Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia

tirto.id - Hubertus Johannes van Mook, Letnan Gubernur Jenderal untuk bekas wilayah Hindia Belanda, tiba di Makassar pada 14 Juli 1946. Perutusan dari daerah Kalimantan dan daerah-daerah lain di Indonesia timur juga datang ke Makassar. Mereka hendak menghadiri sebuah peristiwa bersejarah setelah Jepang angkat kaki.

Kala itu, bekas wilayah Hindia Belanda berada dalam kontrol dan wewenang tentara Sekutu: Inggris dan Australia. Tugas mereka salah satunya menjaga keamanan dan ketertiban.

Ketika Jepang masih berkuasa, Hindia Belanda dibagi menjadi tiga wilayah militer. Sumatra adalah wilayah dari Tentara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang ke-25 yang berkedudukan di Bukittinggi. Jawa wilayah Tentara Angkatan Darat Kekaisaran ke-16 yang berkedudukan di Jakarta. Sementara Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, serta Maluku dan sekitarnya merupakan wilayah Armada Selatan Ke-2 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang berpusat di Makassar. Sampai tahun 1950, kawasan di sebelah timur Kalimantan dikenal sebagai Timur Besar.

Ketika Jepang kalah pada 1945, tentara Inggris dan Australia sebagai bagian dari Sekutu menguasai ketiga wilayah tersebut. Di Kalimantan sebelah timur dan kawasan Indonesia Timur lainnya tentara Australia berjuang mati-matian merebut daerah-daerah itu dari pendudukan Jepang yang sulit dikalahkan. Sementara tentara Belanda yang kacau balau dan tak dapat diandalkan.

Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia

Ketika van Mook tiba di Makassar, tentara Australia yang berada di Makassar dan sekitarnya telah digantikan oleh tentara Inggris.

Sikap Sekutu yang diwakili Inggris menguntungkan Belanda yang kontribusinya dalam Perang Pasifik tidak bisa dibanggakan. Pada masa-masa perang itu, dengan berdirinya Nederlandsch Indië Civiele Administratie (NICA), Belanda lebih sibuk mencari cara untuk menguasai kembali Hindia Belanda dengan memanfaatkan fasilitas dari Sekutu.

Posisi Belanda di sekitar Sulawesi Selatan, seperti dicatat Barbara Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (1989:118), menjadi semakin kuat dengan dipindahkannya markas besar NICA dari Morotai ke Makassar. Belanda bahkan sempat melobi agar tanggungjawab kawasan ini diberikan kepada mereka ketika tentara Australia pulang ke negaranya. Namun, lobi itu ditolak dan Inggris mengirimkan Brigade ke-80 untuk menggantikan Australia.

Pada April 1946, NICA menangkap dan membuang Sam Ratulangi--Gubernur Sulawesi versi Republik Indonesia yang berkedudukan di Makassar—ke Serui, Papua.

Setelah tentara Jepang dilucuti dan ketertiban perlahan diusahakan oleh tentara Inggris dan Australia, maka tugas komando sekutu di Asia Tenggara alias South East Asia Command (SEAC) dianggap selesai.

Serah Terima dan Kekerasan

Sehari setelah van Mook tiba Makasaar, sebagaimana dicatat Ide Anak Agung Gde Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat (1985:97), di lapangan Karebosi dilangsungkan acara serah terima tanggung jawab pemerintahan dan keamanan seluruh wilayah Timur Besar (Indonesia Timur) dan Kalimantan, dari tentara Sekutu kepada Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili van Mook.

“Dengan ini orang Inggris terbebas dari sebagian besar kewajibannya. Sedangkan Spoor mendapat kebebasan bertindak terhadap angkatan bersenjata Republik," tulis Jaap de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia (2015:257).

Baca juga: Misteri Kematian Jenderal Spoor

Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia

Infografik Mozaik Serah Terima Inggris-Belanda. tirto.id/Nauval

Setelah itu, Letnan Gubernur Jenderal van Mook bertindak cepat. Ia dan wakil-wakil daerah yang tidak terpengaruh Republik Indonesia di Jawa ramai-ramai keluar kota Makassar, menuju ke daerah yang lebih sejuk, yaitu ke distrik Malino di Kabupaten Gowa.

“Hari berikutnya dimulai konferensi di Malino," tulis Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008). Konferensi tersebut bertujuan membentuk negara-negara bagian termasuk Negara Indonesia Timur (NIT).

Baca juga: Contoh Gagal Negara Indonesia Timur

Meski kekuasaan berpindah dari tentara Inggris ke Belanda, namun hal itu tak mengendurkan perlawanan rakyat Indonesia terhadap NICA.

Di Indonesia Timur, saat itu kekuasaan militer berada di tangan Kolonel de Vries, yang hingga akhir 1946 kewalahan menghadapi gangguan keamanan. Kondisi tersebut membuat Spoor mendatangkan satu kompi pasukan khusus pimpinan Kapten Raymond Westerling. Pasukan ini kemudian melahirkan tragedi berdarah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan.

Tanpa Inggris, KNIL dan NICA harus bekerja lebih keras menjaga daerah yang baru saja mereka kuasai kembali. Hal ini kemudian membuat militer Belanda bertindak lebih keras dan brutal terhadap rakyat Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/irf)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Array

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

"Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi Produk merupakan istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook yang menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi.[1] Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggarjati.

Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia
Agresi Militer Belanda I
Operatie ProductBagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Iring-iringan truk infanteri Belanda saat Operasi Produk, Aksi Polisionil Belanda yang pertama.
Tanggal21 Juli - 5 Agustus, 1947
LokasiJawa, Sumatra
Hasil Pengambilalihan pusat ekonomi Sumatra dan pelabuhan Jawa oleh Belanda
Pihak terlibat
Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia
Republik Indonesia
Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia
Kerajaan BelandaTokoh dan pemimpin
Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia
Soedirman

Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia
Simon Hendrik Spoor

Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia
Alvin Spoor

Apa tujuan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia
Hubertus van MookKekuatan sekitar 500.000 200,000

Kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya menyebabkan Belanda harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.[1] Setelah itu, Indonesia dijajah oleh Jepang hingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Kemerdekaannya.[1] Pada tanggal 23 Agustus 1945, pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Mereka tiba di Jakarta pada 15 September 1945. Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda membawa kepentingan lain, yaitu menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait konsepsi kenegaraan di Indonesia.[1] Pidato pada tanggal 6 Desember 1942 melalui siaran radio menyebutkan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) di bawah naungan Kerajaan Belanda.[1]

Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda, sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn.[1] Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus hingga Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Pimpinan RI menolak permintaan Belanda tersebut. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai.[1]

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal Ilham Ard mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama . Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatra Barat.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.

Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. PBB langsung merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. PBB mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan resminya.[1]

Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Gencatan senjata akhirnya tercipta, akan tapi hanya untuk sementara. Belanda kembali mengingkari janji dalam perjanjian yang disepakati berikutnya dengan menggencarkan operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. operasi militer tersebut dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.[1]

  1. ^ a b c d e f g h i "Agresi Militer I: Saat Belanda Mengingkari Perjanjian Linggarjati - Tirto.ID". tirto.id. Diakses tanggal 2018-07-29. 
  • Agresi Militer Belanda II
  • Aksi Polisionil

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Agresi_Militer_Belanda_I&oldid=21397993"