Apa saja hal hal yang disebutkan dalam nash

Jakarta -

Qiyas adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Dalam hal ini, qiyas menempati posisi keempat, setelah Al Quran, hadits, dan ijma.

Secara bahasa, kata qiyas (قياس ) berasal dari akar kata qaasa-yaqishu-qiyaasan (قياسا يقيس قاس) yang artinya pengukuran. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan qiyas dalam redaksi yang beragam namun memiliki makna yang sama.

Menurut istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat atau kemaslahatan yang diperhatikan syara. Qiyas juga dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain.

Al Ghazali dalam al-Mustashfa mengartikan qiyas adalah menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang lain dalam menetapkan hukum atau meniadakan hukum dari keduanya. Penetapan atau peniadaan ini dilakukan karena adanya kesamaan di antara keduanya.

Dalam buku Ushul Fiqih Jilid I yang ditulis oleh Amir Syarifudin, dijelaskan bahwa kasus-kasus tertentu yang hukumnya ditetapkan Allah SWT sering memiliki kesamaan dengan kasus lain yang hukumnya tidak ditetapkan. Sehingga, atas kesamaan sifat tersebut, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus serupa yang lain.

Imam Syafi'i menyebut kedudukan qiyas lebih lemah daripada ijma. Sehingga, qiyas menduduki tempat terakhir dalam kerangka sumber hukum Islam. Dalam kitab Ar-Risalah karangannya, Imam Syafi'i mengatakan bahwa antara qiyas dan ijtihad adalah dua kata yang bermakna satu.

Berikut dasar penggunaan dan rukun qiyas

A. Dasar penggunaan qiyas

Mayoritas ulama melakukan qiyas atas dasar perintah untuk mengambil pelajaran atau berijtihad. Menurut jumhur ulama, qiyas termasuk mengambil pelajaran dari suatu peristiwa. Dikutip dari buku Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat oleh Ahmad Sarwat, dasar qiyas juga merujuk pada surat An Nisa ayat 59, yaitu perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasul.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ - ٥٩

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)

Dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib, Al-Fahru ar-Razi menafsirkan bahwa maksud dari mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul dalam ayat tersebut adalah perintah untuk menggunakan qiyas. Pendapat ini diperkuat dengan penggunaan Quran dan Sunnah Rasulullah SAW dalam qiyas, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam istilah qiyas.

B. Rukun qiyas

Dikutip dari buku Ushul Fiqih oleh Amrullah Hayatudin, qiyas terdiri dari empat rukun dan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Antara lain sebagai berikut:

1. Ashl

Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik dalam nash maupun ijma. Ashl sering disebut sebagai musyabbah bih atau yang diserupai dan maqis 'alaih atau tempat mengqiyaskan. Dalam arti sederhana, ashl adalah kasus yang akan digunakan sebagai ukuran atau pembanding.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ashl untuk dapat dijadikan qiyas. Ashl harus memiliki hukum yang bersifat tetap. Ketetapan hukum tersebut harus berdasar pada jalur sam'isyar'i bukan aqli. Jalur ini juga digunakan untuk mengetahui illat pada ashl.

Selain itu, ketetapan hukum pada ashl harus bukan berdasarkan qiyas, melainkan karena nash atau ijma. Ashl juga tidak diperbolehkan keluar dari aturan-aturan qiyas.

2. Far'u

Far'u adalah kasus yang akan dicari hukumnya atau disamakan dengan kasus yang sudah ada hukumnya. Beberapa syarat yang menjadikan far'u dapat ditetapkan dalam qiyas antara lain far'u belum memiliki hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma, harus ditemukan illat ashl pada far'u dengan kadar sempurna dan tidak boleh kurang dari kadar illat yang terdapat pada ashl.

3. Hukum Ashl

Hukum ashl adalah hukum syara yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum terhadap far'u.

4. Illat

Secara bahasa, illat dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi landasan dalam hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan kemaslahatan yang diperhatikan syara. Illat inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan qiyas.

Simak Video "KuTips: Tips Betah Baca Al-Qur'an Biar Khatam Pas Ramadan!"



(kri/row)

PENGGUNAAN NASH DAN TUNTUTAN MASHLAHAH  

A. Badru Rifa’i

STAI PERSIS Bandung

Email:

Abstrak

Islam sebagai agama samawi merupakan agama dengan tingkat universal yang tinggi. Dalam pelaksanaannya, Islam memberikan kemaslahatan dari segala lini pada setiap pengikutnya. Hal serupa juga diterapkan pada hukum Islam, atau dalam hal ini disebut nash. Nash dalam Islam erat kaitannya dengan hukum mutlak yang harus ditaati oleh setiap umatnya. Dalam penerapannya, nash kadang kala dianggap sebagai hukum yang tidak adil. Namun dalam sudut pandangan lain, nash kerap kali menunjukan arah positif terhadap kemaslahatan umat. Penelitian ini akan membahas tentang pola pandang nash terhadap kemaslahatan umat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus mengenai beberapa perkara yang membutuhkan nash sebagai dasar hukum atas perkara tersebut. Adapun perkara yang dijadikan studi kasus dalam penelitian ini adalah aborsi, penggunaan plasenta binatang untuk kosmetik, serta pembakaran mayat. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pembakaran mayat menurut nash dan pertimbangan lain dinyatakan haram kecuali tidak ada pilihan lain, penggunaan plasenta binatang untuk kosmetik dinyatakan halal dan haram, tergantung dari jenis apa hewan yang digunakan, apakah halal atau haram. Adapun kasus aborsi disini memiliki dua hukum yang berbeda, halal apabila dalam konteks medis, sedang haram apabila konteks kasus perkosaan atau tindak negatif lainnya.

Kata Kunci: Nash dan Tuntutan Maslahah

A. Pendahuluan

            Islam sebagai agama samawi merupakan agama yang universal. Kehadirannya untuk memberikan kesejahteraan bagi segenap alam (rahmatan lil 'alamin).  Dalam terminologi Ushul Fiqh, syari’at diturunkan Allah kepada hamba-Nya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Ini bisa diwujudkan apabila syari'at itu dipahami. Setelah dipahami, dilaksanakan dengan kepatuhan (al-ta’abbud) yang tulus dan menghindari diri dari golongan hawa nafsu.

Sumber syari'at Islam yang utama adalah al-Qur'an dan sunnah. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum Islam (mashadir al-ahkam) adalah Al-Quran dan sunnah, karena keduanya disepakati ulama ushul fiqh klasik dan kontemporer sebagai sumber primer hukum Islam.  Al-Quran pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Al-Quran dijadikan sumber utama kemudian sunnah menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, membatasi yang mutlak sehingga ia menjadi penjelas dan penyempurna al-Qur'an.

Dalam menghadapi perkembangan sosial masyarakat zaman modern yang menimbulkan persoalan hukum baru, diperlukan suatu metode penetapan hukum yang dapat menjawab persoalan hukum yang baru. Penetapan hukum atas persoalan-persoalan kontemporer tidak cukup mengandalkan dan mengembalikan persoalan pada Al-Quran dan sunnah, karena harus diakui bahwa Al-Quran hanya memuat sebagian hukum-hukum terinci, sementara sunnah terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasul SAW., maka untuk memecahkan persoalan-persoalan baru diperlukan adanya ijtihad.

Dalam berijtihad, para sahabat mengandalkan bakat tasyri' yang terbentuk melalui bimbingan langsung Rasul dan dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka dalam menetapkan  hukum dengan memperhatikan asrar at-tasyri (rahasia-rahasia perundang-undangan) dan mabadi ammah (prinsip-prinsip umum). Terkadang mereka melakukan qiyas atas persoalan yang tidak ada nash-nya dengan perkara yang sudah ada nash-nya. Pada kesempatan yang lain mereka juga menetapkan hukum dengan memperhatikan mashlahah atau menolak mafsadah. Mereka tidak membatasi kemaslahatan yang wajib dijaga sehingga ijtihad mereka terhadap persoalan yang tidak ada nash-nya menjadi luas, mencakup dan menampung kebutuhan dan kemashlahatan. manusia.

Seiring perkembangan zaman dan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam sementara para pakar yang ahli dalam bidang  hukum Islam berjauhan tempat tinggalnya antara satu dengan lainnya, maka segala persoalan yang baru muncul tidak dapat diselesaikan dengan bersumber pada Al-Quran, sunnah, ijma  dan qiyas semata. Hal itu karena pemahaman mereka terhadap suatu nash sudah berbeda-beda dan kemashlahatan yang dituntut juga  tidak sama karena perbedaan lingkungan dan daerah yang didiami para mujtahid. Sehingga lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti istihsan, istishlah (mashlahah mursalah), urf, istishab,  dan syar'u man qablana. Metode istinbath hukum tersebut selanjutnya menjadi objek kajian 'ilm ushul al-fiqh.

Metode istinbath hukum itu, dalam ilmu ushul fiqh dikelompokkan pembahasannya bersama-sama dengan Al-Quran dan sunnah, kemudian dinamakan dengan al-adilah asy-syar'iyyah (dalil-dalil syara). Pengelompokan tersebut sebenarnya kurang tepat disebabkan adanya perbedaan-perbedaan antara al-Quran dan sunnah di satu sisi dengan metode-metode istibath hukum di sisi lain. Al-Quran dan sunnah merupakan sumber hukum, sedangkan qiyas, istihsan, istishlah dan lainnya merupakan cara-cara yang ditempuh oleh para mujtahid dalam menetapkan hukum guna mendapatkan hukum yang sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan sunnah.

