Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

  • Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Kegiatan usaha utama perusahaan dalam bidang energi yang  meliputi Aktivitas Hulu, Aktivitas Hilir, Aktivitas Midstream serta Aktivitas distribusi dan niaga gas

    http://www.pertamina.com/

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    a. Menjalankan usaha penyediaan tenaga listrik, yang meliputi kegiatan: Pembangkitan, Penyaluran, dan Distribusi, serta melakukan perencanaan dan pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik serta pengembangan penyediaan tenaga listrik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    b. Menjalankan usaha penunjang tenaga listrik yang meliputi kegiatan:

    1) Konsultasi yang berhubungan dengan ketenagalistrikan;

    2) Pembangunan dan pemasangan peralatan ketenagalistrikan;

    3) Pemeliharaan peralatan ketenagalistrikan;

    4) Pengembangan teknologi peralatan yang menunjang penyediaan tenaga listrik.

    c. Selain melakukan usaha-usaha tersebut di atas, Perseroan dapat:

    1) Ikut dalam kegiatan usaha dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber energi lainnya yang terkait dengan penyediaan ketenagalistrikan, antara lain: energi tidak terbarukan (antara lain batubara, gas alam, minyak bumi), energi terbarukan (antara lain air, panas bumi, matahari, angin, biomas, bahan bakar, nabati, hibrida, gelombang air laut), dan sumber energi lainnya seperti nuklir yang dapat dikembangkan seiring dengan perkembangan teknologi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan;

    2) Melakukan pemberian jasa operasi dan pengaturan (dispatcher) pada bidang pembangkitan, penyaluran, distribusi, dan retail tenaga listrik;

    3) Menjalankan kegiatan perindustrian perangkat keras dan perangkat lunak bidang ketenagalistrikan dan peralatan lain yang terkait dengan listrik;

    4) Melakukan kerjasama dengan badan lain atau pihak lain atau badan penyelenggara bidang ketenagalistrikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri di bidang pembangunan, operasional telekomunikasi, dan informasi yang berkaitan dengan ketenagalistrikan, keuangan, sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan sesuai dengan lapangan usahanya ataupun bidang-bidang lain yang dianggap perlu untuk menunjang usaha Perseroan, baik dalam bentuk kerja sama usaha patungan, kerja sama bagi hasil, kontrak manajemen, dan bentuk lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

    http://www.pln.co.id

  • Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Klasifikasi Kapal dan Statutoria

    http://www.bki.co.id

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Elektronika untuk industri dan prasarana. 

    https://www.len.co.id

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Industri baja terpadu, yang memproduksi Besi Spons, Slab Baja, Billet Baja, Baja Lembaran Panas, Baja Lembaran Dingin dan Baja Batang Kawat.

    http://www.krakatausteel.com

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    PT Industri Kereta Api atau PT INKA (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) manufaktur kereta api terintegrasi pertama di Asia Tenggara. 

    https://www.inka.co.id/

  • Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Melakukan usaha di bidang industri aluminium terpadu, bidang pertambangan dan bidang industri, serta optimalisasi sumber daya Perseroan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa bermutu tinggi dan berdaya saing kuat untuk mendapatkan keuntungan guna meningkatkan nilai Perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.

    http://www.inalum.id/

  • Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Konstruksi

    Properti

    Industri

    Energi

    Investasi

    http://www.adhi.co.id

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Industri Semen

    http://www.semenbaturaja.co.id

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Operator jalan tol

    https://www.jasamarga.com

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Jasa Konstruksi, Engineering Procurement Construction (EPC), Properti, Infrastruktur, Energi, Pracetak dan Hunian MBR serta Kontraktor berbasis Alat Berat.

    http://www.pt-pp.com

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Produksi Semen, Bahan Bangunan dan Penyedia Jasa

    https://www.sig.id

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

    Industri Konstruksi

    http://www.waskita.co.id

    Siapa saja yang disebut penyedia jasa penerbangan

     Infrastruktur & Gedung, Energi dan Industrial Plant, Realty & Property, Industri dan Investasi.

    http://www.wika.co.id

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR  1   TAHUN  2009

TENTANG

PENERBANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang    :  a.  bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang;

b.  bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara;

c.  bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan  keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;

d.  bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan konsumen, ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi daerah;

e.  bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;

f.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penerbangan;

Mengingat      :       Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan   :       UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.    Penerbangan adalah satu kesatuan sistem  yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

2.    Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.

3.    Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.

4.    Pesawat Terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.

5.    Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap putar yang rotornya digerakkan oleh mesin.

6.    Pesawat Udara Indonesia adalah pesawat udara yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.

7.    Pesawat Udara Negara adalah pesawat udara yang digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, kepabeanan, dan instansi pemerintah lainnya untuk menjalankan fungsi dan kewenangan penegakan hukum serta tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8.    Pesawat Udara Sipil adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga.

9.    Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.

10.  Kelaikudaraan adalah terpenuhinya persyaratan desain tipe pesawat udara dan dalam kondisi aman  untuk beroperasi.

11.  Kapten Penerbang adalah penerbang yang ditugaskan oleh perusahaan atau pemilik pesawat udara untuk memimpin penerbangan dan bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan penerbangan selama pengoperasian pesawat udara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

12.  Personel Penerbangan, yang selanjutnya disebut personel, adalah personel yang berlisensi atau bersertifikat yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang penerbangan.

13.  Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

14.  Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

15.  Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

16.  Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu  bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

17.  Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu  bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.

18.  Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.

19.  Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.

20.  Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.

21.  Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan pelayanan angkutan udara.

22.  Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.

23.  Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan, atau barang yang tidak bertuan.

24.  Bagasi Tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.

25.  Bagasi Kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.

26.  Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

27.  Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.

28.  Surat Muatan Udara (airway bill)  adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut, dan hak penerima kargo untuk mengambil kargo.

29.  Perjanjian Pengangkutan Udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.

30.  Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.

31. Kebandarudaraan . . .

31.  Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

32.  Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.

33.  Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang  dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan  fasilitas penunjang lainnya.

34. Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.

35. Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.

36.  Bandar Udara Domestik adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri.

37.  Bandar Udara Internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar negeri.    

38.  Bandar Udara Pengumpul (hub) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi.

39.  Bandar Udara Pengumpan (spoke) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas.

40. Pangkalan Udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia.

41. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) Bandar Udara adalah wilayah daratan dan/atau perairan yang digunakan secara langsung untuk kegiatan bandar udara.

42.  Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang udara di sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan.

43. Badan Usaha Bandar Udara adalah  badan usaha  milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum.

44. Unit Penyelenggara Bandar Udara adalah lembaga pemerintah di bandar udara yang bertindak sebagai penyelenggara bandar udara yang memberikan jasa pelayanan kebandarudaraan untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial.

45.  Otoritas Bandar Udara adalah lembaga pemerintah yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.

46.  Navigasi Penerbangan adalah proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan.

47.  Aerodrome adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang hanya digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas.

48. Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

49.  Keamanan Penerbangan adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.

50.  Lisensi adalah surat izin yang diberikan kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk melakukan pekerjaan di bidangnya dalam jangka waktu tertentu.

51. Sertifikat Kompetensi adalah tanda bukti seseorang telah memenuhi persyaratan pengetahuan, keahlian, dan kualifikasi di bidangnya.

52.  Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah  Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

53.  Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

54.  Menteri adalah menteri yang membidangi urusan penerbangan.

55. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal  2

Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:

a.    manfaat;

b.    usaha bersama dan kekeluargaan;

c.     adil dan merata;

d.    keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;

e.    kepentingan umum;

f.     keterpaduan;

g.    tegaknya hukum;

h.    kemandirian;

i.     keterbukaan dan anti monopoli;

j.     berwawasan lingkungan hidup;

k.    kedaulatan negara;

l.     kebangsaan; dan

m.   kenusantaraan.

Pasal 3

Penerbangan diselenggarakan  dengan  tujuan:

a.           mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang  tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat;

b.           memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;

c.            membina jiwa kedirgantaraan;

d.           menjunjung kedaulatan negara;

e.           menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara  nasional;

f.      menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;

g.           memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; 

h.          meningkatkan ketahanan nasional; dan

i.      mempererat hubungan antarbangsa.

BAB III

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

Pasal 4

Undang-Undang ini berlaku untuk:

a.           semua kegiatan penggunaan wilayah udara, navigasi penerbangan, pesawat udara, bandar udara, pangkalan udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lain yang terkait, termasuk kelestarian lingkungan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b.           semua pesawat udara asing yang melakukan kegiatan dari dan/atau ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

c.            semua pesawat udara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB IV

KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA

Pasal 5

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.

Pasal 6

Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

Pasal 7

(1)   Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas.

(2)        Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang.

(3)        Larangan terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat permanen dan menyeluruh.

(4)        Kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara.

Pasal 8

(1)   Pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan.

(2)   Pesawat udara yang akan dan telah memasuki kawasan udara terlarang dan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan.

(3)   Personel pemandu lalu lintas penerbangan wajib menginformasikan pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan dan kawasan udara terlarang dan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada aparat yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertahanan negara.

(4)   Dalam hal peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak ditaati, dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara untuk keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau kawasan udara terlarang dan terbatas atau untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara tertentu di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5)   Personel pesawat udara, pesawat udara, dan seluruh muatannya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PEMBINAAN

Pasal 10

(1)   Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.

(2)   Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

(3)   Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk  persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan. 

(4)   Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta  bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.

(5)   Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan  pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.

(6)   Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk:

a.  memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui angkutan udara dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang wajar;

b. meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan udara, kebandarudaraan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan sebagai bagian dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

c.  mengembangkan kemampuan armada angkutan udara nasional yang tangguh serta didukung industri pesawat udara yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan, baik di dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri;

d. mengembangkan usaha jasa angkutan udara nasional yang andal dan berdaya saing serta didukung kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan perpajakan, dan industri pesawat udara yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing;

e.  meningkatkan kemampuan dan peranan kebandarudaraan serta keselamatan dan keamanan penerbangan dengan menjamin tersedianya jalur penerbangan dan navigasi penerbangan yang memadai dalam rangka menunjang angkutan udara;

f.   mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa kedirgantaraan, profesional, dan mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan penerbangan; dan

g.  memenuhi perlindungan lingkungan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang diakibatkan dari kegiatan angkutan udara dan kebandarudaraan, dan pencegahan perubahan iklim, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.

(7)   Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara terkoordinasi dan didukung oleh instansi terkait yang bertanggung jawab di bidang industri pesawat udara, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keuangan dan perbankan.

(8)   Pemerintah daerah melakukan pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 11

(1)   Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(2)   Pembinaan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperkuat kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa:

a.     penataan struktur kelembagaan;

b.     peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia;

c.      peningkatan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, dan fleksibel berdasarkan skala prioritas;

d.     peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia;

e.     pengenaan sanksi kepada pejabat dan/atau pegawai atas pelanggaran dalam pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini; dan

f.       peningkatan keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.

(3)   Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat didelegasikan kepada unit di bawah Menteri.

(4)   Ketentuan mengenai pendelegasian kepada unit di bawah Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 12

(1)   Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan dengan berkoordinasi dan bersinergi dengan lembaga yang mempunyai fungsi perumusan kebijakan dan pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, lembaga,  fungsi perumusan kebijakan, dan fungsi pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

RANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARA

Bagian Kesatu

Rancang Bangun Pesawat Udara

Pasal 13

(1)   Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun.

(2)   Rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat surat persetujuan setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan standar kelaikudaraan.

(3)   Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar kelaikudaraan dan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 14

Setiap orang yang melakukan kegiatan rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus mendapat surat persetujuan.

Pasal 15

(1)   Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi harus memiliki sertifikat tipe.

(2)   Sertifikat tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kesesuaian terhadap standar kelaikudaraan rancang bangun (initial airworthiness) dan telah memenuhi uji tipe.

Pasal 16

(1)   Setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang dirancang dan diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat sertifikat validasi tipe.

(2)   Sertifikasi validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perjanjian antarnegara di bidang kelaikudaraan.

(3)   Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian.

Pasal 17

(1)   Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat surat persetujuan.

(2)   Persetujuan perubahan rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kesesuaian rancang bangun dan uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). 

(3)   Persetujuan perubahan rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.  persetujuan perubahan (modification);

b.  sertifikat tipe tambahan (supplement); atau

c.  amendemen sertifikat tipe (amendment).

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Produksi Pesawat Udara

Pasal 19

(1)   Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang wajib memiliki sertifikat produksi.

