Bagaimanakah analisis peluang kerajinan tangan berbahan dasar kayu rotan dan bambu

Selasa, 27 Nopember 2007

PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN INDONESIA

Dalam rangka menampilkan hasil terbaik dari desain produk industri  furniture rotan dan kerajinan rotan Indonesia serta peningkatan promosi dan pemasaran pengembangan industri pengolah rotan nasional maka diadakan pameran Produk Furniture Rotan dan Kerajinan Rotan Indonesia, pameran ini diikuti oleh  produsen furniture dan kerajinan rotan Indonesia,yang tergabung dalam anggota ASMINDO dan AMKRI.  Pameran ini diselenggarakan dari tanggal 27 sampai dengan 30 Nopember 2007.

Untuk meningkatkan daya saing industri pengolahan rotan nasional  dapat dilihat dari  perkembangan industri rotan  sebagai berikut :  

1.  Potensi Bahan Baku Rotan

 Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia, diperkirakan 80%  bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti : Philippina, Vietnam dan negara-negara Asia lainnya.

Daerah penghasil rotan yaitu  P. Kalimantan, P. Sumatera, P. Sulawesi dan P. Papua dengan potensi rotan  Indonesia sekitar 622.000 ton/Tahun

 2.  Perkembangan Industri Pengolahan Rotan (2003- 2006 )   

Pada periode 2003 – 2006, kapasitas industri pengolahan rotan nasional hanya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,38% per tahun atau hanya meningkat dari 545.405 ton/tahun menjadi 551.585 ton/tahun dan realisasi produksinya menurun dari 381.784 ton pada tahun 2003, menjadi 372.761 ton pada tahun 2006 atau mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata - 0,79% per tahun.

Volume ekspor Rotan olahan mengalami penurunan dari 193.078 ton pada tahun 2003 menjadi 172.782 ton pada tahun 2006 atau turun rata-rata sebesar – 3,63% per tahun, namun di sisi lain nilainya meningkat dari US$ 359 juta menjadi US$ 399 juta atau naik rata-rata 3,58% per tahun. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan harga jual ekspor per satuan produk rotan olahan. Sementara itu untuk impor  rotan olahan, meskipun volume dan nilainya  relatif kecil dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya, namun pertumbuhannya sangat pesat, sehingga perlu diwaspadai baru pada periode 2003 – 2006, impor rotan olahan meningkat dari 788 ton (senilai US$ 1,41 juta) meningkat  menjadi 2.709 ton (senilai US$ 3,74 juta) atau volume impor mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 50,92% per tahun, sedangkan nilainya naik rata-rata sebesar 38,43% per tahun.

Industri rotan sebagian besar berlokasi di Cirebon dan sekitarnya. Pada periode 2001 – 2004, baik jumlah perusahaan, produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami peningkatan, dimana jumlah perusahaan meningkat dari 923 unit usaha menjadi 1.060 unit usaha, produksi meningkat dari 62.707 ton menjadi 91.181 ton, ekspor meningkat dari 32.871 ton (senilai US$ 101,67 juta) menjadi 51.544 ton (senilai US$ 116.572 juta) dan penyerapan tenaga kerja meningkat dari 51.432 orang menjadi 61.140 orang. Namun sejak tahun 2005, baik produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dan penurunan tersebut berlanjut pada tahun 2006.

Pada tahun 2007, beberapa produsen mebel rotan di Cirebon mengalami penurunan produksi, diantaranya yang semula dapat mengekspor sebanyak 120 kontainer per bulan, saat ini hanya mampu mengekpor 15–20 kontainer, bahkan sudah ada yang tidak berproduksi lagi. Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan baku rotan yang berkualitas, namun sebaliknya di negara pesaing bahan baku tersebut lebih mudah didapatkan. Akibatnya banyak pengusaha rotan kecil yang semula sebagai sub kontraktor tidak memperoleh pekerjaan lagi, sehingga menimbulkan banyak pengangguran. Disamping itu, juga berdampak terhadap terhambatnya pengembalian kredit oleh industri pengolahan rotan ke perbankan (alias kredit macet). Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka bisa jadi industri pengolahan rotan akan menjadi semakin terpuruk.

