Apa yang terjadi bila masyarakat indonesia tidak mengenakan baju adat

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua DPR Puan Maharani mengangkat pentingnya menghargai baju adat dari berbagai daerah di Indonesia sebagai representasi kebhinekaan Indonesia. 

Puan juga mengingatkan bahwa Tanah Air terdiri dari 34 provinsi yang semuanya punya ciri khas masing-masing sehingga adanya keragaman itu adalah hal wajar.

"Pakaian adat adalah representasi nilai-nilai dari daerahnya masing-masing. Itu juga merupakan representasi seni. Jadi, kita harus kedepankan. Jangan malu untuk membanggakan pakaian adat masing-masing, setiap elemennya bisa kita bawa dalam kehidupan sehari-hari," ujar Puan dalam keterangan tertulisnya.

Puan menyatakan bahwa jajaran pemerintahan dan dewan perwakilan rakyat, termasuk dirinya, kerap kali memakai pakaian adat di waktu-waktu tertentu. Hal itu dimaksudkan untuk memperlihatkan keragaman Indonesia.

Selain itu, memakai pakaian adat turut pula menjadi perwakilan pesan bahwa di tengah keragaman ini, kita tetap bisa bersatu sebagai bangsa yang utuh. Puan menyebutkan bahwa nilai inilah yang jangan sampai dilupakan masyarakat.

Berita Terkait : LaNyalla: Impor Bukan Solusi Atas Tingginya Harga Jagung

"Banyak yang tanya, kenapa sih pemerintah atau DPR kalau momen rapat itu pakai pakaian daerah, tujuannya kita ingin mengingatkan keragaman Indonesia dan persatuan bangsa. Tanah Air disusun dari berbagai budaya yang membuat kita kuat. Jangan lupakan itu," ujar Puan.

Puan mengatakan pula bahwa keragaman adalah kekayaan bangsa yang harus dijaga. "Dari banyaknya perbedaan, kita bisa mengambil banyak sumber ide. Pemikiran-pemikiran inovatif yang memajukan bangsa," kata Puan.

"Kita harus melihat perbedaan di Tanah Air ini sebagai kunci untuk berkolaborasi membangun bangsa dalam nilai yang unik. Jangan malah menjadi hal yang harus dipermasalahkan dan diperuncing," lanjut Politisi PDI Perjuangan itu.

Puan memandang pula bahwa pakaian adat adalah salah satu kekayaan dari budaya Indonesia. Perwakilan norma-norma kebudayaan daerah ada di dalamnya.

"Pakaian adat itu jangan hanya dipandang jadi pelindung tubuh. Lebih dari itu adalah nilai kemasyarakatan kita yang santun dan penuh keindahan. Itulah identitas kita," ujar Puan.

Berita Terkait : Jaga Kedaulatan NKRI, HNW Ingatkan Pentingnya Rawat Persatuan Umat

Puan memandang bahwa kecantikan jenis kain untuk bahan pakaian adat, hingga warna-warni baju adat itu mewakili keindahan Indonesia dan masyrakatnya. Maka, Puan meminta masyarakat segenap bangsa untuk mengembalikan nilai luhur yang telah diwariskan oleh pendahulu Nusantara untuk bersatu dalam keragaman.

“Ingatlah leluhur kita mewariskan nilai-nilai dan budi perketi yang baik. Menurunkan tata kemasyarakatan dan norma sosial yang positif. Itu semua untuk selalu dijaga dan dipelihara, serta ditularkan lagi pada generasi penerus bangsa,” ucap Puan.

Menurut Puan, pakaian adat juga bisa menjadi benteng moral bangsa. Hal ini bisa disadari ketika melihat keindahan dan kesantunan yang dibawa dalam pakaian adat berbagai suku dari Indonesia. Semuanya mengingatkan kembali pribadi yang dibawa dalam setiap pakaian adat itu sendiri.

"Memakai pakaian adat itu memang tidak bisa diterapkan dalam aktivitas kita sehari-hari. Tapi, elemennya selalu bisa dibawa dan diaplikasikan. Untuk menjadi pengingat kita bahwa Indonesia sangat kaya akan kebudayaan dan warisan nilai-nilai positifnya,” ujar perempuan pertama yang jadi Ketua DPR RI itu.

Puan menuturkan bahwa dirinya sendiri sangat menikmati momen ketika bisa memakai pakaian adat dari daerah mana pun di Indonesia, terutama bila mewakili daerah kelahiran orang tuanya. Misalnya, ketika dirinya memakai pakaian adat Bali Payas Agung atau pakaian adat Sumatera Barat Bundo Kandung.