(2)   Untuk memperoleh sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada  ayat (1), badan hukum Indonesia harus memenuhi persyaratan:

a. memiliki sertifikat tipe (type certificate) atau memiliki lisensi  produksi pembuatan berdasarkan perjanjian dengan pihak lain;

b. fasilitas dan peralatan produksi;

c. struktur organisasi sekurang-kurangnya memiliki bidang produksi dan kendali mutu;

d. personel produksi dan kendali mutu yang kompeten;

e. sistem jaminan kendali mutu; dan

f.  sistem pemeriksaan produk dan pengujian produksi.

(3)   Sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian yang hasilnya memenuhi standar kelaikudaraan.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 21

Proses sertifikasi pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 19 dilaksanakan oleh  lembaga penyelenggara pelayanan umum.

Pasal 22

Proses sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan biaya.

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VII

PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA

Pasal 24

Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran.

Pasal 25

Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a.  tidak terdaftar di negara lain; dan

b.  dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia;

c.  dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 (dua) tahun secara terus-menerus berdasarkan suatu perjanjian;

d.  dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah, dan pesawat udara tersebut tidak dipergunakan untuk misi penegakan hukum; atau

e.  dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing yang pesawat udaranya dikuasai oleh badan hukum Indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan penyimpanan, penyewaan, dan/atau perdagangan pesawat udara.

Pasal 26

(1)   Pendaftaran  pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diajukan oleh pemilik atau yang diberi kuasa dengan persyaratan:

a.  menunjukkan bukti kepemilikan atau penguasaan pesawat udara;

b.  menunjukkan bukti penghapusan pendaftaran atau tidak didaftarkan di negara lain;

c.  memenuhi ketentuan persyaratan batas usia pesawat udara yang ditetapkan oleh Menteri;

d.  bukti asuransi pesawat udara; dan

e.  bukti terpenuhinya persyaratan pengadaan pesawat udara.

(2)   Pesawat udara yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat pendaftaran.

(3)   Sertifikat pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 3 (tiga) tahun.

Pasal 27

(1)   Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang, dan kapal udara (airship) yang telah mempunyai sertifikat pendaftaran Indonesia diberikan tanda  kebangsaan Indonesia.

(2)   Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang, dan kapal udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda  kebangsaan Indonesia wajib dilengkapi dengan bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3)   Pesawat udara selain pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang, dan kapal udara dapat dibebaskan dari tanda  kebangsaan Indonesia.

(4)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.     peringatan; dan/atau

b.     pencabutan sertifikat.

Pasal 28

(1)   Setiap orang dilarang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara.

(2)   Setiap orang yang mengaburkan identitas tanda pendaftaran dan kebangsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.     peringatan; dan/atau

b.     pencabutan sertifikat.

Pasal 29

Pesawat udara yang telah memiliki tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dihapus tanda pendaftarannya apabila:

a.    permintaan dari pemilik atau orang perseorangan yang diberi kuasa dengan ketentuan:

1)  telah berakhirnya perjanjian sewa guna usaha;

2) diakhirinya perjanjian yang disepakati para pihak;

3)  akan dipindahkan pendaftarannya ke negara lain;

4)  rusak totalnya pesawat udara akibat kecelakaan;

5)  tidak digunakannya lagi pesawat udara;

6)  pesawat udara dengan sengaja dirusak atau dihancurkan; atau

7)  terjadi cedera janji (wanprestasi) oleh penyewa pesawat udara tanpa putusan pengadilan.

b.    tidak dapat mempertahankan sertifikat kelaikudaraan secara terus-menerus selama 3 (tiga) tahun.

Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 31

Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan penghapusan tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan oleh  lembaga penyelenggara pelayanan umum.

Pasal 32

Proses sertifikasi  pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan biaya.

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VIII

KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA

Bagian Kesatu

Kelaikudaraan Pesawat Udara

Pasal 34

(1)   Setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memenuhi standar kelaikudaraan.

(2)   Pesawat udara yang telah memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian kelaikudaraan.

Pasal 35

Sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) terdiri atas:

a.    sertifikat kelaikudaraan standar; dan

b.    sertifikat kelaikudaraan khusus.

Pasal 36

Sertifikat kelaikudaraan standar diberikan untuk pesawat terbang kategori transpor, normal, kegunaan (utility), aerobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor, serta kapal udara dan balon berpenumpang.

Pasal 37

(1)   Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 terdiri atas:

a.  sertifikat kelaikudaraan standar pertama (initial airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara pertama kali dioperasikan oleh setiap orang; dan

b.  sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama dan akan dioperasikan secara terus menerus.

(2)   Untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan standar pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pesawat udara harus:

a.  memiliki sertifikat pendaftaran yang berlaku;

b.  melaksanakan proses produksi dari rancang bangun, pembuatan komponen, pengetesan komponen, perakitan, pemeriksaan kualitas, dan pengujian terbang yang memenuhi standar dan sesuai dengan kategori tipe pesawat udara;

c.  telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertifikat tipe atau sertifikat validasi tipe atau sertifikat tambahan validasi Indonesia; dan

d.  memenuhi persyaratan standar kebisingan dan standar emisi gas buang.

(3)   Untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,  pesawat udara harus:

a.  memiliki sertifikat pendaftaran yang masih berlaku;

b. memiliki sertifikat kelaikudaraan yang masih berlaku;

c.  melaksanakan perawatan sesuai dengan standar perawatan yang telah ditetapkan;

d.  telah memenuhi instruksi kelaikudaraan yang diwajibkan (airworthiness directive);

e. memiliki sertifikat tipe tambahan apabila terdapat penambahan kemampuan pesawat udara;

f.   memenuhi ketentuan pengoperasian; dan

g.  memenuhi ketentuan standar kebisingan dan standar emisi gas buang.

Pasal 38

Sertifikat kelaikudaraan khusus diberikan untuk pesawat udara yang penggunaannya khusus secara terbatas (restricted), percobaan (experimental), dan kegiatan penerbangan yang bersifat khusus.

Pasal 39

Setiap orang yang melanggar ketentuan standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.           peringatan;

b.           pembekuan sertifikat; dan/atau

c.            pencabutan sertifikat.

Pasal 40

Ketentuan  lebih   lanjut  mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Operasi Pesawat Udara

Pasal 41

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara untuk kegiatan angkutan udara wajib memiliki sertifikat.

(2)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a.  sertifikat operator pesawat udara (air operator certificate), yang diberikan kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga; atau

b.  sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate), yang diberikan kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara bukan niaga.

(3)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian serta pemohon mendemonstrasikan kemampuan pengoperasian pesawat udara.

Pasal 42

Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a operator harus:

a.    memiliki izin usaha angkutan udara niaga;

b.    memiliki dan menguasai pesawat udara sesuai dengan izin usaha yang dimiliki;

c.     memiliki dan/atau menguasai personel pesawat udara yang kompeten dalam jumlah rasio yang memadai untuk mengoperasikan dan melakukan perawatan pesawat udara;

d.    memiliki struktur organisasi paling sedikit di bidang operasi, perawatan, keselamatan, dan jaminan kendali mutu;

e.    memiliki personel manajemen yang kompeten dengan jumlah memadai;

f.     memiliki dan/atau menguasai fasilitas pengoperasian pesawat udara;

g.    memiliki dan/atau menguasai persediaan suku cadang yang memadai;

h.    memiliki pedoman organisasi pengoperasian (company operation manual) dan pedoman organisasi perawatan (company maintenance manual);

i.     memiliki standar keandalan pengoperasian pesawat udara (aircraft operating procedures);

j.     memiliki standar perawatan pesawat udara;

k.    memiliki fasilitas dan pedoman pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara (company training manuals);

l.     memiliki sistem jaminan kendali mutu (company quality assurance manuals) untuk mempertahankan kinerja operasi dan teknik secara terus menerus; dan

m.   memiliki  pedoman sistem manajemen keselamatan (safety management system manual).

Pasal 43

Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b, operator harus memenuhi persyaratan:

a.    memiliki izin kegiatan angkutan udara bukan niaga;

b.    memiliki dan menguasai pesawat udara sesuai dengan izin kegiatan yang dimiliki;

c.     memiliki dan/atau menguasai personel operasi pesawat udara dan personel ahli perawatan pesawat udara;

d.    memiliki standar pengoperasian pesawat udara; dan

e.    memiliki standar perawatan pesawat udara.

Pasal 44

Setiap orang yang melanggar ketentuan sertifikat operasi pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.           peringatan;

b.           pembekuan sertifikat; dan/atau

c.            pencabutan sertifikat.

Pasal 45

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Perawatan Pesawat Udara

Pasal 46

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara berkelanjutan.

(2)   Dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang harus membuat program perawatan pesawat udara yang disahkan oleh Menteri.

Pasal 47

(1)   Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat dilakukan oleh:

a.  perusahaan angkutan udara yang telah memiliki sertifikat operator pesawat udara;

b.  badan hukum organisasi perawatan pesawat udara yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara (approved maintenance organization); atau

c.  personel ahli perawatan pesawat udara yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft maintenance engineer license).

(2)   Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan lisensi ahli perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian.

Pasal 48

Untuk mendapatkan sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan:

a.    memiliki atau menguasai fasilitas dan peralatan pendukung perawatan secara berkelanjutan;

b.    memiliki atau menguasai personel yang telah mempunyai lisensi ahli perawatan pesawat udara sesuai dengan lingkup pekerjaannya;

c.     memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaaan;

d.    memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaan (maintenance manuals) terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan sesuai dengan jenis pesawat udara yang dioperasikan;

e.    memiliki pedoman jaminan mutu (quality assurance manuals) untuk menjamin dan mempertahan kinerja perawatan pesawat udara, mesin, baling-baling, dan komponen secara berkelanjutan;

f.     memiliki atau menguasai suku cadang untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan berkelanjutan; dan

g.    memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan.

Pasal 49

Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan.

Pasal 50

Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.           pembekuan sertifikat; dan/atau

b.           pencabutan sertifikat.

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Keselamatan dan Keamanan dalam Pesawat Udara

Selama Penerbangan

Pasal 52

(1)   Setiap pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia hanya dapat mendarat atau lepas landas dari bandar udara yang ditetapkan untuk itu.

(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam keadaan darurat.

(3)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.     peringatan;

b.     pembekuan sertifikat; dan/atau

c.      pencabutan sertifikat.

Pasal 53

(1)   Setiap orang dilarang menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.     pembekuan sertifikat; dan/atau

b.     pencabutan sertifikat.

Pasal 54

Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:

a.           perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;

b.           pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;

c.            pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan;

d.           perbuatan asusila;

e.           perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau

f.      pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi  penerbangan.

Pasal 55

Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan.

Pasal 56

(1)   Dalam penerbangan dilarang menempatkan penumpang yang tidak mampu melakukan tindakan darurat pada pintu dan jendela darurat pesawat udara.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.           peringatan;

b.           pembekuan sertifikat; dan/atau

c.            pencabutan sertifikat.

Pasal 57

Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Personel Pesawat Udara

Pasal 58

(1)   Setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.

(2)   Personel pesawat udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian pesawat udara wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

a. administratif;

b. sehat jasmani dan rohani;

c. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan

d. lulus ujian.

(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi.

Pasal 59

(1)   Personel pesawat udara yang telah memiliki lisensi wajib:

a. melaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;

b. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan

c. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

(2)   Personel pesawat udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan lisensi; dan/atau

c. pencabutan lisensi.

Pasal 60

Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh Menteri.

Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Asuransi dalam Pengoperasian Pesawat Udara

Pasal 62

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan:

a.  pesawat udara yang dioperasikan;

b.  personel pesawat udara yang dioperasikan;

c.  tanggung jawab kerugian pihak kedua;

d.  tanggung jawab kerugian pihak ketiga; dan

e. kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.     peringatan;

b.     pembekuan sertifikat; dan/atau

c.      pencabutan sertifikat.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib asuransi dalam pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Pengoperasian Pesawat Udara

Pasal 63

(1)   Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat udara Indonesia.

(2)   Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas pesawat udara asing dapat dioperasikan setelah mendapat izin dari Menteri.

(3)   Pesawat udara sipil asing dapat dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara nasional untuk penerbangan ke dan dari luar negeri setelah adanya perjanjian antarnegara.

(4)   Pesawat udara sipil asing yang akan dioperasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan kelaikudaraan.

