V = V γ T (.47) Jika terdapat bangun ruang dengan volume V, maka koefisien volumenya adalah: V γ = (.48) V T

34 Koefisien muai volume tergantung pada jenis zat dan suhu juga. Jika terdapat suatu benda dengan ruang dipanaskan, maka terjadi perubahan volume pada benda tersebut sebesar: V = V γ T V V = V γ T atau V = V ( + γ T ) (.49) dengan V volume benda setelah dipanaskan, V volume benda mula-mula, γ koefisen muai volume dan T perubahan suhu..7.3.. Hubungan antara koefisien muai kubik dan koefisien muai panjang Jika suatu volume dengan sisi-sisinya a, b dan c, maka volumenya adalah V t = abc jika suhu T = sisi-sisinya menjadi a b,, maka volumenya menjadi, c V = a b c sehingga hubungan antara koefisien muai panjang dan koefisien muai volume adalah: V = a t V = a t V = V t ( + α T ) xb b c ( + α T ) ( + α T ) x c 3 [ + 3α T + ( α T ) + ( α T ) ] 3 ( + α T ) karena α T <<, maka suku dengan pangkat dua dan tiga dapat diabaikan. Dengan demikian persamaan untuk volume benda yang mengalami pemuaian dapat dituliskan menjadi

35 V t = V ( + 3α T ) (.5) substitusi persamaan (.47) ke persamaan (.5) menghasilkan V t = V ( + γ T ) atau = V ( + 3α T ) (.5) V t Dari persamaan (.5) diperoleh hubungan antara koefisien muai panjang dan koefisien muai volume sebagai berikut γ = 3α (.5)

BAB III METODE PENELITIAN 3.. TEMPAT DAN JENIS PENELITIAN Penelitian ini dilakukan diruang Laboratorium Fisika Fakultas MIPA Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Jenis penelitian adalah eksperimen. 3.. ALAT DAN BAHAN YANG DIPERGUNAKAN Untuk memperoleh data pada penelitian ini, alat-alat dan bahan yang dipergunakan adalah:. Lampu Natrium Pada penelitian ini lampu natrium yang digunakan sebagai sumber cahaya yang memiliki panjang gelombang 589 Angstrom. kelebihan memiliki sifat monokhromatis, arah sorot yang baik, kerapatan energi yang tinggi dan sifat koheren. ) Termometer Termometer yang digunakan adalah termometer air raksa dengan satuan Celcius. Digunakan untuk mengukur perubahan suhu yang terjadi pada logam yang dipanasi. ) Lensa cembung datar Lensa yang digunakan adalah lensa cembung datar. Digunakan untuk interferensi yang terjadi pada permukaan cembung lensa dan sinar pantul oleh sebuah logam yang dipanasi, maka jika dilihat dari arah sinar pantul akan tampak cincin terang dan gelap sesuai dengan tebal film (d) atau jarak logam dari lensa. 36

37 3) Dua buah lensa a) Lensa cembung disebut juga lensa konvergen atau lensa positif karena lensa ini membelokkan berkas-berkas cahaya sehingga mengumpul ke satu titik. b) Lensa cekung disebut juga lensa divergen atau lensa negatif karena lensa ini membelokkan berkas-berkas cahaya yang sejajar sehingga saling menjauh. 4) Logam pejal Logam yang digunakan adalah logam besi pejal dengan panjang 3,55 cm dan diameter 7, cm 5) Pemanas logam Untuk memanasi logam dengan cara logam besi diletakkan di atas pemanas. Supaya logam besi mengalami perubahan suhu atau panas sehingga dapat memuai. 6) Cermin datar Cermin datar digunakan untuk memantulkan sinar dari sumber cahaya lampu natrium menuju lensa cembung datar. 7) Senter Senter membantu pencahayaan untuk melihat suhu ditermometer pada saat percobaan di ruang gelap.