Penurunan industri pengolahan rotan, baik yang terjadi pada skala nasional maupun di sentra industri Cirebon sejak tahun 2005 disinyalir penyebabnya adalah dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah jadi (ditambah lagi dengan mengalirnya bahan baku rotan ke luar negeri secara illegal), mengakibatkan industri pengolahan rotan di dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Di lain pihak, industri pengolahan rotan di negara-negara pesaing, terutama China dan Taiwan berkembang lagi secara pesat, sehingga merebut pangsa pasar dan potensi pasar ekspor produk rotan dari Indonesia.

Disisi lain ekspor produk rotan China yang pada pada tahun 2002 masih berimbang dengan Indonesia sebesar US $ 340.000, pada tahun 2006 telah meningkat 4 kali lipat, sementara Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan kegiatan ekspor produk rotannya  menurun.

3.  Kebijakan di Bidang Perotanan dan Dampaknya Terhadap Industri Rotan Nasional

Sebelum tahun 1986, Indonesia merupakan pengekspor bahan baku rotan terbesar di dunia, sedangkan industri pengolahan rotan nasional pada saat itu belum berkembang.

Sejak tahun 1986, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan, industri pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu meningkat dari hanya 20 perusahaan menjadi 300 perusahaan. Sementara itu, industri pengolahan rotan di luar negeri (Taiwan dan Eropa) yang bahan bakunya mengandalkan pasokan dari Indonesia banyak yang mengalami kebangkrutan dan mengalihkan usahanya ke Indonesia, khususnya di daerah Cirebon.

 Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku rotan dibuka kembali pada tahun 2005, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, industri pengolahan rotan nasional perkembangannya mulai terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, sehingga  berdampak pada terjadinya pengangguran, kredit macet, berkurangnya perolehan devisa dan menurunnya kontribusi industri pengolahan rotan nasional dalam pembentukan PDB. Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China, Taiwan dan Italia industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan berkembang sangat pesat.

4. Permasalahan yang dihadapi Industri Pengolahan Rotan antara lain

·   Bahan Baku

Industri pengolahan rotan nasional mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku yangdisebabkan antara lain adanya kebijakan ekspor bahan baku rotan  serta masih maraknya penyelundupan rotan ke luar negeri

Produksi penguasaan teknologi finishing masih ketinggalan  serta desain produk-produk rotan olahan masih ditentukan oleh pembeli dari luar negeri (job order).

·   Pemasaran

Masih lemahnya market intelligence, mengakibatkan terbatasnya informasi pasar ekspor.

5. Strategi Pengembangan

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan rotan tersebut diatas dikembangkan strategi sebagai berikut :

Peninjauan kembali kebijakan ekspor bahan baku rotan serta   peningkatan pemberantasan penyelundupan rotan ke luar negeri.

Peningkatan kemampuan market intelligence, dengan mengoptimalkan fungsi Atperindag dan perwakilan diplomatik di luar negeri, aktif mengikuti event-event pameran produk rotan yang bergengsi di Luar Negeri.

6.  Tindak lanjut Kebijakan

Untuk membangkitkan kembali industri pengolahan rotan nasional diperlukan dukungan dari semua pihak (pemangku kepentingan) untuk saling bekerjasama secara sinergis dengan mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi, kelompok maupun sektoral.

Perlu dilakukan peninjauan kembali tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005, dalam rangka menjamin kontinuitas pasokan bahan baku rotan di dalam negeri, serta peningkatan daya saing produk barang jadi rotan di luar negeri.

Departemen Perindustrian

 Biro Umum dan Humas

 PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN INDONESIA

Dalam rangka menampilkan hasil terbaik dari desain produk industri  furniture rotan dan kerajinan rotan Indonesia serta peningkatan promosi dan pemasaran pengembangan industri pengolah rotan nasional maka diadakan pameran Produk Furniture Rotan dan Kerajinan Rotan Indonesia, pameran ini diikuti oleh  produsen furniture dan kerajinan rotan Indonesia,yang tergabung dalam anggota ASMINDO dan AMKRI.  Pameran ini diselenggarakan dari tanggal 27 sampai dengan 30 Nopember 2007.

Untuk meningkatkan daya saing industri pengolahan rotan nasional  dapat dilihat dari  perkembangan industri rotan  sebagai berikut :  

1.  Potensi Bahan Baku Rotan

 Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia, diperkirakan 80%  bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti : Philippina, Vietnam dan negara-negara Asia lainnya.

