Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Bahasa Inggris: United Nations Convention on the Rights of the Child) adalah sebuah konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak. Negara-negara yang meratifikasi konvensi internasional ini terikat untuk menjalankannya sesuai dengan hukum internasional. Pelaksanaan konvensi ini diawasi oleh Komite Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa yang anggota-anggotanya terdiri dari berbagai negara di seluruh dunia. Setiap tahun, Komite ini memberikan laporan kepada Komite Ketiga Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga akan mendengar pernyataan ketua Komite Hak-Hak Anak dan mengadopsi resolusi mengenai Hak-Hak Anak.[4] Pemerintah negara yang telah meratifikasi konvensi ini diharuskan untuk melaporkan dan hadir di hadapan Komite Hak-Hak Anak secara berkala untuk mengevaluasi kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam mengimplementasikan Konvensi ini dan status hak-hak anak dalam negara tersebut. Laporan-laporan tiap negara beserta pandangan tertulis komite dapat diakses di situs web komite.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi konvensi ini dan terbuka untuk penandatangan pada tanggal 20 November 1989 (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Asasi Anak).[5] Konvensi ini berlaku pada tanggal 2 September 1990 setelah jumlah negara yang meratifikasinya mencapai syarat. Sampai dengan Desember 2008, 193 negara telah meratifikasinya,[1] meliputi keseluruhan negara-negara anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.[4][6] Dua protokol tambahan juga diadopsi pada tanggal 25 Mei 2000. Protokol Tambahan mengenai Keterlibatan Anak-Anak dalam Konflik Senjata membatasi keterlibatan anak-anak dalam konflik-konflik militer, dan Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Perdagangan Anak-Anak, Prostitusi Anak-Anak, dan Pornografi Anak-Anak melarang perdangan, prostitusi, dan pornografi anak-anak. Kedua protokol tambahan ini telah diratifikasi oleh lebih dari 120 negara.[7] as of May 2009, 128 states are party to the protocol and another 28 states have signed but not yet ratified it.[7][8] Konvensi ini secara umum mendefinisikan seorang anak sebagai umat manusia siapapun yang berusia di bawah 18 tahun, terkecuali apabila telah ditentukan oleh hukum negara bersangkutan.
Konvensi Hak Anak merupakan wujud nyata atas upaya perlindungan terhadap anak, agar hidup anak menjadi lebih baik. Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak di Tahun 1990 banyak kemajuan yang telah ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak. Dalam menerapkan Konvensi Hak Anak, negara peserta konvensi punya kewajiban untuk melaksanakan ketentuan dan aturan-aturannya dalam kebijakan, program dan tata laksana pemerintahannya. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, yang artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tersebut terikat pada janji-janji yang ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian hukum international tentang hak-hak anak. Konvensi ini secara sederhana dapat dikelompokkan kedalam 3 hal. Pertama, mengatur tentang pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk dilindungi, dipenuhi dan ditingkatkan. Relasi antara pemegang hak dan pemangku kewajiban dapat digambarkan sebagai berikut: Relasi antara pemegang hak [anak] dan pemangku kewajiban [negara]Bagan di atas menunjukkan negara punya kewajiban untuk melindungi, memenuhi, menghormati, mempromosikan hak-hak anak. Sedangkan anak, karena dianggap belum matang secara fisik dan mental maka kewajiban anak dianggap beralih pada orang dewasa yang menjadi pengasuhnya, baik keluarga maupun pengasuh dalam bentuk lain seperti adopsi dan lainnya.Dalam sejarahnya, Konvensi Hak Anak pertama kali digagas oleh Eglante Jebb pada 1923 lewat Deklarasi Hak Anak yang berisi 10 butir pernyataan hak anak. Lima tahun kemudian deklarasi tersebut diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa dan dikenal dengan sebutan Deklarasi Jenewa. Majelis umum PBB kemudian ikut mengadopsinnya pada 1948. Pada 1979, dibentuk sebuah kelompok kerja untuk membuat rumusan Konvensi Hak Anak. 10 tahun kemudian, konvensi tersebut diadopsi oleh Majelis Umum PBB dan akhirnya pada 2 September 1990 Konvensi Hak Anak mulai diberlakukan. Konvensi Hak Anak berisi 54 pasal. Komite Hak Anak PBB mengelompokkan Konvensi Hak Anak ke dalam 8 klaster, yang berisi Langkah-langkah implementasi umum, definisi anak, prinsip-prinsip umum, hak-hak sipil dan Kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan pengganti, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya dan langkah-langkah perlindungan khusus. Pasal-pasal dalam Konvensi Hak Anak berdasarkan klaster sebagai berikut:
Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keppres No.36 tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Konsekwensi atas telah diratifikasinya Konvensi Hak Anak tersebut, maka Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dan atau memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak yang diakui dalam KHA yang secara umum memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap anak, agar anak dapat merasakan seluruh hak-haknya, sehingga terjauh dari tindakan kekerasan dan pengabaian. Sebagai individu maupun negara, sudah seharusnya setiap orang menyimak pasal demi pasal rumusan Konvensi Hak Anak yang terdiri dari 3 bagian yang mencakup kandungan substantif hak anak, mekanisme pelaksanaan dan pemantauan, serta pemberlakuan sebagai hukum yang mencakup secara internasional. Sehingga setidaknya akan mampu mendapat pemahaman tentang empat kategori Hak Anak yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak memperoleh perlindungan dan hak untuk berpartisipasi atau dihargai pendapatnya. Kemudian setelahnya adalah melakukan monitoring situasi dengan mengum[ulkan berbagai bahan atau informasi tentang masalah seputar anak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang isu anak. Periksa ulang kembali segala informasi yang didapatkan untuk memastikan keakuratan informasi tersebut. Kemudian lakukan analisis situasi untuk memetakan berbagai masalah anak secara periodik Terkait dengan hak-hak anak selain mengacu kepada KHA, kita juga dapat menghubungkannya dengan berbagai instrument yang terkait dengan anak, seperti Konvensi ILO, Deklarasi dan sebagainya yang juga merupakan perjanjian-perjanjian International. Dengan adanya KHA (dan instrument international mengenai HAM lainnya) dapat digunakan sebagai acuan yang bisa digunakan untuk melakukan advokasi bagi perubahan atau mendorong lahirnya peraturan perundangan, kebijakan-kebijakan ataupun program yang lebih baik bagi anak-anak. Aplikasi KHA dalam Hak atas Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya Hak Anak atas pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya dapat kita lihat menggunakan instrument hukum yang ada baik secara international maupun nasional. Daftar instrument hukum yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam hak anak atas pendidikan meliputi Instrumen international yang berisi Konvensi Hak –Hak Anak khususnya pasal-pasal 28, 29, dan 31, Konvenan International Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya khususnya pasal 13 dan Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan (UNESCO Convention against Discrimination in Education). Sementara untuk Instrumen nasional berisi Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Dengan menggunakan instrument pemantauan hak atas pendidikan pada anak, maka kita dapat memperoleh gambaran mengenai desain sistem serta strategi pendidikan yang ada di Indonesia, dan dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk menyiapkan kepentingan advokasi baik tingkat nasional maupun international. Dalam Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Indonesia tahun 1997-2009 tentang pendidikan dalam hal kekerasan di sekolah, Komite Hak Anak memberikan rekomendasi ke pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan-tindakan dalam mengurangi kekerasan di sekolah sekolah. Ornop Koalisi melihat bahwa pemerintah telah mengatur perlindungan anak dari kekerasan di sekolah melalui UU No. 23/2002 tentang PA pasal 54 yang berbunyi ”Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Referensi:
Penulis: Ema Vidiastuti Utami Staf Departemen Penguatan Masyarakat SATUNAMA |