Dalam surat Al mudatsir ayat 31 malaikat malaikat Allah subhanahu wa ta ala disebut juga

  • Berita Utama
  • Terkini
  • Populer
  • Rekomendasi

وَمَا جَعَلْنَآ اَصْحٰبَ النَّارِ اِلَّا مَلٰۤىِٕكَةً ۖوَّمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ اِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْاۙ لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِيْمَانًا وَّلَا يَرْتَابَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ وَالْمُؤْمِنُوْنَۙ وَلِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ وَّالْكٰفِرُوْنَ مَاذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِهٰذَا مَثَلًاۗ كَذٰلِكَ يُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ اِلَّا هُوَۗ وَمَا هِيَ اِلَّا ذِكْرٰى لِلْبَشَرِ ࣖ

31. Dan yang Kami jadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat; dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin, agar orang yang beriman bertambah imannya, agar orang-orang yang diberi kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu; dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (berkata), “Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Dan Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.

Surah Al-Muddatstsir adalah surah Makkiyah ([1]), yaitu termasuk dari surah-surah yang awal-awal turun. Bahkan ada khilaf di kalangan para ulama bahwa awal surah Al-Muddatstsir adalah surah yang pertama turun daripada surah Al-‘Alaq, dan ada pula yang mengatakan bahwa surah Al-Muddatstsir adalah surah yang kedua ([2]), serta ada pula pendapat yang mengatakan bahwa surah Al-Muddatstsir yang keempat setelah Al-‘Alaq; Al-Qalam; dan Al-Muzzammil ([3]). Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah surah Al-Muddatstsir merupakan surah kedua setelah Al-‘Alaq.

Al-Muddatstsir memiliki makna yang sama dengan Al-Muzzammil yaitu orang yang berselimut ([4]). Karena dalam bahasa Arab, kata الدِّثَارُ (Ad-Ditsar) adalah sebutkan untuk pakaian yang dipakai setelah الشِّعَارُ (Asy-Syi’ar). Asy-Syi’ar adalah pakaian yang menempel langsung dengan jasad, adapun lapisan kedua atau setelahnya disebut dengan Ad-Ditsar, sehingga Ad-Ditsar bisa bermakna selimut atau pakaian yang lain. Oleh karenanya dalam suatu hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْأَنْصَارُ شِعَارٌ، وَالنَّاسُ دِثَارٌ، وَلَوْ أَنَّ النَّاسَ اسْتَقْبَلُوا وَادِيًا أَوْ شِعْبًا، وَاسْتَقْبَلَتِ الْأَنْصَارُ وَادِيًا، لَسَلَكْتُ وَادِيَ الْأَنْصَارِ، وَلَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ الْأَنْصَارِ

“Orang-orang Anshar adalah syi’ar dan manusia lainnya adalah ditsar. Sekiranya manusia melewati suatu lembah atau bukit, sedangkan orang-orang Anshar menghadap lembah yang lain, niscaya aku akan meniti lembah kalangan Anshar. Dan sekiranya bukan karena hijrah, niscaya aku dari kalangan Anshar.”([5])

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan orang-orang Anshar dengan syi’ar karena keutamaan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ([6]). Sedangkan manusia pada umumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut sebagai ditsar karena keutamaan mereka setelah kaum Anshar. Oleh karenanya ditsar bisa disebut juga sebagai selimut karena merupakan pakaian kedua setelah syi’ar (pakaian yang menempel langsung pada tubuh).

Adapun kaitan antara surah Al-Muddatstsir dan surah Al-Muzzammil adalah kandungan surah Al-Muzzammil merupakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berijtihad berkaitan dengan ibadah qaashirah, yaitu ibadah beliau dengan Allah Subhanahu wa ta’ala berupa shalat tahajjud yang merupakan bekal seorang Da’i. Adapun kandungan surah Al-Muddatstsir adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berijtihad dalam ibadah muta’ddiyah ([7]), yaitu berdakwah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

قُمْ فَأَنْذِرْ

“Bangunlah, lalu berilah peringatan.” (QS. Al-Muddatstsir : 2)

Maka surah Al-Muzzammil berkaitan dengan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencharger imannya dengan shalat malam, sedangkan surah Al-Muddatstsir berkaitan dengan ibadah muta’ddiyah (ibadah yang bermanfaat untuk orang banyak) yaitu berdakwah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah Subhanahu wa ta’ala membuka surah ini dengan firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

“Wahai orang yang berselimut.” (QS. Al-Muddatstsir : 1)

Para ulama menyebutkan tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) surah Al-Muddatstsir sebagaimana diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan yang lainnya, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جَاوَرْتُ بِحِرَاءٍ فَلَمَّا قَضَيْتُ جِوَارِي هَبَطْتُ، فَنُودِيتُ فَنَظَرْتُ عَنْ يَمِينِي فَلَمْ أَرَ شَيْئًا، وَنَظَرْتُ عَنْ شِمَالِي فَلَمْ أَرَ شَيْئًا، وَنَظَرْتُ خَلْفِي فَلَمْ أَرَ شَيْئًا، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا المَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، فَجَئِثْتُ مِنْهُ رُعْبًا، فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ: دَثِّرُونِي فَدَثَّرُونِي، فَنَزَلَتْ: يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ: وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

“Aku berdiam diri di Gua Hira. Setelah selesai, aku pun beranjak keluar dan menelusuri lembah, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku, maka aku pun menoleh ke sebelah kananku namun aku tidak melihat siapa-siapa, aku menoleh ke sebelah kiri, juga aku tidak melihat siapa-siapa, kuarahkan pandanganku ke belakang namun aku juga tidak melihat siapa-siapa. Ketika aku melihat keatas, ternyata terdapat Malaikat yang sebelumnya mendatangiku di gua Hira tengah duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku merasa ketakutan hingga aku jatuh tersungkur ke tanah. Lalu aku pun segera pulang menemui keluargaku seraya berkata, ‘Selimutilah aku’. Maka keluargaku pun segera menyelimutiku.”([8])

Riwayat ini merupakan dalil yang menguatkan bahwasanya surah Al-Muddatstsir adalah surah kedua setelah surah Al-‘Alaq. Karena dalam riwayat di atas disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa datang malaikat Jibril yang pernah datang kepada beliau di Gua Hira, sedangkan kita tahu bahwa surah yang turun di Gua Hira adalah surah Al-‘Alaq.

Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tenang, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menurunkan wahyunya dengan mengatakan,

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

“Wahai orang yang berselimut.” (QS. Al-Muddatstsir : 1)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala tidak memanggil nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung dengan ‘Wahai Muhammad’. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil nabi dengan kondisi nabi yang sedang berselimut. Dan panggilan semacam ini adalah metode Bahasa Arab yang menunjukkan mulathafah (kelembutan) ([9]), yaitu memanggil seseorang dengan sebutan kondisi yang sedang dialami oleh orang tersebut. Panggilan semacam ini pula mirip dengan panggilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ketika itu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sedang ribut dengan Fathimah radhiallahu ‘anha, maka Ali bin Abi Thali pergi ke masjid karena tidak ingin memperpanjang masalah.  Kemudian Ali bin Abi Thalib pun tidur di masjid sehingga tubuhnya banyak terkena tanah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mencari Ali bin Abi Thalib di masjid Nabawi serta membangunkannya dengan berkata,

قُمْ يَا أَبَا تُرَابٍ

“Bangunlah Wahai orang yang banyak pasir (tanah) di badannya.”([10])

Maka tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dipanggil oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan panggilan kondisi beliau yang sedang berselimut, maka itu menunjukkan cinta kasih Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُمْ فَأَنْذِرْ

“Bangunlah, lalu berilah peringatan.” (QS. Al-Muddatstsir : 2)

