Wanita yang menunaikan ibadah haji harus disertai dengan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan al-Baihaqi, Umar bin Khattab diceritakan pernah memberikan izin kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW untuk menunaikan ibadah haji. Khalifah Umar lalu mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf untuk mengawal mereka.

“Utsman kemudian mengumumkan kepada orang-orang agar tak ada seorang pun yang mendekati mereka (istri-istri Nabi SAW), dan jangan memandangi mereka kecuali hanya sekilas. Mereka berada di dalam sekedup di atas unta. Selanjutnya, Utsman menurunkan mereka di atas lorong bukit. Lalu, Utsman bersama dengan Abdurrahman turun dari belakang unta. Dan, tak ada seorang pun yang naik ke atas bukit untuk menemui mereka,” demikian hadis tersebut.

Berdasarkan dalil itu, mazhab fikih Imam Maliki menetapkan, “Perempuan boleh pergi menunaikan ibadah haji dengan syarat disertai teman perempuan atau pendamping yang bisa dipercaya, apabila jarak antara Makkah dan tempat tinggalnya dalam jarak tempuh perjalanan sehari semalam.”

Pendapat senada juga diambil mazhab Imam Syafii, “Perempuan boleh keluar bersama beberapa kaumnya yang bisa dipercaya, apabila melakukan perjalanan jarak jauh.”

Pendapat berbeda disampaikan mazhab Hanafi dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Keduanya menetapkan, perempuan tak boleh keluar untuk pergi menunaikan ibadah haji apabila tidak disertai suami atau mahramnya.

Terkait hadis di atas, keduanya berargumen bahwa baik Utsman maupun Abdurrahman bin Auf masih termasuk mahram bagi istri-istri Nabi SAW.

Apakan boleh bagi seorang wanita menunaikan haji atau umroh bersama rombongan tertentu, atau sekelompok wanita, jika tidak menemukan mahram yang bisa menemaninya?

Alhamdulillah.

Pertama:

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini sejak dahulu sampai sekrang. Sebagian mereka mengatakan: “Dibolehkan bagi seorang wanita menunaikan ibadah haji tanpa mahram, jika perjalanannya aman, dan bersama teman-teman wanitanya yang dapat dipercaya.

Sebagian ulama yang lain mengatakan: “Tidak boleh bagi seorang wanita menunaikan ibadah haji kecuali dengan mahram yang menjaganya, meskipun ia berangkat dengan teman-temannya yang dapat dipercaya. Ini pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Mereka berdalil dengan beberapa hal di bawah ini:

1. عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : ( لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم ، ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها محرم ، فقال رجل : يا رسول الله ، إني أريد أن أخرج في جيش كذا وكذا وامرأتي تريد الحج ، فقال : اخرج معها ) رواه البخاري ( 1763 ) ومسلم ( 1341 (

Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram, dan tidak boleh mempersilahkan tamu laki-laki kecuali ia bersama mahramnya”. Seseorang berkata: Ya Rasulullah, saya ingin bergabung dengan pasukan tertentu, sedang istri saya ingin menunaikan ibadah haji. Rasulullah bersabda: “Pergilah bersamanya”. (HR. Bukhori 1763 dan Muslim 1341) 

2. عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم ( لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم عليها ) رواه البخاري (1038) ومسلم (133) . وعند البخاري (1139) ومسلم (827) من حديث أبي سعيد : ( مسيرة يومين (

 Dari Abu Hurairah –radiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian selama sehari semalam perjalanan kecuali dengan mahram”. (HR. Bukhori 1038 dan Muslim 133) dan dalam riwayat Bukhori 1139 dan Muslim 827 dari hadits abu Sa’id tertera: “selama dua hari perjalanan”.

Ibnu Hajar berkata:

“Batasannya pada hadits Abu Sa’id dalam sabdanya: “selama dua hari perjalanan”. Dalam hadits Abu Hurairah: “selama satu hari satu malam perjalanan”, dan ada beberapa riwayat yang lain. Seperti hadits Ibnu Umar: “selama tiga hari perjalanan”

Dalam masalah ini kebanyakan para ulama menjadikan beberapa riwayat di atas muthlak (umum) karena perbedaan batasan masing-masing.