(5)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.     peringatan;

b.     pembekuan sertifikat; dan/atau

c.      pencabutan sertifikat.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian pesawat udara sipil dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 64

Proses sertifikasi kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), sertifikasi operator pesawat udara dan sertifikasi pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal  48, sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dan lisensi personel pesawat udara  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.

Pasal 65

Proses sertifikasi dan lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dikenakan biaya.

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan

Pesawat Udara Negara

Pasal 67

(1)   Setiap pesawat udara negara yang dibuat dan dioperasikan harus memenuhi standar rancang bangun, produksi, dan kelaikudaraan.

(2)   Pesawat udara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki tanda identitas.

Pasal 68

Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.

Pasal 69

Penggunaan pesawat udara negara asing untuk kegiatan angkutan udara dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Pemerintah.

Pasal 70

Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

KEPENTINGAN INTERNASIONAL

ATAS OBJEK PESAWAT UDARA

Pasal 71

Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha.

Pasal 72

Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut.

Pasal 73

Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tunduk pada hukum Indonesia, perjanjian tersebut harus dibuat dalam akta otentik yang paling sedikit memuat:

a.    identitas para pihak;

b.    identitas dari objek pesawat udara; dan

c.     hak dan kewajiban para pihak.

Pasal 74

(1)   Debitur dapat menerbitkan kuasa memohon deregistrasi kepada kreditur untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor atas pesawat terbang atau helikopter yang telah memperoleh tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.

(2)        Kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diakui dan dicatat oleh Menteri dan tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan kreditur.

(3)        Kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku pada saat debitur dinyatakan pailit atau berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang.

(4)        Kreditur merupakan satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan penghapusan pendaftaran pesawat terbang atau helikopter tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 75

(1)   Dalam hal debitur cedera janji, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada Menteri sesuai dengan kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 untuk meminta penghapusan pendaftaran dan ekspor pesawat terbang atau helikopter.

(2)   Berdasarkan permohonan kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri wajib menghapus tanda pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang atau helikopter paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima.

Pasal 76

Kementerian yang membidangi urusan penerbangan dan instansi pemerintah lainnya harus membantu dan memperlancar pelaksanaan upaya pemulihan yang dilakukan oleh kreditur berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.

Pasal 77

Hak-hak kreditur dan upaya pemulihan timbul pada saat ditandatanganinya perjanjian oleh para pihak.

Pasal 78

Kepentingan internasional, termasuk setiap pengalihan dan/atau subordinasi dari kepentingan tersebut, memperoleh prioritas pada saat kepentingan tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional.

Pasal 79

(1)   Dalam hal debitur cedera janji, kreditur dapat meminta penetapan dari pengadilan negeri untuk memperoleh tindakan sementara berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tanpa didahului pengajuan gugatan pada pokok perkara untuk melaksanakan tuntutannya di Indonesia dan tanpa para pihak mengikuti mediasi yang diperintahkan oleh pengadilan.

(2)   Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi yang dibuat oleh Pemerintah sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut.

Pasal 80

Pengadilan, kurator, pengurus kepailitan, dan/atau debitur harus menyerahkan penguasaan objek pesawat udara kepada kreditur yang berhak dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 81

Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan dari pemegang kepentingan internasional yang terdaftar atas objek pesawat udara.

Pasal 82

Ketentuan dalam konvensi internasional mengenai kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara, di mana Indonesia merupakan pihak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia dan merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis).

BAB X

ANGKUTAN  UDARA

Bagian Kesatu

Jenis Angkutan Udara

Paragraf 1

Angkutan Udara Niaga

Pasal 83

(1)   Kegiatan angkutan udara terdiri atas:

a.  angkutan udara niaga; dan

b.  angkutan udara bukan niaga.

(2)   Angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a.  angkutan udara niaga dalam negeri; dan

b.  angkutan udara niaga luar negeri.

(3)   Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   huruf a dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau tidak berjadwal oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.

Pasal 84

Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.

Pasal 85

(1)        Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal.

(2)        Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dalam keadaan  tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

(3)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional.

(4)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya.

Pasal 86

(1)        Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dan/atau perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan kargo berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral.

(2)   Dalam hal angkutan udara niaga berjadwal luar negeri merupakan bagian dari perjanjian multilateral yang bersifat multisektoral, pelaksanaan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri tetap harus diatur melalui perjanjian bilateral.

(3)   Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity).

(4)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia dan mendapat persetujuan dari negara asing yang bersangkutan.

(5)   Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 87

(1)        Dalam hal Indonesia melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan masing-masing negara anggota komunitas tersebut.

(2)        Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu organisasi komunitas negara yang melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut.

Pasal 88

(1)        Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerja sama angkutan udara dengan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan/atau luar negeri.

(2)        Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan udara asing untuk melayani angkutan udara luar negeri.

Pasal 89

(1)        Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing khusus mengangkut kargo dapat menurunkan dan menaikkan kargo di wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak.    

(2)        Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.

(3)        Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing khusus mengangkut kargo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 90

(1)        Pembukaan pasar angkutan udara menuju ruang udara tanpa batasan hak angkut udara (open sky) dari dan ke Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak.  

(2)        Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.

Pasal 91

(1)        Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal.

(2)   Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang (flight approval).

(3)   Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan Menteri.

(4)   Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan udara niaga nasional.

(5)        Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya.

Pasal 92

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:

a.           rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity group);

b.           kelompok penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas pesawat untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter);

c.            seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own use charter);

d.           taksi udara (air taxi); atau

e.           kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.

Pasal 93

(1)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri.

(2)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri setelah mendapat persetujuan dari menteri terkait.

Pasal 94

(1)        Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya (in-bound traffic).

(2)        Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.

(3)        Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 95

(1)        Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan izin Menteri.

(2)        Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.  

(3)        Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 96

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga,  kerja sama angkutan udara  dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal

Pasal 97

(1)        Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal  dalam  menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam:

a.     pelayanan dengan standar maksimum (full services);

b.     pelayanan dengan standar menengah (medium services); atau

c.      pelayanan dengan standar minimum (no frills).

(2)         Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah bentuk pelayanan maksimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan sesuai dengan jenis kelas pelayanan penerbangan.

(3)         Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah bentuk pelayanan sederhana yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan.

(4)         Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah bentuk pelayanan minimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan.

(5)         Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menetapkan kelas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan.

Pasal 98

(1)        Badan usaha angkutan udara  niaga berjadwal yang pelayanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b dan huruf c  merupakan badan usaha yang berbasis biaya operasi rendah.

(2)        Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pasal 99

(1)        Badan usaha angkutan udara  niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 harus mengajukan permohonan izin kepada Menteri.

(2)        Menteri menetapkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

(3)        Terhadap badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan evaluasi secara periodik.

Pasal 100

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Angkutan Udara Bukan Niaga

Pasal 101

(1)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya.

(2)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:

a.  angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work);

b.  angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau

c.  angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.

Pasal 102

(1)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga dilarang melakukan kegiatan angkutan udara niaga, kecuali atas izin Menteri.

(2)         Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan  kepada pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga untuk melakukan kegiatan angkutan penumpang dan barang pada daerah tertentu, dengan memenuhi persyaratan tertentu, dan bersifat sementara.

(3)        Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa :

a.     peringatan;

b.     penbekuan izin; dan/atau

c.      pencabutan izin.

Pasal 103

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata  cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4

Angkutan Udara Perintis 

Pasal 104

(1)   Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha  angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah.

(2)   Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kompensasi lainnya.

(3)   Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.

(4)   Angkutan udara perintis dievaluasi oleh Pemerintah setiap tahun.

(5)        Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengubah  suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial.

Pasal 105

Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.

Pasal 106

(1)   Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 diberi kompensasi untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai dengan rute dan jadwal yang telah ditetapkan.

(2)   Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a.     pemberian rute lain di luar rute perintis bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan angkutan udara perintis;

b.     bantuan biaya operasi angkutan udara; dan/atau

c.      bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak.

(3)        Pelaksana kegiatan angkutan udara perintis dikenakan sanksi administratif berupa tidak diperkenankan mengikuti pelelangan tahun berikutnya dalam hal tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan kontrak pekerjaan tahun berjalan.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Perizinan Angkutan Udara

Paragraf 1

Perizinan Angkutan Udara Niaga

Pasal 108

(1)         Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional.

(2)        Badan usaha angkutan udara niaga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh atau sebagian besar modalnya, harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

(3)        Dalam hal modal badan usaha angkutan udara niaga nasional yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority).

Pasal 109

(1)   Untuk mendapatkan izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, paling sedikit harus memenuhi persyaratan:

a.     akta pendirian badan usaha Indonesia yang usahanya bergerak di bidang angkutan udara niaga berjadwal atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan disahkan oleh Menteri yang berwenang;

b.     nomor pokok wajib pajak (NPWP);

c.      surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;

d.     surat persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal apabila yang bersangkutan menggunakan fasilitas penanaman modal;

e.     tanda bukti modal yang disetor;

f.       garansi/jaminan bank; dan

g.     rencana bisnis untuk kurun waktu paling singkat 5 (lima) tahun.

(2)        Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diserahkan dalam bentuk salinan yang telah dilegalisasi oleh instansi yang mengeluarkan, dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada Menteri.

Pasal 110

(1)        Rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf g paling sedikit memuat:

a.     jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan;

b.     rencana pusat kegiatan operasi penerbangan dan rute penerbangan bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal;

c.      rencana pusat kegiatan operasi penerbangan bagi badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal;

d.     aspek pemasaran dalam bentuk potensi permintaan pasar angkutan udara;

e.     sumber daya manusia yang terdiri dari manajemen, teknisi, dan personel pesawat udara;

f.       kesiapan atau kelayakan operasi; dan

g.     analisis dan evaluasi aspek ekonomi dan keuangan.

(2)        Penentuan dan penetapan lokasi pusat kegiatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Menteri paling sedikit dengan mempertimbangkan:

a. rencana tata ruang nasional;

b. pertumbuhan kegiatan ekonomi; dan

c. keseimbangan jaringan dan rute penerbangan nasional.

Pasal 111

(1)   Orang perseorangan dapat diangkat menjadi direksi badan usaha  angkutan udara niaga, dengan memenuhi persyaratan:

a.     memiliki kemampuan operasi dan manajerial pengelolaan usaha angkutan udara niaga;

b.     telah dinyatakan lulus uji kepatutan dan uji kelayakan oleh Menteri;

c.      tidak pernah terlibat tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang terkait dengan penyelenggaraan angkutan udara; dan

d.     pada saat memimpin badan usaha angkutan udara niaga, badan usahanya tidak pernah dinyatakan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)         Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi direktur utama badan usaha angkutan udara niaga.

Pasal 112

(1)   Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin yang diberikan.

(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.  

(3)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai pertimbangan untuk tetap diperbolehkan menjalankan kegiatan usahanya.

Pasal 113

(1)   Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal  109 ayat (1) dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin usaha yang diberikan.

(2)   Pemindahtanganan izin usaha angkutan udara niaga hanya dapat dilakukan setelah pemegang izin usaha beroperasi dan mendapatkan persetujuan Menteri.

(3)        Pemegang Izin usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.

Pasal 114

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Perizinan Angkutan Udara Bukan Niaga

Pasal 115

(1)        Kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri.

(2)        Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha Indonesia, dan lembaga tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memiliki:

a.     persetujuan dari instansi yang membina kegiatan pokoknya;

b.     akta pendirian badan usaha atau lembaga yang telah disahkan oleh menteri yang berwenang;

c.      nomor pokok wajib pajak (NPWP);

d.     surat keterangan domisili tempat kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan

e.     rencana kegiatan angkutan udara.

(3)        Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang digunakan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) paling sedikit harus memiliki:

a.     tanda bukti identitas diri yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;

b.     nomor pokok wajib pajak (NPWP);

c.      surat keterangan domisili tempat kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang  berwenang; dan

d.     rencana kegiatan angkutan udara.

(4)        Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c diserahkan dalam bentuk salinan yang telah dilegalisasi oleh instansi yang mengeluarkan dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada Menteri.

(5)        Rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan ayat (3) huruf d paling sedikit memuat:

a.     jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan;

b.     pusat kegiatan operasi penerbangan;

c.      sumber daya manusia yang terdiri atas teknisi dan personel pesawat udara; serta

d.     kesiapan serta kelayakan operasi.

Pasal 116

(1)   Izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara.

(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.  

(3)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai pertimbangan untuk tetap diperbolehkan menjalankan kegiatannya.