Sebagian ulama mengatakan bahwa sejak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima perintah sebagaimana dalam ayat ini, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah lagi istirahat (terus berdakwah) hingga beliau meninggal dunia. Dan itulah kegiatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau meninggal dunia, yaitu menyampaikan risalah Allah agar Islam tersebar ke seluruh penjuru bumi.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ

“Dan agungkanlah Tuhanmu.” (QS. Al-Muddatstsir : 3)

Sebagian para ulama yang di antaranya adalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini mengisyaratkan agar tujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah adalah untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala ([11]). Maka ayat ini mengisyaratkan bahwa seseorang harus ikhlas dalam berdakwah, dan bukan untuk mengagungkan dirinya atau pun memperbanyak pengikutnya, melainkan agar manusia mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Peringatan ini sangat penting sampai-sampai hal ini juga diperingatkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitabnya, beliau mengatakan,

لأن كثيراً لو دعا إلى الحق، فهو يدعو إلى نفسه

“Sebab kebanyakan orang kalau mengajak kepada kebenaran, justru mereka mengajak kepada dirinya sendiri.”([12])

Betapa banyak orang yang berdakwah, meskipun yang diseru adalah kebenaran dari Alquran dan sunnah, tetapi ternyata di samping itu dia menyeru kepada dirinya sendiri, sehingga dia ingin orang-orang terpusat kepada dirinya. Dan niat seperti ini merupakan cacat seseorang dalam dakwah. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam ayat ini bahwa tujuan seseorang memberi peringatan adalah untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka hendaknya seseorang mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam segala hal, baik dalam setiap ucapannya, dalam segala tulisannya, dalam segala perbuatannya, dan bahkan dalam kesendiriannya.

Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan shalat ([13]). Yaitu bahwasanya sejak saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintahkan untuk shalat, meskipun belum turun perintah shalat lima waktu, karena firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini bermakna ‘Allahu Akbar’. Dan kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat,

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Pembuka shalat adalah bersuci, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”([14])

Akan tetapi jumhur Ahli Tafsir mengatakan bahwa ayat ini umum dan bukan hanya berkaitan dengan shalat.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan bersihkanlah pakaianmu.” (QS. Al-Muddatstsir : 4)

Secara umum, makna ayat ini bisa diartikan dengan makna hakiki atau makna majazi.

Makna hakiki adalah perintah kepada seseorang untuk membersihkan pakaiannya ketika hendak shalat. Karena sebagaimana telah disebutkan bahwa ayat sebelumnya ditafsirkan sebagian ulama sebagai perintah shalat, maka maksud ayat ini adalah hendaknya seseorang bersih dari najis sebelum shalat. ([15])

Makna majazi adalah perintah kepada seseorang untuk membersihkan amalannya dari kedustaan, akhlak yang buruk, ikhlaskan amalan, dan keburukan lainnya. Karena ungkapan orang-orang Arab dahulu ketika melihat orang yang amalannya buruk, pengkhianat, dan suka bohong, maka mereka akan mengatakan dengan ungkapan ثِيَابُهُ نَجِسٌ “Bajunya najis”. ([16])

Inilah dua makna yang dibawakan oleh para Ahli Tafsir tentang ayat ini, dan hampir seluruh Ahli Tafsir juga menyebutkan demikian.

Imam Al-Qurthubi ketika menjelaskan makna hakiki ayat ini dalam tafsirnya, beliau membantah orang-orang yang bermudah-mudah dalam isbal bahwa di antara cara agar seseorang tidak mudah terkena najis adalah dengan tidak isbal. Kemudian beliau membawakan dalil-dalil yang di antaranya perkataan ‘Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu kepada seorang anak,

ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى وأنقى وأبقى

“Naikkan kainmu, karena sesungguhnya itu lebih bertakwa, lebih bersih, dan lebih jauh (daripada najis).”

Setelah itu beliau juga membawakan hadits dari Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”

Kemudian Imam Al-Qurthubi mengatakan,

فَأَرَادَ الْأَدْنِيَاءُ إِلْحَاقَ أَنْفُسِهِمْ بِالرُّفَعَاءِ

“Kemudian ada orang-orang rendahan menyamakan dirinya dengan Abu Bakar (sehingga membolehkan isbal dengan alasan tidak sombong seperti Abu Bakar).”([17])

Dan ini menunjukkan bahwa Imam Al-Qurthubi adalah salah satu ulama yang mengharamkan isbal secara mutlak selain Ibnu Hajar, Ibnul ‘Arabi, dan Adz-Dzahabi. Akan tetapi ini adalah masalah khilafiyah setelah para ulama sepakat bahwa sebaiknya seseorang itu tidak isbal baik dengan kesombongan atau tidak, karena isbal dengan kesombongan itu adalah haram dengan ijma’ para ulama. Hanya saja pendapat yang lebih kuat bahwasanya isbal haram secara mutlak.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

“Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji.” (QS. Al-Muddatstsir : 5)

Dalam qira’ah, ayat ini ada dua penyebutan yaitu وَالرُّجْزَ dan وَالرِّجْزَ. Makna الرُّجْزَ Artinya adalah berhala, sehingga makna ayat ini adalah ‘Dan tinggalkanlah segala penyembahan berhala’. Adapun الرِّجْزَ artinya adalah maksiat, sehingga maknanya ‘Dan tinggalkanlah segala perbuatan maksiat ([18]). Dua qira’ah ini adalah qira’ah yang mutawatir ([19]).

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ

“Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Muddatstsir : 5)

Kata الْمَن dari kata تَمْنُنْ maknanya adalah تَذْكِيْرُ الْمُنْعَمِ عَلَيْهِ بِإِنْعَامِهِ, yaitu mengingatkan kebaikan orang yang berbuat baik kepadanya tentang kebaikan-kebaikannya.

Terdapat beberapa pendapat Ahli Tafsir terkait makna ayat ini.

Tafsiran pertama, janganlah seseorang memberikan sesuatu dengan harapan agar diberi balasan yang lebih banyak.

Tafsiran kedua, jangan seseorang melakukan dakwah ini, kemudian menganggap bahwa dirinya telah berbuat banyak dalam dakwah ini. Dan sebagian ulama telah mengingatkan bahwa jika seorang anak cucu Adam beribadah selama hidupnya tanpa futur atau malas, dia tetap belum bisa bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala apa yang Allah berikan kepadanya. Maka jangan seseorang telah merasa melakukan amalan yang besar di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Anggaplah amalan yang dilakukan itu kecil sehingga semangat beribadah dan berdakwah itu akan terus ada. Dan sikap menganggap amalan masih sedikit atau kecil akan menghalangi seseorang dari sikap ujub. ([20])

Tafsiran ketiga, janganlah seseorang berbuat baik kepada orang lain dan menganggap orang tersebut berhutang budi kepadanya. Tafsiran ketiga ini adalah tafsiran yang dibawakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dan beberapa riwayat dari para salaf ([21]). Maka seharusnya tatkala seseorang telah melakukan kebaikan, hendaknya dia melupakan kebaikannya. Karena pada dasarnya muamalah yang dia lakukan bukan terhadap orang tersebut, melainkan dia bermuamalah dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga orang yang diberikan kebaikan mau bersyukur atau tidak, itu tidak bukan urusannya melainkan menjadi urusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ini akan menutup pintu untuk seseorang mengungkit-ungkit kebaikan-kebaikan di masa lalu. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 264)

Dan ini tentunya peringatan bagi kita, tatkala kita berdakwah hendaknya kita ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan jangan pernah merasa telah berjasa besar dalam dakwah. Serahkan urusan pahala kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena lagi pula kita sendiri tidak tahu apakah pahala kita besar atau kecil, atau bahkan kita tidak tahu apakah kita ikhlash sehingga mendapatkan pahala atau sebaliknya?.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

“Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Muddatstsir : 7)

Di antara hal yang bisa membuat kita semangat untuk bersabar adalah kita menyadari bahwa kita bersabar karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang namanya orang berdakwah pasti mengalami gangguan baik itu secara fisik atau mental. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr : 3)

Setelah seseorang berdakwah menyampaikan kebenaran, maka pasti ada gangguan-gangguan yang akan dialami. Oleh karenanya Allah juga memerintahkan untuk saling menasihati untuk bersabar. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman tentang perkataan Luqman kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman : 17)

Ketika kita telah tahu bahwa berdakwah kepada kebenaran akan mendatangkan gangguan-gangguan, maka dengan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan untuk bersabar karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ketika kita bisa bersabar karena Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tentu perkaranya akan lebih ringan, karena kita yakin bahwasanya di belakang kita adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.

