Usia matang untuk menikah bagi wanita menurut Islam

Usia ideal untuk menikah di setiap negara umumnya memiliki perbedaan. Di Indonesia, hal ini sempat menjadi polemik. Terlebih menurut sejumlah penelitian, batas usia menikah yang tercantum UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sebetulnya sangat tidak ideal. Lantas, berapa seharusnya usia yang paling ideal untuk menikah, dan apa alasannya?

Benarkah semakin cepat menikah semakin baik?

Kalau dilihat dari batas usia ideal menikah yang ditetapkan undang-undang, menikah baru dibolehkan jika Anda berusia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan. Tak mengherankan jika pernikahan di usia muda sudah menjadi pemandangan biasa di negeri ini. Bahkan terkesan hampir dimuliakan. Ironisnya, masa remaja bukanlah rentang usia menikah yang paling ideal.

Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pernikahan dini di antara remaja usia belasan akhir hingga 20-an awal banyak terjadi atas alasan adat atau kehamilan di luar nikah. BKKBN juga melaporkan bahwa lebih dari 50 persen pernikahan dini berakhir dengan perceraian.

Pasalnya, banyak anak remaja yang belum cukup dewasa (dalam hal kematangan cara berpikir untuk menyelesaikan masalah) dan kurang berpengalaman untuk menghadapi konflik rumah tangga, yang tentu berbeda total dari pertengkaran saat masa pacaran.

Perkawinan dini ancam kesejahteraan anak

Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menilai bahwa pernikahan usia belia berpotensi meningkatkan angka putus sekolah dan kemiskinan akibat perampasan hak anak untuk bertumbuh kembang, meraih pendidikan, dan bekerja.

Anak remaja pada umumnya belum memiliki keuangan yang stabil dan belum yakin benar soal karir dan masa depannya. Belum lagi masih harus dihadapkan dengan tekanan dari orangtua, sekolah dan/atau kuliah.

Selain itu, ada imbas yang cukup memberatkan dari perkawinan anak pada masalah kesehatan reproduksi perempuan remaja. Pernikahan usia muda diketahui meningkatkan risiko keguguran, kematian bayi, kanker serviks, penyakit kelamin, hingga gangguan mental akibat tekanan sosial untuk memikul tanggung jawab orang dewasa di usia yang masih belia.

Berapa usia ideal menikah supaya pernikahan langgeng?

Banyak lembaga bantuan hukum nasional merasa keberatan dengan standar usia menikah UU Perkawinan yang terlalu rendah. Atas sejumlah alasan di atas, YKP dan Yayasan Pemantauan Hak Anak (YPHA) sempat meminta Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan batas minimal usia menikah bagi perempuan menjadi 18 tahun.

Pendapat ini diamini oleh sejumlah penelitian mancanegara. Data statistik dari berbagai studi menyarankan Anda untuk sabar menunggu dalam beberapa tahun. Merangkum banyak survei dan studi berbeda, angka perceraian bisa merosot hingga 50 persen jika Anda menikah di usia 25 tahun ke atas dibanding menikah di usia awal 20-an. Persentase risikonya juga makin turun untuk setiap 1 tahun yang Anda relakan untuk menunda menikah.

Ya. Sebuah studi terbitan Journal of Social and Personal Relationship tahun 2012 mengatakan bahwa 25 tahun adalah batas usia paling ideal untuk menikah. Sementara itu, Biro Sensus AS tahun 2013 melaporkan bahwa usia ideal menikah adalah mulai usia 27 tahun untuk perempuan dan 29 untuk si pria.

Pada umumnya dapat disimpulkan bahwa usia ideal menikah terbaik adalah sekitar 28-32 tahun. BKKBN sendiri menilai usia ideal menikah untuk perempuan Indonesia seharusnya minimal 21 tahun.

Usia matang untuk menikah bagi wanita menurut Islam

Semakin matang usia saat menikah, semakin dewasa

Para ahli percaya bahwa menunda menikah sampai beberapa tahun dapat semakin menghidupkan rumah tangga yang lebih ideal dan mapan serta risiko perceraian yang lebih rendah.

Ada banyak alasan mengapa usia pertengahan 20-an hingga 30-an awal menjadi patokan usia ideal menikah yang aman. Salah satunya adalah faktor kedewasaan. Dewasa di sini bukan cuma bertambahnya umur, tapi juga dari segi kecerdasan emosional dan kematangan pola pikir.