38 3.3. PROSEDUR PERCOBAAN ) Dibawah ini digambarkan susunan peralatan yang digunakan: Keteranagan gambar: S = sumber cahaya (lampu natrium) C = cermin datar L = lensa datar cembung I = lensa cembung II = lensa cekung T = termometer B = logam (besi) P = pemanas logam

39 Sistem optis dari penelitian ini terdiri dari:. satu lensa cembung. satu lensa cekung II I Gambar 3.. Rangkaian sistem optis Pada gambar 3. cahaya yang datang berupa cahaya monokromatik yang berasal dari sumber cahaya menuju sistem lensa I yaitu lensa cembung, cahaya yang datang ini oleh lensa cembung I difokuskan pada titik fokusnya kemudian diteruskan ke lensa II yaitu lensa cekung dan dihasilkan bentuk cahaya lampu natrium yang lebih fokus ke cermin pantul dan dipantulkan menuju lensa datar cembung. Dari permukaan cembung lensa melewati selaput tipis antara lensa dan logam besi kemudian dipantulkan oleh logam besi kembali ke lensa, maka jika dilihat dari arah sinar pantul akan terbentuk cincin terang dan gelap sesuai dengan tebal film (d) atau jarak logam dari lensa. Dari perubahan pola-pola interferensi dan perubahan suhu maka selisih lintasan optis antara lensa datar cembung dan logam besi dapat diketahui. ) Langkah-langkah penelitian a) Menampilkan pola-pola interferensi

4 Meletakkan besi diatas pemanas Meletakkan lensa datar cembung diatas logam besi Mengaktifkan sumber cahaya (lampu natrium) Menempati cermin pantul supaya cahaya dipantulkan menuju lensa datar cembung Menampilkan pola-pola interferensi b) Menayiapkan tabel data. Perubahan sushu ( C) Perubahan pola interferensi c) Memanaskan alat pemanas sehingga mengahasilkan panas yang akan dialirkan ke logam besi. d) Setelah logam mengalami perubahan suhu, kemudian mencatat setiap perubahan suhu dan perubahan pola interferensi dan memasukkannya kedalam tabel.

4 3.4. ANALISIS DATA Setelah memperoleh data yang diperlukan, langkah yang harus dilakukan adalah:. Menghitung perubahan panjang tiap perubahan pola interferensi dengan dari persamaan (.36) d = mλ l = mλ Dimana perubahan panjang logam besi yang mengalami pemuaian sama dengan jarak antara lensa cembung datar dengan logam besi, sehingga L = panjang lintasan optis x λ/ = d Sehingga koefisien muai panjang logam besi dari persamaan (.39) L α = L x T. Membuat dan menganalisis grafik hubungan antara perubahan panjang logam dengan perubahan suhu yang dihasilkan sehingga dapat diketahui koefisien muai panjang logam.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Data Hasil Penelitian Dalam penelitian ini dipaparkan 5 data hasil percobaan sebagai berikut: Tabel 4. Tabel perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) T ( C) T ( C) pola Panjang lintasan optis (λ) L (m) α(/ C) 8 - T - - - 3 3 G /,473 x -7,383 x -6 34,5 6,5 T,945 x -7,76 x -6 36 8 G 3/ 4,48 x -7,555 x -6 38,5,5 T 5,89 x -7,58 x -6 4 G 5/ 7,363 x -7,78 x -6 4 4 T 3 8,835 x -7,778 x -6 44 6 G 7/,3 x -6,85 x -6 46 8 T 4,78 x -6,844 x -6 49,5,5 G 9/,35 x -6,736 x -6 5 4 T 5,473 x -6,78 x -6 54 6 G /,6 x -6,755 x -6 57 9 T 6,767 x -6,76 x -6 6 3 G 3/,94 x -6,685 x -6 6 34 T 7,6 x -6,78 x -6 64 36 G 5/,9 x -6,78 x -6 67 39 T 8,356 x -6,7 x -6 69 4 G 7/,53 x -6,7 x -6 7,5 43,5 T 9,65 x -6,76 x -6 74 46 G 9/,798 x -6,73 x -6 76 48 T,945 x -6,78 x -6 78 5 G / 3,9 x -6,74 x -6 4

43 Dari Tabel 4. koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan (.39) adalah (,76 ±,3). -6 (/ C). Jika data dari Tabel 4. digambarkan, yaitu L sebagai fungsi T, maka hasilnya terlihat pada Gambar 4. L (m) 3.5E-6 3.E-6 L = 6E-8 T - E-8.5E-6.E-6.5E-6.E-6 5.E-7.E+ 3 4 5 6 T ( C) Gambar 4.. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 8 C Dari grafik pada gambar 4., L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan T adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan L = 6 x -8 T x -8. Nilai 6 x -8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai panjangnya adalah (,69 ±,4). -6 (/ C).