Dan di antara penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Madarij As-Salikin, bahwa di antara yang bisa membuat seseorang mudah untuk bersabar adalah tatkala dia bersabar karena mencintai Allah Subhanahu wa ta’ala. Ketika dia sadar bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala yang menginginkan dia mengalami hal tersebut, maka dia akan bersabar demi meraih kecintaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya ada sabar karena cinta, ada sabar karena takut, dan ada sabar karena mengharap pahala. Akan tetapi sabar karena cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala lebih bisa membuat kita untuk bersabar.

Inilah enam wasiat Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai mukaddimah sebelum beliau menjalankan tugas yang berat, dimulai dengan firman-Nya,

قُمْ فَأَنْذِرْ، وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ، وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ، وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ، وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ، وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

“Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Muddatstsir : 3-7)

Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ

“Maka apabila sangkakala ditiup.” (QS. Al-Muddatstsir : 8)

Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

كَيْفَ أَنْعَمُ وَصَاحِبُ القَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ القَرْنَ، وَحَنَى جَبْهَتَهُ، ثُمَّ أقْبَلَ بأُذُنِهِ يَسْتَمِعُ مَتى يُؤْمَرُ بالصَّيْحَة؟ فاشتدّ ذلك على أصحابه، فأمرهم أن يقولوا: حَسْبُنا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ، على اللهِ تَوَكَّلْنا

“Bagaimana aku bisa senang lagi tentram sementara malaikat peniup sangkakala telah meletakkan mulutnya di sangkakala (siapa untuk meniup), dan dahinya telah dimiringkan. Kemudian dia menyiapkan telinganya untuk menunggu kapan dia diperintahkan (untuk meniupnya)?” Maka hal itu membuat berat para sahabat. Maka Nabi memerintahkan kepada mereka untuk berkata, ‘Hasbunallahu Wa Ni’mal Wakil ‘Alallahi Tawakalna’ (Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Dialah sebaik-baik penolong dan kepada Allahlah kami bertawakal’.”([22])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ، عَلَى الْكَافِرِينَ غَيْرُ يَسِيرٍ

“Maka itulah hari yang berat, bagi orang-orang kafir (hari itu) tidak mudah.” (QS. Al-Muddatstsir : 9-10)

Kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut hari kiamat adalah hari yang berat? Karena hari kiamat adalah hari yang penuh dengan kesulitan dan kepayahan ([23]). Bayangkan saja bagaimana keadaan orang-orang di padang mahsyar, dibangkitkan dalam keadaan tidak berpakaian, matahari didekatkan dengan jarak satu mil, kemudian disuruh berdiri menunggu kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala yang satu hari ukurannya setara dengan 50.000 tahun. Maka tentunya hari itu adalah hari yang sangat berat, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,

فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ

“Maka itulah hari yang berat.” (QS. Al-Muddatstsir : 9)

Hari itu adalah hari yang sulit bagi para nabi dan orang-orang yang bertakwa. Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim ‘alaihimassalam merasa takut dan merasa sulit hari itu. Jika hari itu adalah hari yang sulit bagi para nabi-nabi dan orang-orang bertakwa, maka hari itu pasti akan jauh lebih sulit bagi orang-orang kafir. Karena orang-orang kafir tatkala dibangkitkan, mereka telah putus asa dari segala kebaikan dan mereka telah yakin bahwa mereka akan binasa ([24]).  Maka semakin lama orang-orang kafir merasakan hari tersebut, maka mereka akan semakin menuju kepada kebinasaaan dan kesulitan yang lebih berat yaitu neraka jahannam.

Adapun orang-orang yang beriman, mereka akan merasa ringan (kemudahan) pada hari tersebut. Dan hal ini disebutkan dalam sebagian riwayat yang meskipun riwayatnya lemah, akan tetapi ayat-ayat banyak yang menyebutkan bahwa orang-orang beriman merasakan kebahagiaan pada hari kiamat. Diantaranya adalah ayat ini. Allah menyebtukan bahwa hari kiamat terasa berat bagi orang-orang kafir, maka mafhuum mukholafah-nya (yaitu kebalikannya) menunjukan bahwa hari tersebut tidak berat bagi orang-orang yang beriman dan tidak kafir ([25]). Ini menunjukkan bahwa mereka merasakan kesulitan, namun mereka juga merasakan kemudahan setelah itu. Adapun orang kafir akan selalu merasa berat.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala masuk pada paragraf berikutnya, yaitu tentang ayat-ayat yang banyak turun tentang Al-Waliid Ibnul Mughirah Al-Makhzumi, ayah dari Khalid bin Walid. Al-Walid Ibnul Mughirah Al-Makhzumi adalah orang yang sangat spesial di kalangan orang-orang Quraisy. Dia orang yang sangat kaya raya, sampai-sampai kebun-kebunnya, unta-untanya, kambing-kambingnya, dan sapi-sapinya terhampar di sepanjang perjalanan dari kota Thaif ke kota Mekkah.  Dia juga memiliki banyak anak, sampai-sampai disebutkan bahwa anak laki-lakinya saja berjumlah tiga belas orang anak. Saking spesial dan hebatnya Al-Walid Ibnul Mughirah, sampai-sampai dia diberi gelar dengan الوَحِيْدُ Al-Wahiid (satu-satunya). Meskipun Abu Jahal dan Abu Sufyan juga hebat, akan tetapi Al-Walid Ibnul Mughirah lebih tua daripada keduanya, sehingga dia dikenal dengan Al-Wahid. Bahkan dalam riwayat disebutkan bahwa Al-Walid berkata,

أَنَا الوحيد بن الْوَحِيدِ

“Saya adalah satu-satunya putra satu-satunya.”([26])

Artinya Al-Walid Ibnul Mughirah membanggakan dirinya dan ayahnya Al-Mughirah, dan tidak ada yang menyamai mereka.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا

“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.” (QS. Al-Muddatstsir : 11)

Ada dua pendapat tentang apa yang dimaksud “sendirian” dalam ayat ini.

Pendapat pertama, kata وَحِيدًا dalam ayat ini adalah حَالٌ dari dhamir fa’il (subjek/pelaku) yang artinya sendirian dalam melakukan ([27]). Maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan sendiri Al-Mughirah dan tidak ada yang membantu-Nya. Sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Janganlah engkau (Muhammad) mengurus dia, biarkan aku yang mengurusnya karena dia adalah ciptaan-Ku. Sebagaimana Aku sendiri yang menciptakannya, maka aku sendiri yang mengurus kelak kebinasaannya”. Sehingga pendapat pertama menyimpulkan bahwa maksud “sendirian” dalam ayat ini adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan sendiri Al-Walid Ibnul Mughirah, dan Allah sendiri pula yang akan mengurusi kebinasaannya.

