Wajar kalau dia seperti bapaknya karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya artinya sifat anak tidak jauh dari orangtuanya.

Peribahasa Indonesia
A B C D E F G H I J K L M N
O P Q R S T U V W X Y Z

Meskipun zaman sudah maju, namun nilai-nilai kehidupan haruslah tetap dipegang teguh. Orang tua zaman dulu telah memberikan nasihat-nasihat seputar nilai-nilai hidup melalui bahasa Sunda. Tak terkecuali karuhun (leluhur) Sunda pun meninggalkan nasihat-nasihat kehidupan berupa peribahasa.

Wajar kalau dia seperti bapaknya karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya

Nasihat-nasihat kehidupan tersebut di masyarakat Sunda terdapat dalam babasan dan paribasa. Ya, walaupun dalam kondisi kekinian babasan dan paribasa tersebut semakin jarang dipakai dalam penggunaan sehari-hari. Namun alangkah lebih baiknya bila kita mencoba mengenal peribahasa warisan leluhur tersebut.

Babasan merupakan ucapan yang lebih pada aspek konotasi. Dalam babasan sudah pasti patokannya (bahasa pakeman) serta digunakan pada arti pinjaman. Dengan demikian, bukan arti yang sebenarnya alias lebih pada perbandingan dari sifatnya satu benda atau keadaan dan sudah menjadi satu kesatuan kalimat. Babasan diucapkan dalam situasi tertentu sebagai pangeling (pengingat) akan perilaku yang sebaiknya dilakukan ataupun mencegah perilaku yang dilarang. Kalimat dalam babasan pun biasanya lebih pendek dibanding paribasa.

Adapun paribasa lebih kepada perumpamaan yang menitikberatkan pada hal berbuat baik, melarang perbuatan buruk, ataupun hal lainnya yang berisi petuah nilai-nilai kehidupan. Berikut ini beberapa contoh babasan dan paribasa.

Contoh babasan:


1. Panjang leungeun: panjang tangan. Artinya: suka mencuri, ini sama dengan peribahasa yang ada dalam bahasa Indonesia

2. Bisa lolondokan: bisa seperti bunglon.

Artinya: bisa mengikuti atau menempatkan diri dengan kebiasaan orang lain supaya akrab.

3. Nyalindung ka gelung: berlindung pada sanggul.

Artinya: suami yang dinafkahi istrinya.

4. Ngadu angklung: mengadu angklung

Artinya: banyak saling omong yang tiada gunanya (kosong, dimana angklung sendiri di dalamnya sendiri kosong).

5.Hampang birit: ringan bokong

Artinya: tidak malas, mudah disuruh

6. Biwir nyiru rombéngeun (tepian nyiru rusak): cerewet, semua rahasia diceritakan. Nyiru sendiri merupakan peralatan dari bambu, biasa dipakai untuk membersihkan beras.


7. Buburuh nyatu diupah emas: belajar tetapi sambil minta diberi upah padahal gunanya untuk dirinya sendiri. Buburuh artinya bekerja pada orang lain, nyatu: makan (bahasa kasar).
8. Élmu tumbila (tumbila = kutu busuk): pribumi merugikan tamu. Ini layaknya kutu yang ikut hidup di kita, namun keberadaannya merugikan.
9. Hadé gogog, hadé tagog: halus bahasanya dan baik sikapnya. Gogog sebenarnya istilah untuk bersuara, misal pada anjing (ngagogog).  Tagog, artinya tampilan/sikap.
10. Heuras létah (keras lidah): hatinya keras, omongannya kasar.
11. Kandel kulit beungeut (tebal kulit muka): Tidak punya rasa malu.
12. Katuliskeun jurig (jurig = hantu): asalnya main-main jadi serius. Misalnya yang ngomong secara bercanda bahwa temannya akan kecelakaan, eh ternyata benar celaka.
13. Kudu boga pikir kadua leutik (harus punya pikir kedua yang kecil): harus punya rencana/pikiran lain atau alternatif.
14. Lungguh tutut (pendiam keong sawah): Sepertinya pendiam padahal liar/nakal. Bila dilihat, keong sawah jalannya memang lambat dan pendiam, namun satu kotak sawah bisa dia jelajahi.
15. Pindah cai pindah tampian (pindah air, pindah tempat mandi): pindah tempat pindah adat, menyesuaikan dengan adat dan kebiasaan di tempat baru (lain padang lain ilalang).

