Jelaskan bahwa setiap tari memiliki ragam gerak berbeda tetapi memiliki kesamaan

Asal Usul Tari Tanggai

Artikel ini mengutip tulisan "SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI" oleh: Vebri Al Lintani (Direktur Komunitas Budaya Batanghari Sembilan) yang tayang di berbagai media lokal online di Palembang (Salah satunya silahkan https://rri.co.id/palembang/1738-opini/1361514/sejarah-munculnya-tari-tanggai). Menurut Vebri, gerak Tari Tanggai identik dengan Tari Gending Sriwijaya (TGS) diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Hanya saja tari tanggai menggunakan iringan musik yang berjudul "Enam Saudara" (atau versi lain berjudul "Sembian Saudara). Sebelumnya, Tari Tanggai muncul saat meletusnya peritiwa berdarah G30S PKI. Ketika itu, judulnya Tari Tepak, namun ketika tampilan tari tidak menggunakan property Tepak, masyarakat menyebutnya dengan Tari Tanggai.

Tari Tanggai tidak ada penciptanya, tapi jikapun mau ditanya siapa penciptanya, pencipta geraknya adalah penciopta gerak Tari Gending Sriwijaya. Sedangkan musiknya juga tidak diketahui siapa yang menciptakannya. Musik pengiring "Enam Saudara" yang berirama melayu ini sudah lama ada di Palembang. Tidak hanya tari Tepak atau Tari tanggai saja, Tari Tepak Keraton pun menggunakan musik pengiring "Enam Saudara. Kemudian oleh Sartono (Dosen Tari Sendratasik PGRI) Tari Tanggai disebutnya sebagai Tari 1000 versi. Agar lebih jelas tentang sejarah Tari Tanggai, Silahkan simak tulisan berikut ini,


Tari Gending Sriwijaya

Tari Gending Sriwijaya (TGS) diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Mula-mula dibuat iringan musik oleh Dahlan Mahibat dan Nungcik AR sebagai penggubah lirik (versi lain sebagai penyempurna). Setelah musik selesai, Tina Haji Gung (isteri Haji Gung, pimpinan Teater Bangsawan Bintang Berlian)  dan Sukainah A. Rozak menggarap gerakan tari. TGS secara resmi digelar pertama kali pada 2 Agustus 1945 untuk menyambut dua orang pejabat Jepang, yaitu: M. Syafei selaku Ketua Sumatera Tyuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukit Tinggi), dan Djamaluddin Adinegoro selaku Anggota Dewan Harian Sumatera.    

Selanjutnya, di masa Republik Indonesia, TGS menjadi tari sambut pemerintah Sumatera Selatan. Namun tiba-tiba saja,  setelah peristiwa politik Gerakan 30 September PKI tahun 1965 hingga bulan Mei 1969, Tari Gending  Sriwijaya (TGS) tidak lagi ditampilkan sebagai tari sambut. Penyebabnya adalah nama Nungcik AR, sang pembuat lirik lagu Gending Sriwijaya merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbou PKI.  

Oleh karena kebutuhan pemerintah daerah akan tari sambut, maka ditampilkanlah “Tari Tepak”, sebagai alternatif. Tari Tepak merupakan tari yang menggunakan gerak Tari Gending Sriwijaya,  dengan musik pengiring yang berjudul “6 Saudara” (versi lain lagi menyebut judul 9 Saudara). Dengan kata lain, Tari Tepak adalah TGS yang menggunakan musik berbeda. Apabila tampilan Tari Tepak tidak menggunakan “tepak” sebagai properti, maka tari sambut ini disebut Tari Tanggai.

Selain itu, pada tahun 1967, seorang seniman tari,   Anna Kumari juga menggarap satu tari sambut, atas permintaan Ishak Juarsa, Panglima Kodam Sriwjaya pada waktu itu. Tari sambut ini oleh Anna Kumari   diberi judul Tari Tepak Keraton dengan lagu pengiringnya tetap lagu “Enam Saudara”. Dalam gerakan Tari Tepak Keraton memasukkan unsur silat atau pencak Palembang.