Imam Nawawi berkata:

“Maksud dari batasan dalam riwayat tersebut bukan jumlah hari perjalanannya, akan tetapi semua perjalanan yang dianggap safar, maka wanita dilarang keluar kecuali dengan ditemani mahram. Batasan hari di atas adalah realita yang terjadi pada masa itu, bukan difahami minimal perjalanan harus selama itu”. Ibnul Munir berkata: “ Terjadi perbedaan tersebut pada daerah yang disesuaikan dengan para penanya”. (Fathul Baari: 4/75)

Kedua:

Beberapa dalil yang menyatakan tidak wajib berangkat dengan mahram adalah sebagai berikut:

1. عن عدي بن حاتم رضي الله عنه قال : ( بينا أنا عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ أتاه رجل فشكا إليه الفاقة ثم أتاه آخر فشكا قطع السبيل فقال : يا عدي هل رأيت الحيرة ؟ قلت : لم أرها وقد أنبئت عنها . قال : فإن طالت بك حياة لترين الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف بالكعبة لا تخاف أحدا إلا الله ، قال عدي : فرأيت الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف بالكعبة لا تخاف إلا الله ) رواه البخاري  3400)

Dari ‘Adiy bin Hatim –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Ketika saya berada bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, tiba-tiba datang seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah tentang kefakirannya, dan seorang lagi tentang kehabisan bekalnya. Beliau bersabda: “Ya ‘Adiy, apakah kemu melihat al Hairah?, saya berkata: saya tida melihatnya, dan telah diinformasikan. Beliau bersabda: “Apabila kamu panjang umur, maka kamu akan melihat seorang wanita melakukan perjalanan dari “al hairah” sampai thawaf di Ka’bah , ia tidak takut apapun kecuali Allah”. ‘Adiy berkata: Lalu saya melihat seorang wanita berangkat dari “al Haira” sampai thawwaf di sekeliling Ka’bah, ia tidak takut kejenuhan”. (HR. Bukhori: 3400)

Sanggahan dari dalil di atas bahwa itu merupakan berita dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dimana peristiwa tersebut akan terjadi. Yang demikian itu tidak menandakan akan boleh atau tidaknya sesuatu, sesuai dengan dalil-dalil syari’ah. Sebagaimana berita Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- tentang tersebarnya minuman keras, zina dan pembunuhan sebelum datangnya hari kiamat, padahal semua itu haram termasuk dosa besar.

Maksud dari hadits di atas adalah: bahwa akan tersebarnya rasa aman, sampai sebagian wanita berani melakukan perjalanan sendirian tanpa mahram. Bukan berarti seorang wanita boleh bepergian tanpa mahram.

Imam Nawawi –rahimahullah- berkata: “Tidak semua apa yang dikabarkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang tanda-tanda hari kiamat itu haram dan tercela. Seperti para pengembala berlomba meninggikan bangunan, melimpahnya harta, lima puluh wanita memiliki satu tuan, ini semua bisa dipastikan tidak haram. Akan tetapi semua ini tanda-tanda saja, dan tanda itu terkadang baik, buruk, mubah, haram, wajib, dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Hendaknya diketahui bahwa perbedaan para ulama tentang mahram menjadi syarat wajibnya wanita menunaikan haji, hanya pada haji yang wajib. Adapun haji yang sunnah semua para ulama sepakat seorang wanita tidak boleh berangkat kecuali dengan suami atau mahramnya. (Mausu’ah Fiqhiyah: 17/36)

Ulama Lajnah Daimah mengatakan: “Wanita yang tidak memiliki mahram, belum wajib menunaikan ibadah haji; karena mahram bagi wanita bagian dari bekal dan kemampuan dalam melakukan perjalanan, kemampuan ini menjadi syarat wajibnya haji, Allah Ta’ala berfirman:

( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ) آل عمران / 97 )

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali Imran: 97)

Jadi, tidak boleh seorang wanita bepergian baik untuk haji atau yang lainnya kecuali bersama suami atau mahramnya, inilah pendapat al Hasan, an Nakho’i, Ahmad, Ishak, Ibnul Mundzir, dan para pemikir. Pendapat inilah yang benar, sesuai dengan ayat di atas dan beberapa hadits yang melarang wanita bepergian kecuali dengan suami atau mahramnya.

Imam Malik, Syafi’i dan Auza’i berpendapat sebaliknya, dengan memberikan syarat yang tidak bisa dijadikan hujjah/alasan. Ibnul Mundzir berkata: Mereka meninggalkan pendapat dengan redaksi hadits, setiap mereka memberikan syarat yang tidak bisa dijadikan hujjah”.

(Fataw Lajnah Daimah: 11/90-91)

Mereka juga mengatakan:

“Pendapat yang benar adalah bahwa seorang wanita tidak boleh menunaikan ibadah haji kecuali dengan suami atau mahramnya yang laki-laki, tidak diperbolehkan juga ia berangkat bersama beberapa wanita lain yang bukan mahramnya meskipun dapat dipercaya, atau tidak boleh juga bersama bibi dari bapaknya, bibi dari ibunya, atau dengan ibunya. Jadi, harus dengan suami atau mahrmnya yang laki-laki. Kalau tidak ada, maka ia belum wajib menunaikan ibadah haji”. (Fatawa Lajnah Daimah: 11/92)

Wallahu a’lam.