Pendapat kedua, kata وَحِيدًا dalam ayat ini adalah حَالٌ dari dhamir yang muqaddar. Maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan Al-Walid Ibnul Mughirah dalam kondisi al-Waliid sendirian. Artinya Al-Walid keluar dari perut ibunya tanpa harta sedikitpun, dan Allah Subhanahu wa ta’ala yang membuat dia kaya([28]). Sementara Al-Walid Ibnul Mughirah sombong dengan kekayaannya, sampai-sampai dia mengatakan bahwa tidak ada yang menandinginya. Maka ayat ini seakan-akan Allah membantah kesombongannya dengan berkata “Sesungguhnya kamu dahulu tidak memiliki apa-apa”. Dan pada dasarnya semua manusia seperti itu (tidak memiliki apa-apa), hanya saja Al-Walid Ibnul Mughirah disebutkan secara khusus karena dia kufur nikmat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Ayat ini adalah khitab (ditujukan) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan di dalam ayat ini Allah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Biarkan aku dengan Al-Walid (itu menjadi urusan-Ku)”. Ini menjadi isyarat bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih dengan gangguan Al-Walid Ibnul Mughirah ([29]). Karena Al-Walid yang menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyihir, yang mengatakan Alquran sebagai dongen orang-orang terdahulu, dan dia pula orang yang mengajari orang-orang Quraisy untuk mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan semua gangguan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersedih. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala ingin menghibur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menurunkan firman-Nya,

ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا

“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku sendiri telah menciptakannya.” (QS. Al-Muddatstsir : 11)

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا

“Dan Aku beri kekayaan yang melimpah.” (QS. Al-Muddatstsir : 12)

Kata مَمْدُودًا maknanya adalah sesuatu yang bersambung atau panjang. Dan ini sesuai dengan perkataan para ulama ahli tafsir bahwa harta Al-Walid Ibnul Mughirah tidak terputus sepanjang jarak antara Thaif dan Mekkah. ([30])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَبَنِينَ شُهُودًا

“Dan anak-anak yang selalu bersamanya.” (QS. Al-Muddatstsir : 13)

Al-Walid Ibnul Mughirah memiliki banyak anak yang selalu bersama mereka. Siapa anak-anak Al-Walid Ibnul Mughirah? Di antara anak-anaknya adalah Al-Walid Ibnul Walid, Khalid bin Walid, dan Hisyam Ibnul Walid. Tiga anaknya ini adalah yang masuk Islam. Di antara anaknya yang lain adalah Umarah Ibnul Walid, Al-‘Ash Ibnul Walid, Qhais Ibnul Walid, ‘Abdu Syam Ibnul Walid, dan yang lainnya. ([31])

Ayat ini merupakan peringatan kepada Al-Walid Ibnul Mughirah bahwasanya Allah memberikan kepadanya kenikmatan berupa anak-anak yang banyak, yang selalu menemaninya di mana pun dia pergi. Anak-anak tersebut yang membantunya untuk menunaikan segala hajat-hajatnya dan siap membelanya dari gangguan, tentu semuanya ini adalah nikmat.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَهَّدْتُ لَهُ تَمْهِيدًا

“Dan Aku beri kelapangan (hidup) seluas-luasnya.” (QS. Al-Muddatstsir : 14)

Al-Walid Ibnul Mughirah adalah orang yang benar-benar Allah Subhanahu wa ta’ala berikan keluasan baginya, karena dia sangat kaya raya.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيدَ

“Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahnya.” (QS. Al-Muddatstsir : 15)

Ayat ini menggambarkan bahwa setelah seluruh kenikmatan yang Allah berikan kepadanya tidak menjadikannya qonaáh. Bahkan Al-Walid Ibnul Mughirah masih tamak dengan mengharap ditambah nikmat (kekayaan) tersebut ([32]). Oleh karenanya percuma orang yang kaya raya namun tidak qona’ah, karena kebahagiaan berbanding lurus dengan qona’ah. Orang yang qona’ah pasti akan bahagia karena dia bersyukur dan merasa puas dengan pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun orang yang kaya dan tidak qona’ah, serta masih tamak dengan harta, maka dia tidak akan pernah bahagia karena terjebak dalam ketidakpuasan.

Maka apa lagi yang kurang dari Al-Walid Ibnul Mughirah? Dia adalah penguasa dari Bani Makhzum, dia lebih hebat daripada Abu Jahal dan Abu Sufyan, kemudian dia juga memiliki harta dan anak yang banyak, akan tetapi dia masih tamak untuk ditambahkan kenikmatan.

Sebagian ulama membahas tentang kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan dhamir kata ganti orang pertama dalam ayat ini (yaitu : “Aku menambahnya”) dan tidak berkata,

ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ يَزِيدَ

“Kemudian dia ingin sekali agar dia ditambah.”

Sebagian ulama menjelaskan bahwa alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa ta’ala ingin mengingatkan bahwasanya yang memberikan rezeki itu adalah Allah Subhanahu wa ta’ala dan bukan dari patung-patung yang dia sembah, sehingga seharusnya dia bersyukur dan menyembah Allah Subhanahu wa ta’ala.

Atau ini menunjukan berarti al-Waliid meyakini bahwa yang memberi rizki kepadanya adalah Allah([33]). Dan hal ini sangat mungkin, karena kaum Quraisy percaya dengan Rububiyah Allah.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيدًا

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat Kami (Al-Qur’an).” (QS. Al-Muddatstsir : 16)

Ada yang menyebutkan bahwa Al-Walid berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Muhammad, saya telah kaya di dunia, maka jika terjadi hari kiamat saya juga ingin masuk surga”. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat-Nya ini untuk mengingatkannya bahwa dia tidak akan mendapatkannya ([34]). Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala mau memberikan tambahan kepadanya? Sementara dia menjadi orang yang sangat menentang Alquran dan menuduhnya dengan tuduhan yang tidak-tidak.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

سَأُرْهِقُهُ صَعُودًا

“Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan.” (QS. Al-Muddatstsir : 17)

إرهاق artinya membuat payah, sedangkan صَعُودًا artinya adalah sambil naik ([35]). Ada yang menyebutkan bahwa maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan siksaan yang bertambah-tambah, semakin sulit dan semakin sulit ([36]). Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberinya azab berupa perintah panjat sebuah gunung yang sangat panas di neraka jahannam yang jika dia meletakkan tangan di gunung tersebut maka tangannya akan meleleh ([37]).

Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang nasib Al-Walid Ibnul Mughirah di neraka, maka Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan alasan dia disiksa, yaitu dia berbicara dengan serampangan (ngawur) ([38]). Kata Allah Subhanahu wa ta’ala,

إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ

“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya).” (QS. Al-Muddatstsir : 18)

Ayat ini turun tentang Al-Walid Ibnul Mughirah tatkala dia tertarik dengan dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya Al-Walid Ibnul Mughirah senang mendengar bacaan-bacaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Alquran). Terkadang dia datang ke rumah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu untuk mendengar bacaan Alqurannya. Dari Ikrimah radhiallahu ‘anhu, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ الْوَلِيدَ بْنَ الْمُغِيرَةِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ، فَكَأَنَّهُ رَقَّ لَهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ أَبَا جَهْلٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا عَمُّ، إِنَّ قَوْمَكَ يَرَوْنَ أَنْ يَجْمَعُوا لَكَ مَالًا. قَالَ: لَمَ؟ قَالَ: لِيُعْطُوكَهُ فَإِنَّكَ أَتَيْتَ مُحَمَّدًا لِتُعْرِضَ لِمَا قِبَلَهُ، قَالَ: قَدْ عَلِمَتْ قُرَيْشٌ أَنِّي مِنْ أَكْثَرِهَا مَالًا. قَالَ: فَقُلْ فِيهِ قَوْلًا يَبْلُغُ قَوْمَكَ أَنَّكَ مُنْكِرٌ لَهُ أَوْ أَنَّكَ كَارِهٌ لَهُ، قَالَ: وَمَاذَا أَقُولُ «فَوَاللَّهِ مَا فِيكُمْ رَجُلٌ أَعْلَمَ بِالْأَشْعَارِ مِنِّي، وَلَا أَعْلَمَ بِرَجَزٍ وَلَا بِقَصِيدَةٍ مِنِّي وَلَا بِأَشْعَارِ الْجِنِّ وَاللَّهِ مَا يُشْبِهُ الَّذِي يَقُولُ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَوَاللَّهِ إِنَّ لِقَوْلِهِ الَّذِي يَقُولُ حَلَاوَةً، وَإِنَّ عَلَيْهِ لَطَلَاوَةً، وَإِنَّهُ لَمُثْمِرٌ أَعْلَاهُ مُغْدِقٌ أَسْفَلُهُ، وَإِنَّهُ لَيَعْلُو وَمَا يُعْلَى وَإِنَّهُ لَيَحْطِمُ مَا تَحْتَهُ» قَالَ: لَا يَرْضَى عَنْكَ قَوْمُكَ حَتَّى تَقُولَ فِيهِ. قَالَ: فَدَعْنِي حَتَّى أُفَكِّرَ