Menurut Sulaiman Ma’ruf yang dikutip oleh Vebri Al Lintani dalam Buku Tari Gending Sriwijaya (DKP, 2012), pada bulan Mei 1969, Pemerintah Daerah Tingkat II Sumatera Selatan telah mengambil kebijakan yang baik, lagu Gending Sriwijaya kembali berkumandang untuk mengiringi TGS pada acara Pembukaan Jakarta Fair, 1969, meskipun, hanya instrumentalia, atau tanpa diikuti syairnya. Selanjutnya, Menurut beberapa pandapat tokoh tari di Palembang, di masa H. Asnawi Mangku Alam menjabat Gubernur Sumatera Selatan (1968-1978), Tari Gending Sriwijaya,  diinstruksikan sebagai tari sambut bagi tamu-tamu agung yang merupakan orang nomor satu dalam negara,  seperti: Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sultan, sedangkan tamu agung  lainnya disambut dengan Tari Tepak atau Tari Tanggai.

Kebijakan Gubernur Asnawi Mangku Alam ini dimaksudkan untuk menempatkan TGS agar lebih sakral dengan pakem yang mantap. Umpamanya, jumlah penari tidak boleh kurang dari 9 orang, kostum, gerakan yang digunakan juga tidak boleh sembarangan, harus betul-betul menurut pedoman yang telah ditetapkan oleh para pendahulu. Sedangkan Tari Tepak atau Tari Tanggai, penarinya  boleh tidak berjumlah 9 orang, asalkan masih dalam hitungan ganjil, misalnya 7,5 atau 3 orang.

Saat ini tari tanggai telah mentradisi di masayarakat, tidak hanya sebagai tari sambut di kegiatan seremonial pemerintahan daerah saja, namun juga pada acara-acara oleh organisasi non pemerintah maupun acara resepsi pernikahan. Seolah-olah tari tanggai merupakan tari sambut yang penting ada sebagai pembuka acara, meskipun bukanlah bagian dari adat yang diadatkan.


Menyoal Polemik Pencipta Tari Tanggai

Dalam waktu sekitar empat tahun terakhir ini tersebar di media massa dan kalangan seniman, bahwa Elly Rudi sebagai pencipta Tari Tanggai. Hal ini tentu keliru. Sebab jika melihat proses terbentuknya, seperti yang diuraikan di atas, Tari Tanggai adalah nama lain dari Tari Tepak yang menggantikan TGS yang absen pada kurun waktu antara 1965 hingga 1969. Gerakan Tari Tepak mengambil gerakan TGS yang kemudian disebut juga dengan tari tanggai yang gerakannya pun tidak berubah. Menurut Lina Muchtar, pelatih dan penari senior tari Gending Sriwijaya, gerakan Tari Tanggai saat ini, 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya. Sekali lagi, apabila ada yang mengatakan Elly Rudi sebagai penciptanya, maka jelas tidak tepat.

Tahun 2006 saya bersama Yuli Sudartati dan Sartono menulis buku Tari Tanggai dengan nara sumber para tokoh tari Palembang yang bertemu dalam Kelompok Diskusi Terpumpun (FGD) di sekretariat  Dewan Kesenian Palembang. Para tokoh tari tersebut diantaranya adalah R.A. Tuti Zahara Akib (Penari Gending Sriwijaya tahun 1945), Anna Kumari, Ailuni Husni, Elly Rudi, Lina Muchtar, H. Soleh Umar, M. Ali Ujang, Sartono (akademisi), Yuli Sudartati (akademisi) dan Tugiyo (Akademisi). Selanjutnya, tahun 2012 saya menulis buku Tari Gending Sriwijaya yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Palembang dan Tari Tepak Keraton (Balitbangnovda Prov Sumsel, 2016). Ketika menulis buku Tari Gending Sriwijaya, dua nara sumber saya adalah Elly Rudi dan Lina Muchtar. Dari tiga buku yang terkait tersebut, tidak satu pun saya menyatakan bahwa Elly Rudi adalah pencipta Tari Tanggai, karena tidak ada yang mengatakan seperti itu baik dari para tokoh tari maupun dari Elly Rudi sendiri.

Banyak yang mengatakan bahwa Tari Tanggai adalah tari seribu versi. Namun dari beberapa diskusi dengan para penari, kami meyimpulkan, sebenarnya ada dua versi Tari Tanggai yang berkembang di masyarakat saat ini,  yaitu versi yang diteruskan oleh Lina Muchtar dan versi kreasi Eli Rudi. Pada versi Lina Muchtar adalah Tari Tanggai yang ragam geraknya sangat mirip dengan TGS, sedangkan pada versi Elly Rudi terdapat beberapa perbedaan kreasi gerak dengan TGS. Di sini perlu ditegaskan, "versi" bukan berarti "pencipta".