Di usia pertengahan 20-an, Anda terhitung sudah cukup dewasa untuk memahami benar mana cinta yang dibutakan nafsu dan cinta berdasarkan ketulusan. Sebab semakin dewasa seseorang, mereka telah menghabiskan cukup banyak waktu untuk berpetualang mencari jati diri dan akhirnya mengetahui pasti apa yang mereka benar-benar inginkan dalam hidup.

Mereka juga mengerti apa saja hak dan tanggung jawab yang dimilikinya demi mencapai tujuan hidup. Semakin dewasa seseorang juga bisa menandakan bahwa ia memilliki kematangan fisik dan stabilitas finansial yang mumpuni untuk menghidupi diri sendiri serta tanggungan lainnya.

Tingkat pendidikan juga pengaruhi kelanggengan rumah tangga

Meski tingkat kematangan dan finansial memainkan faktor utama, tingkat pendidikan juga sama pentingnya. Menunda pernikahan sampai setelah menerima gelar sarjana terbukti menurunkan risiko bercerai daripada pasangan yang berpendidikan rendah, menurut sebuah studi Family Relation tahun 2013.

Yang perlu dipahami, menunda menikah setelah rampung kuliah bukan semata untuk mengejar gelar. Mengenyam pendidikan setinggi-tingginya menjadi jalan terbaik buat Anda membuka wawasan terhadap dunia nyata.

Semakin banyak pula orang-orang dengan karakteristik berbeda yang akan Anda temui untuk berbincang dan bertukar pikiran. Lambat laun, ini semua dapat membentuk kepribadian, prinsip hidup, dan pola pikir Anda secara keseluruhan.

Kesiapan menikah tergantung masing-masing individu

Walau demikian, tentu saja keputusan untuk kapan menikah tak bisa hanya didasarkan oleh hasil survey semata. Tidak ada patokan usia ideal atau batas jangka waktu pacaran yang mampu menjamin kebahagiaan pernikahan.

Pada akhirnya, diri Anda sendirilah yang menentukan kapan waktu yang tepat bagi Anda untuk menikah. Entah itu di usia 20-an, 30-an, 40-an, dan seterusnya. Nyatanya, pernikahan dan perceraian adalah fenomena sosial yang sulit diukur hanya dengan angka.

Tak ada yang melarang untuk cepat-cepat menikah. Jika Anda dan pasangan sudah sama-sama siap lahir-batin dan juga secara finansial untuk nikah muda, tentu tidak masalah. Tapi bagi yang lainnya, tetap tak ada salahnya untuk mempertimbangkan masak-masak semua manfaat dan risikonya.

Apakah Anda siap mengarungi bahtera rumah tangga, atau menikah demi gengsi dan menghindar dari pertanyaan “Kapan nikah?”

Hindu mendukung dalil pemohon yang ingin mengubah batas usia pernikahan bagi wanita. MUI cenderung menolak perubahan batas usia 16 tahun.

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menghadirkan sejumlah pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kali ini yang dibahas adalah batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan. Sebelumnya Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) berkeberatan terhadap aturan batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan.   Kali ini Mahkamah Konstitusi mendengarkan sejumlah tokoh agama yakni MUI, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), dan ormas Islam seperti PB NU dan PP Muhammadiyah. Tokoh agama dalam paparannya berbeda pandangan menyangkut batas usia perkawinan.  

MUI meminta MK agar mempertahankan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan. Sebaliknya, Sebaliknya, PHDI mendukung pemohon yang meminta MK mengubah batas usia nikah. Sedangkan, Matakin memandang meski Konghucu mengatur batas usia pernikahan, tetapi Matakin menyerahkan sepenuhnya kepada aturan negara.    

  “Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah mengandung nilai-nilai agama (Islam), sehingga harus dinyatakan tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua Dewan Pimpinan MUI, Amidhan Shaberah dalam persidangan di gedung MK, Selasa (02/12).  

MUI menegaskan hukum agama termasuk Islam tidak menetapkan batas usia pernikahan. Dalam agama Islam hanya mengatur baligh (kedewasaan) dengan beberapa tanda-tanda. Pertama, anak perempuan sudah berusia 9 tahun atau lebih dan telah mengalami haidh (menstruasi). Kedua, laki-laki atau perempuan telah berumur 9 tahun atau lebih dan pernah mengalami mimpi “basah”. Ketiga, laki-laki atau perempuan yang telah mencapai 15 tahun tanpa syarat haidh dan mimpi “basah”.

  “Jadi, kedewasaan dalam Islam rentang usia 9 tahun hingga 15 tahun, sehingga penetapan batas usia nikah 16 tahun bagi wanita sudah sesuai kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai Islam,” ujar Amidhan.  