“Al-Walid bin Al-Mughirah datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah membacakan Alquran kepadanya. Sepertinya Alquran itu melembutkannya (membuatnya tertarik). Kabar ini pun sampai kepada Abu Jahal([39]). Ia pun datang menemui Al-Walid dan berkata, ‘Wahai paman, sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu’. Al-Walid berkata, ‘Untuk apa?’. Abu Jahal berkata, ‘Untuk diberikan kepadamu, karena engkau datang menemui Muhammad untuk menentang ajaran sebelumnya (ajaran nenek moyang)’. Al-Walid berkata, ‘Orang-orang Quraisy telah mengetahui bahwa aku termasuk yang paling banyak hartanya’. Abu Jahal berkata, ‘Maka ucapkanlah tentangnya suatu ucapan yang menjelaskan kepada kaummu bahwa engkau mengingkarinya atau membencinya’. Al-Walid berkata, ‘Apa yang harus aku katakan? Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang lebih paham dariku tentang sya’ir-sya’ir. Tidak ada yang lebih paham dariku tentang rajaznya (irama sajak) juga qasidahnya, juga sya’ir jin. Demi Allah, perkataannya sama sekali tidak menyerupai itu semua. Dan Demi Allah, ucapan yang diucapkannya itu manis, dan padanya ada kenikmatan. Sesungguhnya perkataannya itu, bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya subur. Ucapannya itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta bisa menghancurkan semua yang berada di bawahnya’. Abu Jahal berkata, ‘Kaummu tidak akan senang sampai engkau mengatakan sesuatu tentang Alquran’. Maka Al-Walid berkata, ‘Tinggalkan aku, biarkan aku berpikir’.”([40])

Dalam riwayat yang lain Al-Walid Ibnul Mughirah berkata,

فَوَاللَّهِ مَا هُوَ بِشِعْرٍ وَلَا بِسَحْرٍ وَلَا بهذْي مِنَ الْجُنُونِ، وَإِنَّ قَوْلَهُ لِمَنْ كَلَامِ اللَّهِ. فَلَمَّا سَمِعَ بِذَلِكَ النفرُ مِنْ قُرَيْشٍ ائْتَمَرُوا فَقَالُوا: وَاللَّهِ لَئِنْ صَبَا الْوَلِيدُ لتصْبُوَنَّ قُرَيْشٌ

“Demi Allah, apa yang dikatakannya bukanlah syair, bukan sihir, bukan pula kata-kata orang gila, tetapi sesungguhnya ucapannya itu benar-benar Kalam Allah.” Ketika segolongan orang-orang Quraisy mendengar ucapan Al-Walid Ibnul Mughirah itu, maka mereka menebar hasutan dan mengatakan kepada orang-orang Quraisy, ‘Demi Allah, jika Al-Walid masuk agama baru, benar-benar orang-orang Quraisy pun akan mengikuti jejaknya’.”([41])

Karena orang-orang Quraisy khawatir Al-Walid akan masuk Islam, maka sebagaimana riwayat sebelumnya, Abu Jahal datang untuk memprovokasi al-Walid sehingga Al-Walid pun terprovokasi untuk berfikir keras bagaimana cara mencela al-Qur’an dengan celaan yang menurutnya masuk akal dan logis. Inilah maksud dari ayat yang Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan,

إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ

“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya).” (QS. Al-Muddatstsir : 18)

Maka Al-Walid tatkala itu berpikir tentang apa yang harus dia ucapkan tentang Alquran agar orang-orang tahu bahwa dia benci kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ([42]), meskipun dia sadar bahwa Alquran itu benar. Agar dia tetap jaya dan tidak ditinggalkan oleh kaumnya. Karena perkara dunia mengharuskan dia untuk mencela Alquran. Al-Walid Ibnul Mughirah adalah orang yang cerdas, dia sadar bahwa jika dia mengatakan bahwa Alquran adalah sihir, sya’ir, atau perkataan orang gila, maka pasti tidak tepat.

Maka kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ، ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ، ثُمَّ نَظَرَ، ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ

“Maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Sekali lagi, celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian dia (merenung) memikirkan, lalu berwajah masam dan cemberut.” (QS. Al-Muddatstsir : 19-22)

Al-Walid Ibnul Mughirah pun bingung tentang apa yang harus dia ucapkan. Akan tetapi karena tekanan dari Abu Jahal, maka dia pun terus berpikir untuk mencari ucapan yang pantas dia ucapkan tentang Alquran.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ، فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ، إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ

“Kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata, ‘(Alquran) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini hanyalah perkataan manusia’.” (QS. Al-Muddatstsir: 23-25)

Kata ثُمَّ أَدْبَرَ dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa maksudnya adalah Al-Walid sudah sangat bingung, dan semua yang dia reka-reka adalah salah menurut kecerdasannya. Sehingga dia berpaling dari semua terkaan-terkaannya (yang benar dianggap salah), dan dengan terpaksa dia pun bersikap sombong dan angkuh dan mengatakan bahwa Alquran adalah sihir yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pelajari dari orang-orang terdahulu. ([43])

Perkataan Al-Walid ini menunjukkan tentang kecerdasannya. Kenapa dia tidak sekedar mengatakan,

إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ

“(Alquran) ini hanyalah sihir.”

Karena semua orang akan tahu bahwa Alquran bukanlah sihir. Oleh karenanya Al-Walid mengatakan bahwa sihir ini (Alquran) berbeda dengan sihir yang diketahui orang pada waktu itu. Dia ingin menerangkan bahwa Alquran adalah sihir yang spesial yang diambil dari orang-orang dahulu. Oleh karenanya dia menegaskan bahwa Alquran adalah perkataan manusia. ([44])

Ini menunjukkan tentang betapa buruknya Al-Walid Ibnul Mughirah. Dia tahu tentang agungnya Alquran, dia tahu tentang keindahan Alquran sampai-sampai mengatakan,

وَوَاللَّهِ إِنَّ لِقَوْلِهِ الَّذِي يَقُولُ حَلَاوَةً، وَإِنَّ عَلَيْهِ لَطَلَاوَةً

“Dan Demi Allah, ucapan yang diucapkannya itu manis, dan padanya ada kenikmatan.”

Dia mengakui kebenaran Alquran, akan tetapi dia berusaha untuk membalikkan fakta. Maka sungguh tuduhan Al-Walid adalah tuduhan yang sangat keji. Seandainya dia berkata bahwa Alquran itu adalah perkataan orang yang bijak -meskipun itu juga buruk- akan tetapi itu lebih mendingan daripada tuduhannya menyamakan firman Allah dengan perkataan manusia yang buruk (penyihir).