Pada tanggal 17 Desember 2017, saya wawancara langsung dengan Elly Rudi di rumahnya.  Menurut Elly, setelah TGS dilarang tampil, dia menggagas dan membuat tari sambut alternatif  yang kemudian dinamakan “Tari Tanggai” pada tahun 1965. Tari Tanggai yang dibuat Elly Rudi menggunakan irama musik pengiring yang berjudul “Enam Saudara”, lagu rakyat yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Sebelumnya tari ini digunakan untuk mengiringi Tari Kipas. Gerakan tari bersumber dari gerakan TGS namun kemudian diolah dan dikreasikan.

Menurut Elly, karya ini diinspirasi juga oleh peristiwa adat “rasan tuo” yang terjadi di beberapa daerah dalam wilayah Sumbagsel (Batanghari Sembilan). Penari utama (primadona) yang berada di depan merupakan seorang gadis yang matang dan terbuka untuk dipinang. Tarian ini kemudian ditampilkan sebagai pengiring pengantin pada acara resepsi pernikahan atau hajatan keluarga (bukan tari sambut pemerintahan).

Pada tahun 1967  Elly Rudi menikah dan pindah dan beraktivitas di Jakarta. Elly Rudi kembali ke Palembang tahun 1979 dan bergabung dengan kegiatan seni di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi Sumatera Selatan. Lalu, Elly Rudi kemudian sedikit mengkreasikan gerakan dalam Tari Tanggai yang kemudian menjadi kontroversial. Gerakan yang dikembangkan ini dianggap menyalahi etika tari di Palembang, misal pada gerakan pinggul yang terkesan genit dan tangan yang terlalu diangkat.

Simpulan

           Tari Tanggai yang awalnya disebut dengan Tari Tepak muncul ketika ada insiden politik G30S PKI antara tahun 1965-1969. Gerakan tari tanggai didominasi (oleh sekitar 90 persen) gerakan tari Gending Sriwijaya. Dengan demikian, gerakan tari tanggai diciptakan oleh pencipta tari Gending Sriwijaya, yaitu Sukaenah Rozak dan  Tina Haji Gung. Elly Rudi tidak dapat mengklaim sebagai pencipta Tari Tanggai. Beberapa bentuk gerakan yang sedikit berbeda dapat disebut sebagai versi.

TARI TANGGAI VERSI (BUKAN DICIPTAKAN) ELLY RUDI

Tari Tepak yang kemudian disebut dengan Tari Tanggai digagas oleh Maimunah Hasbullah Bandarnata adalah tari pengganti Tari Gending Sriwijaya ketika vakum oleh karena persoalan politik, sedangkan Anna Kumari menggubah Tari Tepak Keraton untuk dalam acara pelantikan Panglima Ishak Juarsa pada tahun 1967. Tari Tanggai versi Elly Rudy, menurut Sartono, M.Sn dan Yuli Sudartati, M.Sn bahwa Tari yang berjudul Tari Tanggai ditarikan dalam acara pernikahan adat daerah Palembang tanpa tepak untuk mengiringi pengantin, kalau memakai tepak berfungsi sebagai Tari Sambut [1] [2] [3] Tari tanggai menggambarkan keramahan, dan rasa hormat masyarakat Palembang atas kehadiran sang tamu dan dalam tari ini tersirat sebuah makna ucapan selamat datang dari orang yang mempunyai acara kepada para tamu.[4] [1] [2]

Dalam penampilannya, Tari Tanggai versi Ely Rudi memiliki perbedaan dengan tari Gending Sriwijaya.[3] [5] Perbedaannya adalah Tari tanggai dibawakan bisa oleh 1, 3, 5, 7 ... penari asal berjumlah ganjil, karena menurut Adat Rasan Tuo, penari yang berada di depan siap untuk dipinang, sedangkan tari Gending Sriwijaya dibawakan oleh 9 orang dan perlengkapan penari Gending Sriwijaya lebih lengkap dibandingkan dengan Tari tanggai.[3] [5] Penari tari Tanggai menggunakan pakaian khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau ramai, tajuk cempako, kembang goyang dan tanggai yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga dan karena tanggai yang dipakai penari, maka tari ini dinamakan Tari Tanggai.[3] [5]