Pasal 117

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Kewajiban Pemegang Izin Angkutan Udara

Pasal 118

(1)   Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib:

a.     melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak izin diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau kegiatannya;

b.     memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu;

c.      mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang–undangan;

d.     menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara niaga yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi;

e.     melayani calon penumpang secara adil tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;

f.       menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara, termasuk keterlambatan dan pembatalan penerbangan, setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri;

g.     menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan rincian biaya,  setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Menteri;

h.    melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga dan pemilikan pesawat udara kepada Menteri; dan

i.       memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.

(2)   Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:

a.     angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;

b.     angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara  dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan

c.      angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.

(3)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha, dan lembaga tertentu diwajibkan:

a.     mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;

b.     mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang   penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;

c.      menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri; dan

d.     melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili kantor pusat kegiatan kepada Menteri.

(4)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh orang perseorangan diwajibkan:

a.     mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;

b.     mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang   penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain;

c.      menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri; dan

d.     melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili pemegang izin kegiatan kepada Menteri.

Pasal 119

(1)        Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, ayat (3) huruf a, dan ayat (4) huruf a, izin usaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya.

(2)        Pemegang izin usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin serta denda.

(3)        Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

(4)        Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin serta denda.

Pasal 120

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 121

(1)        Badan usaha angkutan udara niaga nasional dan perusahaan angkutan udara asing yang melakukan kegiatan angkutan udara ke dan dari wilayah Indonesia wajib menyerahkan data penumpang pra kedatangan atau keberangkatan (pre-arrival or pre-departure passengers information).

(2)        Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan sebelum kedatangan atau keberangkatan pesawat udara kepada petugas yang berwenang di bandar udara kedatangan atau keberangkatan di Indonesia.

(3)         Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat keterangan:

a.     nama lengkap penumpang sesuai dengan paspor;

b.     jenis kelamin;

c.      kewarganegaraan;

d.     nomor paspor;

e.     tanggal lahir;

f.       asal dan tujuan akhir penerbangan;

g.     nomor kursi; dan

h.    nomor bagasi.

Bagian Ketiga

Jaringan dan Rute Penerbangan

Pasal 122

(1)   Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri untuk angkutan udara niaga berjadwal ditetapkan oleh Menteri.

(2)   Jaringan dan rute penerbangan luar negeri  ditetapkan oleh Menteri berdasarkan perjanjian angkutan udara antarnegara.

Pasal 123

(1)   Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:

a.     permintaan jasa angkutan udara;

b.     terpenuhinya persyaratan teknis operasi penerbangan;

c.      fasilitas bandar udara yang sesuai dengan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan;

d.     terlayaninya semua daerah yang memiliki bandar udara;

e.     pusat kegiatan operasi penerbangan masing-masing badan usaha angkutan udara niaga berjadwal; serta

f.       keterpaduan rute dalam negeri dan luar negeri.

(2)   Jaringan dan rute penerbangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan:

a.     kepentingan nasional;

b.     permintaan jasa angkutan udara;

c.      pengembangan pariwisata;

d.     potensi industri dan perdagangan;

e.     potensi ekonomi daerah; dan

f.       keterpaduan intra dan antarmoda.

Pasal 124

(1)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat mengajukan rute penerbangan baru dalam negeri dan/atau luar negeri kepada Menteri.

(2)   Menteri melakukan evaluasi pengajuan dan menetapkan rute penerbangan baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 125

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta  pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

T a r i f

Pasal 126

(1)   Tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo.

(2)         Tarif angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas ekonomi dan non-ekonomi.

(3)   Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan komponen:

a.     tarif jarak;

b.     pajak;

c.      iuran wajib asuransi; dan

d.     biaya tuslah/tambahan (surcharge).

Pasal 127

(1)        Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) merupakan batas atas tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.

(2)        Tarif batas atas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat.

(3)        Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  harus dipublikasikan kepada konsumen.

(4)        Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan Menteri. 

(5)        Badan usaha angkutan udara yang melanggar ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa sanksi peringatan dan/atau pencabutan izin rute penerbangan.

Pasal 128

(1)         Tarif penumpang pelayanan non-ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.

(2)         Tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan kargo tidak berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan.

Pasal 129

Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral.

Pasal 130

Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur  pengenaan sanksi administratif  diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara

Pasal 131

(1)   Untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga, dapat dilaksanakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara.

(2)   Kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.

Pasal 132

Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki:

a.           akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh menteri yang berwenang dan salah satu usahanya bergerak di bidang penunjang angkutan udara;

b.           nomor pokok wajib pajak (NPWP);

c.            surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;

d.           surat persetujuan dari badan koordinasi penanaman modal atau badan koordinasi penanaman modal daerah apabila menggunakan fasilitas penanaman modal;

e.           tanda bukti modal yang disetor;

f.      garansi/jaminan bank; serta

g.           kelayakan teknis dan operasi.

Pasal 133

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Pengangkutan untuk Penyandang Cacat, Lanjut Usia,

Anak–Anak, dan/atau Orang Sakit

Pasal 134

(1)   Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.

(2)   Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

a.     pemberian prioritas tambahan tempat duduk;

b.     penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara;

c.      penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara;

d.     sarana bantu bagi orang sakit;

e.     penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;

f.       tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan

g.     tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.

(3)   Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.

Pasal 135

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya

Pasal 136

(1)   Pengangkutan barang khusus dan berbahaya wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan.

(2)        Barang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa barang yang karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus.

(3)   Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa, dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.

(4)   Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diklasifikasikan sebagai berikut:

a.  bahan peledak (explosives);

b.  gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);

c.  cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids);

d.  bahan atau barang padat mudah menyala atau terbakar (flammable solids);

e.  bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);

f.   bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);

g.  bahan atau barang radioaktif (radioactive material);

h.  bahan atau barang perusak (corrosive substances);

i.   cairan, aerosol, dan jelly (liquids, aerosols, and gels) dalam jumlah tertentu; atau

j.   bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).

(5)        Badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

Pasal 137

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 138

(1)   Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pengelola pergudangan dan/atau badan usaha angkutan udara sebelum dimuat ke dalam pesawat udara.

(2)   Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus dan/atau barang berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam pesawat udara.

(3)         Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

Pasal 139

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan

Tanggung Jawab Pengangkut

Paragraf 1

Wajib Angkut

Pasal 140

(1)   Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.

(2)   Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.

(3)   Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.

Paragraf 2

Tanggung Jawab Pengangkut terhadap

Penumpang dan/atau Pengirim Kargo

Pasal 141

(1)   Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

(2)   Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab  atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

(3)        Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

Pasal 142

(1)   Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.

(2)   Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.

Pasal 143

Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.

Pasal 144

Pengangkut  bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 145

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 146

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Pasal 147

(1)   Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.

(2)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa:

a.     mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau

b.     memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain  ke tempat tujuan.

Pasal 148

Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:

a.    angkutan pos;

b.    angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan

c.     angkutan udara bukan niaga.

Pasal 149

Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo

Pasal 150

Dokumen  angkutan  udara  terdiri  atas:

a.           tiket penumpang pesawat udara;

b.           pas masuk pesawat udara (boarding pass);

c.            tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag); dan

d.           surat muatan udara (airway bill).

Pasal  151

(1)   Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif.

(2)   Tiket penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.     nomor, tempat, dan tanggal penerbitan;

b.     nama penumpang dan nama pengangkut;

c.      tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan;

d.     nomor penerbangan;

e.     tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan

f.       pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

(3)         Yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah.

(4)   Dalam hal tiket tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

Pasal 152

(1)         Pengangkut  harus menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b kepada penumpang.

(2)   Pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  paling sedikit memuat:

a.     nama penumpang;

b.     rute penerbangan;

c.      nomor penerbangan;

d.     tanggal dan jam keberangkatan;

e.     nomor tempat duduk;

f.       pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara (boarding gate); dan

g.     waktu masuk pesawat udara (boarding time).

Pasal 153

(1)   Pengangkut wajib menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf c kepada penumpang.

(2)   Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.     nomor tanda pengenal bagasi;

b.     kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan

c.      berat bagasi.

(3)   Dalam hal tanda pengenal bagasi tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hilang, atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

Pasal 154

Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara.

Pasal 155

(1)   Surat  muatan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf d wajib dibuat oleh pengirim kargo.

(2)   Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.     tanggal dan tempat surat muatan udara dibuat;

b.     tempat pemberangkatan dan tujuan;

c.      nama dan alamat pengangkut pertama;

d.     nama dan alamat pengirim kargo;

e.     nama dan alamat penerima kargo;

f.       jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa, atau nomor kargo yang ada;

g.     jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo;

h.    jenis atau macam kargo yang dikirim; dan

i.       pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

(3)   Penyerahan surat muatan udara oleh pengirim kepada pengangkut membuktikan kargo telah diterima oleh pengangkut dalam keadaan sebagaimana tercatat dalam surat muatan udara.

(4)   Dalam hal surat muatan udara tidak diisi keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diserahkan kepada pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

Pasal 156

(1)   Surat muatan udara wajib dibuat sekurang-kurangnya rangkap 3 (tiga), lembar asli diserahkan pada saat pengangkut menerima barang untuk diangkut.

(2)   Pengangkut wajib menandatangani surat muatan udara sebelum barang dimuat ke dalam pesawat udara.

Pasal 157

Surat muatan udara tidak dapat diperjualbelikan atau dijadikan jaminan kepada orang lain dan/atau pihak lain.

Pasal 158

Pengangkut  wajib memberi prioritas pengiriman dokumen penting yang bersifat segera serta kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk (perishable goods).

Pasal 159

Dalam hal pengirim kargo menyatakan secara tertulis harga kargo yang sebenarnya, pengangkut dan pengirim kargo dapat membuat kesepakatan khusus  untuk kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 160

Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat-syarat khusus untuk angkutan kargo:

a.           yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan besar ganti kerugian  sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini; dan/atau

b.           yang memerlukan perawatan atau penanganan khusus dan harus disertai perjanjian khusus dengan tambahan imbalan untuk mengasuransikan kargo tersebut.

Pasal 161

(1)   Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran surat muatan udara.

(2)   Pengirim kargo bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen lainnya yang dipersyaratkan oleh instansi terkait dan menyerahkan kepada pengangkut.

(3)         Pengirim bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengangkut atau pihak lain sebagai akibat dari ketidakbenaran surat muatan udara yang dibuat oleh pengirim.

Pasal 162

(1)   Pengangkut wajib segera memberi tahu penerima kargo pada kesempatan pertama bahwa kargo telah tiba dan segera diambil.

(2)   Biaya yang timbul akibat penerima kargo terlambat atau lalai mengambil pada waktu yang telah ditentukan menjadi tanggung jawab penerima.

Pasal 163

Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung jawab pengirim.

Pasal 164

(1)        Dalam hal penerima kargo, setelah diberitahu sesuai dengan waktu yang diperjanjikan tidak mengambil kargo, semua biaya yang ditimbulkannya menjadi tanggung jawab penerima kargo.

(2)        Kargo yang telah melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut berhak menjualnya dan hasilnya digunakan untuk pembayaran biaya yang timbul akibat kargo yang tidak diambil oleh penerima.

(3)        Penjualan kargo sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara yang paling cepat, tepat, dan dengan harga yang wajar.

(4)   Hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan kepada yang berhak menerima setelah dipotong biaya yang dikeluarkan oleh pengangkut sepanjang dapat dibuktikan.

(5)   Penerima kargo tidak berhak menuntut ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya karena penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Paragraf 4

Besaran Ganti Kerugian

Pasal 165

(1)   Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana    dimaksud  dalam  Pasal  141 ayat  (1)  ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2)         Jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh badan usaha angkutan udara niaga di luar ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 166

Pengangkut  dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1).

Pasal 167

Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.

Pasal  168

(1)   Jumlah ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dan  Pasal 145 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2)   Besarnya ganti kerugian untuk kerusakan atau kehilangan sebagian atau seluruh bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 atau kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dihitung berdasarkan berat bagasi tercatat atau kargo yang dikirim yang hilang, musnah, atau rusak.

(3)   Apabila kerusakan atau kehilangan sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan seluruh bagasi atau seluruh kargo tidak dapat digunakan lagi, pengangkut bertanggung jawab berdasarkan seluruh berat bagasi atau kargo yang tidak dapat digunakan tersebut.

Pasal 169

Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).

Pasal 170

Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 171

Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 172

(1)   Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170 dievaluasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri.