Dalam menghadapi kondisi zaman yang modern dan persoalan-persoalan kontemporer saat ini, ijtihad adalah solusi yang terbaik dan merupakan sebuah keniscayaan dalam mereformasi dan mereaktualisasikan hukum Islam. Ulama fiqh tidak boleh terlelap di dalam cahaya kemajuan dan senantiasa melakukan reaktualisasi hukum, agar hukum yang ada benar-benar mengandung kemaslahatan. Asy-Syatibi berpendapat, tujuan utama dari syari'ah ialah utnuk menjaga dan meperjuangkan tiga kategori hukum yang disebut dengan daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.

Tujuan hukum Islam (maqasid asy-syari'ah) adalah menetapkan hukum di antaranya yaitu memelihara kemaslahatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Antara maqasid asy-syari'ah dan mashlahah mempunyai kesamaan prinsip yaitu terwujudnya kemaslahatan dan menghindarkan diri dari kerusakan, keduanya terdapat hubungan penetrasi dan relevansi yang erat. Ketika berbicara tentang teori-teori mashlahah, di dalamnya masuk juga prinsip-prinsip maqasid asy-syari’ah dan begitu juga sebaliknya. Tujuan dari kategori tersebut adalah untuk kemaslahatan kaum muslimin baik di dunia maupun di akhirat.

Sebanarnya produk-produk pemikiran hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad pada kenyataannya terikat oleh waktu dan kondisi ketika ijtihad itu ditempuh. Timbulnya inovasi-inovasi baru yang merubah sikap hidup, menggeser sudut pandang dan membentuk pola alur pikir, menimbulkan pula konsekuensi dan membentuk norma dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitan ini, bagi seorang muslim persoalan-persoalan baru yang muncul karena kemajuan iptek, tidak harus dihadapkan dengan ketentuan-ketentuan nash secara konfrontatif, tapi harus dicarai pemecahannya secara ijtihad. Sementara itu ijtihad Nabi SAW. dan juga ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khattab kiranya telah cukup membangkitkan dan memotivasi diri para Fuqaha untuk diambil sebagai referensinya. Tidak dipungkiri bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum lebih cepat dinamika dan laju jalannya daripada perkembangan hukum itu sendiri.

Oleh karena itu, penyegaran dan pembaharuan hukum Islam mutlaq diperlukan untuk menetapkan hukum-hukum yang lebih sesuai dengan kondisi zaman dan memperhatikan tujuan pensyariatan hukum itu sendiri. Munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia membawa angin segar kearah pembaharuan pemikiran Islam termasuk pembahruan hukum Islam.

Dalam melahirkan sebuah keputusan hukum harus memiliki dasar pertimbangan dan metode istimbath (penetapan hukum) yang dibangun dengan mengadopsi alur pemikiran ulama salaf. Ijtihad yang dilakukannya tetap bersumber pada al-Qur'an dan sunnah sebagai sumber hukum utama dan melalui istimbath hukum. Metodologi pengambilan istimbath hukumnya sebagai berikut; pertama, mencari keterangan dari al-Qur’an termasuk meneliti tafsir bil ma’tsur dan tafsir bi al-ma’qul al-mahmud. Bila terdapat perbedaan pemahaman dan penafsiran, penelitian secara sunguh-sunguh segera dilakukan. Kalau perlu dilakukan tarjih. Kedua, bila tidak terdapat dalil al-Qur’an, keterangan atau dalil dari sunnah dicari. Bila terdapat perbedaan pendapat diadakan penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matan, sebagai langkah untuk melakukan pentarjihan. Ketiga, jika tidak terdapat juga dalil dalam sunnah, atsar Sahabat dicari dengan cara yang sama pada butir kedua, tetapi dengan penekanan tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih, termasuk di dalamnya ijma’ sahabat. Keempat, jika tidak terdapat dalil dari al-Qur’an dan sunnah atau atsar sahabat, metode qiyas, istihsan, dan maslahah al mursalah digunakan dalam masalah-masalah sosial. Dalam masalah ibadah (mahdlah) digunakan kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintahkan”, sedangkan dalam urusan sosial keduniaan (maslahah al-mursalah) yang digunakan kaidah “semua boleh kecuali yang dilarang”. Juga, selalu tidak dilupakan petunjuk dalam masalah keduniaan “antum ‘alamu bi umuri dunyakum”. Metode ‘urf  termasuk dalam kaidah ini bisa dilakukan sepanjang tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan sunnah.  

Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dan pertama. Berkaitan dengan sumber hukum pertama, yaitu al-Qur’an, dikatakan ia (al-Qur’an) bersifat qath’iyy al-wurud (periwayatannya meyakinkan); akan tetapi dari segi penunjukannya, al-Qur’an kadang-kadang qathiyy al-dilalat (pasti) dan kadang-kadang zhaniyy al-dilalat (tidak pasti, samar). Berkenaan dengan sumber hukum kedua yaitu as-Sunnah. Adapun kedudukan yang kedua adalah as-Sunnah, as-Sunnah dalam tasyri’ Islami mempunyai  fungsi sebagai, (1) penguat (tawkid) terhadap hukum-hukum yang telah ada dala al-Qur’an (2) penafsir dan pengikat terhadap ayat-ayat yang mujmal, umum atau mutlak; dan (3) menetapkan hukum (“baru”) yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Ishaq asy-Syatibi. Beberapa persoalan yang menggunakan metode istishslah adalah menjawab persoalan-persoalan kontemporer terutama dalam bidang muamalah yang selama ini sering ditanyakan sebagian ummat Islam kepada para kyai atau lembaga fatwa lainnya. Namun, dalam beberapa keputusan harus menjelaskan dasar pertimbangan dan kriteria maslahat yang digunakan tersebut seperti dalam kajian Ushul fiqh, banyak sekali macam dan tingkatan maslahah  yang menjadi kajian objek ushul fiqh. Dari berbagai macam maslahat tersebut ada yang diterima dan ditolak.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin melakukan kajian hubungan antara penggunaan nash dengan tuntutan  maslahah yang menjadi pertimbangan dalam membuat hukum yang bersifat kontemporer dalam bidang muamalah.

Metode Peneletian

Metode yang digunakan dalam penggunaan nash dan tuntutan maslahat dalam membuat  keputusan-keputusan hukum Islam adalah pertama, mencari keterangan dari Alquran, bila terdapat perbedaan pemahaman dan penafsiran, penelitian secara sungguh-sungguh atau diadakan al-tarjih, thariqat al-jam’i. Kedua, bila tidak terdapat dalam Alquran, keterangan atas dalil dari Sunnah dicari. Bila terdapat perbedaan pendapat diadakan penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matan, sebagai langkah untuk melakukan pentarjihan. Ketiga, jika tidak terdapat juga dalam Sunnah, atsar sahabat yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah SAW. Keempat, Jika tidak terdapat dalil dari Alquran dan Sunnah atau atsar shahabat, metode Qiyas, istihsan, dan mashlahah al-mursalah digunakan dalam masalah sosial.

Dalam masalah ibadah (mahdlah) digunakan kaidah ”semua dilarang kecuali yang diperintahkan”, sedangkan dalam urusan sosial keduniaan (maslahah al-mursalah) digunakan kaidah ”semua boleh kecuali yang dilarang”. Juga, selalu tidak dilupakan petunjuk dalam masalah keduniaan ”antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Metode ’urf termasuk dalam kaidah ini bisa dilakukan sepanjang tidak berlawanan dengan Alquran dan Sunnah.


Pembahasan

A.       Membakar Mayat Korban Bencana Alam

Pemeliharaan jenazah dalam berbagai sistem keyakinan dilakukan dengan jalan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Islam amat menghormati jenazah sesuai dengan ajaran Rasulullah, sebagaimana ada juga pada sistem kepercayaan lain, walaupun konsep menghormati dan memelihara berbeda-beda.

Akhir-akhir ini dengan banyaknya bencana alam akibat gempa dan tsunami mengakibatkan korban manusia meninggal tidak terhitung sehingga menimbulkan masalah yang berkaitan dengan proses penguburannya. Dalam M. Abdurrahman, disebutkan Ali Jam’ah, Mufti Mesir berpendapat, “Bolehnya membakar bangkai-bangkai manusia korban gempa Asia untuk menghalangi tersebar luasnya wabah dan penyakit”. (Al-Alam Al-Islami, Koran Mingguan: 31 Januari 2005). Fatwa tersebut tergolong baru dan berani karena secara nash-nash, baik Al-Qur’an maupun hadist, implisit dan eksplisit, jenazah harus dikuburkan karena kedudukan manusia yang harus dihormati, padahal pada zaman modern sekarang seperti tidak ada kesulitan untuk mengangkut dan mengubur jenazah karena banyak alat-alat berat yang bisa digunakan. Alasan Ali Jam’ah ialah kemaslahatan dan kaedah-kaedah yang digunakan, sebagai kerangka teori ialah: 1. Dar al-mafsid muqaddam ‘ala jalb al-mashlih; 2. Izda ta’aradat mafsadatani tujunniba asyaddahuma bi irtikabi akhaffihima,; 3. Al-Mashalih al-muta’addiyah muqaddamah ala al-mashalih al-qhasirah”. Kaedah tersebut tentu berkaitan dengan maslahat dan mafsadat yang terjadi pada menusia ini, yaitu manusia yang hidup harus lebih diperhatikan dari ada yang mati.

Dalam merespon persoalan tersebut, ulama Hisbah mengkaji dengan pendekatan Bayani dan aspek  maslahat dan mafsadat memberikan kesimpulan bahwa, “Membakar mayat hukumnya haram kecuali bila tidak didapat jalan yang lain.”Kesimpulam ini berbeda dengan Ali Jum’ah yang langsung membolehkan membakar mayat korban bencana alam karena alasan  kemaslahatan sementara tuntutan nash diabaikan.

