Apa yang dapat anda petik dari cerita Rapor Maria

Vregina Diaz Magdalena 

​Maria lahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Ia satu-satunya anak perempuan yang dimiliki sepasang suami istri berdarah Sulawesi Utara. Mereka lama tinggal di surabaya. Maria bukanlah anak perempuan satu-satunya karena ia mempunyai saudara perempuan dari Ibu sebelumnya. Wajah Maria cukup menarik, ia tumbuh dengan tanda lahir di pipi sebelah kanan. Kulitnya berwarna kuning langsat.

Setelah Maria duduk di bangku sekolah dasar, pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabnya. Membersihkan rumah, memasak untuk adik-adiknya, membantu Ibu, dan belajar. Semua pekerjaan rumah mendadak menjadi tanggung jawabnya, setiap Maria pamit izin untuk mengerjakan tugas sekolah. Ibunya selalu berkata “Lihat, tumpukan baju belum disetrika!”. Keberanian pamit belajarnya ciut, setelah tahu jawaban Ibunya. Setiap malam, badannya sudah letih, ia ingin beristirahat tetapi ada tugas sekolah yang masih harus dikerjakan. Kadang, Maria membawa buku di tangan sebelah kanan, kemudian di tangan sebelah kiri menggendong adiknya yang masih bayi. Bagi Maria tak masalah, asal ia masih sempat belajar.

Pagi hari, ia kembali sibuk dengan rutinitas memandikan dan menyuapi semua adik-adiknya. Setibanya di sekolah, badannya jarang sekali bisa menerima pelajaran. Maria hanya duduk bersandar dan meletakkan kepalanya di atas meja. Sering sekali Maria merasa kelaparan karena setiap pagi lupa sarapan. Jangankan duduk diam dan sarapan, bisa memakai seragam dan menyiapkan buku pelajaran dengan tenang saja sudah bersyukur. Maria mempunyai banyak teman, ia pandai bergaul, kebanyakan temannya adalah laki-laki. Setiap pulang sekolah, ia menyempatkan untuk bermain voli bersama teman-temannya. Setelah selesai bermain, Maria pulang dengan ketakutan dimarahi Ibunya. Bukan karena pulang terlambat, tetapi rumah belum dibersihkan.

Satu hari, saat Maria SMA, Maria belum bisa membayar SPP. Ia kebingungan untuk mendapatkan uang untuk membayarnya. Tidak mungkin ia meminta Ayah dan Ibunya, karena ia sadar bahwa adik-adiknya lebih membutuhkan uang itu. Maria memutuskan untuk mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan setelah pulang sekolah. Menjadi pelayan di rumah makan, penjaga kasir di toko buku, serta penjaga kue roti sudah dijalaninya selama beberapa bulan. Lagi-lagi, ia merasa kurang mempunyai waktu belajar. Kali ini bukan lagi mengurus dan merawat adik-adiknya, tetapi mencukupi kebutuhan sekolahnya sendiri. Beruntung sekali, ia mendapatkan izin untuk keluar rumah dengan waktu yang cukup lama meskipun setelah di rumah Maria juga tidak bisa istirahat.

Maria memutuskan untuk menyewa kamar kost, ia merasa tidak bisa lagi hidup bersama Ibu dan Ayahnya. Semakin bertambah umur, Maria berani mengambil sikap atas kehidupannya. Tidak lagi berada di rumah mengurusi urusan rumah tangga yang seharusnya dilakukan Ibunya. Tidak lagi kerepotan dan kebingungan saat beras habis yang seharusnya dilakukan Ayahnya. Setelah menyelesaikan sekolah, Maria mencoba untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta. Maria sadar, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah ke atas, ia tidak bisa belajar tenang. Nilai di rapor juga pas-pasan, tidak pernah mempunyai ranking, bahkan nilainya dibawah standar. Tetapi Maria gigih, ia percaya bahwa dirinya mampu duduk di perguruan tinggi dan mendapat nilai cukup baik. Maria hanya sempat merasakan perguruan tinggi selama 2 tahun, Ayahnya menemui Maria dan memintanya untuk bekerja sebagai pegawai negeri karena dirasa lebih menjanjikan dan menguntungkan sebagai seorang perempuan. Maria menyetujui permintaan Ayahnya.