Contoh paribasa:


1. Ati mungkir beungeut nyanghareup: hati menolak, wajah di depan. Artinya: Pura-pura. Di hadapan seperti bersikap baik, tetapi di belakang sebaliknya.

2. Caina hérang, laukna beunang: airnya bening, ikannya dapat.

Artinya: Semua bisa berhasil tanpa menimbulkan masalah.

3. Halodo sataun lantis ku hujan sapoé: kemarau setahun, hilang oleh hujan sehari.

Artinya: Kebaikan yang sangat banyak hilang gara-gara satu kali melakukan perbuatan jelek.

4. Jati kasilih ku junti (junti = serupa jati kecil): pohon jati kalah oleh pohon junti.

Artinya: pribumi kalah oleh pendatang.

5. Uyah tara téés ka luhur (garam tidak mencair ke atas).

Artinya: Sifat orang tua turun ke anak (buah jatuh tidak jauh dari pohonnya/air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan). BACA JUGA:

Daftar Tempat Wisata Favorit Kekinian di Jawa Barat

6. Adéan ku kuda beureum: sombong dengan milik orang lain, bisa juga berpenampilan gaya dengan hasil minjam. (Adéan sendiri merupakan salah satu jenis cara kuda lari, sepertinya dia yang gagah padahal yang bikin gagahnya adalah larinya kuda).


7. Alak-alak cumampaka (alak-alak = bunga seperti cempaka / alak-alak menyerupai bunga cempaka): orang bodoh merasa sama dengan orang pintar.
8. Anjing ngagogogan kalong (anjing mengonggong kalong): ingin kepada yang tidak layak, atau mengangankan yang tidak mungkin terjadi (bagai pungguk merindukan bulan).
9. Ari umur tunggang gunung, angen-angen pecat sawed: Orang tua yang berperilaku seperti anak muda. Umurnya sudah menjelang senja (seperti cahaya matahari di punggung gunung/tunggang gunung, tapi serasa cahaya di pagi hari/pecat sawed),
10. Asa aing uyah kidul: merasa paling gagah, pintar, tampan, dan sebagainya. (asa aing = merasa diri, uyah kidul = garam selatan/garam paling bagus)
11. Aya bagja teu daulat: mau dapat bahagia/untung tetapi tidak jadi.
12. Batok bulu eusi madu: luarnya jelek, dalamnya bagus. Seperti orang bodoh padahal pintar, misal Mr Bean. (Batok bulu: kulit kelapa yang sudah berbulu/tua dan isinya biasanya jarang disukai, eusi madu = isinya madu)
13. Buluan belut, jangjangan oray (belut berbulu, ular bersayap): Sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
14. Cara kuda leupas ti gedogan: seperti kuda lepas dari kandang, keluar rumah langsung berperilaku bebas/liar seakan lepas dari kungkungan.
15. Daék macok embung dipacok (mau mematuk tidak mau dipatuk): mau diberi tidak mau memberi.
16. Dagang oncom rancatan emas (dagang oncom pemikulnya terbuat dari emas): Hasilnya sedikit tapi modalnya besar (bahasa Indonesia: Besar pasak daripada tiang).
17. Ditiung geus hujan (dikerudung setelah hujan): Bersikap hati-hati setelah celaka.
18. Dogong-dogong tulak cau, geus gedé dipelak batur: ungkapan untuk orang yang menandai perempuan sejak kecil, dengan memberi apa saja supaya nanti bisa dinikahi. Tetapi ketika dewasa malah dinikahi oleh orang lain.  (dogong = penahan, tulak = sebatang kayu/bambu untuk penahan, cau = pisang, dipelak = ditanam )
19. Hulu dugul dihihidan (kepala gundul dikipas): yang untung bertambah untung.
20. Indung lembu bapa banténg (ibu sapi bapak banteng): keturunan gagah, keturunan bangsawan.
21. Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak (ke air jadi satu sungai, ke darat jadi satu daratan): bersama-sama dalam persatuan dan kesatuan.
21. Katempuhan buntut maung: jadi pengganti kesusahan orang lain. (katempuhan = terkena imbas/ikut tersalahkan, buntut = ekor maung = harimau. Diibaratkan harimau adalah masalah, kepalanya yang kena masalah besar, tapi merembet sampai ekornya).
22. Kéjo asak, angeun datang (nasi matang, sayur datang): cepat yang dimaksud/tidak dilama-lama.
23. Kokoro manggih mulud, puasa manggih lebaran: orang yang ajimumpung, serakah dan tidak tahu batas. Kokoro = kelaparan, mulud = maulud, bulan biasanya banyak yang mengadakan hajatan. Puasa manggih lebaran = puasa ketemu lebaran, biasanya makan banyak karena sebulan puasa.
24. Lauk buruk milu mijah: ikan busuk ikut pergi ke tempat bertelur, ikut-ikutan kepada hal yang tidak baik karena terbawa arus.
25. Mihapé hayam ka heulang (menitipkan ayam ke elang): menitipkan harta kepada pencuri/orang yang tidak bisa dipercaya.
26. Monyét kapalingan jagong: monyet kecurian jagung. Pencuri jadi korban pencurian, penipu yang tertipu.
27. Monyét ngagugulung kalapa: monyet mengurus kelapa dimana cara membukanya pun, si monyet bingung. Mempunyai/menggarap sesuatu tetapi tidak tahu cara menggunakan/melakukannya.
28. Nyiduh ka langit (meludah ke langit): memberi nasihat kepada orang yang lebih tua umurnya.
29. Pupulur méméh mantun: minta upah sebelum kerja. Pupulur = suguhan/upah, mantun dari kata pantun = jenis kesenian tembang Sunda buhun/zaman dulu.
30. Sagalak-galakna maung, moal ngahakan anakna: sebuas-buasnya harimau, tidak akan memangsa anaknya meski jahat tidak akan membunuh anaknya sendiri. ------

