Jawaban: Manakah ikatan-ikatan kesatuan? Terutama cinta, "ikatan kesempurnaan" (Kol 3:14). Tetapi kesatuan Gereja penziarah juga diamankan oleh ikatan persekutuan yang tampak berikut ini: - pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul; - perayaan ibadat bersama, terutama Sakramen-sakramen; - suksesi apostolik, yang oleh Sakramen Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah. (KGK 815) Penjelasan: Allah telah berkenan menghimpun orang-orang yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah (lih 1Ptr 2:5-10)", dan membuat mereka menjadi satu Tubuh (lih. 1Kor 12:12) dan (AA 18). "Pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan Allah yang tunggal dalam tiga pribadi, Bapa, Putra dan Roh Kudus" (UR 2). landasan Hukum Gereja yang Satu dapat kita lihat dalam Katekismus Gereja Katolik dibawah ini : "Itulah satu-satunya Gereja Kristus, yang dalam syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik" (LG 8). Keempat sifat ini, yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain, melukiskan ciri-ciri hakikat Gereja dan perutusannya. Gereja tidak memilikinya dari dirinya sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus menjadikan Gereja-Nya itu satu, kudus, katolik, dan apostolik. Ia memanggilnya supaya melaksanakan setiap sifat itu. (KGK 811) Hanya iman dapat mengakui bahwa Gereja menerima sifat-sifat ini dari asal ilahinya. Namun akibat-akibatnya dalam sejarah merupakan tanda yang juga jelas mengesankan akal budi manusia. Seperti yang dikatakan Konsili Vatikan I, Gereja "oleh penyebarluasannya yang mengagumkan, oleh kekudusannya yang luar biasa, dan oleh kesuburannya yang tidak habis-habisnya dalam segala sesuatu yang baik, oleh kesatuan katoliknya dan oleh kestabilannya yang tak terkalahkan, adalah alasan yang kuat dan berkelanjutan sehingga pantas dipercaya dan satu kesaksian yang tidak dapat dibantah mengenai perutusan ilahinya" (DS 3013). (KGK 812) Gereja itu satu menurut asalnya. "Pola dan prinsip terluhur misteri itu ialah kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi, Bapa, Putera, dan Roh Kudus" (UR 2 §5). Gereja itu satu menurut Pendiri-Nya. "Sebab Putera sendiri yang menjelma ... telah mendamaikan semua orang dengan Allah, dan mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan sate tubuh" (GS 78,3). Gereja itu satu menurut jiwanya. "Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus, sehingga menjadi prinsip kesatuan Gereja" (UR 2 §2). Dengan demikian, kesatuan termasuk dalam hakikat Gereja: "Sungguh keajaiban yang penuh rahasia! Satu adalah Bapa segala sesuatu, juga satu adalah Logos segala sesuatu, dan Roh Kudus adalah satu dan saina di mana-mana, dan juga ada hanya satu Bunda Perawan; aku mencintainya, dan menamakan dia Gereja" (St. Klemens dari Aleksandria, Pæd. 1,6,42:PG 8,300). (KGK 813) Namun sejak awal, Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar biasa. Di satu pihak kemajemukan itu disebabkan oleh perbedaan anugerah-anugerah Allah, di lain pihak oleh keanekaan orang yang menerimanya. Dalam kesatuan Umat Allah berhimpunlah perbedaan bangsa dan budaya. Di antara anggota-anggota Gereja ada keanekaragaman anugerah, tugas, syarat-syarat hidup dan cara hidup; "maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri" (LG 13). Kekayaan yang luar biasa akan perbedaan tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, tetapi dosa dan akibat akibatnya membebani dan mengancam anugerah kesatuan ini secara terus-menerus. Karena itu Santo Paulus harus menyampaikan nasihatnya, "supaya memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera" (Ef 4:3). (KGK 814) Semoga Terbantu..
SIFAT-SIFAT GEREJA KATOLIK Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah sendiri, oleh karena itu disadari pula bahwa Gereja adalah suatu persekutuan yang khas. Mulai dari jaman yang langsung menyusul era rasul, Gereja diyakini mempunyai keempat sifat yaitu:
Keempat sifat itu memang kait mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu Ilahi sekaligus insane, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan. A. Gereja Kristus yang Satu
1. Arti Gereja yang Satu Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8) Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan keseragaman sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, baik dalam Gereja Katolik sendiri maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah semacam kekompakan organisasi atau kerukunan social. Yang utama bukan soal struktur organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari. Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh dilihat pertama-tama secara universal. Tidak hanya Paus tetapi masing-masing uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gereja. Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa perwujudan konkret harus diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman mendorong semua orang Kristen supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman. Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap dalam:
2. Memperjuangkan kesatuan Gereja
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa
“pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja adalah kesatuan Allah yang
Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2). Tatapi, bagaimana
kesatuan Ilahi itu diwujudkan secara insane, merupakan pertanyaan yang amat
besar.