Dalam pandangan M. Abdurrahman, seorang ulama Hisbah yang menyampaikan makalah persolan di atas bahwa  kemunculan fatwa bolehnya membakar mayat bila akan terjadi bahaya dan berjangkitnya wabah karena mayat berserakan. Ditambah jenazah akibat bencana alam yang biasanya ditemukan oleh relawan, sementara tenaga yang ada terbatas, bahkan amat minim, baik medis maupun yang lainnya tentu harus bertindak cepat untuk memelihara jenazah ini. Bangkai-bangkai manusia yang berserakan perlu segera diselamatkan. Pertama, penyelamatan dari serbuan binatang dan yang kedua, agar tidak menyebar bau menyengat dan penyakit-penyakit lainnya.

Masih menurut Abdurrahman  langkah-langkah yang harus di tempuh dalam kasus-kasus seperti ini adalah sebagai berikut:

1)      Sedapat mungkin segera menguburkannya dengan cara apapun dengan mengerahkan alat-alat berat.

2)      Menutup dengan apa saja yang memungkinkan jenazah terlindungi.

3)      Disemprot dengan obat penghilang bau dan pembunuh kuman.

4)      Di masukkan ke kantong-kantong plastik untuk dievakuasi

Jadi, pembakaran harus dihindari mengingat berbagai aspek yang ada, seperti akidah dan syariah, psikologis, sosiologis-antropologis, dan yuridis. Bahwa sulit menguburkan, mungkin terjadi, tetapi bukan berarti tidak bisa. Maka selama ada bumi dan tanah jenazah agar dikuburkan sedapat mungkin. Dilihat dari unsur teologis dan syari’ah pembakaran jenazah merupakan tidakan yang “tampaknya” menentang agama (Islam). Dilihat dari unsur psikologi jasad manusia mestinya dihormati secara baik karena ada hadis yang menerangkan tentang larangan mencederai mayat dan mematahkan anggota badannya, apalagi dengan dibakar. Secara sosiologis nilai-nilai dasar kemanusiaan harus menjadi perhatian, sebagaimana dari aspek antropologis yang akan menyinggung “perasaan” kemanusiaan jika mayat di bakar.

Tuntutan nash menurut Abdurrahman bahwa jenazah muslim harus dikuburkan sebagai penghormatan. Sebagaimana dalam hadis-hadis berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ الرَّسُولِ اللهِ r بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ. فَذُكِّرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِ  r فَقَالَ: إِغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ وَلاَتُخَنِّطُوهُ وَلاَتُحَمِّرُوهُ رَأْسَهُ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَبْعَثُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مَلَبِّياً - رواه الجماعه

Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Tatkala seorang laki-laki wukuf bersama Rasulullah saw. di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari untanya sampai patah lehernya. Maka hal itu diterangkan kepada Nabi saw.,  beliau bersabda, ‘Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah ia dengan pakainnya (pakain ihramnya) itu. Janganlah kalian mewangikannya serta janganlah menutupi kepalanya. karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat sambil bertalbiyah’”.  H.R. Al-Jama’ah.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Dari Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda,”Mematahkan tulang mayit sama dengan mematahkan tulang yang masih hidup. H.r. Abu Daud.

Senada dengan fatwa Ali Mustafa Yaqub imam masjid Istiqlal Jakarta bahwa pembakaran jenazah korban bencana alam seperti korban musibah tsunami Aceh tidak diperbolehkan karena tidak menghormati kemanusiaan selain memang dilarang berdasarkan hadis (seperti hadis di atas) juga membakar mayat menurutnya rentan menimbulkan kerusakan seperti menimbulkan penyakit.

Adapun bolehnya membakar mayat korban bencana alam menurut Abdurrahman apabila  berbagai macam cara pemeliharaan jenazah menjalani kebuntuan, maka hukum terakhir diserahkan kepada mujtahid untuk meneliti kerajihan dan kemajruhannya, dengan pembakaran atau dibiarkan, padahal jenazah manusia memerlukan perhatian khusus sebagai mana disebutkan diatas dengan memperhatikan kaidah-kaida fiqh  berikut:

الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang

مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ بِقَدْرِ تَعَذُّرِهَا

Sesuatu yang diperbolehkan karena terpaksa, adalah menurut kadar halangannya

إِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرُوْرَيْنِ وَاجِبٌ

Menempuh salah satu tindakan yanglebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu wajib

الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ

Menghilangkan kemadaratan tidak boleh dilakukan dengan cara yang mendatangkan madarat (lainnya)

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghindari madarat atau bahaya harus didahulukan atas mencari maslahat atau kebaikan

Dengan demikian fatwa Dewan Hisbah masih mengutamakan penggunaan nash yakni  tetap harus diusahakan  penguburan jebazah korban bencana alam. Namun, bila dalam kondisi darurat tidak dimunghkinkan untuk dikuburkan maka membakar mayat adalah pintu terakhir.