Daerah penghasil rotan yaitu  P. Kalimantan, P. Sumatera, P. Sulawesi dan P. Papua dengan potensi rotan  Indonesia sekitar 622.000 ton/Tahun

 2.  Perkembangan Industri Pengolahan Rotan (2003- 2006 )   

Pada periode 2003 – 2006, kapasitas industri pengolahan rotan nasional hanya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,38% per tahun atau hanya meningkat dari 545.405 ton/tahun menjadi 551.585 ton/tahun dan realisasi produksinya menurun dari 381.784 ton pada tahun 2003, menjadi 372.761 ton pada tahun 2006 atau mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata - 0,79% per tahun.

Volume ekspor Rotan olahan mengalami penurunan dari 193.078 ton pada tahun 2003 menjadi 172.782 ton pada tahun 2006 atau turun rata-rata sebesar – 3,63% per tahun, namun di sisi lain nilainya meningkat dari US$ 359 juta menjadi US$ 399 juta atau naik rata-rata 3,58% per tahun. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan harga jual ekspor per satuan produk rotan olahan. Sementara itu untuk impor  rotan olahan, meskipun volume dan nilainya  relatif kecil dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya, namun pertumbuhannya sangat pesat, sehingga perlu diwaspadai baru pada periode 2003 – 2006, impor rotan olahan meningkat dari 788 ton (senilai US$ 1,41 juta) meningkat  menjadi 2.709 ton (senilai US$ 3,74 juta) atau volume impor mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 50,92% per tahun, sedangkan nilainya naik rata-rata sebesar 38,43% per tahun.

Industri rotan sebagian besar berlokasi di Cirebon dan sekitarnya. Pada periode 2001 – 2004, baik jumlah perusahaan, produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami peningkatan, dimana jumlah perusahaan meningkat dari 923 unit usaha menjadi 1.060 unit usaha, produksi meningkat dari 62.707 ton menjadi 91.181 ton, ekspor meningkat dari 32.871 ton (senilai US$ 101,67 juta) menjadi 51.544 ton (senilai US$ 116.572 juta) dan penyerapan tenaga kerja meningkat dari 51.432 orang menjadi 61.140 orang. Namun sejak tahun 2005, baik produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dan penurunan tersebut berlanjut pada tahun 2006.

Pada tahun 2007, beberapa produsen mebel rotan di Cirebon mengalami penurunan produksi, diantaranya yang semula dapat mengekspor sebanyak 120 kontainer per bulan, saat ini hanya mampu mengekpor 15–20 kontainer, bahkan sudah ada yang tidak berproduksi lagi. Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan baku rotan yang berkualitas, namun sebaliknya di negara pesaing bahan baku tersebut lebih mudah didapatkan. Akibatnya banyak pengusaha rotan kecil yang semula sebagai sub kontraktor tidak memperoleh pekerjaan lagi, sehingga menimbulkan banyak pengangguran. Disamping itu, juga berdampak terhadap terhambatnya pengembalian kredit oleh industri pengolahan rotan ke perbankan (alias kredit macet). Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka bisa jadi industri pengolahan rotan akan menjadi semakin terpuruk.

Penurunan industri pengolahan rotan, baik yang terjadi pada skala nasional maupun di sentra industri Cirebon sejak tahun 2005 disinyalir penyebabnya adalah dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah jadi (ditambah lagi dengan mengalirnya bahan baku rotan ke luar negeri secara illegal), mengakibatkan industri pengolahan rotan di dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Di lain pihak, industri pengolahan rotan di negara-negara pesaing, terutama China dan Taiwan berkembang lagi secara pesat, sehingga merebut pangsa pasar dan potensi pasar ekspor produk rotan dari Indonesia.

Disisi lain ekspor produk rotan China yang pada pada tahun 2002 masih berimbang dengan Indonesia sebesar US $ 340.000, pada tahun 2006 telah meningkat 4 kali lipat, sementara Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan kegiatan ekspor produk rotannya  menurun.

3.  Kebijakan di Bidang Perotanan dan Dampaknya Terhadap Industri Rotan Nasional

Sebelum tahun 1986, Indonesia merupakan pengekspor bahan baku rotan terbesar di dunia, sedangkan industri pengolahan rotan nasional pada saat itu belum berkembang.

Sejak tahun 1986, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan, industri pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu meningkat dari hanya 20 perusahaan menjadi 300 perusahaan. Sementara itu, industri pengolahan rotan di luar negeri (Taiwan dan Eropa) yang bahan bakunya mengandalkan pasokan dari Indonesia banyak yang mengalami kebangkrutan dan mengalihkan usahanya ke Indonesia, khususnya di daerah Cirebon.

 Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku rotan dibuka kembali pada tahun 2005, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, industri pengolahan rotan nasional perkembangannya mulai terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, sehingga  berdampak pada terjadinya pengangguran, kredit macet, berkurangnya perolehan devisa dan menurunnya kontribusi industri pengolahan rotan nasional dalam pembentukan PDB. Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China, Taiwan dan Italia industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan berkembang sangat pesat.

4. Permasalahan yang dihadapi Industri Pengolahan Rotan antara lain

·   Bahan Baku

Industri pengolahan rotan nasional mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku yangdisebabkan antara lain adanya kebijakan ekspor bahan baku rotan  serta masih maraknya penyelundupan rotan ke luar negeri

Produksi penguasaan teknologi finishing masih ketinggalan  serta desain produk-produk rotan olahan masih ditentukan oleh pembeli dari luar negeri (job order).

·   Pemasaran

Masih lemahnya market intelligence, mengakibatkan terbatasnya informasi pasar ekspor.

5. Strategi Pengembangan

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan rotan tersebut diatas dikembangkan strategi sebagai berikut :

Peninjauan kembali kebijakan ekspor bahan baku rotan serta   peningkatan pemberantasan penyelundupan rotan ke luar negeri.

Peningkatan kemampuan market intelligence, dengan mengoptimalkan fungsi Atperindag dan perwakilan diplomatik di luar negeri, aktif mengikuti event-event pameran produk rotan yang bergengsi di Luar Negeri.

6.  Tindak lanjut Kebijakan

Untuk membangkitkan kembali industri pengolahan rotan nasional diperlukan dukungan dari semua pihak (pemangku kepentingan) untuk saling bekerjasama secara sinergis dengan mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi, kelompok maupun sektoral.

Perlu dilakukan peninjauan kembali tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005, dalam rangka menjamin kontinuitas pasokan bahan baku rotan di dalam negeri, serta peningkatan daya saing produk barang jadi rotan di luar negeri.

Departemen Perindustrian

 Biro Umum dan Humas

 PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN INDONESIA

Dalam rangka menampilkan hasil terbaik dari desain produk industri  furniture rotan dan kerajinan rotan Indonesia serta peningkatan promosi dan pemasaran pengembangan industri pengolah rotan nasional maka diadakan pameran Produk Furniture Rotan dan Kerajinan Rotan Indonesia, pameran ini diikuti oleh  produsen furniture dan kerajinan rotan Indonesia,yang tergabung dalam anggota ASMINDO dan AMKRI.  Pameran ini diselenggarakan dari tanggal 27 sampai dengan 30 Nopember 2007.

Untuk meningkatkan daya saing industri pengolahan rotan nasional  dapat dilihat dari  perkembangan industri rotan  sebagai berikut :  

1.  Potensi Bahan Baku Rotan

 Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia, diperkirakan 80%  bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti : Philippina, Vietnam dan negara-negara Asia lainnya.

Daerah penghasil rotan yaitu  P. Kalimantan, P. Sumatera, P. Sulawesi dan P. Papua dengan potensi rotan  Indonesia sekitar 622.000 ton/Tahun

 2.  Perkembangan Industri Pengolahan Rotan (2003- 2006 )   

Pada periode 2003 – 2006, kapasitas industri pengolahan rotan nasional hanya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,38% per tahun atau hanya meningkat dari 545.405 ton/tahun menjadi 551.585 ton/tahun dan realisasi produksinya menurun dari 381.784 ton pada tahun 2003, menjadi 372.761 ton pada tahun 2006 atau mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata - 0,79% per tahun.

Volume ekspor Rotan olahan mengalami penurunan dari 193.078 ton pada tahun 2003 menjadi 172.782 ton pada tahun 2006 atau turun rata-rata sebesar – 3,63% per tahun, namun di sisi lain nilainya meningkat dari US$ 359 juta menjadi US$ 399 juta atau naik rata-rata 3,58% per tahun. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan harga jual ekspor per satuan produk rotan olahan. Sementara itu untuk impor  rotan olahan, meskipun volume dan nilainya  relatif kecil dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya, namun pertumbuhannya sangat pesat, sehingga perlu diwaspadai baru pada periode 2003 – 2006, impor rotan olahan meningkat dari 788 ton (senilai US$ 1,41 juta) meningkat  menjadi 2.709 ton (senilai US$ 3,74 juta) atau volume impor mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 50,92% per tahun, sedangkan nilainya naik rata-rata sebesar 38,43% per tahun.