Amidhan mengungkapkan penetapan batas usia minimal wanita untuk menikah 16 tahun merupakan ijtihad para ulama PPP di DPR saat pembahasan RUU Perkawinan. Diantaranya, KH Ali Yafie (NU), Tengku Saleh (Perti), Oka Abdul Aziz (Al-Washliyah) dan ulama di luar DPR seperti KH Abdullah Syafei, KH Syukri Gazali, dan KH Muhayat.

 

Alhasil, penetapan batas usia itu disetujui para ulama di DPR dan di luar DPR dengan catatan membuka ruang dispensasi dengan alasan tertentu. Sebab, kala itu masih terdapat banyak pernikahan anak di bawah umur 16 tahun. Menurutnya, penetapan batas usia nikah  minimal 16 tahun bagi perempuan yang terumuskan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan agar tidak terjadi kesenjangan terlalu jauh dengan usia kedewasaan (baligh).

  “Lagipula, sejak disahkannya hingga kini, UU Perkawinan telah diterima masyarakat dan terbukti tidak ada gejolak atau gerakan dari agama manapun yang meminta dibatalkan UU itu,” paparnya. “Jadi, pengaturan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terutama frasa “16 tahun” tidak perlu dipermasalahkan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.  

Matakin memandang usia perkawinan bisa dilakukan saat usia dewasa. Menurut ajaran Matakin kedewasan bukan ditentukan oleh akil baliq, tetapi ditentukan dengan prosesi upacara ketika wanita memasuki usia 15 tahun dan laki-laki memasuki usia 20 tahun.

  “Dalam agama Konghucu kapan boleh menikah, bagi wanita 5 tahun setelah upacara baru diperkenankan menikah, sedangkan bagi laki-laki 10 tahun kemudian,” ujar Wakil Ketua Deroh Matakin, Xs. Djaengrana Ongawijaya.   Meski begitu, dalam praktiknya batas usia perkawinan dalam agama Konghucu mengacu pada perkembangan kehidupan bangsa ini. Karena itu, pihaknya tidak menolak pengujian UU Perkawinan ini. Sebab, dalam Konghucu, pemerintah dianggap sebagai “bapak”, sehingga tidak boleh berdosa (menentang) terhadap negara (aturan negara).   “Kita tidak dalam posisi mendukung atau tidak, yang terpenting aturan yang ada tetap kita taati yang praktiknya disesuaikan dengan agama Konghucu. Kalau misalnya umat kami sudah berumur 16-17 tahun mau menikah ya kita juga tidak melarang,” katanya.  

Perlu diubah


Menurut pandangan Hindu, perkawinan dapat dilakukan setelah mencapai usia dewasa. Usia dewasa bukan ditentukan datangnya menstruasi bagi wanita dan ciri-ciri akil baligh bagi laki-laki. Ciri-ciri itu baru menunjukkan mereka telah mencapai usia remaja atau baru dewasa secara fisik saja dan belum dianggap dewasa. “Kedewasaan sesungguhnya sesuai Susastra Hindu adalah secara jasmani dan mental telah memiliki kestabilan jiwa,” ujar Ketua Dewan Pakar PHDI Pusat, I Nengah Dana dalam sidang.   Merujuk kitab Nitisastra Kakawin dan kitab Canakya Niti III.18, dapat dipahami seseorang dianggap telah mencapai usia dewasa adalah setelah berumur lebih dari 16 tahun atau dimulai antara usia 16 sampai 20 tahun. Sementara dalam kitab Manu Smerti, usia layak kawin bagi wanita adalah setelah mencapai usia 19 tahun.  

Akan tetapi, menurut beberapa penulis/akhli sastra, seperti Bhagawan Kullukabhata, Narayana, dan Raghawananda seperti dikemukakan dalam buku Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Gde Pudja, MA. 1975 : 34), usia yang layak kawin bagi wanita adalah 18 tahun. Apabila ayahnya diharapkan menunggu 3 tahun lagi, maka ini berarti putrinya baru dikawinkan pada umur 21 tahun.

  “Karena itu, frasa 16 tahun dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan perlu dilakukan perubahan menjadi 18 tahun bagi calon pengantin wanita. Sementara frasa 19 tahun perlu dipertimbangkan untuk diubah menjadi 21 tahun bagi calon pengantin pria. Atau setidak-tidaknya sama dengan ketentuan saat ini yakni 19 tahun,” harapnya.   Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.  

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.

sumber berita: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt547d77764e036/tokoh-agama-beda-pandangan-tentang-batas-usia-nikah