(2)   Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:

a.     tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;

b.     kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga;

c.      tingkat inflasi kumulatif;

d.     pendapatan per kapita; dan

e.     perkiraan usia harapan hidup.

(3)   Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan perubahan besaran ganti kerugian, setelah mempertimbangkan saran dan masukan dari menteri yang membidangi urusan keuangan.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5

Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian

Pasal 173

(1)   Dalam hal seorang penumpang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6

Jangka Waktu Pengajuan Klaim 

Pasal 174

(1)   Klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang.

(2)   Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat seharusnya diambil oleh penumpang.

(3)   Bagasi tercatat dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.

(4)   Klaim  atas  kehilangan  bagasi  tercatat  diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui.

Pasal 175

(1)   Klaim atas kerusakan kargo harus diajukan pada saat kargo diambil oleh penerima kargo.

(2)   Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya kargo harus diajukan pada saat kargo seharusnya diambil oleh penerima kargo.

(3)   Kargo dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.

(4)   Klaim atas kehilangan kargo diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui.

Paragraf 7

Hal Gugatan

Pasal 176

Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia.

Pasal 177

Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.

Paragraf 8

Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia

bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang

Pasal  178

(1)   Penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.

(2)   Hak penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Paragraf 9

Wajib Asuransi

Pasal 179

Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146.

Pasal 180

Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170. 

Paragraf 10

Tanggung Jawab pada Angkutan Udara

oleh Beberapa Pengangkut Berturut – turut

Pasal 181

(1)   Pengangkutan yang dilakukan berturut-turut oleh beberapa pengangkut dianggap sebagai satu pengangkutan, dalam hal diperjanjikan sebagai satu perjanjian angkutan udara oleh pihak–pihak yang bersangkutan dengan tanggung jawab sendiri-sendiri atau bersama-sama.

(2)        Dalam hal tidak ada perjanjian oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kerugian yang diderita penumpang, pengirim, dan/atau penerima kargo menjadi tanggung jawab pihak pengangkut yang mengeluarkan dokumen angkutan.

Paragraf 11

Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda

Pasal 182

(1)   Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi dalam kegiatan angkutan udara dalam hal pengangkutan dilakukan melalui angkutan intermoda.      

(2)        Dalam hal angkutan intermoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak pengangkut menggunakan 1 (satu) dokumen angkutan, tanggung jawab dibebankan kepada pihak yang menerbitkan dokumen.

Paragraf 12

Tanggung Jawab Pengangkut Lain

Pasal 183

Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146  berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak  pengangkut lain yang mengadakan perjanjian pengangkutan selain pengangkut.

Paragraf 13

Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga

Pasal 184

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara, atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.

(2)   Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kerugian nyata yang dialami.

(3)        Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan besaran ganti kerugian, persyaratan, dan tata cara untuk memperoleh ganti kerugian diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 185

Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.

Paragraf 14

Persyaratan Khusus

Pasal 186

(1)        Pengangkut dilarang membuat perjanjian atau persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas ganti kerugian yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(2)        Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan

Angkutan Multimoda

Pasal 187

(1)   Angkutan udara dapat merupakan bagian angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.

(2)   Kegiatan angkutan udara dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan usaha angkutan udara dan badan usaha angkutan multimoda, dan/atau badan usaha moda lainnya.

Pasal 188

Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri.

Pasal 189

(1)   Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 bertanggung jawab (liability) terhadap barang kiriman sejak diterima sampai diserahkan kepada penerima barang.

(2)   Tanggung jawab angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.

(3)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat dikecualikan dalam hal badan usaha angkutan multimoda atau agennya dapat membuktikan telah dilaksanakannya segala prosedur untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang.

(4)   Tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.

Pasal 190

Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

Pasal 191

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

KEBANDARUDARAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 192

Bandar udara terdiri atas:

a.    bandar udara umum, yang selanjutnya disebut bandar udara; dan

b.    bandar udara khusus.

Bagian Kedua

Tatanan Kebandarudaraan Nasional

Pasal 193

(1)   Tatanan kebandarudaraan nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien,  serta mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara. 

(2)   Tatanan  kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem perencanaan kebandarudaraan  nasional yang menggambarkan interdependensi, interrelasi, dan sinergi antar-unsur yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional.

(3)   Tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a.     peran, fungsi, penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara; serta

b.     rencana induk nasional bandar udara.

Pasal 194

Bandar udara memiliki peran sebagai:

a.    simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;

b.    pintu gerbang kegiatan perekonomian;

c.     tempat kegiatan alih moda transportasi;

d.    pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;

e.    pembuka isolasi daerah, pengembangan daerah perbatasan, dan penanganan bencana; serta

f.     prasarana memperkukuh Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

Pasal  195

Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan:

a.    pemerintahan; dan/atau

b.    pengusahaan.

Pasal  196

Penggunaan bandar udara terdiri atas bandar udara internasional dan bandar udara domestik.

Pasal  197

(1)   Hierarki bandar udara terdiri atas bandar udara pengumpul (hub) dan bandar udara pengumpan (spoke).

(2)   Bandar udara pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan primer, sekunder, dan tersier.

(3)   Bandar udara pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bandar udara tujuan atau penunjang dari bandar udara pengumpul dan merupakan salah satu prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal.

Pasal  198

Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara.

Pasal 199

(1)   Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (3) huruf b merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan bandar udara.

(2)   Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:

a.     rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b.     potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;

c.      potensi sumber daya alam;

d.     perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional;

e.     sistem transportasi nasional;

f.       keterpaduan intermoda dan multimoda; serta

g.     peran bandar udara.

(3)   Rencana induk nasional bandar udara memuat:

a.     kebijakan nasional bandar udara; dan

b.     rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara.

Pasal 200

(1)   Menteri menetapkan tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.

(2)   Tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(3)   Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis, tatanan kebandarudaraan nasional dapat ditinjau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan tatanan kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Penetapan Lokasi Bandar Udara

Pasal 201

(1)        Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.

(2)        Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a.     titik koordinat bandar udara; dan

b.     rencana induk bandar udara.

(3)        Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a.     rencana induk nasional bandar udara;

b.     keselamatan dan keamanan penerbangan;

c.      keserasian dan keseimbangan dengan budaya setempat dan kegiatan lain terkait di lokasi bandar udara;

d.     kelayakan ekonomis, finansial, sosial, pengembangan wilayah, teknis pembangunan, dan pengoperasian; serta

e.     kelayakan lingkungan.

Pasal 202

Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:

a.           prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo;

b.           kebutuhan fasilitas;

c.            tata letak fasilitas;

d.           tahapan pelaksanaan pembangunan;

e.           kebutuhan dan pemanfaatan lahan;

f.             daerah lingkungan kerja;

g.           daerah lingkungan kepentingan;

h.          kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan

i.             batas kawasan kebisingan.

Pasal 203

(1)  Daerah lingkungan kerja bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f merupakan daerah yang dikuasai badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara, yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas bandar udara.

(2)   Pada daerah lingkungan kerja bandar udara yang telah ditetapkan, dapat diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 204

(1)   Dalam pelayanan kegiatan angkutan udara dapat ditetapkan tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) di luar daerah lingkungan kerja bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri.

(2)   Tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daerah lingkungan kerja bandar udara dan harus memperhatikan aspek keamanan penerbangan.

Pasal 205

(1)  Daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo.

(2)   Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar udara harus mendapatkan persetujuan dari Menteri.

Pasal 206

Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf h terdiri atas:

a.    kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;

b.    kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;

c.     kawasan di bawah permukaan transisi;

d.    kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam;

e.    kawasan di bawah permukaan kerucut; dan

f.     kawasan di bawah permukaan horizontal-luar.

Pasal 207

Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas:

a.           kebisingan tingkat I;

b.           kebisingan tingkat II; dan

c.            kebisingan tingkat III.

Pasal 208

(1)   Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan operasi penerbangan.

(2)  Pengecualian terhadap ketentuan mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. merupakan fasilitas yang mutlak diperlukan untuk operasi penerbangan;

b.  memenuhi kajian khusus aeronautika; dan

c. sesuai dengan ketentuan teknis keselamatan operasi penerbangan.

(3)   Bangunan yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diinformasikan melalui pelayanan informasi aeronautika (aeronautical  information service).

Pasal 209

Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis.

Pasal 210

Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara.

Pasal 211

(1)   Untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan serta pengembangan bandar udara, pemerintah daerah wajib mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara.

(2)   Untuk mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menetapkan rencana rinci tata ruang kawasan di sekitar bandar udara dengan memperhatikan rencana induk bandar udara dan rencana induk nasional bandar udara.

Pasal 212

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas  untuk menunjang pelayanan bandar udara.

Pasal 213

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Pembangunan Bandar Udara

Pasal 214

Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.

Pasal 215

(1)   Izin mendirikan bangunan bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

(2)   Izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah memenuhi persyaratan:

a.     bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;

b.     rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap utilitas dan aksesibilitas dalam penyelenggaraan bandar udara;

c.      bukti penetapan lokasi bandar udara;

d.     rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara; dan 

e.     kelestarian lingkungan.

Pasal 216

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Pengoperasian Bandar Udara

Paragraf 1

Sertifikasi Operasi Bandar Udara

Pasal 217

(1)        Setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara.

(2)        Bandar udara yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan, Menteri memberikan:

a.     sertifikat bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas lebih dari 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram; atau

b.     register bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.

(3)   Sertifikat bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

a.     personel;

b.     fasilitas;

c.      prosedur operasi bandar udara; dan

d.     sistem manajemen keselamatan operasi bandar udara.        

(4)   Register bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

a. personel;

b. fasilitas; dan

c. prosedur operasi bandar udara.

(5)   Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. penurunan tarif jasa bandar udara; dan/atau

c. pencabutan sertifikat.

Pasal 218

Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau  register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Fasilitas Bandar Udara

Pasal 219

(1)   Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara  sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.

(2)   Setiap fasilitas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat kelaikan oleh Menteri.

(3)   Untuk mempertahankan kesiapan fasilitas bandar udara, badan usaha bandar udara, atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi, dan/atau kalibrasi.

(4)   Untuk menjaga dan meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personel, badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara berkala.

(5)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan sertifikat; dan/atau

c. pencabutan sertifikat.

Pasal 220

(1)   Pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) wajib dilakukan oleh tenaga manajerial yang memiliki kemampuan dan kompetensi operasi dan manajerial di bidang teknis dan/atau operasi bandar udara.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan sertifikat; dan/atau

c. pencabutan sertifikat.

Pasal 221

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Personel Bandar Udara

Pasal 222

(1)   Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.

(2)   Personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

a. administratif;

b. sehat jasmani dan rohani;

c. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan

d. lulus ujian.

(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri.

Pasal 223

(1)   Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib:

a. melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;

b. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan

c. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

(2)   Personel bandar udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan lisensi; dan/atau

c. pencabutan lisensi.

Pasal 224

Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.

Pasal 225

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Penyelenggaraan Kegiatan di Bandar Udara

Paragraf 1

Kegiatan Pemerintahan di Bandar Udara

Pasal 226

(1)   Kegiatan pemerintahan di bandar udara meliputi:

a.     pembinaan kegiatan penerbangan;

b.     kepabeanan;

c.      keimigrasian; dan

d.     kekarantinaan.

(2)   Pembinaan kegiatan penerbangan di bandar udara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh otoritas bandar udara.

(3)   Fungsi kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemerintahan di bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Otoritas Bandar Udara

Pasal 227

(1)   Otoritas bandar udara ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.

(2)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk untuk satu atau beberapa bandar udara terdekat.

(3)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

Pasal 228

Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a.           menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;

b.           memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;

c.            menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara;

d.           menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya;

e.           melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggungjawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara; dan

f.      melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri.

Pasal 229

Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1)  mempunyai wewenang:

a.           mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara;

b.           mengatur, mengendalikan, dan mengawasi  pelaksanaan ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran, serta kenyamanan penerbangan di bandar udara;

c.            mengatur, mengendalikan, dan mengawasi  pelaksanaan ketentuan pelestarian lingkungan;

d.           mengatur, mengendalikan, dan mengawasi  penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara;

e.           mengatur, mengendalikan, dan mengawasi  penggunaan kawasan keselamatan operasional penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udara serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara;

f.      mengatur, mengendalikan, dan mengawasi  pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara; dan

g.           memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal  230

Aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 231

Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Kegiatan Pengusahaan di Bandar Udara

Pasal 232

(1)   Kegiatan pengusahaan bandar udara terdiri atas:

a.    pelayanan jasa kebandarudaraan; dan

b.    pelayanan jasa terkait bandar udara.