Red:

Ibadah haji termasuk kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Ali Imran ayat 97, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." Dari perintah tersebut para ulama merumuskan syarat orang yang diwajibkan haji, yakni Islam, berakal, baligh, merdeka, dan mampu. Khusus untuk Muslimah, ada satu syarat tambahan, yaitu harus ada mahram yang menemani. Mengenai syarat mahram yang menemani seorang wanita menunaikan haji, ada beberapa pendapat di kalangan ulama. Mahram dalam haji pengertiannya tidak semakna dengan mahram dalam ayat tentang pernikahan. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan mahram adalah orang yang haram menikahi wanita itu secara terus-menerus tak ada sesuatu sebab yang menghilangkan keharamannya.

Mahram dalam ibadah haji cakupannya lebih sempit dan lebih terkait pada hubungan keluarga dan seketurunan. Paling jauh bila dihubungkan dengan pengelompokan mahram, sebatas mahram yang muabbad (tidak boleh dinikahi untuk selamanya) bukan muaqqat (sementara waktu).

Pendapat pertama, seorang wanita tidak wajib haji ketika tidak ada mahram yang menemaninya. Para ulama ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, "Janganlah seseorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali ada bersamanya mahram. Dan janganlah seorang perempuan bersafar, kecuali ada mahram bersamanya." Setelah Nabi menyabdakan yang demikian, berdirilah seorang lelaki dan berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya istriku ingin menunaikan ibadah haji dan aku telah mencatatkan diri untuk turut dalam peperangan itu dan itu." Rasulullah yang mendengar pertanyaan tersebut menjawab, "Pergilah menunaikan ibadah haji bersama istrimu!" (HR Bukhari dan Muslim). Yahya ibnu Abbas menceritakan, pernah ada seorang wanita dari penduduk Ray menulis surat kepada Ibrahim An-Nakha’i yang bunyinya, "Sesungguhnya aku seorang wanita kaya, tapi tidak punya mahram, apakah saya wajib mengerjakan haji?" Maka Ibrahim menjawab dalam surat balasannya,"Sesungguhnya engkau adalah dari orang yang Allah tidak dibuka jalan baginya untuk haji." Syarat yang tersebut ini, yaitu adanya mahram, dipandang salah satu dari segi kemampuan. Pendapat itu dipegang oleh Abu Hanifah, An-Nakha’i, Al-Hasan, Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq. Selain itu, menurut Mazhab Syafi’i, definisi mahram yang menemani haji tidak harus suami. Adanya suami atau mahram dapat digantikan oleh sejumlah wanita kepercayaan. Dalam kitab al-Imla’, Imam Syafi’i berpendapat bolehnya wanita berangkat haji meski hanya ditemani satu wanita kepercayaan. Bahkan dalam pendapat lain, jika perjalanannya aman, seorang wanita boleh berhaji tanpa disertai wanita lain. Beberapa dalil yang dipakai tentang kebolehan wanita haji tanpa mahram, yakni hadis dari Nafi’ yang merupakan budak Abdullah bin Umar. Suatu ketika para bekas budak wanita Ibnu Umar pernah bersafar menunaikan haji bersama dengan Abdullah bin Umar. Artinya para wanita tersebut pergi menunaikan haji tanpa mahramnya.

Ada juga dalil hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi dari Ummul Mukminin Aisyah RA. Dalil ini termaktub dalam kitab al-Muhalla karya Ibnu Hazm. "Suatu ketika seseorang bertanya kepada Aisyah tentang apakah setiap wanita saat bersafar harus dengan mahramnya?" Aisyah menjawab, "Tidak semua wanita memiliki mahram."

Jawatan kuasa Fatwa Negeri Johor, Malaysia, mengeluarkan syarat ketat bagi wanita yang akan pergi haji tanpa mahram. Pertama, aman perjalanan dan terjamin keselamatannya. Mahram atau suami memang tidak bisa mendampingi karena alasan syar’i. Karena itu, mendapat izin dari mahram kalau ada; menempuh perjalanan dalam kendaraan yang ramai penumpang; bersama kumpulan perempuan yang tepercaya; dan memiliki bekal yang cukup selama perjalanan. Selain itu, tidak memiliki sakit yang bisa merepotkan orang lain; selalu mengabarkan keadaan kepada keluarga di rumah; dan perjalanannya memang untuk ibadah semata bukan untuk jalan-jalan dan berbelanja. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany

  • republika
  • koran
  • haji wanita
  • hajah
  • berhaji tanpa mahram

Wanita yang menunaikan ibadah haji harus disertai dengan