Kumpulan artikel Belajar Bahasa Sunda lainnya LIHAT DI SINI

Oleh : Ista Maharsi, S.S., M.Hum

Pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” sudah sering kita dengar dan jamak dipakai untuk mengacu pada adanya kemiripan sikap, perilaku, dan pola pikir antara orang tua dengan anak-anak mereka. Namun, benarkah demikian? Dua kisah di bawah ini dapat membantu menjelaskan benar tidaknya pepatah tersebut.

Kisah 1

Di sebuah siang yang terik, di antara kerumunan anak-anak SD yang baru saja usai sekolah dan para orang tua yang didominasi ibu-ibu, ada seorang anak, sebut saja Rayyan, minta dibelikan jajan dengan cara berteriak kepada ibunya. Lalu sang ibu pun merespon dengan nada tinggi dan tatapan sedikit marah sambil mengatakan bahwa Rayyan tidak boleh jajan lagi. Rayyan tetap merengek minta jajan dengan nada yang bahkan lebi tinggi dari sebelumnya. Dengan cepat si ibu menarik tangan si anak sambil terus memarahi anaknya tentang larangan jajan itu. Drama pun berlanjut sampai mereka menghilang di dalam mobil yang melaju pelan meninggalkan sekolah.

Kisah 2

Di sebuah siang di sekolah lain, Affan, yang berumur 8 tahun merajuk ibunya agar dibelikan sepeda baru seperti kepunyaan temannya. Si ibu menjelaskan kepada Affan sambil menuntun Affan duduk di sebuah kursi. Si ibu pelahan menjelaskan bahwa sepeda Affan masih dalam kondisi baik dan masih sangat layak dipakai. . Si ibu menambahkan bahwa banyak teman Affan yang bahkan tidak punya sepeda, jadi Affan harus bersyukur karena mempunyai sepeda yang masih bagus. Affan tak bergeming. Si ibu pun akhirnya mengatakan bahwa Affan bisa mendapatkan sepeda baru tapi dengan beberapa syarat. Sambil menggandeng Affan menuju motor mereka di tempat parkir, si ibu melanjutkan penjelasannya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan Affan: 1) Affan menyisihkan sebagian uang jajan sampai terkumpul dua ratus ribu rupiah. Si ibu berjanji akan membelikan celengan untuk uang jajan yang disisihkan tersebut; 2) Sholat Affan tidak boleh bolong-bolong. Affan terdiam tapi akhirnya menyetujuinya.