Resmi menjadi pegawai, Maria mulai menjalin hubungan asmara dengan teman laki-lakinya. Mereka bertemu waktu latihan voli. Beruntung lagi, bahwa mereka satu gereja dan sering bertemu setiap hari minggu. Kadang-kadang, Maria menyempatkan waktu di malam hari untuk bertemu kekasihnya dan menghabiskan waktu bersama. Setelah berjalan 4 tahun, ternyata mereka harus berpisah. Laki-laki itu meminta izin untuk mengikuti pendidikan kepolisian. Maria rela melepaskan kekasihnya. Tepat diumur 24 tahun, ada lelaki yang melamar dan memintanya sebagai istri. Tentu saja Maria menolak karena ia merasa masih menjadi kekasih laki-laki lain. Tetapi Ayahnya meminta Maria untuk menerima dan mencoba menjalani hubungan dengan laki-laki yang melamar. Sempat Maria dan Ayahnya berdebat, Maria mengatakan ingin menanti kekasihnya kembali pulang. Maria rela menanti beberapa tahun untuk menikah. “Sudahlah, untuk apa menanti yang tidak pasti. Mau jadi perawan tua? Memangnya kamu sudah yakin kalau kekasihmu itu tidak bermain-main dengan perempuan lain di sana?” jawaban Ayahnya setelah berdebat panjang.

Maria menikah diumur 25 tahun. Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya dengan alasan orang tuanya tidak bisa menunggu lama anak perempuannya dinikahi. Suaminya berumur 6 tahun lebih tua dari Maria. Pekerjaan suaminya cukup menjanjikan dirinya untuk hidup berkecukupan. Maria tak perlu lagi belajar menyesuaikan diri dengan pekerjaan rumah. Maria merasa beruntung sudah dibekali kebiasaan menyelesaikan masalah domestik sejak kecil. Selain mengurus urusan domestik, Maria juga masih harus bekerja di kantor hingga sore hari. Beberapa bulan setelah menikah, Maria mengandung anak pertamanya. Ia tidak merasa kandungan itu menjadi penghambat aktivitasnya sehari-hari, meski suaminya sudah menyuruh Maria cuti dan berada di rumah saja.

Anak pertama Maria adalah laki-laki. Setelah kelahiran anak pertama, hari-hari Maria semakin padat. Maria harus membagi waktu untuk anak, suami dan pekerjaan. Awalnya Maria dipaksa untuk melepas pekerjaan, tetapi ia menolak dan berjanji untuk bisa menghabiskan waktu bersama anaknya. Suami Maria merasa dirinya mampu mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi Maria tetap menolak dengan alasan “Aku bekerja juga ingin membantumu dan membelikan anak kita mainan. Siapa tahu kalau besok kamu sedang krisis dalam pekerjaan, kita masih bisa makan”. Ternyata perdebatan itu masih berlanjut sampai

Maria mengandung anak kedua. Bagi Maria tak masalah, asal ia masih bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, serta kebutuhan suami dan anak terpenuhi. Setelah anak keduanya lahir, Maria semakin merasa lengkap dengan keluarganya. Ia merasa sudah cukup mempunyai dua anak, apalagi anak keduanya adalah perempuan. Maria lagi-lagi kembali sibuk dengan rutinitas sama seperti setelah mempunyai anak pertama. Tidak dalam rencana, setelah anak keduanya berumur 1 tahun, Maria kembali mengandung anak ketiga. Maria sempat merasa tidak bahagia dengan kehamilannya. Tetapi saat setelah lahir, ia melihat wajah anak ketiganya cantik dan mungil. Maria merasa bersalah karena membencinya selama di kandungan. Kelahiran anak ketiganya menjadi alasan Maria untuk melakukan KB, ia tidak mau mempunyai banyak anak. Batinnya, siapa tahu aku dan suamiku bisa jadi Ayah dan Ibuku, kasihan salah satu anakku nanti sibuk dengan pekerjaan rumah membantuku dan lupa belajar.

Sekarang Maria mempunyai 3 anak, 1 laki-laki, dan 2 perempuan, dengan 1 suami. Kesibukannya semakin bertambah, yang jelas setelah 2 anak perempuannya cukup umur untuk dititipkan, Maria memilih untuk dititipkan selama jam kerja. Sore harinya, ia menjemput dan membawanya pulang. Maria cekatan mengurus semua urusan rumah, kebutuhan suami dan anak-anaknya, serta pekerjaan kantor. Setelah anak keduanya sekolah di taman kanak-kanak, ia berani melepaskan anak keduanya untuk berangkat dan pulang sendirian tanpa dijemput. Kadang ia menyuruh anak keduanya berumur 5 tahun untuk membawa adiknya ke sekolah agar tidak sendirian di rumah.

Saat anak keduanya duduk di kelas 3 sekolah dasar, Maria dan suaminya mengalami pertengkaran yang cukup hebat. Maria menjadi jarang pulang ke rumah, ia meninggalkan suami dan ketiga anaknya. Maria mendadak merasa tak kuat lagi, ia merasa bahwa suaminya tidak bisa berbuat seimbang antara keluarga dan saudara-saudaranya. Semenjak pindah rumah di dekat saudara suaminya, memang Maria merasa bahwa suadara-saudaranya tidak pernah menyukai dirinya sebagai seorang istri. Katanya mereka bilang “Istrimu itu pasti suka pesta di luar rumah, lihat saja tidak lama lagi ia pasti selingkuh dengan teman kantornya”.