Berita Terkait : Terbitkan Telegram, Kapolri Minta Anak Buahnya Tak Reaktif Hadapi Rakyat

“Setiap kali ada momen menggunakan pakaian adat, itu membuat saya senang sekali. Saya merasa percaya diri karena menjadi representasi kekayaan budaya Indonesia. Itu adalah momen saya menunjukkan bangsa ini sangat beragam dan penuh kedalaman budaya. Apalagi, saya sebagai Ketua DPR yang diperhatikan bukan saja oleh Indonesia, tapi dunia. Saya mewakili Indonesia untuk memperlihatkan budaya bangsa,” ujar cucu Bung Karno Itu.

Menurut Puan, #perempuanIndonesia juga sangat cantik bila tampil dalam balutan busana adat Indonesia. Puan berharap semakin banyak masyarakat Indonesia yang terpacu dekat dengan budaya daerahnya masing-masing, baik itu laki-laki atau perempuan.

“Kecantikan perempuan Indonesia sangat terpancar ketika memakai pakaian adat atau baju-baju khas daerah. Yang laki-laki juga jadi lebih tampan. Sangat terlihat Indonesianya,” kata mantan Menko PMK itu.

Ke depannya, Puan berharap masyarakat bisa makin menghargai pakaian adat sekaligus melihat keragaman Indonesia sebagai sebuah kunci kesuksesan bangsa. “Kita bersatu dalam keragaman, keindahan nusa dan bangsa,” kata Puan. [EFI]

Menindaklanjuti terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pelestarian Kebudayaan Daerah, Bupati Kuningan menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pakaian Dinas di Lingkup Pemerintah Kabupaten Kuningan. Dalam Peraturan Bupati tersebut diatur ketentuan berpakaian bagi ASN laki-laki dan perempuan berikut model, atribut dan kelengkapan lainnya. 

Pemberlakuan waktu pakaian tersebut tertuang dalam surat edaran Bupati Nomor : 800/357/ORG&PA tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil dan Non Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang menyebutkan bahwa, setiap hari kamis pada minggu keempat setiap pegawai diwajibkan memakai pakaian adat daerah.

Pemandangan tersebut terlihat di kantor-kantor Pemerintah Kabupaten Kuningan Kamis (28/02/2019). Seperti nampak di Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Kuningan mereka terlihat kompak dan bersemangat mengenakan pakaian adat daerah, mereka menggunakan pakaian adat sunda, kebaya bagi perempuan dan pangsi bagi laki-laki.

“Ini sebagai upaya pemerintah Kabupaten Kuningan dalam melestarikan (ngamumule) dan mengangkat budaya dan adat sunda. Untuk itu, pemerintah wajib untuk kembali melestarikan budaya tersebut salah satunya dengan pakaian adat.” kata Bupati H. Acep Purnama sesaat sebelum memimpin rapat di ruang rapat Linggarjati Setda Kabupaten Kuningan. 

Lebih lanjut Bupati Acep mengatakan, “Pengenaan pakaian adat ini juga untuk memperkenalkan kepada generasi-generasi muda bahwa pakaian adat sunda harus tetap ada dan lestari, karena kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikannya.”

Ditempat yang sama, Kepala bagian Humas setda Kabupaten Kuningan Dr. Wahyu Hidayah M.Si menyampaikan hal serupa. “Menyampaikan pesan Pak Bupati, kedepan diharapkan semua pegawai BUMN, BUMD, Bank milik Pemerintah dan Bank swasta serta dinas/instansi lainnya yang ada di Kabupaten Kuningan diharapkan dapat mengikuti aturan ini, sehingga dampaknya akan terasa semakin baik, “ jelas Wahyu.

“Penggunaan pakaian adat ini agar masyarakat Kabupaten Kuningan mencintai pakaian adatnya sebagi identitas diri. Dan diharapkan masyarakat Kabupaten Kuningan menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan penggunaan pakaian adat ini, ini juga untuk mengangkat perekonomian masyarakat di sektor UMKM karena para pengrajin pakaian adat dibanjiri pesanan.” pungkasnya.

HAMPIR saban tahun masyarakat menyaksikan ”parade” baju adat yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sehari sebelum upacara tujuh belasan, saat berpidato di sidang bersama DPD dan DPR RI, Jokowi memakai pakaian adat Sasak. Sementara itu, tepat saat upacara Hari Ulang Tahun Ke-74 Republik Indonesia (17-8-2019), Jokowi tampil dengan mengenakan baju adat Bali. Hampir semua tamu undangan yang datang juga berlomba-lomba memakai baju adat dari berbagai daerah di Indonesia.

Pakaian adat menjadi simbol tentang keragaman Indonesia, terdiri atas berbagai suku dan etnis. Dominasi jas dan songkok hitam yang selama ini sering dijumpai pada upacara-upacara kenegaraan, hari itu tak tampak. Kita melekatkan gagasan dan wacana lewat sandang. Apa yang kita pakai akan merepresentasikan dari mana kita berasal, bagaimana karakter dan kultur yang dibangun. Karena berbusana adat berarti mencoba menunjukkan eksistensi diri dan sekaligus penguatan tentang identitas kebangsaan negeri ini.