Tari yang berjudul Tari Tanggai yang diciptakan oleh Ibu Elly Rudy pada tahun 1965 di Jakarta ini adalah merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai dengan busana khas daerah sehingga penari kelihatan lebih anggun.[3] Kelenturan gerak dan lentiknya jemari penari menunjukan betapa tulusnya tuan rumah memberikan penghormatan kepada tamu.[3] Perpaduan gerak gemulai penari dengan harmoni lagu pengiring yang berjudul “Enam Saudara” melambangkan keramahtamahan masyarakat Palembang dalam menyambut tamu.[3] [5]

Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy telah dilakukan penelitian secara akademisi oleh Sartono, M.Sn. pada tahun 2000. Dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu di resepsi pernikahan, yang diterbitkan tahun 2000, Sartono telah melakukan penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy. Dan pada bulan Januari tahun 2007 diadakan wawancara untuk penerbitan buku Tari Tanggai: Selayang Pandang yang digagas oleh Dewan Kesenian Palembang yang pada waktu itu Ketua DKP adalah R. Syahril Erwin, S.E. Nara sumber yang hadir adalah, Ana Kumari, Ailuny Husni, Elly Rudy, Tuti Zahara Akib. Wawancara dilakukan di Palembang bulan Januari 2007 oleh Sartono, M Sn, Sudarto Marelo, Kemas Ari, Sobri Ichwan, dan Muksin (fotografer). Sumber foto koleksi ibu Yuli Sudartati dan Pak Sartono. Model penari (ilustrasi) Tari yang berjudul Tari Tanggai adalah Ibu Elly Rudy hal 21 - 30. Pada tahun 1985 Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sudah menjadi mata pelajaran di Sekolah Menengah Industri dan Kerajinan (SMKIK) di Jl. Demang Lebar Daun Palembang. Kemudian pada tahun 2007 masuk kurikulum bahan ajar Tari Daerah Setempat (TDS) di FKIP Prodi Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) yang sekarang bernama FKIP Prodi Seni Pertunjukan, Universitas PGRI Palembang, dan masih menjadi bahan ajar TDS sampai sekarang. Tari yang berjudul Tari Tanggai ini masih ditarikan, selain dalam acara pernikahan masyarakat Palembang,tari ini juga ditarikan untuk menyambut tamu yang dihormati, pemerintahan, Organisasi dan pergelaran seni di sekolah-sekolah.[5] Sanggar-sanggar seni di kota Palembang banyak yang menyediakan jasa pergelaran tarian tanggai ini, lengkap dengan kemewahan pakaian adat Sumatra Selatan.[5]

Pada tahun 2014, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kota Palembang merilis DVD Dokumentasi Tari yang di dalamnya berisi video 4 tarian termasuk Tari Tanggai versi Elly Rudy. DVD tersebut merupakan produksi Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Palembang dengan Pembina, Drs. M. Yanurpan Yany, MM, Pengarah : A. Zajulli, M.Si, Ketua Lisa Surya Andika, MM, Koordinator : Iman Setiawan, S. Kom, Studio Music BALIGA, Video Shooting, Graphic Designer MANSETHA Video Editing MANG UJUK, Music Aransemen A. SAKUR Koreografer MIRZA INDAH D, EKO S. KARTINI L, SUHADA. Dalam video dokumentasi tari milik DISBUDPAR kota Palembang tersebut, Tari Tanggai Elly Rudi berada di posisi nomor 1. Dan tertulis bahwa pencipta gerak dan Tari Tanggai adalah Elly Rudy.

Mengatakan Elly Rudi sebagai pencipta tentu satu kebohongan. Bagaimana mungkin ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen dengan Tari gending Sriwiijaya dapat dikatakan pencipta. Jika masih juga dikatakan sebagai pencipta maka patut diduga, Elly Rudi adalah plagiat tari atau pencuri karya orang lain....