(2)   Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang, dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan:

a.     fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir, dan penyimpanan pesawat udara;

b.     fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo, dan pos;

c.      fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah buangan; dan

d.     lahan untuk bangunan, lapangan, dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara.

(3)   Pelayanan jasa terkait bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:

a.  jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara, terdiri atas:

1)  penyediaan hanggar pesawat udara;

2)  perbengkelan pesawat udara;

3)  pergudangan;

4)  katering pesawat udara;

5)  pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling);

6)  pelayanan penumpang dan bagasi; serta

7)  penanganan kargo dan pos.

b.  jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang, terdiri atas:

1)  penyediaan penginapan/hotel dan transit hotel;

2)  penyediaan toko dan restoran;

3)  penyimpanan kendaraan bermotor;

4)  pelayanan kesehatan;

5)  perbankan dan/atau penukaran uang; dan

6)  transportasi darat.

c.    jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara, terdiri atas:

1)  penyediaan tempat bermain dan rekreasi;

2)  penyediaan fasilitas perkantoran;

3) penyediaan fasilitas olah raga;

4)  penyediaan fasiltas pendidikan dan pelatihan;

5)  pengisian bahan bakar kendaraan bermotor; dan

6)  periklanan.

Pasal 233

(1)   Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) dapat diselenggarakan oleh:

a.     badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memperoleh izin dari Menteri; atau

b.     unit penyelenggara bandar udara untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(2)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan setelah memenuhi persyaratan administrasi, keuangan, dan manajemen.

(3)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dipindahtangankan.

(4)   Pelayanan jasa terkait dengan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (3) dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.

(5)   Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.

Pasal 234

(1)   Dalam melaksanakan pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2), badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib:

a.     memiliki sertifikat bandar udara atau register bandar udara;

b.     menyediakan fasilitas bandar udara yang laik operasi, serta memelihara kelaikan fasilitas bandar udara;

c.      menyediakan personel yang mempunyai kompetensi untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara;

d.     mempertahankan dan meningkatkan kompetensi personel yang merawat dan mengoperasikan fasilitas bandar udara;

e.     menyediakan dan memperbarui setiap prosedur pengoperasian dan perawatan fasilitas bandar udara;

f.       memberikan pelayanan kepada pengguna jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri;

g.     menyediakan fasilitas kelancaran lalu lintas personel pesawat udara dan petugas operasional;

h.    menjaga dan meningkatkan keselamatan, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;

i.       menjaga dan meningkatkan keamanan dan ketertiban bandar udara;

j.       memelihara kelestarian lingkungan;

k.     mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;

l.       melakukan pengawasan dan pengendalian secara internal atas kelaikan fasilitas bandar udara, pelaksanaan prosedur perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara, serta kompetensi personel bandar udara; dan

m.  memberikan laporan secara berkala kepada Menteri dan otoritas bandar udara.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan izin; dan/atau

c. pencabutan izin.

Pasal 235

(1)   Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan konsesi dan/atau bentuk lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan oleh Menteri dan dituangkan dalam perjanjian.

(2)   Hasil konsesi dan/atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 236

Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial.

Pasal 237

(1)   Pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1) yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

(2)  Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing.

Pasal 238

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Pelayanan dan Fasilitas Khusus

Pasal 239

(1)   Penyandang cacat, orang sakit, lanjut usia, dan anak-anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara.

(2)   Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.     pemberian prioritas pelayanan di terminal;

b.     menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal;

c.      sarana bantu bagi orang sakit;

d.     menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery);

e.     tersedianya personel  yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta

f.       tersedianya informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan

Tanggung Jawab Ganti Kerugian

Pasal 240

(1)  Badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.

(2)   Tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.     kematian atau luka fisik orang;

b.     musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau

c.      dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara.

(3)  Risiko atas tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan.

(4)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan sertifikat; dan/atau

c. pencabutan sertifikat.

Pasal 241

Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara  bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya.

Pasal 242

Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan

Tarif Jasa Kebandarudaraan

Pasal 243

Setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan.

Pasal 244

(1)   Struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ditetapkan oleh Menteri.

(2)   Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang diusahakan secara komersial ditetapkan oleh badan usaha bandar udara.

(3)   Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang belum diusahakan secara komersial ditetapkan dengan:

a.     Peraturan Pemerintah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara; atau

b.     Peraturan daerah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara pemerintah daerah.

Pasal 245

Besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

Pasal 246

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesepuluh

Bandar Udara Khusus

Pasal 247

(1)   Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat izin pembangunan dari Menteri.

(2)   Izin pembangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

a.     bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;

b.     rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat;

c.      rancangan teknik terinci fasilitas pokok; dan 

d.     kelestarian lingkungan.

(3)   Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana ketentuan pada bandar udara.

Pasal 248

Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 249

Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari Menteri.

Pasal 250

Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri, dan bersifat sementara.

Pasal 251

Bandar udara khusus dapat berubah status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara.

Pasal 252

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesebelas

Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter

Pasal 253

(1)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport) terdiri atas:

a.     tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport);

b.     tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport); dan

c.      tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan (helideck).

(2)   Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan dan lepas landas helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan teknis dari Menteri.

(3)   Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi aspek:

a.     penggunaan ruang udara;

b.     rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter; serta

c.      standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pasal 254

(1)   Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan.

(2)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan register oleh Menteri.

Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Belas

Bandar Udara Internasional

Pasal 256

(1)   Menteri menetapkan beberapa bandar udara sebagai bandar udara internasional.

(2)   Penetapan bandar udara internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

a. rencana induk nasional bandar udara;

b.  pertahanan dan keamanan negara;

c.  pertumbuhan dan perkembangan pariwisata;

d. kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional; serta

e.  pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri.

(3)   Penetapan bandar udara internasional oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan menteri terkait.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional  diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga Belas

Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara

Pasal 257

(1)   Dalam keadaan tertentu bandar udara dapat digunakan sebagai pangkalan udara.

(2)   Dalam keadaan tertentu pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara.

(3)   Penggunaan bersama suatu bandar udara atau pangkalan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan  ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

a.     kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara;

b.     keselamatan, keamanan, dan kelancaran penerbangan;

c.      keamanan dan pertahanan negara; serta

d.     peraturan perundang-undangan.

Pasal 258

(1)   Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2) berlaku ketentuan penerbangan sipil.

(2)   Pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi terkait.

Pasal 259

Bagian Keempat Belas . . .

Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Bagian Keempat Belas

Pelestarian Lingkungan

Pasal 260

(1)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sesuai dengan ambang batas dan baku mutu yang ditetapkan Pemerintah.

(2)   Untuk menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara dapat membatasi waktu dan frekuensi, atau menolak pengoperasian pesawat udara.

(3)   Untuk menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kebisingan, pencemaran, serta pemantauan dan pengelolaan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII

NAVIGASI PENERBANGAN

Bagian Kesatu

Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional

Pasal 261

(1)        Guna mewujudkan penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan yang andal  dalam rangka keselamatan penerbangan harus ditetapkan tatanan navigasi penerbangan nasional.

(2)        Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan menteri yang membidangi urusan di bidang pertahanan dan Panglima Tentara Nasional Indonesia.

(3)   Penyusunan tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

a.     keselamatan operasi penerbangan;

b.     efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan;

c.      kepadatan lalu lintas penerbangan;

d.     standar tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang berlaku; dan

e.     perkembangan teknologi di bidang navigasi penerbangan.

(4)        Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:

a.     ruang udara yang dilayani;

b.     klasifikasi ruang udara;

c.      jalur penerbangan; dan

d.     jenis pelayanan navigasi penerbangan.

Paragraf 1

Ruang Udara Yang Dilayani

(1)   Ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf a meliputi:

a.     wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;

b.     ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada Republik Indonesia; dan

c.      ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional kepada Republik Indonesia.

(2)   Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 263

Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

a.           struktur jalur penerbangan;

b.           arus lalu lintas penerbangan; dan

c.            efisiensi pergerakan pesawat udara.

Pasal 264

(1)   Kawasan udara berbahaya ditetapkan oleh penyelenggara pelayanan  navigasi penerbangan pada ruang udara yang dilayaninya.

(2)   Pada kawasan udara berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pembatasan kegiatan penerbangan yang bersifat tidak tetap dan tidak menyeluruh sesuai dengan kondisi alam.

Paragraf 2

Klasifikasi Ruang Udara

Pasal 265

(1)        Klasifikasi ruang udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf b disusun dengan mempertimbangkan:

a.     kaidah penerbangan;

b.     pemberian separasi;

c.      pelayanan yang disediakan:

d.     pembatasan kecepatan:

e.     komunikasi radio; dan/atau

f.       persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan (Air Traffic Control Clearance).

(2)        Klasifikasi Ruang Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kelas A, kelas B, kelas C, kelas D, kelas E, kelas F, dan kelas G.

Paragraf 3

Jalur Penerbangan

Pasal 266

(1)      Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf c bertujuan untuk mengatur arus lalu lintas penerbangan.

(2)      Penetapan jalur penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan paling sedikit:

a.     pembatasan penggunaan ruang udara;

b.     klasifikasi ruang udara;

c.      fasilitas navigasi penerbangan;

d.     efisiensi dan keselamatan pergerakan pesawat udara; dan

e.     kebutuhan pengguna pelayanan navigasi penerbangan.

Pasal 267

(1)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf c  meliputi:  

a.     jalur udara (airway);

b.     jalur udara dengan pelayanan saran panduan (advisory route);

c.      jalur udara dengan pemanduan (control route) dan/atau jalur udara tanpa pemanduan (uncontrolled route); dan

d.     jalur udara keberangkatan (departure route) dan jalur udara kedatangan (arrival route).

(2)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:

a.     nama jalur penerbangan;

b.     nama titik acuan dan koordinat;

c.      arah (track) yang menuju atau dari suatu titik acuan;

d.     jarak antartitik acuan; dan

e.     batas ketinggian aman terendah.

Pasal  268

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan

Paragraf 1

Tujuan dan Jenis Pelayanan Navigasi Penerbangan

Pasal 269

Navigasi penerbangan mempunyai tujuan sebagai berikut:

a.           terwujudnya penyediaan jasa pelayanan navigasi penerbangan  sesuai dengan standar yang berlaku;

b.           terwujudnya efisiensi penerbangan; dan

c.            terwujudnya suatu jaringan pelayanan navigasi penerbangan secara terpadu, serasi, dan harmonis dalam lingkup nasional, regional, dan internasional.

Pasal 270

Jenis pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf d meliputi:

a.           pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services);

b.           pelayanan telekomunikasi penerbangan (aeronautical telecommunication services);

c.            pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information services);

d.           pelayanan informasi meteorologi penerbangan (aeronautical meteorological services); dan

e.           pelayanan informasi pencarian dan pertolongan (search and rescue).

Paragraf 2

Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan

Pasal 271

(1)    Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara yang dilayani.

(2)    Untuk menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan.

(3)        Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.     mengutamakan keselamatan penerbangan;

b.     tidak berorientasi kepada keuntungan;

c.      secara finansial dapat mandiri; dan

d.     biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).

(4)   Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Pasal 272

(1)        Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan pesawat udara.

(2)        Kewajiban pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak kontak komunikasi pertama sampai dengan kontak komunikasi terakhir antara kapten penerbang dengan petugas atau fasilitas navigasi penerbangan.

(3)        Untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga penyelenggara  pelayanan navigasi penerbangan:

a.     memiliki standar prosedur operasi (standard operating procedure);

b.     mengoperasikan dan memelihara keandalan fasilitas navigasi penerbangan sesuai dengan standar;

c.      mempekerjakan personel navigasi penerbangan yang memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi; dan

d.     memiliki mekanisme pengawasan dan pengendalian jaminan kualitas pelayanan.

Pasal 273

Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat terbang, helikopter, atau pesawat udara sipil jenis tertentu, yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan.

Pasal 274

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan jalur penerbangan oleh lembaga penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 diatur oleh Menteri.

Paragraf 3

Sertifikasi Pelayanan Navigasi Penerbangan

Pasal 275

(1)        Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang ditetapkan oleh Menteri.

(2)        Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada masing-masing unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan.

(3)        Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a.     unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara;

b.     unit pelayanan navigasi pendekatan; dan

c.      unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.