44 Tabel 4. Tabel perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) T ( C) T ( C) pola Panjang lintasan optis (λ) L (m) α(/ C) 8 - T - - - 3 3 G /,473 x -7,383 x -6 34 6 T,945 x -7,383 x -6 37 9 G 3/ 4,48 x -7,383 x -6 39 T 5,89 x -7,58 x -6 4 3 G 5/ 7,363 x -7,595 x -6 43 5 T 3 8,835 x -7,659 x -6 45 7 G 7/,3 x -6,78 x -6 47 9 T 4,78 x -6,746 x -6 49 G 9/,35 x -6,778 x -6 5,5 4.5 T 5,473 x -6,693 x -6 54,5 6.5 G /,6 x -6,7 x -6 56,5 8.5 T 6,767 x -6,746 x -6 59 3 G 3/,94 x -6,739 x -6 6 34 T 7,6 x -6,78 x -6 64 36 G 5/,9 x -6,78 x -6 66,5 38.5 T 8,356 x -6,74 x -6 68,5 4.5 G 7/,53 x -6,74 x -6 7 43 T 9,65 x -6,736 x -6 73 45 G 9/,798 x -6,75 x -6 76 48 T,945 x -6,78 x -6 79 5 G / 3,9 x -6,78 x -6 Dari Tabel 4. koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan (.39) adalah (,74 ±,3). -6 (/ C).

45 Jika data dari Tabel 4. digambarkan, yaitu L sebagai fungsi T, maka hasilnya terlihat pada Gambar 4. L (m) 3.5E-6 L= 6E-8 T - 6E-8 3.E-6.5E-6.E-6.5E-6.E-6 5.E-7.E+ 3 4 5 6 T ( C) Gambar 4.. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 8 C Dari Grafik pada Gambar 4., L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan T adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan L = 6 x -8 T 6 x -8. Nilai 6 x -8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai panjangnya adalah (,69 ±,95). -6 (/ C).

46 Tabel 4.3 Tabel perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) T ( C) T ( C) pola Panjang lintasan optis (λ) L (m) α(/ C) 9 - T - - - 3.5 3.5 G /,473 x -7.85 x -6 33 5 T,945 x -7,659 x -6 35 7 G 3/ 4,48 x -7,778 x -6 37 9 T 5,89 x -7,844 x -6 4 G 5/ 7,363 x -7,78 x -6 4 4 T 3 8,835 x -7,778 x -6 44.5 6.5 G 7/,3 x -6,76 x -6 46 8 T 4,78 x -6,844 x -6 49 G 9/,35 x -6,778 x -6 5 4 T 5,473 x -6,78 x -6 54.5 6.5 G /,6 x -6,7 x -6 56 8 T 6,767 x -6,778 x -6 59 3 G 3/,94 x -6,739 x -6 6 34 T 7,6 x -6,78 x -6 64 36 G 5/,9 x -6,78 x -6 66 38 T 8,356 x -6,746 x -6 69 4 G 7/,53 x -6,7 x -6 7 43 T 9,65 x -6,736 x -6 74 46 G 9/,798 x -6,73 x -6 77 49 T,945 x -6,693 x -6 Dari tabel 4.3 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan (.39) adalah (,7 ±,3). -6 (/ C).