Ketika Al-Walid Ibnul Mughirah menghina firman Allah dengan hinaan yang keji tersebut, maka apa balasan Allah kepadanya? Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

سَأُصْلِيهِ سَقَرَ

“Kelak, Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” (QS. Al-Muddatstsir : 26)

Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini adalah dalil bahwa barangsiapa yang mengatakan bahwa Alquran itu adalah perkataan manusia, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar ([45]). Orang-orang liberal adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Alquran itu perkataan manusia. Mereka mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak bisa bicara, tidak ada huruf ataupun suara, dan Tuhan itu tidak boleh berkata-kata. Adapun Alquran mereka katakan bahwa itu adalah terjemahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap makna-makna yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada beliau. Yang kemudian makna-makna itu disimpulkan secara global, lalu diungkapkan ke dalam bahasa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Arab). Dan perkataan orang-orang liberal ini sangat mirip dengan perkataan Al-Walid Ibnul Mughirah.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ

“Dan tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu?”

Ada khilaf tentang apa itu Saqar. Ada yang mengatakan bahwa Saqar itu adalah neraka jahannam. Ada pula yang mengatakan bahwa Saqar adalah tingkatan keenam di neraka,([46]) oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang munafik,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya orang-orang munafik berada di tingkatan paling bawah dari neraka.” (QS. An-Nisa : 145)

Intinya Saqar adalah salah satu dari nama neraka jahannam.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat neraka Saqar tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَا تُبْقِي وَلَا تَذَرُ

“(Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan.” (QS. Al-Muddatstsir : 28)

Artinya adalah neraka Saqar jika telah membakar maka akan membakar semuanya tanpa tersisa sedikitpun. Dia akan membakar rambut, tulang, daging, dan yang lainnya ([47]). Oleh karenanya ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang sifat neraka, Dia mengatakan,

الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ

“Yang (membakar) sampai ke jantung.” (QS. Al-Humazah : 7)

Api yang ada dunia, dia membakar mulai dari luar dan masuk ke dalam tubuh secara perlahan-lahan. Berbeda dengan api neraka, ketika dia telah membakar maka akan langsung membakar luar dan dalam sekaligus. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa neraka Saqar jika telah membakar, maka tidak akan ada yang disisakan sedikitpun.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَوَّاحَةٌ لِلْبَشَرِ

“Yang menghanguskan kulit manusia.”  (QS. Al-Muddatstsir : 29)

Sebagian para ulama mengatakan bahwa jika neraka Saqar telah membakar, maka akan menjadi hitam melebihi hitamnya gelap malam karena saking panasnya api neraka Saqar. ([48])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ

“Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” (QS. Al-Muddatstsir : 30)

Tatkala ayat ini diturunkan, sebagian orang-orang kafir menjadi sesumbar, di antaranya adalah Abu Jahal. Abu Jahal berkata,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، أَمَا يَسْتَطِيعُ كُلُّ عَشْرَةٍ مِنْكُمْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ فَتَغْلِبُونَهُمْ

“Wahai orang-orang Quraisy, tidakkah setiap sepuluh orang dari kalian mampu mengalahkan satu (malaikat) dari mereka? Pastilah kamu dapat mengalahkan mereka.”([49])

Abu Jahal dengan sombongnya, dia sesumbar untuk mau melawan satu malaikat dengan sepuluh orang dari kaum Quraisy. Kemudian di antara orang-orang yang sesumbar lainnya adalah Abu Al-Asyaddain Al-Jumahiy yang nama aslinya adalah Usaid bin Kaldah bin Khalaf Al-Jumahy. Dia lebih sombong dengan berkata,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، اكْفُونِي مِنْهُمُ اثْنَيْنِ وَأَنَا أَكْفِيكُمْ مِنْهُمْ سَبْعَةَ عَشَرَ

“Wahai orang-orang Quraisy, kalian hadapi dua dari mereka (penjaga neraka itu). Dan serahkan tujuh belas kepadaku aku yang menghadapinya.”([50])

Kalau Abu Jahal ingin melawan satu malaikat dengan sepuluh orang, berbeda dengan Usaid bin Kaldah yang dia ingin melawan 17 malaikat seorang diri.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ

“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka kecuali hanya dari para malaikat; dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin, agar orang yang beriman bertambah imannya, agar orang-orang yang diberi kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu; dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (berkata), ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Dan Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS. Al-Muddatstsir : 31)

Firman Allah :

وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka kecuali hanya dari para malaikat; dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir.”

Kata فِتْنَةً (fitnah) dalam ayat ini memiliki dua tafsiran ([51]).

Tafsiran pertama, fitnah maskudnya adalah siksaan. Sehingga sembilan belas penjaga neraka tersebut akan menyiksa orang-orang kafir di neraka jahannam.

Tafsiran kedua, fitnah maksudnya adalah cobaan. Yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala membuat angka sembilan belas itu untuk menguji, apakah orang-orang akan beriman atau tidak. Dan terbukti bahwa orang-orang kafir sesumbar dengan jumlah yang disebutkan, sementara mereka tidak tahu bahwa malaikat memiliki kekuatan yang sangat hebat. Sampai-sampai disebutkan oleh para Ahli Tafsir bahwa yang menghancurkan kaum Luth hanyalah malaikat Jibril sendiri. Maka bagaimana lagi dengan malaikat penjaga neraka? Yang Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang sifat-sifat mereka,

عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)

لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ

“Agar orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin.”

Para ulama menyebutkan bahwa dahulu di dalam Al-Kitab (Injil atau Taurat) tertulis bahwa jumlah penjaga neraka adalah sembilan belas ([52]). Sehingga seharusnya ketika ayat ini turun, para Ahli Kitab itu semakin yakin bahwa Alquran itu benar dan cocok dengan apa yang disebutkan dalam Al-Kitab.

وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ

“Dan agar orang yang beriman bertambah imannya, agar orang-orang yang diberi kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu.”

Demikianlah orang-orang beriman tidak ragu dengan turunnya ayat ini, melainkan mereka semakin yakin.

وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا

“Dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (berkata), ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?’.”

Yang dimaksud dengan orang yang berpenyakit dalam ayat ini bukanlah orang-orang munafik. Karena ayat ini adalah ayat Makkiyah, sedangkan orang-orang munafik baru muncul setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Akan tetapi yang dimaksud dengan orang yang berpenyakit di dalam hatinya adalah orang-orang yang ragu untuk masuk Islam seperti Al-Walid Ibnul Mughirah. ([53])

كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ

“Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Dan Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.”

Sebagian ulama menyebutkan bahwa angka sembilan belas yang Allah Subhanahu wa ta’ala itu hanyalah penjaga utama dari neraka ([54]). Adapun berapa jumlah malaikat di dalamnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang mengetahui berapa banyak jumlah malaikat yang akan menyiksa penghuni neraka kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa jumlah malaikat penjaga neraka hanyalah sembilan belas sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan, dan tidak lebih dari itu, karena untuk menunjukkan bahwa malaikat hanyalah simbol, dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan dengan malaikat ([55]). Jika Allah Subhanahu wa ta’ala hanya ingin menjadikan malaikat penjaga neraka hanya satu, dua atau tiga, maka itu semua mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala karena segalanya atas perintah-Nya. Sehingga menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan ribuan malaikat untuk menyiksa seluruh manusia yang disiksa di neraka, melainkan sembilan belas cukup sebagai simbol.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَلَّا وَالْقَمَرِ، وَاللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ، وَالصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ

“Sekali-kali tidak. Demi bulan, dan demi malam ketika telah berlalu, dan demi subuh apabila mulai terang.” (QS. Al-Muddatstsir : 32-34)

Tiga jenis kondisi Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini menjelaskan tentang adanya cahaya yang muncul di tengah-tengah kegelapan. Rembulan bercahaya di gelapnya malam, ketika malam telah berlalu juga menunjukkan adanya cahaya yang merobek kegelapan malam, dan ketika subuh setelah semakin terang. Kondisi-kondisi ini mengisyaratkan bahwa Alquran adalah cahaya di tengah gelapnya kesyirikan orang-orang kafir Quraisy. Maka seharusnya orang-orang yang cerdas itu bisa mendapatkan petunjuk dengan cahaya tersebut. ([56])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ، نَذِيرًا لِلْبَشَرِ