Paragraf 4

Biaya Pelayanan Jasa Navigasi  Penerbangan

Pasal 276

(1)   Pesawat udara yang terbang melalui  ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf a dikenakan biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan.

(2)   Biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan.

Pasal 277

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf  5

Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan

Pasal 278

Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf a mempunyai tujuan:

a.           mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara di udara;

b.           mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area);

c.            memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan;

d.           memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan

e.           memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).

Pasal 279

(1)        Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 terdiri atas:

a.     pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan (air traffic control service);

b.     pelayanan informasi penerbangan (flight information service);

c.      pelayanan saran lalu lintas penerbangan (air traffic advisory service); dan

d.     pelayanan kesiagaan (alerting service).

(2)        Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

a.     jenis lalu lintas penerbangan;

b.     kepadatan arus lalu lintas penerbangan;

c.      kondisi sistem teknologi dan topografi; serta

d.     fasilitas dan kelengkapan navigasi penerbangan di pesawat udara.

Pasal 280

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan  diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6

Pelayanan Telekomunikasi Penerbangan

Pasal 281

Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf b bertujuan menyediakan informasi untuk menciptakan akurasi, keteraturan, dan efisiensi penerbangan.

Pasal  282

Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 terdiri atas:

a.           pelayanan aeronautika tetap (aeronautical fixed services);

b.           pelayanan aeronautika bergerak (aeronautical mobile services); dan

c.            pelayanan radio navigasi aeronautika (aeronautical radio navigation services).

Pasal 283

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri

Paragraf  7

Pelayanan Informasi Aeronautika

Pasal 284

Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf c bertujuan tersedianya informasi yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu yang diperlukan untuk keteraturan dan efisiensi penerbangan.

Pasal 285

(1)        Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 memuat informasi tentang fasilitas, prosedur, pelayanan di bandar udara dan ruang udara.

(2)        Informasi  aeronautika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas paket informasi aeronautika terpadu dan peta navigasi penerbangan.

(3)        Paket Informasi aeronautika terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a.     publikasi informasi aeronautika (aeronautical information publication);

b.     notifikasi kepada penerbang dan petugas lalu lintas penerbangan (notice to airmen);

c.      edaran informasi aeronautika (aeronautical information circulars); dan

d.     buletin yang berisi informasi yang diperlukan sebelum penerbangan.

Pasal 286

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf  8

Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan

Pasal 287

Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf d bertujuan menyediakan informasi cuaca di bandar udara dan sepanjang jalur penerbangan yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu untuk keselamatan, kelancaran, dan efisiensi penerbangan.

Pasal 288

Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 diberikan oleh unit pelayanan informasi meteorologi kepada operator pesawat udara, personel pesawat udara, unit pelayanan navigasi penerbangan, unit pelayanan pencarian dan pertolongan, serta penyelenggara bandar udara.

Pasal 289

Pelayanan informasi meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dilaksanakan secara berkoordinasi antara unit pelayanan informasi meteorologi dan unit pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan melalui kesepakatan bersama.

Pasal 290

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf  9

Pelayanan Informasi Pencarian Dan Pertolongan

Pasal 291

(1)   Pelayanan informasi pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf e bertujuan memberikan informasi yang cepat dan akurat untuk membantu usaha pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat udara.

(2)   Dalam memberikan pelayanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus menyediakan interkoneksi  dan berkoordinasi dengan badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian  Ketiga

Personel Navigasi Penerbangan

Pasal 292

(1)   Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.

(2)   Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

a. administratif;

b. sehat jasmani dan rohani;

c. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan

d. lulus ujian.

(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri.

Pasal 293

(1)   Personel navigasi penerbangan yang telah memiliki lisensi wajib:

a. melaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;

b. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan

c. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

(2)   Personel navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan lisensi; dan/atau

c. pencabutan lisensi.

Pasal 294

Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.

Pasal 295

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Fasilitas Navigasi Penerbangan

Pasal 296

(1)   Fasilitas navigasi penerbangan terdiri atas:

a.     fasilitas telekomunikasi penerbangan;

b.     fasilitas informasi aeronautika; dan

c.      fasilitas informasi meteorologi penerbangan.

(2)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan dipasang dan dioperasikan harus mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 297

Pemasangan fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) harus memperhatikan:

a.    kebutuhan operasional;

b.    perkembangan teknologi;

c.     keandalan fasilitas; dan

d.    keterpaduan sistem.

Pasal 298

(1)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) wajib dipelihara oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2)   Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan izin; dan/atau

c. pencabutan izin.

Pasal 299

(1)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) huruf a yang dioperasikan untuk pelayanan navigasi penerbangan wajib dikalibrasi secara berkala agar tetap laik operasi.

(2)   Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan izin.

Pasal 300

Penyelenggaraan kalibrasi fasilitas navigasi penerbangan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau badan hukum yang mendapat sertifikat dari Menteri.

Pasal 301

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Frekuensi Radio Penerbangan

Paragraf 1

Penggunaan Frekuensi

Pasal 302

(1)        Menteri mengatur penggunaan frekuensi radio penerbangan yang telah dialokasikan oleh menteri yang membidangi urusan frekuensi.

(2)        Frekuensi radio penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan untuk kepentingan keselamatan penerbangan aeronautika dan non-aeronautika.

Pasal 303

(1)        Menteri memberikan rekomendasi penggunaan frekuensi radio untuk menunjang operasi penerbangan di luar frekuensi yang telah dialokasikan.

(2)        Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk pemberian izin yang diberikan oleh menteri yang membidangi urusan frekuensi.

(3)        Penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

Pasal 304

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Biaya

Pasal  305

(1)        Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (2) tidak dikenakan biaya.

(2)        Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk non-aeronautika yang tidak digunakan untuk keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (2) dapat dikenakan biaya.

Pasal 306

Setiap orang dilarang:

a.    menggunakan frekuensi radio penerbangan kecuali untuk penerbangan; dan

b.    menggunakan frekuensi radio yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan.

Pasal 307

Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan frekuensi radio diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XIII

KESELAMATAN PENERBANGAN

Bagian Kesatu

Program Keselamatan Penerbangan Nasional

Pasal 308

(1)   Menteri bertanggung jawab terhadap keselamatan penerbangan nasional.

(2)   Untuk menjamin keselamatan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan program keselamatan penerbangan nasional (state safety program).

Pasal 309

(1)   Program keselamatan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2) memuat:

a. peraturan keselamatan penerbangan;

b. sasaran keselamatan penerbangan;

c. sistem pelaporan keselamatan penerbangan;

d. analisis data dan pertukaran informasi keselamatan penerbangan (safety data analysis and exchange);

e. kegiatan investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan (accident and incident investigation);

f.   promosi keselamatan penerbangan (safety promotion);

g. pengawasan keselamatan penerbangan (safety oversight); dan

h. penegakan hukum (law enforcement).

(2)   Pelaksanaan program keselamatan penerbangan nasional (state safety program) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara berkelanjutan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri.

Pasal 310

(1)   Sasaran keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) huruf b meliputi:

a.  target kinerja keselamatan penerbangan;

b.  indikator kinerja keselamatan penerbangan; dan

c.  pengukuran pencapaian keselamatan penerbangan.

(2)   Target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipublikasikan kepada masyarakat.

Pasal 311

Ketentuan lebih lanjut mengenai program keselamatan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Pengawasan Keselamatan Penerbangan

Pasal 312

(1)   Menteri bertanggung jawab terhadap pengawasan keselamatan penerbangan nasional.

(2)   Pengawasan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengawasan berkelanjutan untuk melihat pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan lainnya yang meliputi:

a.  audit;

b.  inspeksi;

c.  pengamatan (surveillance); dan

d. pemantauan (monitoring).

(3)   Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh unit kerja atau lembaga penyelenggara pelayanan umum.

(4)   Terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keselamatan penerbangan, unit kerja, dan lembaga penyelenggara pelayanan umum diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Penegakan Hukum Keselamatan Penerbangan

Pasal 313

(1)        Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan  mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.

(2)        Program penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a.     tata cara penegakan hukum;

b.     penyiapan personel yang berwenang mengawasi penerapan aturan di bidang keselamatan penerbangan;

c.      pendidikan masyarakat dan penyedia jasa penerbangan serta para penegak hukum; dan

d.     penindakan.

(3)   Tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.     sanksi administratif; dan

b.     sanksi pidana.

Bagian Keempat

Sistem Manajemen Keselamatan Penyedia Jasa Penerbangan

Pasal 314

(1)   Setiap penyedia jasa penerbangan wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan secara berkelanjutan sistem manajemen keselamatan (safety management system) dengan berpedoman pada program keselamatan penerbangan nasional.

(2)   Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri.

(3)   Setiap penyedia jasa penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan izin; dan/atau

c. pencabutan izin.

Pasal 315

Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1) paling sedikit memuat:

a.           kebijakan dan sasaran keselamatan;

b.           manajemen risiko keselamatan;

c.            jaminan keselamatan; dan

d.           promosi keselamatan.

Pasal 316

(1) Kebijakan dan sasaran keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 huruf a paling sedikit memuat:

a.     komitmen pimpinan penyedia jasa penerbangan;

b.     penunjukan penanggung jawab utama keselamatan;

c.      pembentukan unit manajemen keselamatan;

d.     penetapan target kinerja keselamatan;

e.     penetapan indikator kinerja keselamatan;

f.       pengukuran pencapaian keselamatan;

g.     dokumentasi data keselamatan; dan

h.    koordinasi penanggulangan gawat darurat.

(2)   Penetapan target kinerja keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang akan dicapai harus minimal sama atau lebih baik daripada target kinerja keselamatan nasional.

(3)   Target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan harus dipublikasikan kepada masyarakat.

Pasal 317

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Budaya Keselamatan Penerbangan

Pasal 318

Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya bertanggung jawab membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan.

Pasal 319

Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318, Menteri menetapkan kebijakan dan program budaya tindakan keselamatan, keterbukaan, komunikasi, serta penilaian dan penghargaan terhadap tindakan keselamatan penerbangan.

Pasal 320

Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318, penyedia jasa penerbangan menetapkan kebijakan dan program budaya keselamatan.

Pasal 321

(1)   Personel penerbangan yang mengetahui terjadinya penyimpangan atau ketidaksesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan wajib melaporkan kepada Menteri.

(2)   Personel penerbangan yang melaporkan kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi perlindungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3)   Personel penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan lisensi atau sertifikat kompetensi; dan/atau

c. pencabutan lisensi atau sertifikat kompetensi.

Pasal 322

Ketentuan lebih lanjut mengenai budaya keselamatan penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi adminisratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XIV

KEAMANAN PENERBANGAN

Bagian Kesatu

Keamanan Penerbangan  Nasional

Pasal 323

(1)              Menteri bertanggung jawab terhadap keamanan penerbangan nasional.

(2)      Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri berwenang untuk:

a.     membentuk komite nasional keamanan penerbangan;

b.     menetapkan program keamanan penerbangan nasional; dan

c.      mengawasi pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional.

Pasal 324

Komite nasional keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf a bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional.

Pasal 325

Program keamanan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:

a.           peraturan keamanan penerbangan;

b.           sasaran keamanan penerbangan;

c.            personel keamanan penerbangan;

d.           pembagian tanggung jawab keamanan penerbangan;

e.           perlindungan bandar udara, pesawat udara, dan fasilitas navigasi penerbangan;

f.             pengendalian dan penjaminan keamanan terhadap orang dan barang di pesawat udara;

g.           penanggulangan tindakan melawan hukum;

h.          penyesuaian sistem keamanan terhadap tingkat ancaman keamanan; serta

i.             pengawasan keamanan penerbangan.

Pasal 326

(1)   Dalam melaksanakan program keamanan penerbangan nasional,  Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.

(2)   Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.     pertukaran informasi;

b.     pendidikan dan pelatihan;

c.      peningkatan kualitas keamanan; serta

d.     permintaan keamanan tambahan.

Pasal 327

(1)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan program keamanan bandar udara di setiap bandar udara dengan berpedoman pada program keamanan penerbangan nasional.

(2)   Program keamanan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Menteri.

(3)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara bertanggung jawab terhadap pembiayaan keamanan bandar udara.

Pasal  328

(1)   Setiap otoritas bandar udara bertanggung jawab terhadap pengawasan dan pengendalian program keamanan bandar udara.

(2)   Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), otoritas bandar udara membentuk komite keamanan bandar udara.

(3)   Komite keamanan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program keamanan bandar udara.