Kesatuan Gereja pertama-tama harus
diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat beriman yang hidup bersama
dalam satu Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan tantangan
masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam
menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh
melampaui batas-batas Gereja dan terarah kepada semua orang yang “berseru
kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Tim 2:22)
Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar-Gereja” misalnya
Kesatuan Gereja tidak identik dengan uniformitas. Kesatuan Gereja di luar bidang esensial Injili memungkinkan keanekaragaman. Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman. B. Gereja Kristus yang Kudus 1. Arti Gereja yang Kudus
Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus untuk sekarang juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam kekudusanNya (bdk LG 8,39,41 dan 48). Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum rumusan Syahadat dikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa. Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan menang secara definitif pada akhir jaman. Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Ajaran ini dipahami bersama dengan
ajaran iman bahwa para pendosa itupun anggota Gereja sehingga Gereja tak hanya
ada pendosa tetapi adalah pendosa sejauh warganya dan pemukanya memang para
pendosa yang masih berdosa dan akan berdosa. Itulah mengapa Gereja harus
senantiasa menguduskan diri dengan memperbarui terus menerus (UR 4:6) Gereja itu kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena tujuan ke mana ia diarahkan, dan karena unsure-unsur Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus.
2. Memperjuangkan Kekudusan Gereja Kekudusan Gereja dijelaskan dalam Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita mengimani bahwa Gereja tidak akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi Gereja sebagai MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus karena kristus, Kepala gereja, membuatnya (anggotanya yang tetap berdosa) kudus. Kekudusan juga terungkap dengan “aneka cara pada masing-masing orang”. Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikut sertakan Gereja dalam GerakanNya kepada Bapa ole Roh Kudus. Pada taraf misteri Ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya Dalam hal kekudusan yang pokok bukan bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya. Kudus diartikan sebagai “yang dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama-tama “kudus” itu menyangkut seluruh bidang sacral dan keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang kudus itu Tuhan sendiri. Semua yang lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan Kekudusan tidak datang dari Gereja, tetapi dari Allah yang mempersatukan Gereja dengan Kristus dalam Roh Kudus. Gereja disebut kudus karena Kristus sebagai kepala menguduskan anggotaNya. Jadi, kekudusan Gereja tidak terutama diartikan secara moral, tetapi secara teologial, meyangkut keberadaan dalam lingkup hidup Allah. Anggota Gereja adalah “orang kudus” yang dipanggil untuk hidup secara kudus di tengah-tengah dunia yang tidak mengindahkan Yang Mahakudus. Gereja adalah milik Allah (1Ptr 2:9) dan karenanya kehendak Ilahi harus ditaati di dalam Gereja dan oleh anggotanya. Usaha yang dapat diperjuangkan menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja, misalnya:
C. Gereja yang Katolik 1. Arti dan Makna Gereja yang Katolik Secara harafiah, kata “katolik” menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh dunia”. Memang benar, Gereja tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat yang tidak ada Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum. Ignatius dari Antiokhia yang pertama kali menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di mana ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus, di situ ada Gereja “katolik”. Hai ini mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir bukan hanya untuk jemaat setempat tatapi juga selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya.
Gereja selalu lengkap atau penuh, artinya tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian. Gereja setempat (paroki, stasi) bukanlah “cabang” Gereja universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja. Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Kata katolik tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja. Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal. Dalam syahadat kata “katolik” masih mempunyai arti “universal” atau “umum”. Ternyata “universal” pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif:
Segi kuantitatif adalah faktor
geografis, yang mana memperoleh warganya dari semua bangsa dan hidup di tengah
segala bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya
pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah
pada dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi
keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh dunia. Singkatnya, Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam:
2. Mewujudkan kekatolikan Gereja
Gereja bersifat universal, umum dan terbuka. Oleh sebab itu perlu diusahakan antara lain Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun. Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini. Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk umat manusia.
Untuk setiap orang kristiani
diharapkan memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan
masyarakat, sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka
untuk apa saja yang baik dan siapa saja yang berkehendak baik. D. Gereja yang Apostolik 1. Arti Gereja yang apostolik
Apostolik berasal dari kata Yunani,
“ApostellO” (mengutus, menguasakan) yang berate utusan, suruhan, wakil resmi
yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolic” kemudian dipaki untuk menyebut
para rasul. Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para
rasul, dan tetao berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa
Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus ebagai batu penjuru, sudah
ada sejak jaman Gereja perdana. Gereja bersifat apostolik berarti Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. Hubungan historis ini tidak dimengerti sebagai pergantian orang, melainkan segala kelangsungan iman dan pengakuan. Sifat apostolik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa yang sejak dahulu diajarkan dan dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Sifat apostolik harus mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Dalam hal ini, seluruh Gereja tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam pelayanannya. Singkatnya, Gereja disebut apostolic karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus Kristus. Hubungan itu tampak dalam:
2. Mewujudkan keapostolikan Gereja Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja sekarang hanya merupakan copyan dari Gereja para rasul. Gereja sekrang hanya terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan permulaan imannya. Karena pewartaan para rasul dan penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab Suci, maka sifat keapostolikan gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil. Kesatuan dengan Gereja purba adalah kesatuan hidup, yang pusatnya adaah Kitab Suci dan Tradisi. Secara konkret, tradisi selalu merupakan konfrontasi terus-menerus antara situasi gereja sepanjang masa dan pewartaan Kitab Suci. Gereja harus senantiasa menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret berpangkal pada sikap iman Gereja para rasul. Jadi usaha untuk keapostolikan Gereja, antara lain:
Sumber: 1. Iman Katolik 2. Seri Murid-murid Yesus 3. Dewasa dalam Penghayatan Iman Sumber tulisan http://www.widiagung.co.cc/2009/03/sifat-sifat-gereja.html |