“Sesunggunya (Saqar itu) adalah salah satu (bencana) yang sangat besar, sebagai peringatan bagi manusia.” (QS. Al-Muddatstsir : 35-36)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Al-Walid Ibnul Mughirah berpikir keras untuk mencela Alquran. Dan ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kepadanya azab berupa neraka Saqar. Ini menunjukkan bahwasanya bukan hanya amalan kita yang akan diperhitungkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, melainkan pemikiran kita juga akan diperhitungkan. Karena ada yang namanya amal badan dan amal fikri. Oleh karenanya tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Semua amalan tergantung niatnya.”([57])

Al-Imam Ash-Shan’ani([58]) menjelaskan bahwasanya amal yang dimaksud dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sifatnya umum sehingga mencakup tentang amal fikri. Oleh karenanya jika sekiranya seseorang berpikir tentang maslahat dakwah, meskipun belum berbuat maka dia akan mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau tersenyum saja Allah tidak lupa untuk memberikan pahala, maka bagaimana lagi dengan berpikir dalam hal kebaikan yang memakan waktu yang lama? Tentunya ada pahala yang Allah siapkan.

Oleh karenanya seseorang ingat bahwasanya berpikir juga akan dinilai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Berpikir kebaikan akan mendatangkan pahala, namun berhati-hati karena jika berpikir keburukan akan mendatangkan dosa.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang ingin maju atau mundur.” (QS. Al-Muddatstsir : 37)

Apa maksudnya maju mundur? Ada yang mengatakan maksudnya adalah yang maju untuk kebaikan, dan mundur dari ketaatan menuju kepada kemaksiatan ([59]). Artinya adalah ayat ini memberikan pilihan kepada seseorang untuk menentukan amalannya, baik itu dia memilih amalan yang mengantarkannya kepada neraka atau memilih amalan yang mengantarkannya kepada surga.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ، إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya, kecuali golongan kanan (penghuni surga).”

Banyak tafsir tentang ayat ini. Akan tetapi sebagian pendapat menyebutkan bahwasanya setiap orang yang memiliki dosa pasti bertanggung jawab dengan dosanya, kecuali para penghuni surga yang dosa-dosa mereka diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala ([60]). Di antara alasan mereka diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala adalah karena timbangan amal kebaikan mereka jauh lebih berat sehingga mereka tidak bertanggung jawab dengan dosa-dosanya karena telah diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ، عَنِ الْمُجْرِمِينَ

“Di dalam surga, mereka (penduduk surga) saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Muddatstsir : 40-41)

Penduduk surga kelak mereka akan saling bertanya-tanya tentang bagaimana nasib orang-orang yang berbuat dosa, orang-orang yang berbuat zalim yang mereka kenal tatkala di dunia.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ

“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” (QS. Al-Muddatstsir : 42)

Secara zahir, ayat ini menunjukkan terjadi dialog antara penghuni surga dan penghuni neraka. Dan banyak ayat yang menunjukkan bahwa penghuni surga berdialog dengan penghuni neraka, di antaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَنَادَى أَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابَ النَّارِ أَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالُوا نَعَمْ فَأَذَّنَ مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ أَنْ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan para penghuni surga menyeru kepada penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-A’raf : 44)

Maka dalam ayat ini penghuni surga juga berdialog dengan penghuni neraka. Kita mungkin akan bingung membayangkan tentang bagaimana cara penghuni surga berdialog dengan penghuni neraka. Para ulama zaman dahulu yang belum tahu kecanggihan menyebutkan bahwa bisa jadi penghuni surga dari atas melihat jauh ke bawah kepada penghuni neraka. Dan tatkala mereka bertanya, maka Allah berikan ilham sehingga perkataan penghuni surga dipahami oleh penghuni neraka, demikian pula sebaliknya jika penghuni neraka berkata kepada penghuni surga ([61]). Akan tetapi jika kita analogikan pada zaman sekarang, berbicara dengan seseorang yang berbeda tempat sangat mudah untuk dilakukan dengan video call atau yang lainnya. Maksudnya adalah kondisi penduduk surga dan neraka berdialog itu adalah hal yang mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, adapun bagaimana caranya itu menjadi urusan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Maka ketika penghuni neraka ditanya tentang mengapa mereka dimasukkan ke dalam neraka Saqar, para penghuni neraka menjawab,

قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Mereka menjawab, ‘Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.” (QS. Al-Muddatstsir : 43)

Penghuni neraka tidak mengatakan bahwa dahulu mereka berzina, maka riba, atau berbuat zalim, melainkan mereka mengatakan bahwa sebabnya adalah karena mereka tidak shalat. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat adalah dosa yang lebih besar daripada zina, riba, dan yang lainnya.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

“Dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Muddatstsir : 44)

Kalau sebelumnya jawaban mereka berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah, maka ini berkaitan hubungan dengan manusia. Dan perkataan penghuni neraka ini menunjukkan buruknya pelit. Dan telah dibahas pada pembahasannya sebelumnya bahwa pelit adalah di antara dosa yang bisa membuat orang terjerumus ke dalam neraka jahannam. Mereka menahan-nahan hartanya karena merasa bahwa hartanya akan membuatnya panjang umur. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ، الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ، كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah.” (QS. Al-Humazah : 1-4)

Sesungguhnya banyak tidaknya harta seseorang tidak akan menambah umur seseorang meskipun hanya sedetik. Betapa banyak orang yang kaya raya meninggal dalam kekayaannya sebagaimana orang miskin juga meninggal dalam kemiskinannya. Dan sifat pelit adalah sifat orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr : 20)

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.” (QS. Al-‘Adiyat : 8)

وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

“Dan (mereka) tidak mendorong memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un : 3)

Dan masih banyak ayat yang lain di dalam Alquran yang menunjukkan bahwa orang-orang kafir ciri-cirinya adalah pelit. Maka ketika seseorang bersikap pelit artinya dia sedang berakhlak dengan akhlak orang kafir.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman melanjutkan perkataan penghuni neraka,

وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ، وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ، حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Dan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya (orang kafir).” (QS. Al-Muddatstsir : 45)

Maksudnya adalah dahulu penghuni neraka itu berdalam-dalam berbincang-bincang bersama orang kafir untuk menghina Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tenggelam dalam kebatilan untuk membantah kebenaran, akhirnya mereka pun mendustakan hari kiamat hingga datang kematian kepada mereka. ([62])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (QS. Al-Muddatstsir : 48)

Syafaat tidak lagi berguna bagi mereka karena mereka kafir, dan syafaat memang tidak berguna bagi orang-orang kafir. Dan ayat ini merupakan dalil bahwasanya syafaat itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. ([63])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ، كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ، فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ

“Lalu mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)? seakan-akan mereka keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa.” (QS. Al-Muddatstsir : 49-51)

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala kembali lagi kepada orang-orang kafir Quraisy. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa mereka itu ibarat himar (keledai) liar yang lari kabur dengan sangat jauh. Disebutkan bahwa himar liar itu jika ada gerakan sedikit saja maka dia akan kabur. Maka demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala mengumpamakan orang-orang kafir. Ketika orang-orang kafir mendengarkan Alquran atau dakwah, maka mereka akan kabur karena tidak mau mendengarkan peringatan Allah Subhanahu wa ta’ala seperti himar liar yang kabur dari kejaran singa. ([64])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

بَلْ يُرِيدُ كُلُّ امْرِئٍ مِنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُنَشَّرَةً

Bahkan setiap orang dari mereka ingin agar diberikan kepadanya lembaran-lembaran (kitab) yang terbuka.” (QS. Al-Muddatstsir : 52)

Ayat ini dibawakan kepada dua makna ([65]):