47 Jika data dari Tabel 4.3 digambarkan, yaitu L sebagai fungsi T, maka hasilnya terlihat pada Gambar 4.3 L (m) 3.5E-6 3.E-6.5E-6 y = 6E-8x + E-8.E-6.5E-6.E-6 5.E-7.E+ 3 4 5 6 T ( C) Gambar 4.3. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 9 C Dari grafik pada gambar 4.3, L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan T adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan L = 6 x -8 T + -8. Nilai 6 x -8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh niali koefisien muai panjangnya adalah (,69 ±,64). -6 (/ C).

48 Tabel 4.4 Tabel perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) T ( C) T ( C) pola Panjang lintasan optis (λ) L (m) α(/ C) 9 - T - - - 3 3 G /,473 x -7,383 x -6 34 6 T,945 x -7,383 x -6 37 9 G 3/ 4,48 x -7,383 x -6 39 T 5,89 x -7,58 x -6 4 4 G 5/ 7,363 x -7,48 x -6 44.5 6.5 T 3 8,835 x -7,58 x -6 46.5 8.5 G 7/,3 x -6,569 x -6 48 T 4,78 x -6,659 x -6 5 3 G 9/,35 x -6,63 x -6 53 5 T 5,473 x -6,659 x -6 56 8 G /,6 x -6,63 x -6 59 3 T 6,767 x -6,66 x -6 6 33 G 3/,94 x -6,634 x -6 63 35 T 7,6 x -6,659 x -6 65 37 G 5/,9 x -6,68 x -6 67 39 T 8,356 x -6,7 x -6 7 4 G 7/,53 x -6,679 x -6 73 45 T 9,65 x -6,659 x -6 75 47 G 9/,798 x -6,677 x -6 77 49 T,945 x -6,693 x -6 Dari Tabel 4.4 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan (.39) adalah (,67 ±,3). -6 (/ C).

49 Jika data dari Tabel 4.4 digambarkan, yaitu L sebagai fungsi T, maka hasilnya terlihat pada Gambar 4.4 L (m) 3.5E-6 3.E-6.5E-6 y = 6.5E-8x - 8.97E-8.E-6.5E-6.E-6 5.E-7.E+ 3 4 5 6 T ( C) Gambar 4.4. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 9 C Dari grafik pada gambar 4.4, L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan T adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan L = 6,5 x -8 T 8,97 x -8. Nilai 6,5 x -8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga nilai koefisien muai panjangnya adalah (,73 ±,58). -6 (/ C).

5 Tabel 4.5 Tabel perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) T ( C) T ( C) pola Panjang lintasan optis (λ) L (m) α(/ C) 9 - T - - - 3 3 G /,473 x -7,383 x -6 34 6 T,945 x -7,383 x -6 37 9 G 3/ 4,48 x -7,383 x -6 4 T 5,89 x -7,383 x -6 43 5 G 5/ 7,363 x -7,383 x -6 44.5 6.5 T 3 8,835 x -7,58 x -6 46.5 8.5 G 7/,3 x -6,569 x -6 48 T 4,78 x -6,659 x -6 5 3 G 9/,35 x -6,63 x -6 53 5 T 5,473 x -6,659 x -6 55 7 G /,6 x -6,69 x -6 57 9 T 6,767 x -6,76 x -6 6 3 G 3/,94 x -6,685 x -6 63 35 T 7,6 x -6,659 x -6 66 38 G 5/,9 x -6,637 x -6 69 4 T 8,356 x -6,69 x -6 7 43 G 7/,53 x -6,64 x -6 73 45 T 9,65 x -6,659 x -6 75.5 47.5 G 9/,798 x -6,659 x -6 77 49 T,945 x -6,693 x -6 Dari Tabel 4.5 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan (.39) adalah (,66 ±,3). -6 (/ C).

5 Jika data dari Tabel 4.5 digambarkan, yaitu L sebagai fungsi T, maka hasilnya terlihat pada Gambar 4.5 L(m) 3.5E-6 3.E-6.5E-6 y = 6E-8x - 9E-8.E-6.5E-6.E-6 5.E-7.E+ 3 4 5 6 T ( C) Gambar 4.5. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi L (m) terhadap perubahan suhu T ( C) untuk suhu awal 9 C Dari grafik pada gambar 4.5, L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan T adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan L = 6 x -8 T 9 x -8. Nilai 6 x -8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai panjangnya adalah (,69 ±,59). -6 (/ C).