Industri rotan sebagian besar berlokasi di Cirebon dan sekitarnya. Pada periode 2001 – 2004, baik jumlah perusahaan, produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami peningkatan, dimana jumlah perusahaan meningkat dari 923 unit usaha menjadi 1.060 unit usaha, produksi meningkat dari 62.707 ton menjadi 91.181 ton, ekspor meningkat dari 32.871 ton (senilai US$ 101,67 juta) menjadi 51.544 ton (senilai US$ 116.572 juta) dan penyerapan tenaga kerja meningkat dari 51.432 orang menjadi 61.140 orang. Namun sejak tahun 2005, baik produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dan penurunan tersebut berlanjut pada tahun 2006.

Pada tahun 2007, beberapa produsen mebel rotan di Cirebon mengalami penurunan produksi, diantaranya yang semula dapat mengekspor sebanyak 120 kontainer per bulan, saat ini hanya mampu mengekpor 15–20 kontainer, bahkan sudah ada yang tidak berproduksi lagi. Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan baku rotan yang berkualitas, namun sebaliknya di negara pesaing bahan baku tersebut lebih mudah didapatkan. Akibatnya banyak pengusaha rotan kecil yang semula sebagai sub kontraktor tidak memperoleh pekerjaan lagi, sehingga menimbulkan banyak pengangguran. Disamping itu, juga berdampak terhadap terhambatnya pengembalian kredit oleh industri pengolahan rotan ke perbankan (alias kredit macet). Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka bisa jadi industri pengolahan rotan akan menjadi semakin terpuruk.

Penurunan industri pengolahan rotan, baik yang terjadi pada skala nasional maupun di sentra industri Cirebon sejak tahun 2005 disinyalir penyebabnya adalah dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah jadi (ditambah lagi dengan mengalirnya bahan baku rotan ke luar negeri secara illegal), mengakibatkan industri pengolahan rotan di dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Di lain pihak, industri pengolahan rotan di negara-negara pesaing, terutama China dan Taiwan berkembang lagi secara pesat, sehingga merebut pangsa pasar dan potensi pasar ekspor produk rotan dari Indonesia.

Disisi lain ekspor produk rotan China yang pada pada tahun 2002 masih berimbang dengan Indonesia sebesar US $ 340.000, pada tahun 2006 telah meningkat 4 kali lipat, sementara Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan kegiatan ekspor produk rotannya  menurun.

3.  Kebijakan di Bidang Perotanan dan Dampaknya Terhadap Industri Rotan Nasional

Sebelum tahun 1986, Indonesia merupakan pengekspor bahan baku rotan terbesar di dunia, sedangkan industri pengolahan rotan nasional pada saat itu belum berkembang.

Sejak tahun 1986, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan, industri pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu meningkat dari hanya 20 perusahaan menjadi 300 perusahaan. Sementara itu, industri pengolahan rotan di luar negeri (Taiwan dan Eropa) yang bahan bakunya mengandalkan pasokan dari Indonesia banyak yang mengalami kebangkrutan dan mengalihkan usahanya ke Indonesia, khususnya di daerah Cirebon.

 Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku rotan dibuka kembali pada tahun 2005, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, industri pengolahan rotan nasional perkembangannya mulai terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, sehingga  berdampak pada terjadinya pengangguran, kredit macet, berkurangnya perolehan devisa dan menurunnya kontribusi industri pengolahan rotan nasional dalam pembentukan PDB. Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China, Taiwan dan Italia industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan berkembang sangat pesat.

4. Permasalahan yang dihadapi Industri Pengolahan Rotan antara lain

·   Bahan Baku

Industri pengolahan rotan nasional mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku yangdisebabkan antara lain adanya kebijakan ekspor bahan baku rotan  serta masih maraknya penyelundupan rotan ke luar negeri

Produksi penguasaan teknologi finishing masih ketinggalan  serta desain produk-produk rotan olahan masih ditentukan oleh pembeli dari luar negeri (job order).

·   Pemasaran

Masih lemahnya market intelligence, mengakibatkan terbatasnya informasi pasar ekspor.