Pada kasus 1, dapat diasumsikan bahwa Rayyan kemungkinan meniru apa yang dilakukan si ibu saat meminta sesuatu atau memberi respon terhadap sesuatu. Teriakan dan nada tinggi mungkin sudah diperlihatkan si ibu sejak Rayyan kecil. Kemudian, sikap si ibu yang menarik tangan Rayyan sambil terus menerus memarahi dapat diasumsikan oleh Rayyan sebagai contoh bentuk kekerasan yang diperbolehkan.

Sementara pada kasus 2, si ibu melakukan negosiasi dan diskusi. Nada bicara yang lembut dan sikap pada saat bicara juga menunjukkan bahwa perbedaan pendapat dapat dilakukan dengan cara baik, tanpa berteriak dan marah-marah. Bisa dibayangkan kan bagaimana reaksi si ibu jika Rayyan yang minta dibelikan sepeda baru, bukan sekedar jajan?

Seorang anak belajar kekerasan dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang-orang di sekitarnya. Cara memberi pelajaran kepada anak tentang larangan melakukan kekerasan dilakukan tidak hanya dengan memberitahukan kepada mereka tentang larangan tersebut tetapi lebih kepada memperlihatkan bagaimana bersikap dan bertingkah laku dengan baik dan tanpa kekerasan (Heflick, 2011). Dengan demikian, jelas bahwa perilaku orang tua akan cenderung ditiru oleh anak-anak mereka. Dengan kata lain, jika seorang anak melakukan tindakan-tindakan seperti memerintah dengan berteriak, marah-marah, memukul saat emosi, merusak barang, dan perilaku-perilaku agresif lainnya, kemungkinan besar perilaku tersebut dipengaruhi oleh perilaku orang tuanya yang sering disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu, bagaimana dengan perintah Allah di dalam Al-Quran Surat Luqman Ayat 14 tentang kewajiban anak berbuat baik kepada orang tuanya?

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1]. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman : 14).

Apakah anak yang dibesarkan dengan berbagai kekerasan dalam rumah dapat dan tetap wajib mengasihi dan menyayangi orang tuanya?

Di sinilah hubungan antara pengetahuan orang tua tentang keasadaran pentingnya pendidikan dan pola asuh terhadap anak. Pengetahuan orang tua tentang bagaimana cara mendidik dan membesarkan anak menjadi dasar pola asuh anak. Orang tua yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan wawasan luas serta berpikiran terbuka cenderung lebih baik dalam mendidik anak. Sebaliknya, orang tua yang pengetahuannya terbatas dan tidak memiliki pola pikir terbuka cenderung lebih meyakini dan mempraktikkan pola asuh yang diberikan orang tua mereka dulu waktu masih kecil. Padahal belum tentu itu benar dan bahwa kondisi perkembangan lingkungan sekitar sudah sangat berbeda.

Ayat tersebut jelas memerintahkan setiap anak untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya tanpa syarat. Jadi, meskipun seorang anak mungkin diperlakukan tidak baik oleh ibu bapaknya, sang anak tetap wajib berbuat baik kepada mereka. Allah telah memerintahkan anak untuk berbuat baik kepada orang tua terutama ibu yang telah mengandung, merawat, dan membesarkannya.

Lalu, bagaimana dengan pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”? Pepatah tersebut bisa benar, bisa juga salah. Jika seorang anak dibesarkan di dalam lingkungan dengan kekerasan namun dia mendapatkan pendidikan yang baik dan terbuka wawasannya, dia bisa saja melakukan berbagai perubahan pola pikir dan pola asuh untuk anaknya kelak. Sedangkan anak yang tumbuh dengan penuh kasih sayang, yang secara teori dia akan membesarkan anak-anak mereka kelak dengan kasih sayang pula, masih mungkin dapat salah arah jika di kemudian hari mereka mengalami pengalaman traumatis dalam hidupnya.

Benar bahwa sikap dan perilaku anak tidak selalu seperti orang tuanya. Pendidikan, keterbukaan pikiran, dan lingkungan dapat mengubah seseorang. Seorang anak wajib hukumnya berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun orang tuanya pernah melakukan tindakan kekerasan kepadanya. Buah memang tak selalu jatuh di dekat pohonnya, tetapi buah tak kan pernah ada tanpa kasih sayang pohonnya.

Referensi

Heflick, N. A., (2011). Children Learn Aggression from Parents. Psychology Today. Retrieved on 11 May 2019 from https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-big-questions/201111/children-learn-aggression-parents