B.     Aborsi Korban Pemerkosaan

Aborsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu abortion, yang berarti gugur kandungan atau keguguran, dalam bahasa Arab disebut isqatu al-hamili al-jihad. Sedangkan secara terminologis, menurut Sardikin Gina Putra, dalam makalahnya tentang Pembaruan Hukum Pengguguran Kandungan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi itu dapat lahir secara alamiah dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi tersebut.

Para fukaha telah sepakat mengatakan bahwa pengguguran kandungan (aborsi) sesudah ditiupkan ruh adalah haram, tidak boleh dilakukan, karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan terhadap nyawa, oleh karena itu diwajibkan kepada pelakunya untuk membayar diyat jika janin keluar dalam keadaan hidup dan membayar gurrah jika ia keluar dalam keadaan mati.

Ulama yang membolehkan aborsi sebelum janin berumur 4 bulan adalah Muhammad Ramli dalam kitabnya al-Nihayah, dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Adapun ulama yang mengundang hukumnya makruh, alasannya adalah karena janin masih sedang mengalami pertumbuhan. Ulama yang mengharamkan aborsi sebelum ditiupkan ruh antara lain, Ibnu Hajar dalam kitabnya At-Tuhfah, Al-Gazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulim al-Din, Syekh Syaltut dalam kitab Al-Fatwa, mereka mengharamkan pengguguran kandungan (aborsi) sebelum ditiupkan ruh karena sesungguhnya janin (embrio) pada saat itu sudah ada kehidupan yang patut dihormati.

Berdasakan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sejak bertemunya sel sperma dan ovum dan telah terjadi pembuahan maka aborsi dipandang sebagai suatu kejahatan  dan haram hukumnya, meskipun janin belum benyawa, sebab sudah ada kehiduan (hayat) pada janin (embrio) yang sedang mengalami pertumbuhan.

Berkenan dengan hukum aborsi tersebut, Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan secara rinci pada tahun 2005 yang intinya:

1.      Darurat adalah suatu  keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mati atau hampir mati, seperti halnya perempuan hamil menderita sakit fisik berat dimana kehamilannya mengancam nyawa si ibu, contoh lainnya adalah janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak, sulit disembuhkan.

2.      Hajat adalah suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mengalami kesulitan berat.

Demikian paparan tentang beberapa pokok-pokok pikiran mengenai hukum aborsi beberapa pertimbangan yaitu:

Pertama: Pertimbangan nash, seperti firman Allah swt. dan hadis-hadis Rasulullah berkenaan dengan masalah pembunuhan anak, antara lain antara lain:

تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan  Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.  Kami akan  memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya  maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang  benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Q.s. Al-An’an:151

وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ  بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

Apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup – hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. Q.s. At Takwir 8 – 9

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ وَأَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ – متفق عليه

Dari Ibnu Mas`ud ia berkata; " Aku bertanya kepada Rasulullah saw., `Dosa apakah yang paling besar dalam pandangan Allah` ? Beliau menjawab, `Engkau menyekutukan Allah padahal Ia telah menciptakanmu`, aku bertanya kembali, `Lalu apalagi` ? Beliau menjawab, `Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia akan ikut makan bersamamu`, aku bertanya kembali, `Kemudian apalagi` ? Beliau menjawab, `Engkau berzina dengan istri tetanggamu` ". Muttafaq A`laih

Kedua, kaidah-kaidah fiqhiyyah, antara lain:

الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

”Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang”

مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ بِقَدْرِ تَعَذُّرِهَا

“Sesuatu yang diperbolehkan karena terpaksa, adalah menurut kadar halangannya”

إِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرُوْرَيْنِ وَاجِبٌ

“Menempuh salah satu tindakan yanglebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu wajib”

الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَر

“Menghilangkan kemadaratan tidak boleh dilakukan dengan cara yang mendatangkan madarat (lainnya)”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menghindari madarat atau bahaya harus didahulukan atas mencari maslahat atau kebaikan”

Jadi, Islam membolehkan untuk melakukan aborsi dengan mengorbankan janin karena untuk menyelamatkan nyawa calon ibu. Nyawa seorang ibu diutamakan mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai kewajiban, baik terhadap tuhan maupun terhadap sesama makhluk, sedangkan si janin, sebelum ia lahir dalam keadaan hidupm ia belum mempunyai hak, seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun.

Hukum tersebut dapat pula berlaku bagi perempuan hamil korban perkosaan yang mengakibatkan stres berat, kalau tidak digugurkan kandungannya, maka ia akan sakit jiwa atau gila.