5. Strategi Pengembangan

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan rotan tersebut diatas dikembangkan strategi sebagai berikut :

Peninjauan kembali kebijakan ekspor bahan baku rotan serta   peningkatan pemberantasan penyelundupan rotan ke luar negeri.

Peningkatan kemampuan market intelligence, dengan mengoptimalkan fungsi Atperindag dan perwakilan diplomatik di luar negeri, aktif mengikuti event-event pameran produk rotan yang bergengsi di Luar Negeri.

6.  Tindak lanjut Kebijakan

Untuk membangkitkan kembali industri pengolahan rotan nasional diperlukan dukungan dari semua pihak (pemangku kepentingan) untuk saling bekerjasama secara sinergis dengan mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi, kelompok maupun sektoral.

Perlu dilakukan peninjauan kembali tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005, dalam rangka menjamin kontinuitas pasokan bahan baku rotan di dalam negeri, serta peningkatan daya saing produk barang jadi rotan di luar negeri.

Departemen Perindustrian

 Biro Umum dan Humas

 PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN INDONESIA

Dalam rangka menampilkan hasil terbaik dari desain produk industri  furniture rotan dan kerajinan rotan Indonesia serta peningkatan promosi dan pemasaran pengembangan industri pengolah rotan nasional maka diadakan pameran Produk Furniture Rotan dan Kerajinan Rotan Indonesia, pameran ini diikuti oleh  produsen furniture dan kerajinan rotan Indonesia,yang tergabung dalam anggota ASMINDO dan AMKRI.  Pameran ini diselenggarakan dari tanggal 27 sampai dengan 30 Nopember 2007.

Untuk meningkatkan daya saing industri pengolahan rotan nasional  dapat dilihat dari  perkembangan industri rotan  sebagai berikut :  

1.  Potensi Bahan Baku Rotan

 Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia, diperkirakan 80%  bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti : Philippina, Vietnam dan negara-negara Asia lainnya.

Daerah penghasil rotan yaitu  P. Kalimantan, P. Sumatera, P. Sulawesi dan P. Papua dengan potensi rotan  Indonesia sekitar 622.000 ton/Tahun

 2.  Perkembangan Industri Pengolahan Rotan (2003- 2006 )   

Pada periode 2003 – 2006, kapasitas industri pengolahan rotan nasional hanya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,38% per tahun atau hanya meningkat dari 545.405 ton/tahun menjadi 551.585 ton/tahun dan realisasi produksinya menurun dari 381.784 ton pada tahun 2003, menjadi 372.761 ton pada tahun 2006 atau mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata - 0,79% per tahun.

Volume ekspor Rotan olahan mengalami penurunan dari 193.078 ton pada tahun 2003 menjadi 172.782 ton pada tahun 2006 atau turun rata-rata sebesar – 3,63% per tahun, namun di sisi lain nilainya meningkat dari US$ 359 juta menjadi US$ 399 juta atau naik rata-rata 3,58% per tahun. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan harga jual ekspor per satuan produk rotan olahan. Sementara itu untuk impor  rotan olahan, meskipun volume dan nilainya  relatif kecil dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya, namun pertumbuhannya sangat pesat, sehingga perlu diwaspadai baru pada periode 2003 – 2006, impor rotan olahan meningkat dari 788 ton (senilai US$ 1,41 juta) meningkat  menjadi 2.709 ton (senilai US$ 3,74 juta) atau volume impor mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 50,92% per tahun, sedangkan nilainya naik rata-rata sebesar 38,43% per tahun.

Industri rotan sebagian besar berlokasi di Cirebon dan sekitarnya. Pada periode 2001 – 2004, baik jumlah perusahaan, produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami peningkatan, dimana jumlah perusahaan meningkat dari 923 unit usaha menjadi 1.060 unit usaha, produksi meningkat dari 62.707 ton menjadi 91.181 ton, ekspor meningkat dari 32.871 ton (senilai US$ 101,67 juta) menjadi 51.544 ton (senilai US$ 116.572 juta) dan penyerapan tenaga kerja meningkat dari 51.432 orang menjadi 61.140 orang. Namun sejak tahun 2005, baik produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dan penurunan tersebut berlanjut pada tahun 2006.