Makna pertama adalah orang-orang kafir meminta untuk dibawakan kitab dari langit secara langsung. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang perkataan orang-orang kafir,

وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ

“Dan kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu sebelum engkau turunkan kepada kami sebuah kitab untuk kami baca.” (QS. Al-Isra’ : 93)

Makna kedua adalah orang-orang kafir meminta bukti kebenaran perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang catatan amal kebaikan dan keburukan yang akan diperlihatkan kepada masing-masing orang pada hari kiamat. Artinya mereka menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berangan-berangan catatan kebaikan keburukan itu diperlihatkan kepada mereka sekarang di dunia.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَلَّا بَلْ لَا يَخَافُونَ الْآخِرَةَ، كَلَّا إِنَّهُ تَذْكِرَةٌ، فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ، وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

“Sekali-kali tidak! Sebenarnya mereka tidak takut kepada akhirat. Tidak! Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar suatu peringatan. Tidak! Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar suatu peringatan. Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya (Al-Qur’an) kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dialah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampunan.” (QS. Al-Muddatstsir : 53-56)

Sungguh benar bahwasanya Allah adalah Ahlul Maghfirah (Yang berkah memberi ampunan). Seorang penyair berkata,

أَلَا يَا اِرْحَمُوْنِي يَا إِلَهَ مُحَمَّـدٍ فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَهْلاً فَأَنْتَ لَهُ أَهْلٌ

“Rahmatilah aku wahai Tuhannya Muhammad. Jika aku tidak pantas untuk diampuni, sesungguhnya Engkau pantas untuk mengampuni.”

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah sangat mudah untuk mengampuni hamba-hamba-Nya. Sehingga ini adalah berita gembira bagi orang-orang yang masih terjerumus dalam dosa agar segera kembali dan tidak putus asa dari kasih sayang Allah Subhanahu wa ta’ala.

________________________________________________________________________

([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, dan dia mengatakan ini adalah pendapat semua ulama.

([2]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 6/271

([3]) Lihat: Fathul Qadir 5/318

([4]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 895

([5]) HR. Ibnu Majah no. 164

([6]) Lihat: Fathul Bari 8/52

([7]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 895

([8])  Fathul Qadir 5/394

([9]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/61 dan At-Tahrir wat Tanwir 29/294

([10])  HR. Bukhari no. 441

([11]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 895

([12])  Kitab At-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab 1/21

([13]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/62

([14])  HR. Ibnu Majah no. 275; HR. Abu Daud no. 618; HR. At-Tirmidzi no. 238; dan HR. Ahmad no. 1009

([15]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/296

([16]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/272

([17])  Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/65-66

([18]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/67

([19]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 23/410

([20]) Dua penafsiran ini banyak dicantumkan di kitab-kitab tafsir ulama salah satunya di kitab Tafsir Al-Qurthubi 19/67 yang beliau mencantumkan sebelas penafsiran dalam ayat ini.

([21]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 895

([22])  Tafsir Ath-Thabari 23/18

([23]) Lihat: Tafsri As-Sa’di hal. 896

([24]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 896

([25]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 896

([26]) Tafsir Al-Qurthubi 19/71

([27]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/71

([28]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/70

([29]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/303

([30]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/304

([31]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/304

([32]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/72

([33]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/305

([34]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/72

([35]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/306-307

([36]) Lihat: Tafsir At-Thobari 23/426

([37]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/73

([38]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/306

([39])  Abu Jahal dan Al-Walid Ibnul Mughirah adalah sama-sama berasal dari Bani Makhzum. Sementara kabilah Makhzum adalah saingan bagi kabilah Bani Hasyim yang merupakan kabilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua kabilah ini senantiasa bersaing untuk meraih ketenaran dan kemuliaan di hadapan kabilah-kabilah Arab Quraisy secara khusus dan kabilah Arab seluruhnya, sehingga kedua kabilah ini terus bersaing dan tidak ada yang bisa menyaingi kabilah Bani Hasyim kecuali kabilah Bani Makhzum. Jika Bani Hasyim memberi makan bagi jamaah haji, maka Bani Makhzum juga akan bersedekah memberi makan bagi jamaah haji. Jika Bani Hasyim banyak membantu orang-orang susah, maka Bani Makhzum juga akan membantu orang-orang susah. Maka tatkala muncul seorang Nabi dari Bani Hasyim bernama Muhammad bin Abdullah, maka Bani Makhzum tidak bisa memiliki Nabi. Untuk menyaingi Bani Hasyim dalam hal ini (memiliki Nabi) agar persaingan tetap setara, maka Bani Makhzum berupaya untuk tidak mengakui Nabi dari Bani Hasyim dan harus didustakan. Jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Bani Hasyim tidak didustakan, maka Bani Makhzum akan kalah. Dan yang jadi masalah ketika itu adalah pemimpin Bani Makhzum Al-Walid Ibnul Mughirah sudah mulai bermain-main untuk bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Abu Jahal menganggap bahwa kedatangan Al-Walid Ibnul Mughirah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah malapetaka bagi Bani Makhzum, karena jika sampai Al-Walid Ibnul Mughirah masuk Islam, maka semua Bani Makhzum akan masuk Islam.

([40])  HR. Al-Hakim no. 3872 dalam Al-Mustadrak, juga disebutkan dalam Syu’abul Iman no. 133

([41])  Tafsir Ibnu Katsir 8/267

([42]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/75

([43]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/309-310

([44]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/310

([45]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/310

([46]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/77

Surga disebut دَرَجَاتٌ yang artinya bertingkat-tingkat ke atas. Adapun neraka jahannam itu disebut دَرَكَاتٌ yang artinya bertingkat ke bawah.

([47]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/77

([48]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/77

([49]) Tafsir Ibnu Katsir 19/80

([50]) Tafsir Ibnu Katsir 19/80

([51]) Lihat: Fathul Qadir 5/396

([52]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/82

([53]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/317

([54]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/79

([55]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/317

([56]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir  29/322

([57])  HR. Bukhari no. 1 dan HR. Muslim no. 1907

([58])  Dalam kitabnya al-Úddah (Syarh Úmdatil Ahkaam) pada syarah hadits yang pertama

([59]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/86

([60]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/86

([61]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 8/136.

Ibnu ‘Asyur ketika menafsirkan surat al-A’rof: 44, ia berkata:

وَهَذَا النِّدَاءُ خِطَابٌ مِنْ أَصْحَابِ الْجَنَّةِ، عَبَّرَ عَنْهُ بِالنِّدَاءِ كِنَايَةً عَنْ بُلُوغِهِ إِلَى أَسْمَاعِ أَصْحَابِ النَّارِ مِنْ مَسَافَةٍ سَحِيقَةِ الْبُعْدِ، فَإِنَّ سِعَةَ الْجَنَّةِ وَسِعَةَ النَّارِ تَقْتَضِيَانِ ذَلِكَ لَا سِيَّمَا قَوْلِهِ: وَبَيْنَهُما حِجابٌ [الْأَعْرَاف: 46] ، وَوَسِيلَةُ بُلُوغِ هَذَا الْخِطَابِ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَى أَصْحَابِ النَّارِ وَسِيلَةٌ عَجِيبَةٌ غَيْرُ مُتَعَارَفَةٍ.

“ dan panggilan ini berasal dari penduduk surga yang diungkapkan dengan panggilan sebagai kinayah dari sampainya panggilan tersebut ke telinga-para penduduk neraka dari jarak yang sangat jauh, karena luasnya surga dan luasnya neraka melazimkan hal tersebut, terlebih lagi firmannya {di antara keduanya ada hijab/penghalang} QS. Al-A’raf: 46, dan perantara sampainya panggilan ini dari surga ke penduduk neraka adalah perantara yang sangat menakjubkan dan tidak diketahui.”

([62]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/88

([63]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/88

([64]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/89, dan ini penafsiran Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.

([65]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/90