C.       Plasenta untuk Bahan Kosmetik

Plasenta berasal dari bahasa latin placenta yang berarti Kue datar/kempis. Dalam bahasa sehari-hari disebut plasenta atau tembuni muncul keluar pada saat bayi dilahirkan. Seperti diuraikan dalam kamus al-Maurid, plasenta adalah penutup janin yang keluar bersama janin ketika persalinan. Berbentuk kue cakram dan mempunyai garis tengah kira-kira 20 cm, dan tebal kira-kira 3 cm, beratnya kurang lebih 500 gram. Plasenta merupakan bagian organ tubuh yang menghubungkan antara ibu dan bayi.

Seiring dengan perkembangan zaman, melalui riset intensif di Swiss, Plasenta bisa dijadikan sebagai bahan kosmetik dan obat-obatan. Obat-obatan dan kosmetik dari Plasenta tersebut ada produk yang bahan bakunya dari plasenta binatang, ada juga yang dari plasenta manusia. Adapun dalam pemakaiannya, ada yang dimakan, diminum dan dioles pada kulit seperti bedak dan krim.

Produk obat-obatan dan kosmetik dari plasenta sangat diminati kaum hawa karena bermanfaat untuk kesehatan kulit, kelembutan dan kehalusan kulit serta menjaga kekenyalan kulit dan kelembaban. Selain itu juga dapat mengurangi kerutan, menjaga ketahanan tubuh, mengurangi ketegangan saat haid, dapat menunda menopause sindrom dan menstabilkan berat badan. Tidak mengherankan, bila produk obat-obatan dan kosmetik dari Placenta banyak digunakan oleh kaum muslimin di Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka para ulama Hisbah PERSIS pada sidangnya yang ke VII tanggal 14 Agustus 2005 di PC Persis Lembang telah melakukan kajian mendalam, apakah umat Islam boleh menggunakan obat-obatan dan kosmetik dari plasenta, atau tidak.

Setelah melakukan kajian mendalam tentang berbagai aspek terkait dengan obat-obatan dan kosmetik dari plasenta, para ulama Hisbah mengemukakan kesimpulan-kesimpulan, bahwa;

1)      Kosmetik dan obat-obatan dari plasenta binatang yang halal hukumnya halal.

2)      Kosmetik dan obat-obatan dari plasenta binatang yang haram hukumnya haram.

3)      Kosmetik dan obat-obatan dari plasenta manusia hukumnya haram.

Dalam pembahasan makalahnya, Taufiq Rahman Azhar, menegaskan bahwa selama pengamatan yang dilakukannya, belum ada para sahabat, para tabi’in dan para imam yang menyatakan plasenta najis. Sebab, plasenta merupakan jaringan yang terbentuk bersama janin yang merupakan barang sisa klinis, dan bukan darah nifas. Karenanya, jika plasenta dimanfaatkan untuk kepentingan kosmetika hukumnya boleh. Istinbathnya tersebut didasarkan pada kaidah fiqih; “Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram” (Taufiq Rahman Azhar, 2005).

Adapun plasenta manusia, demikian Rahman, yang dikonsumsi dengan cara dimakan dan diminum hukumnya haram. Hal tersebut didasarkan pada temuan penelitian yang memasukkan plasenta sebagai suatu endrocrine organ tubuh. Karenanya, memakan plasenta sama dengan memakan janin/bayi. Sedangkan jika hanya dimanfaatkan dengan tidak dimakan (dioles atau digosokkan), hukumnya boleh. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits Nabi; “Mengapakah tidak kalian ambil kulitnya, lalu kalian samak, lalu kalian manfaatkan?” mereka menjawab: Kambing itu sudah menjadi bangkai. Nabi bersabda: yang diharamkan hanyalah memakannya”. (H.R. Jama’ah).

Kesimpulan Ulama Hisbah yang ketiga, seperti disebutkan di atas, bersifat umum. Plasenta manusia yang dijadikan obat atau kosmetik, baik digunakannya dengan cara dioles atau digosok, maupun dengan cara diminum dan dimakan, hukumnya haram. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah dan diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Kesimpulan ini berdasarkan nash al-Qur’an yang menunjukan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia: 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan  Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. Q.s. Al-Isra:70

Bahkan, dalam beberapa riwayat hadits, kemuliaan manusia mencakup darah, kehormatan dan hartanya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ …

Dari Ibnu Abas sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Maka sesungguhnya darah-darah, harta-harta, dan kehormatan kamu, haram atas kamu (wajib kamu pelihara). H.R. Al-Bukhari

Menurut Taufiq Azhar, Firman Allah dan hadis-hadis Rasulullah saw. Mengenai larangan memakan dan memanfaatkan barang yang haram, antara lain:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S. An-Nahl:115.

Dengan nash-nash di atas dijadikan dalil oleh ulama Dewan Hisbah bahwa menjadikan organ tubuh manusia sebagai obat, kosmetika atau penguat hubungan seksual adalah hukumnya haram, karena merupakan bentuk penodaan terhadap kemuliaan manusia. Karena bagaimana pun penodaan organ tubuh manusia baik selama hidup atau mati hukumnya sama-sama dilarang.