Tak Sekadar Kain

Baju bukan semata rajutan benang yang menutupi tubuh. Baju menjadi benda eksistensial. Baju menunjukkan harga diri. Karena itu, penilaian akan seseorang sering dilakukan lewat seperangkat baju yang dikenakannya. Baju kemudian menjadi pengisahan tentang kaya dan miskin, kota dan desa, serta kuno dan kini.

Masyarakat Indonesia menempatkan sandang pada urutan pertama, diikuti pangan dan papan. Hal itu berarti bahwa baju adalah pemuliaan tentang kebijaksanaan hidup, menempatkan manusia sebagai ”manusia”, membedakan diri dengan makhluk lain. Tradisi kemudian memberikan penekanan tentang makna sandang atas nama baju adat.

Baju adat melekatkan dirinya dengan simbol-simbol dan nilai-nilai yang hakiki. Persoalan warna, bahan, dan jahitan bukanlah peristiwa yang sepele, tapi cenderung kompleks dan rigid. Kekompleksan dan kerigidan itu adalah hasil akumulatif dari perenungan dan pengembaraan makna yang panjang.

Karena itu, berbaju adat menumbuhkan kebanggan dan kecintaan. Kita dipersatukan lewat baju adat yang kita pakai. Sekat-sekat dan batas antara kaya-miskin serta tinggi-rendah, oposisi-koalisi, menjadi hilang. Dengan berbaju adat, semua setara dan seimbang. Tidak ada kalah-menang, superior-inferior, besar-kecil.

Hal itu sekaligus mendekonstruksi pandangan kaum kapitalis yang menempatkan baju sebagai pemujaan akan modernitas. Baju-pakaian atas nama zaman selalu berubah, dari bentuk dan gaya. Masyarakat mengikuti agar tidak dikata ketinggalan zaman, katrok, udik, dan ndeso.

Namun, sejatinya semua kembali pada persoalan hitung-hitungan untung rugi yang kapitalistik. Model, gaya, dan bentuk sengaja dilahirkan demi pamrih kapital. Wacana dan stereotipe dibangun lewat baju. Kita kemudian memberikan dikotomi antara yang pantas dan tak pantas untuk dipakai.

Di balik ingar bingar baju-baju baru, kita seringkali melupakan baju adat sebagai sebuah pewarisan tradisi. Bahkan, tak jarang baju adat berhadapan dengan berbagai penilaian yang cenderung merendahkan, berkonotasi negatif, kuno, terbelakang. Memakainya memunculkan rasa minder dan malu. Sama dengan musik tradisi, memainkannya melahirkan cibiran dan sindiran.

Karena itu, memakai baju adat dalam berbagai seremonial dan upacara kenegaraan (terutama hari kemerdekaan beberapa tahun belakangan) adalah sebuah harapan baru bagi nasib hidup baju-baju adat di negeri ini agar tak melulu dianggap berpamit mati. Setidaknya, berbaju adat memberikan teladan berharga bagi generasi (milenial) negeri ini. Berbaju adat dapat memberikan penyegaran dalam kemonotonan berbusana saban hari.

Selama ini nasib hidup baju adat semata hanya menjadi gugusan wacana dan ide bagi para desainer, agar rancangannya dianggap eksentrik karena berbasis tradisi. Baju adat berpendar dalam wacana, tapi tak dapat tampil secara imanen alias mandiri.

Tak ada salahnya pula jika dapat dibentuk hari baju adat nasional, di mana setiap orang dengan berbagai latar suku dan etnis memakai baju adat versi mereka. Hal yang lebih penting adalah menggelorakan wacana dan pemikiran baru, bahwa berbaju adat adalah sebuah kebanggan diri.

Dalam deklarasi itu, kita melihat parade baju adat dipertontonkan. Tradisi memberikan penguatan untuk semakin menumbuhkan kecintaan bagi Indonesia. Hal tersebut juga menjadi semacam oase di kala akhir-akhir ini gejolak menentang pluralisme gencar terjadi. Paham-paham radikal yang berusaha menyeragamkan manusia Indonesia bermunculan, bahkan sering menggunakan agama sebagai kedok.

Oleh karena itu, menunjukkan kekayaan tradisi yang kita miliki menjadi detoksifikasi atas semua itu. Perayaan hari kemerdekaan adalah sarana aktualisasi untuk kembali mengingatkan tentang arti penting perbedaan.

Bukankah kebudayaan nasional dibangun dari puncak-puncak kebudayaan daerah yang berbeda itu? Berbaju adat, bermusik tradisi, berbahasa daerah, adalah sebentuk penghargaan bagi Indonesia dalam menjaga marwah keindonesiaan kita di hari ini.

Aris Setiawan, esasis, pengajar di ISI Surakarta