Asas yang dipakai dalam perjanjian internasional adalah.... jawaban anda


#Jawaban di bawah ini, bisa saja salah karena si penjawab bisa saja bukan ahli dalam pertanyaan tersebut. Pastikan mencari jawaban dari berbagai sumber terpercaya, sebelum mengklaim jawaban tersebut adalah benar. Selamat Belajar..#


Answered by ### on Sat, 25 Jun 2022 22:16:14 +0700 with category IPS and was viewed by 345 other users

Jawaban:

1. Pacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda adalah asas pertama yang harus diterima dan dilaksanakan oleh negara-negara subyek perjanjian internasional. Asas ini dapat juga disebut sebagai asas kepastian hukum jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Karenanya, asas ini mengharuskan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian internasional untuk senantiasa menaati ketentuan, keputusan, ketetapan, dan kesepakatan yang tertera dalam dokumen perjanjian internasional. Apabila terdapat negara atau pihak yang tidak menaati isi dari asas-asas perjanjian internasional, maka negara atau pihak lain yang merasa kepentingan dirinya dicederai dapat mengadukan negara yang melanggar tersebut kepada mahkamah internasional untuk nantinya diadili oleh mereka.

2. Egality Rights

Egality Rights secara harfiah dapat diartikan kesamaan hak-hak. Namun, secara internasional dapat dipahami bahwa egality rights adalah suatu asas kesamaan derajat. Asas ini menuntut semua pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional setara derajatnya. Tidak boleh ada perbedaan derajat yang dapat menyebabkan kesenjangan dalam perjanjian internasional. Baik negara maju maupun negara berkembang, mereka mempunyai hak dan derajat yang sama di dalam perjanjian internasional. Asas ini muncul karena trauma masa lalu yang berasal dari terjadinya perang dunia pertama dan kedua serta masa penjajahan dari bangsa-bangsa barat jauh sebelum itu. Negara yang dijajah dicederai haknya karena negara yang menjajah merasa martabatnya lebih tinggi dari para pribumi.

3. Reciprocity

Dalam bahasa fisika mungkin kita dapat mengartikan reciprocity sebagai besarnya aksi sama dengan besarnya reaksi. Namun dalam konteks perjanjian internasional, reciprocity biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi asas timbal balik. Asas ini mengharuskan bahwa dalam perjanjian internasional, semua pihak yang terlibat memiliki keuntungan yang sama dalam asas-asas perjanjian internasional yang mereka berada di dalamnya tersebut. Jika terdapat ketimpangan kepentingan atau keuntungan yang terjadi selama perencanaan, maka negara yang merasa dirugikan dapat memperjuangkan haknya untuk mendapat keuntungan yang sama, dan pihak lainnya harus mendukung negara yang dirugikan tersebut untuk menemukan win win solutions alias penyelesaian masalah yang berkeadilan.

4. Bonafides

Bonafides, sebuah istilah dari bahasa Latin yang diserap ke dalam bahasa Inggris dan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi itikad frasa yang baik atau niat yang baik, jadi kita simpulkan saja bahwa bonafides berarti asas itikad baik. Sesuai asas ini, perjanjian internasional haruslah berdasarkan itikad baik yang muncul dari nurani bangsa-bangsa yang terlibat dalam perjanjian internasional. Dengan adanya itikad baik, maka nantinya semua tahapan perjanjian internasional akan dilaksanakan dengan baik pula. Itikad baik pula yang nantinya akan menjadi penyelesaian masalah apabila terjadi situasi yang tidak terduga atau tidak diinginkan. Niat baik di antara negara yang menjadi subyek perjanjian internasional juga akan mengeratkan hubungan diplomatik di antara mereka semua.

5. Courtesy

Asas kelima dalam perjanjian internasional adalah courtesy atau asas kehormatan. Asas ini mengharuskan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian internasional untuk saling menghormati. Saling menghormati disini berarti menghormati semua hal dari negara lainnya selama hal tersebut tidak melanggar perjanjian internasional dan aspek turunannya. Sudah sepantasnya setiap negara saling menghormati karena seperti yang telah diwajibkan dalam asas egality rights, semua negara sama derajatnya dalam perjanjian internasional.

6. Rebus sic Stantibus

Satu lagi istilah dalam bahasa Latin yang muncul sebagai asas perjanjian internasional. Asas Rebus sic Stantibus dapat dimaknai sebagai suatu asas yang mengizinkan penangguhan atau perubahan pada perjanjian dengan alasan yang fundamental atau mendasar. Asas ini diatur dalam konvensi Wina, yaitu pada seksi 3 (pengakhiran atau pengakhiran perjanjian internasional). Alasan yang fundamental ini contohnya yaitu kesepakatan semua pihak, tujuan perjanjian telah tercapai, terjadi pelanggaran perjanjian, dan sebagainya.

Demikianlah asas-asas dari perjanjian internasional yang dapat penulis sampaikan dalam kesempatan ini. Semoga pembaca dapat dengan

Penjelasan:

Baca Juga: Coba Buat gambar ilustrasi berdasarkan cerita yang anda buat!​


en.dhafi.link Merupakan Website Kesimpulan dari forum tanya jawab online dengan pembahasan seputar pendidikan di indonesia secara umum. website ini gratis 100% tidak dipungut biaya sepeserpun untuk para pelajar di seluruh indonesia. saya harap pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi para pelajar yang sedang mencari jawaban dari segala soal di sekolah. Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga sehat selalu.

Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber utama hukum internasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Sedangkan definisi dari perjanjian internasional (treaty) jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 adalah sebagai berikut:

“treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;

Berdasarkan definisi di atas, pada intinya yang dimaksud dengan treaty atau perjanjian internasional adalah kesepakatan internasional yang dibuat antar negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional.

Perlu diperhatikan, Konvensi Wina 1969 memang merupakan salah satu instrumen utama dalam hukum internasional yang mengatur tentang perjanjian internasional. Akan tetapi, keberlakukan aturan dalam konvensi tersebut terbatas hanya terhadap perjanjian antar negara, dan tidak berlaku untuk perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional.

Dalam hukum internasional, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional diatur dalam konvensi terpisah yakni Konvensi Wina 1986.

Pemisahan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa kewenangan membuat perjanjian internasional oleh organisasi internasional berlainan dengan kewenangan membuat perjanjian internasional oleh negara, demikian pula prosedur untuk membuat perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara berbeda dengan prosedur yang dilakukan oleh organisasi internasional.[1]

Karena adanya perbedaan prosedur tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami akan fokus membahas proses/tahapan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat oleh negara saja.

Tahapan Perjanjian Internasional

Selanjutnya, menyambung pertanyaan Anda, apa saja tahapan dalam proses pembuatan perjanjian internasional? Pada pokoknya, ada 3 tahapan pembuatan perjanjian internasional adalah sebagai berikut:[2]

Tahapan perjanjian internasional adalah dimulai dari perundingan, di mana biasanya didahului oleh pendekatan-pendekatan oleh pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian internasional, atau yang dalam bahasa diplomatik dikenal dengan lobbying. Lobbying dapat dilakukan secara formal maupun secara nonformal. Bila dalam lobbying telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu masalah, maka kemudian diadakan perundingan secara resmi yang akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi mewakili negaranya, menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan mengesahkannya.[3]

Orang-orang yang berwenang mewakili negaranya ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969, di antaranya yaitu kepala negara (seperti presiden), kepala pemerintahan (seperti perdana Menteri), dan menteri luar negeri.

Dalam tahapan perundingan ini terdapat juga proses penerimaan teks (adoption of the text),[4] di mana para pihak yang berunding merumuskan teks dari perjanjian yang kemudian diterima oleh masing-masing pihak peserta perundingan. Penerimaan naskah/teks dalam konferensi yang melibatkan banyak negara dilakukan dengan persetujuan 2/3 dari negara yang hadir dan menggunakan suaranya, kecuali jika 2/3 negara tersebut setuju untuk memberlakukan ketentuan lain.[5]

Setelah adanya penerimaan teks dalam tahapan perundingan, tahapan perjanjian internasional selanjutnya adalah dilakukan pengesahan teks yang telah diterima oleh peserta perundingan tadi.[6] Proses pengesahan teks perjanjian internasional dilakukan sesuai kesepakatan para peserta perundingan, atau dengan pembubuhan tanda tangan wakil negara dalam teks perjanjian internasional tersebut.[7] 

Menurut Pasal 1 angka 2 UU 24/2000, ratifikasi merupakan salah satu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Namun, dari perspektif hukum perjanjian internasional, proses ratifikasi ini tak selalu diperlukan agar sebuah perjanjian internasional bisa berlaku mengikat terhadap suatu negara. Hal ini dikarenakan, bisa saja peserta perundingan perjanjian internasional menyepakati bahwa penandatanganan perjanjian saja sudah cukup menandakan persetujuan negara terhadap perjanjian tersebut.[8]

Proses ratifikasi ini diperlukan, di antaranya jika teks perjanjian internasional terkait menyatakan bahwa persetujuan negara untuk terikat ditunjukkan dengan cara ratifikasi.[9]

Di Indonesia, ratifikasi sebagai pengesahan perjanjian internasional ini dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.[10]

Baca juga: Status Hukum UU Ratifikasi

Sebagai catatan, selain ratifikasi, ada juga berbagai cara lainnya untuk menunjukkan persetujuan sebuah negara untuk terikat kepada perjanjian internasional, seperti aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Penggunaan cara-cara tersebut bisa dilakukan tergantung kepada persetujuan para pihak dan ketentuan dalam perjanjian internasional.[11]

Singkatnya, 3 tahapan perjanjian internasional adalah terdiri dari awal pembentukannya melalui perundingan hingga berlaku mengikat ke sebuah negara misalnya dengan ratifikasi sebagaimana kami jelaskan di atas.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Hukumonline Bagi-Bagi THR! Buat ucapan Selamat Lebaran dengan menggunakan dua istilah hukum di kolom comment Instagram Hukumonline selama periode 20 - 25 April 2022. Ada total hadiah Rp1,5jt untuk para pemenang dengan ucapan yg paling menarik dan kreatif. Yuk segera ikutan di sini!

Demikian jawaban dari kami tentang tahapan perjanjian internasional, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. I Made Pasek Diantha, dkk. Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016;
  2. Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.

[1] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 4

[2] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 25; I Made Pasek Diantha, dkk. Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016, hal. 19

[3] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 24-25

[4] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 29

[6] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 29

[7] Pasal 10 Konvensi Wina 1969

[8] Pasal 12 ayat (1) huruf b Konvensi Wina 1969

[9] Pasal 14 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969

[11] Pasal 11 Konvensi Wina 1969