Pengharaman keputusan Dewan Hisbah kosmetika dari bahan plasenta  merupakan kesimpulan dari nash baik al-Qur’an dan hadis juga menimbang aspek maslahat dimana dalam rangka mewujudkan kemaslahatan jiwa (hifdzu nafs) dan mencegahnya dari perbuatan yang merusak jiwa termasuk tubuh manusia, walaupun plasenta mengandung manfaat namun nilai dan kedudkan manusia lebih utama.

Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan di atas tentang Hubungan antara Penggunaan Nash dan Tuntutan Maslahah akhirnya dapat disimpulkan hasil penelitian dan sekaligus menjawab pertanyaan masalah sebagai berikut:

1.      Dasar pertimbangan dalam membuat keputusan-keputusan hukum Islam  yang berhubungan antara penggunaan nash dan tuntutan mashlahah adalah berkaitan dengan pertimbangan pemeliharaan agama (hifdz ad-din), pemeliharaan jiwa (hifdz nafs) dan pemeliharaan akal (hifdz 'aql).

2.      Dalam bidang mu'ammalah Dewan Hisbah Persis berprinsip pada kaidah "antum a'lamu bi umuri dunyakum" (kalian lebih mengetahui dalam urusan keduniaan/mu'ammalah). Dalam hal ini, Dewan Hisbah Persis lebih fleksibel dalam mengambil keputusan hukumnya. Ruang metode mashlahah lebih luas sebagai bahan pertimbangan dalam istinbaht hukumnya. Akan tetapi, maslahah yang berorientasi pada menjaga agama (hifdz ad-din) yang lebih diutamakan ketimbang menjaga jiwa (hifdz nafs) dan menjaga akal (hifdz 'aql).

3.      Dalam kasus membakar mayat korban bencana alam, dasar pertimbangan dari istinbath ini adalah aspek syariat, psikologis, sosiologis-antropologis, dan yuridis yaitu membakar mayat hukumnya haram kecuali bila tidak didapat jalan lain.

4.      Untuk aborsi korban pemerkosaan kecendrungan dalam istinbath ini pada prinsipnya bahwa nash mengharamkan untuk memutuskan nyawa manusia termasuk janin. Dewan Hisbah Persis, mengambil istinbath yaitu Aborsi provocatus criminalis (pengakhiran kehamilan bukan atas dasar indikasi medis) sejak terjadi konsepsi (pembuahan) hukumnya haram, aborsi provocatus terapeuticum (pengakhiran kehamilan atas dasar indikasi medis) hukumnya boleh dan aborsi akibat perkosaan sejak terjadi konsepsi hukumnya haram. Penggunaan nash lebih diprioritaskan dalam dalam mengambil istinbath ini. Dan apabila ada indikasi yang mafsadat baik bagi anak dan ibu, maka diperbolehkan untuk melakukan aborsi.

5.      Kasus terkhir yaitu menjadikan plasenta sebagai bahan kosmetik, ada katagori plesenta yang katakan halal dan haram bagi penggunaan bahan kosmetik dan obat-obatan yaitu kosmetik dan obat-obatan dari plesenta binatang yang halal hukumnya halal dan kosmetik dan obat-obatan dari plasenta binatang yang haram dan plesenta manusia adalah hukumnya haram. Secara umum, kecendrungan istinbath ini adalah tuntutan maslahah diprioritaskan karena dalam upaya pengobatan tetapi plasenta yang dijadikan kosmetik dan obat-obatan berasal dari binatang yang halal. Namun, apabila plesenta dari binatang haram dan manusia maka plasenta tersebut haram untuk bahan kosmetik atau obat-obatan.

BIBLIOGRAFI

Zakariya al-Barry, Alahsadir al-Ahkam al-Islami'vah. Mesir : Dar al--Arabi li al-Thiba'ah, t.th.

Abu Rawwas Wal'ah jig. Mcnisuatfifiqhll; U'.;;a; 1,51711 al-Khattab. (t.tp..t.p 1981), Ibnu Rajih al-Rahili. Fiqhu 'Umar Ibnu al-Khattab Muwazzan bi Fiqh al-Asyhar al-AIqitahfdin,'(Mak-k-ah al-MunawNvarah : al-Jami'ah Ummu al-Qura, t.th)

Syarifudin al-Musanni. AI-Nash fi al Iijtihad, Beirut : Muassasah al-Qura, t.th.

Ahmad Ibnul Hanbal, Alus-nad Ahmad IbiwHanhal, Vol. Islam.

Ibnu Qoyyim al-Jauziat, dalam "Ilmut al-Muagi'in'an Rabb al-Amin, Beirut: Dar al-Jalil 1973.

Mohammad Bin Idris al-Safi',  al-Um (Kairo: Dar al-Kutub, 1332 H.), Vol. 11.