5 4.. PEMBAHASAN Pertambahan Panjang logam besi setelah dipanaskan diikuti oleh perubahan pola interferensi karena jarak antara logam besi dengan lensa cembung datar semakin kecil. Sehingga dengan adanya perubahan pola interferensi (dapat dilihat pada tabel dari 4. sampai 4.5) dapat ditunjukkan bahwa pada setiap perubahan atau kenaikan suhu pada logam besi akan mengalami perubahan panjang. Pada gambar 4. samapi 4.5 dapat ditunjukkan grafik hubungan perubahan panjang logam besi dengan perubahan suhu berupa garis lurus. Untuk gambar 4. diperoleh persamaan garis = 6 x -8 T x -8 ; sedangkan pada gambar 4. persamaan garis yang diperoleh L persamaan L = 6 x -8 T 6 x -8 ; pada gambar 4.3 persamaan garis yang diperoleh persamaan diperoleh persamaan L = 6 x -8 T + -8 ; untuk gambar 4.4 persamaan garis L = 6,5 x -8 T 8,97 x -8 ; dan gambar 4.5 diperoleh persamaan garisnya adalah L = 6 x -8 T 9 x -8. Dari hasil yang telah didapatkan dari gambar 4. sampai 4.5 dapat dilihat bahwa nilai koefisien muai panjang besi adalah untuk gambar 4. sebesar (,69 ±,4). -6 (/ C); untuk gambar 4. sebesar (,69 ±,95). -6 (/ C); untuk gambar 4.3 sebesar (,69 ±,64). -6 (/ C); untuk gambar 4.4 sebesar (,73 ±,58). -6 (/ C); dan untuk gambar 4.5 koefisien muai panjang besi sebesar (,69 ±,59). -6 (/ C); sehingga diperoleh nilai koefisien panjang besi rata-rata dari gambar 4. sampai 4.5 sebesar (,7 ±,38). -6 (/ C). Dengan menggunakan persamaan (.39) koefisien muai panjang besi didapatkan dari tabel 4. sampai 4.5, untuk tabel 4. sebesar (,76 ±,3). -6 (/ C); untuk tabel 4. sebesar (,74 ±,3). -6 (/ C); untuk tabel 4.3

53 sebesar (,7 ±,3). -6 (/ C); untuk tabel 4.4 sebesar (,67 ±,3). -6 (/ C); dan untuk tabel 4.5 diperoleh kofesien muai panjang besi sebesar (,66 ±,3). -6 (/ C). sehingga untuk persamaan (.39) diperoleh nilai rata-rata koefisien muai panjang besi dari tabel 4. sampai 4.5 sebesar (,7 ±,6). -6 (/ C). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penelitian ini adalah, pada saat pengamatan suhu, karena perubahannya cepat maka perubahan tersebut tidak teramati dengan tepat, sehingga diperlukan pengamatan untuk dua orang. Untuk satu orang mengamati interferensi dan satu orang lagi mengamati perubahan suhu yang terjadi. Selain itu, terdapat kesulitan dalam meletakan logam besi dan lensa cembung datar karena letaknya yang sangat tipis, jika tidak tepat letaknya maka interferensi tidak terbentuk, dan logam besi dan lensa cembung datar harus tidak menempel supaya perubahan panjang logam besi lebih maksimal. Permukaan besi harus rata dan halus seperti kaca sehingga sinar yang dipantulkan dari besi menuju lensa cembung datar menjadi terpantul seluruhnya dan interferensi yang terbentuk terlihat jelas. Jika permukaan besi tidak rata dan halus pantulan sinar menjadi baur sehingga interferensi yang terbentuk tidak terlihat jelas. Karena pengamatan di ruang gelap maka dibutuhkan senter untuk melihat perubahan suhu yang terjadi pada termometer sehingga perubahan suhu dapat telihat jelas.