Pertengkaran dengan suaminya memang membuat Maria semakin jauh dengan ketiga anaknya, apalagi pekerjaan rumah sudah jarang dikerjakan. Maria hanya mengerjakan waktu suaminya tidak di rumah dan sebelum berangkat kerja. Maria mulai memberikan tugas kepada anak keduanya untuk membersihkan rumah, mulai dari menyapu, mengepel, mengganti seprai, mencuci piring kotor, dan memasak mie goreng. Kata Maria “Perempuan itu harus pintar bersih-bersih rumah”. Sejak Maria jarang menghabiskan waktu di rumah, anak keduanya menggantikan peran Maria untuk membereskan pekerjaan rumah. Ada atau tidak ada Maria di pagi hari, anak keduanya harus bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah. Setiap pulang sekolah anak keduanya selalu meminta izin untuk pergi main dengan teman-temannya. Tetapi Maria selalu bilang “Bersihkan rumah dulu, baru kamu boleh pergi”.

Peraturan itu berlaku sampai anak keduanya duduk di sekolah menengah pertama. Setiap setelah pelajaran berakhir, anak keduanya diam-diam pergi ke mall dengan teman-temannya. Saat Maria mengetahuinya, ia marah besar dan mengurung anak keduanya di rumah. Maria tidak membiarkan anaknya keluar rumah sampai emosinya selesai. “Aku kan cuma pergi ke mall, sama teman-teman Ma. Aku nggak macam-macam di sana. Masa kakak boleh pergi ke mana aja, sedangkan aku cuma bersih-bersih di rumah dan boleh pergi setelah semuanya bersih?” Maria sempat mendengarkan celotehan panjang dari anak keduanya yang dikenal pendiam. Maria cuma menjawab “Kakakmu itu laki-laki, dia harus dilepas karena jangkaunnya akan lebih panjang.”

Hubungan Maria dengan suaminya juga tidak berangsur membaik. Maria lebih banyak diam, tetapi ia tetap mengurus kebutuhan rumah dan membesarkan ketiga anaknya. Ketiga anak Maria tumbuh menjadi remaja matang, dengan dua anak perempuan yang parasnya hampir-hampir menyerupai dirinya waktu remaja. Maria mendadak merasa khawatir kalau anak perempuannya main di luar rumah lama-lama, khawatir kalau tidak cepat pulang ke rumah setelah pembelajaran di sekolah berakhir. Tidak jarang, Maria selalu membawa kedua anak perempuannya kemana-mana. Maria merasa kedua anak perempuannya harus berada di dalam pengawasan, tidak boleh pergi dengan sembarang teman. Sedangkan, anak laki-lakinya dibiarkan mencari kesenangan sendiri di luar, pulang malam, bahkan bermain di luar kota. Maria cukup memberikan nasihat untuk anak laki-lakinya agar tidak lupa pulang ke rumah dan menjauhi obat-obatan terlarang. Beda dengan nasihat yang diberikan kepada anak perempuannya, yaitu jangan kemana-mana, harus selalu izin kalau pergi dengan siapa, kalau sudah mulai pacaran juga harus dikenalkan kepadanya. Peraturan itu berlangsung cukup lama, sampai dua anak perempuannya lulus dari sekolah menengah ke atas.

Anak keduanya memutuskan untuk meneruskan sekolah di Yogyakarta, sedangkan anak ketiganya pergi ke Jakarta. Awalnya Maria merasa takut apabila kedua anaknya jauh darinya, apalagi ia selalu membawa kedua anaknya pergi. Sekarang ia harus merelakan kedua anak perempuannya pergi jauh darinya. Saat ia ditanyai teman-temannya kenapa berani melepaskan kedua anaknya, ia menjawab “Biar saja mereka meraih cita-citanya, aku tidak mau mereka seperti aku. Mereka harus jadi perempuan mandiri, tanpa orang tuanya”. Tetapi jarak memang tidak membuatnya berhenti mengawasi kedua anak perempuannya, ia terus berusaha mengontrol dengan kekuatannya sebagai Ibu. Maria rela bolak-balik Surabaya-Yogyakarta, Surabaya-Jakarta demi memastikasn kedua anak perempuannya baik- baik saja.

Pesan Maria kini bukan lagi “Bereskan pekerjaan rumah, baru boleh pergi”. Tetapi “Cepat selesaikan kuliahmu, dan cari pekerjaan. Kalau nanti sudah menikah, jangan bergantung kepada suamimu.”

Untuk Mama yang selalu berpesan “Kamu harus menikah sebelum umur 25 tahun".