Bagaimana mungkin Elly Rudy menjadi plagiat dan mencuri karyanya sendiri? Sungguh merupakan hal yang lucu dan tidak masuk akal. dan mengada-ada. Sartono yg meneliti tari yang berjudul Tari Tanggai ciptaan Elly Rudy tidak pernah menyatakan bahwa gerak dan komposisi tari Tanggai 90 persen mirip dengan Tari Gending Sriwijaya. Statement yang mengatakan bahwa ada polemik yang berkembang di masyarakat tentang siapa pencipta Tari yang berjudul Tari Tanggai sungguh tidak jelas, karena Elly Rudy memang benar orang yang menciptakan Tari yang berjudul Tari Tanggai. Dan hal ini sudah diteliti oleh Sartono M.Sn.dari Universitas PGRI Palembang. Adapun tari- tarian yang memakai tanggai banyak di Sumatera Selatan. Jadi kalo memang ada yang beranggapan ada polemik, maka Tari Tanggai mana yang sebenarnya dimaksud? Dan apa ukuran sampai bisa mengatakan Tari Tanggai ciptaan Ibu Elly Rudy 90 persen sama dengan TGS? Atau mungkin yang dimaksud demikian adalah tari yang memakai Tari Tanggai versi yang lain, bukan Tari Tanggai versi Elly Rudy. Ya, silahkan saja beranggapan demikian. Perlu diketahui tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy memang benar ciptaan Elly Rudy karena telah dilakukan penelitian secara akademisi oleh Sartono, M.Sn. pada tahun 2000. Dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu Kehormatan, yang diterbitkan tahun 2000, Sartono telah melakukan penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy.

Selama 57 tahun menciptakan Tari yang berjudul Tari Tanggai, tidak pernah ada polemik yang berkembang dalam masyarakat tentang siapa pencipta tari Tanggai dan bahkan tarian ini masih ditarikan sampai sekarang dan bisa diterima oleh masyarakat Palembang dan bahkan sudah menjadi bahan ajar di SMKIK pada tahun 1984, dan sekitarnya telah menjadi bahan ajar di Universitas PGRi Prodi Seni Pertunjukan kurikulum Tari Daerah Setempat (TDS) sejak tahun 2006 sampai hari ini.

Musik pengiring di dalam tari tanggai merupakan sebuah musik yang menggabungkan sebuah instrumental yang digarap oleh komponis dan sekaligus diiringi oleh beberapa gendang dan satu buah gong yang berperan sebagai ritem/ritme.[6]

Iringan instrumental di dalam tari tanggai sendiri, menggambarkan nuansa melayu dan tidak meninggalkan warna atau rasa dari musik daerah Palembang.[6] Adapun alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari tanggai adalah:

  • Accordion
  • Biola
  • Gendang
  • Gong.[6]

Judul dari lagu pengiring tari tanggai adalah “Enam Bersaudara”, sedangkan untuk penciptanya tidak diketahui dengan jelas siapa penciptanya.[6] Pada masa ini, di dalam penyajian musik tari tanggai, seseorang yang akan mengadakan acara melihat situasi dan kondisi tempat dari pemilik acara, sehingga nantinya lagu “Enam Bersaudara" bisa diiringi oleh organ tunggal, band, atau juga dapat menggunakan alat musik tradisional khas daerah.[6]

Tari Tanggai mempunyai wujud atau bentuk yang tersusun dari rangkaian-rangkaian gerak atau motif gerak yang telah di kembangkan dan di variasikan menjadi satu kesatuan yang utuh.[6] Sehingga membentuk sebuah struktur tari.[6]

Adapun sturktur gerakan tari adalah sebagai berikut:

  • Gerakan tari awal
  1. Gerak masuk posisi sembah
  2. Gerak Borobudur hormat
  3. Gerak Sembah berdiri
  4. Jalan keset
  5. Kecubung berdiri bawa kanan
  6. Kecubung bawah kiri
  7. Kecubung berdiri atas kanan
  8. Kecubung atas kiri
  9. Ukur benang.[6]
  • Gerak tari pokok
  1. Tutur sabda
  2. Sembah duduk
  3. Tabur bunga duduk kanan dan kiri
  4. Memohon duduk kanan
  5. Kecubung duduk kanan dan kiri
  6. Stupa kanan dan kiri
  7. Tutur sabda
  8. Borobudur
  9. Ulur benang.[6]
  • Gerakan tari akhir
  1. Tolak bala berdiri kanan dan kiri
  2. Nyumping berdiri kanan dan kiri
  3. Mendengar berdiri kanan dan kiri
  4. Tumpang tali/ulur benang berdiri kanan dankiri
  5. Sembah berdiri
  6. Borobudur berdiri
  7. Borobudur hormat.[6]

Tari tanggai selalu di tampilkan setiap acara adat, baik secara resmi maupun tidak resmi.[6] Dalam hal ini bagi para penari, tari tanggai mempunyai kenikmatan tersendiri bagi mereka sendiri dan secara tidak langsung dapat menghibur diri para tamu yang datang.[6]