Pada tahun 2007, beberapa produsen mebel rotan di Cirebon mengalami penurunan produksi, diantaranya yang semula dapat mengekspor sebanyak 120 kontainer per bulan, saat ini hanya mampu mengekpor 15–20 kontainer, bahkan sudah ada yang tidak berproduksi lagi. Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan baku rotan yang berkualitas, namun sebaliknya di negara pesaing bahan baku tersebut lebih mudah didapatkan. Akibatnya banyak pengusaha rotan kecil yang semula sebagai sub kontraktor tidak memperoleh pekerjaan lagi, sehingga menimbulkan banyak pengangguran. Disamping itu, juga berdampak terhadap terhambatnya pengembalian kredit oleh industri pengolahan rotan ke perbankan (alias kredit macet). Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka bisa jadi industri pengolahan rotan akan menjadi semakin terpuruk.

Penurunan industri pengolahan rotan, baik yang terjadi pada skala nasional maupun di sentra industri Cirebon sejak tahun 2005 disinyalir penyebabnya adalah dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah jadi (ditambah lagi dengan mengalirnya bahan baku rotan ke luar negeri secara illegal), mengakibatkan industri pengolahan rotan di dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Di lain pihak, industri pengolahan rotan di negara-negara pesaing, terutama China dan Taiwan berkembang lagi secara pesat, sehingga merebut pangsa pasar dan potensi pasar ekspor produk rotan dari Indonesia.

Disisi lain ekspor produk rotan China yang pada pada tahun 2002 masih berimbang dengan Indonesia sebesar US $ 340.000, pada tahun 2006 telah meningkat 4 kali lipat, sementara Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan kegiatan ekspor produk rotannya  menurun.

3.  Kebijakan di Bidang Perotanan dan Dampaknya Terhadap Industri Rotan Nasional

Sebelum tahun 1986, Indonesia merupakan pengekspor bahan baku rotan terbesar di dunia, sedangkan industri pengolahan rotan nasional pada saat itu belum berkembang.

Sejak tahun 1986, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan, industri pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu meningkat dari hanya 20 perusahaan menjadi 300 perusahaan. Sementara itu, industri pengolahan rotan di luar negeri (Taiwan dan Eropa) yang bahan bakunya mengandalkan pasokan dari Indonesia banyak yang mengalami kebangkrutan dan mengalihkan usahanya ke Indonesia, khususnya di daerah Cirebon.

 Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku rotan dibuka kembali pada tahun 2005, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, industri pengolahan rotan nasional perkembangannya mulai terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, sehingga  berdampak pada terjadinya pengangguran, kredit macet, berkurangnya perolehan devisa dan menurunnya kontribusi industri pengolahan rotan nasional dalam pembentukan PDB. Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China, Taiwan dan Italia industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan berkembang sangat pesat.

4. Permasalahan yang dihadapi Industri Pengolahan Rotan antara lain

·   Bahan Baku

Industri pengolahan rotan nasional mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku yangdisebabkan antara lain adanya kebijakan ekspor bahan baku rotan  serta masih maraknya penyelundupan rotan ke luar negeri

Produksi penguasaan teknologi finishing masih ketinggalan  serta desain produk-produk rotan olahan masih ditentukan oleh pembeli dari luar negeri (job order).

·   Pemasaran

Masih lemahnya market intelligence, mengakibatkan terbatasnya informasi pasar ekspor.

5. Strategi Pengembangan

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan rotan tersebut diatas dikembangkan strategi sebagai berikut :

Peninjauan kembali kebijakan ekspor bahan baku rotan serta   peningkatan pemberantasan penyelundupan rotan ke luar negeri.

Peningkatan kemampuan market intelligence, dengan mengoptimalkan fungsi Atperindag dan perwakilan diplomatik di luar negeri, aktif mengikuti event-event pameran produk rotan yang bergengsi di Luar Negeri.

6.  Tindak lanjut Kebijakan

Untuk membangkitkan kembali industri pengolahan rotan nasional diperlukan dukungan dari semua pihak (pemangku kepentingan) untuk saling bekerjasama secara sinergis dengan mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi, kelompok maupun sektoral.

Perlu dilakukan peninjauan kembali tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005, dalam rangka menjamin kontinuitas pasokan bahan baku rotan di dalam negeri, serta peningkatan daya saing produk barang jadi rotan di luar negeri.

Departemen Perindustrian

 Biro Umum dan Humas

Share:
Bagaimanakah analisis peluang kerajinan tangan berbahan dasar kayu rotan dan bambu
Bagaimanakah analisis peluang kerajinan tangan berbahan dasar kayu rotan dan bambu