Simbol kehormatan

Salah satu penari harus ada yang menjadi primadona dan akan membawa tepak yang berisikan sekapur sirih yang merupakan sombol kehormatan.[6] Sedangkan tamu kehormatan di berikan sekapur sirih sebagai simbol bahwa masyarakat Palembang siap menerima tamu tersebut.[6] Penari tersebut membawa kapur sirih jadi dan sirih tak jadi.[6] Sirih jadi adalah sirih yang sudah di ramu, sedangkan Sirih tak jadi adalah yang akan di ramu oleh tamu itu sendiri.[6]

Pendidikan

Tari Tanggai selain memiliki unsur hiburan, Tari tanggai juga memiliki unsur pendidikannya (pengetahuan), khususnya dalam bidang seni tari.[6]

Pada zaman dahulu, tari tanggai dipersembahkan terhadap dewa siwa dengan membawa sesajian yang berisi buah dan beraneka ragam bunga, karena tari tanggai pada masa ini tari tanggai merupakan tari yang di sakralkan atau di sucikan karena fungsinya sebagai pengantar persembahan terhadap dewa-dewa dalam kepercayaan Buddha dan tidak boleh ditarikan sembarangan.[6] Tari Tanggai yang ada di Palembang memiliki banyak kesamaan dengan tarian yang ada di China.[6] Ini disebabkan karena pada zaman dahulu di Sumatra Selatan ada sebuah kerajaan yang dibangunan oleh generasi Raja Syailendra yang memeluk agama Buddha.[6] Secara tidak langsung, tarian Tanggai ini pun diajarkan karena tari ini berfungsi sebagai tari pemujaan dan persembahan dalam kepercayaan agama Buddha.[6]

Pada zaman penjajahan Belanda, Pemerintah Belanda tidak memperbolehkan perempuan untuk menari, sehingga hanya laki-laki yang boleh menari dan pada kemudian hari mereka tertarik dengan tanggai, maka pada tahun 1920 mereka menggunakan tanggai dan sekapur sirih (sirih, pinang, kapur, gambir dan tembakau yang di jadikan satu, yang disusun dalam sebuah tepak sirih) yang berfungsi sebagai tari sambut yang dinamakan Tari Tepak atau Tari tanggai.[7]

Pada zaman penjajahan Jepang, tari ini tidak boleh ditampilkan, maka penjajah Jepang memita Sukainah Rozak selaku Putri karesidenan Palembang untuk menciptakan garakan Tari Gending Sriwijaya.[7] Sedangan syair lagu dari Tari Gending Sriwijaya diciptakan oleh Nung Cik AR, dan musik Tari Gending Sriwijaya di ciptakan oleh Dahlan Mahibat.[7]

Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI dan pencipta syair tersebut, yakni Nung Cik AR disinyalir merupakan anggota PKI sehingga ia ditangkap dan Tari Gending Sriwijaya pada saat itu tidak boleh ditampilkan.[7] Namun, dikarenakan banyaknya Tamu Kehormatan Negara dan Pejabat Negara yang datang ke Palembang dan tidak adanya tarian yang biasa digunakan untuk menyambut tamu-tamu yang datang, maka ibu Elly Rudi menciptakan tari yang berjudul Tari Tanggai dan ibu Anna Kumari menciptakan tari yang berjudul tari Tepak Kraton.[7]

  1. ^ a b (Inggris) "Tari Tanggai". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 27 April 2014. 
  2. ^ a b (Indonesia) "Tari Tanggai". Diakses tanggal 27 April 2014. 
  3. ^ a b c d e f g (Indonesia) "Tari Tanggai". Diakses tanggal 27 April 2014. 
  4. ^ (Inggris) Aripratna. "Tari Tanggai" (pdf). Diakses tanggal 28 April 2014. 
  5. ^ a b c d e f (Indonesia) Vicky Dewi. "Tari Tanggai" (pdf). Diakses tanggal 28 April 2014. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Indonesia) "Tari Tanggai Sumatra Selatan". Diakses tanggal 26 April 2014. 
  7. ^ a b c d e (Indonesia) "Sejarah Tari Tanggai". Diakses tanggal 27 April 2014. 

https://rri.co.id/palembang/1738-opini/1361514/sejarah-munculnya-tari-tanggai

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tari_tanggai&oldid=20861360"