Pasal 329

(1)   Setiap badan usaha angkutan udara wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan program keamanan angkutan udara dengan berpedoman pada program keamanan penerbangan nasional.

(2)   Program keamanan angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh badan usaha angkutan udara dan disahkan oleh Menteri.

(3)   Badan usaha angkutan udara bertanggung jawab terhadap pembiayaan keamanan angkutan udara.

Pasal 330

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembuatan atau pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Pengawasan Keamanan Penerbangan

Pasal 331

(1)   Menteri bertanggung jawab terhadap pengawasan keamanan penerbangan nasional.

(2)   Pengawasan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengawasan berkelanjutan untuk melihat pemenuhan peraturan keamanan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan atau institusi lain yang terkait dengan keamanan yang meliputi:

a.  audit;

b.  inspeksi;

c.  survei; dan

d. pengujian (test).

(3)   Terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.

Pasal 332

Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, dan badan usaha angkutan udara wajib melaksanakan pengawasan internal dan melaporkan hasilnya kepada Menteri.

Pasal 333

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Keamanan Bandar Udara

Pasal 334

(1)        Orang perseorangan, kendaraan, kargo, dan pos yang akan memasuki daerah keamanan terbatas wajib memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara bagi penumpang pesawat udara, dan dilakukan pemeriksaan keamanan.

(2)        Pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh personel yang berkompeten di bidang keamanan penerbangan.

Pasal 335

(1)        Terhadap penumpang, personel pesawat udara, bagasi, kargo, dan pos yang akan diangkut harus dilakukan pemeriksaan dan memenuhi persyaratan keamanan penerbangan.

(2)        Penumpang dan kargo tertentu dapat diberikan perlakuan khusus dalam pemeriksaan keamanan.

Pasal 336

Kantong diplomatik tidak boleh diperiksa, kecuali atas permintaan dari instansi yang berwenang di bidang hubungan luar negeri dan pertahanan negara.

Pasal 337

(1)   Penumpang pesawat udara yang membawa senjata wajib melaporkan dan menyerahkannya kepada badan usaha  angkutan udara yang akan mengangkut penumpang tersebut.

(2)        Badan usaha angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas keamanan senjata yang diterima sampai dengan diserahkan kembali kepada pemiliknya di bandar udara tujuan.

Pasal 338

Badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau menunjuk bagian dari wilayah bandar udara sebagai tempat terisolasi (isolated parking area) untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan atau ancaman keamanan.

Pasal 339

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur keamanan pengoperasian bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Keamanan Pengoperasian Pesawat Udara

Pasal 340

(1)   Badan usaha angkutan udara bertanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara di bandar udara dan selama terbang.

(2)   Tanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara  di bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

a.     pemeriksaan keamanan pesawat udara sebelum pengoperasian berdasarkan penilaian risiko keamanan (check and search);

b.     pemeriksaan terhadap barang bawaan penumpang yang tertinggal di pesawat udara;

c.      pemeriksaan terhadap semua petugas yang masuk pesawat udara; dan

d.     pemeriksaan terhadap peralatan, barang, makanan, dan minuman yang akan masuk pesawat udara.

(3)   Tanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara  selama terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

a. mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan penerbangan;

b. memberitahu kepada kapten penerbang apabila ada petugas keamanan dalam penerbangan (air marshal) di pesawat udara; dan

c. memberitahu kepada kapten penerbang adanya muatan barang berbahaya di dalam pesawat udara.

Pasal 341

Penempatan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral.

Pasal 342

Setiap badan usaha angkutan udara yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor wajib memenuhi persyaratan keamanan penerbangan.

Pasal 343

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan keamanan pengoperasian pesawat udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Penanggulangan Tindakan Melawan Hukum

Pasal 344

   Setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa:

a.           menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang atau yang sedang di darat;

b.           menyandera orang di dalam pesawat udara atau di bandar udara;

c.            masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah;

d.           membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin; dan

e.           menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan.

Pasal 345

(1)   Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, dan/atau badan usaha angkutan udara wajib menanggulangi tindakan melawan hukum.

(2)   Penanggulangan tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk program penanggulangan keadaan darurat.    

Pasal 346

Dalam hal terjadi tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf a dan huruf b, Menteri berkoordinasi serta menyerahkan tugas dan komando penanggulangannya kepada institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keamanan.

Pasal 347

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penanggulangan tindakan melawan hukum serta penyerahan tugas dan komando penanggulangan diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Fasilitas Keamanan Penerbangan

Pasal 348

Menteri menetapkan fasilitas keamanan penerbangan yang digunakan dalam mewujudkan keamanan penerbangan.

Pasal 349

Penyediaan fasilitas keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan:

a.    efektivitas peralatan;

b.    klasifikasi bandar udara; serta

c.     tingkat ancaman dan gangguan.

Pasal 350

(1)   Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan  badan usaha angkutan udara yang menggunakan fasilitas keamanan penerbangan wajib:

a.     menyediakan, mengoperasikan, memelihara, dan memodernisasinya sesuai dengan standar yang ditetapkan;

b.     mempertahankan keakurasian kinerjanya dengan melakukan kalibrasi; dan

c.      melengkapi sertifikat peralatannya.

(2)   Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan  badan usaha angkutan udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan izin atau sertifikat; dan/atau

c. pencabutan izin atau sertifikat.

Pasal 351

Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas keamanan penerbangan  diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XV

PENCARIAN DAN PERTOLONGAN

KECELAKAAN PESAWAT UDARA

Pasal 352

(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab melakukan pencarian dan pertolongan terhadap setiap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di wilayah Republik Indonesia.

(2)   Pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan cepat, tepat, efektif, dan efisien untuk mengurangi korban.

(3)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara.

Pasal 353

Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 352 ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan.

Pasal 354

Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan wajib segera memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan.

Pasal 355

Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang bertugas wajib segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan setelah menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan.

Pasal 356

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XVI

INVESTIGASI DAN PENYELIDIKAN LANJUTAN

 KECELAKAAN PESAWAT UDARA

Bagian Pertama

Umum

Pasal 357

(1)        Pemerintah melakukan investigasi dan penyelidikan lanjutan mengenai penyebab setiap kecelakaan dan kejadian serius pesawat udara sipil yang terjadi di wilayah Republik Indonesia.

(2)   Pelaksanaan investigasi dan penyelidikan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh komite nasional yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden.

(3)   Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah institusi yang independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta memiliki keanggotaan yang dipilih berdasarkan standar kompetensi melalui uji kepatutan dan kelayakan oleh Menteri.

(4)   Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas melakukan kegiatan investigasi, penelitian, penyelidikan lanjutan, laporan akhir, dan memberikan rekomendasi dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan dengan penyebab yang sama.

(5)   Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dan segera ditindaklanjuti oleh para pihak terkait.

Bagian Kedua

Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara

Pasal 358

(1)   Komite nasional wajib melaporkan segala perkembangan dan hasil investigasinya kepada Menteri.

(2)   Menteri harus menyampaikan laporan hasil investigasi pesawat tertentu kepada pihak terkait.

(3)   Rancangan laporan akhir investigasi harus dikirim kepada negara tempat pesawat didaftarkan, negara tempat badan usaha angkutan udara, negara perancang pesawat, dan negara pembuat pesawat untuk mendapatkan tanggapan.

(4)   Rancangan laporan akhir investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselesaikan secepat-cepatnya, jika dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, laporan akhir investigasi belum dapat diselesaikan, komite nasional wajib menyampaikan laporan perkembangan (intermediate report) hasil investigasi setiap tahun.

Pasal 359

(1)   Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

(2)   Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.

Pasal 360

(1)   Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, dan mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara.

(2)   Untuk kepentingan keselamatan operasional penerbangan, pesawat udara yang mengalami kecelakaan atau kejadian serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahkan atas persetujuan pejabat yang berwenang.

Pasal 361

(1)        Dalam hal pesawat udara asing mengalami kecelakaan di wilayah Republik Indonesia, wakil resmi  dari negara (acredited representative) tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat badan usaha angkutan udara,  negara tempat perancang pesawat udara, dan negara tempat pembuat pesawat udara dapat diikutsertakan dalam investigasi sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

(2)        Dalam hal pesawat udara yang terdaftar di Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Republik Indonesia dan negara tempat terjadinya kecelakaan tidak melakukan investigasi, Pemerintah Republik Indonesia wajib melakukan investigasi.

Pasal 362

(1)   Orang perseorangan wajib memberikan keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi yang dibutuhkan oleh komite nasional.

(2)   Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, dan/atau badan usaha angkutan udara wajib membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara.

Pasal 363

(1)   Pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan pesawat udara wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di luar daerah lingkungan kerja bandar udara untuk:

a.     melindungi personel pesawat udara dan penumpangnya; dan

b.     mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak pesawat udara, merusak dan/atau mengambil barang-barang dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan.

(2)   Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlangsung sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh komite nasional.

Bagian Ketiga

Penyelidikan Lanjutan Kecelakaan Pesawat Udara

Pasal 364

Untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi  dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan.

Pasal 365

Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 mempunyai tugas:

a.           menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di bidang penerbangan;

b.           melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan; dan

c.            menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.

Pasal 366

Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 majelis profesi penerbangan memiliki fungsi:

a.    menjadi penegak etika profesi dan kompetensi personel penerbangan;

b.    menjadi mediator penyelesaian sengketa perselisihan di bidang penerbangan di luar pengadilan; dan

c.     menjadi penafsir penerapan regulasi di bidang penerbangan;

Pasal 367

Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 paling sedikit berasal dari unsur profesi, pemerintah, dan masyarakat yang kompeten di bidang:

a.           hukum;

b.           pesawat udara;

c.            navigasi penerbangan;

d.           bandar udara;

e.           kedokteran penerbangan; dan

f.      Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 368

Majelis profesi penerbangan berwenang:

a.    memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS;

b.    menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serius terhadap pesawat udara; dan

c.     memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan.

Pasal 369

Ketentuan lebih lanjut mengenai investigasi kecelakaan pesawat udara dan penyelidikan lanjutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVII

PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN

TEKNOLOGI PENERBANGAN

Pasal 370

(1)   Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan wajib dilakukan Pemerintah secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait untuk memperkuat transportasi udara nasional.

(2)   Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi industri:

a.     rancang bangun, produksi, dan pemeliharaan pesawat udara;

b.     mesin, baling-baling, dan komponen pesawat udara;

c.      fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan;

d.     teknologi, informasi, dan navigasi penerbangan;

e.     kebandarudaraan; serta

f.       fasilitas pendidikan dan pelatihan personel penerbangan.

(3)   Perkuatan transportasi udara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan Pemerintah dengan:

a. mengembangkan riset pemasaran dan rancang bangun yang laik jual;

b.  mengembangkan standardisasi dan komponen penerbangan dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan alih teknologi;

c. mengembangkan industri bahan baku dan komponen;

d. memberikan kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;

e. memfasilitasi kerja sama dengan industri sejenis dan/atau pasar pengguna di dalam dan luar negeri; serta

f.   menetapkan kawasan industri penerbangan terpadu.

Pasal 371

Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) dilaksanakan dengan mempersiapkan dan mempekerjakan sumber daya manusia nasional yang memenuhi standar kompetensi.

Pasal 372

Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) harus dilaksanakan dengan memenuhi standar keselamatan dan keamanan serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 373

Badan usaha angkutan udara, badan usaha bandar udara, dan unit penyelenggara bandar udara, serta lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan wajib mendukung pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan nasional.

Pasal 374

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 375

(1)        Sistem informasi penerbangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi penerbangan untuk:

a.     meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan

b.     mendukung perumusan kebijakan di bidang penerbangan. 

(2)   Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Menteri.

Pasal 376

Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 paling sedikit meliputi:

a.           peraturan penerbangan sipil nasional;

b.           target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan penerbangan;

c.            jumlah badan usaha angkutan udara nasional dan asing yang beroperasi;

d.           jumlah dan rincian armada angkutan udara nasional;

e.           rute dan kapasitas tersedia angkutan udara berjadwal domestik dan internasional;

f.      jenis pesawat yang dioperasikan pada rute penerbangan;

g.           data  lalu lintas angkutan udara di bandar udara umum;

h.          tingkat ketepatan waktu jadwal pesawat udara;

i.      tingkat pelayanan angkutan udara;

j.      kelas dan status bandar udara;

k.           fasilitas penunjang bandar udara; serta

l.      hasil investigasi kecelakaan dan kejadian pesawat udara yang tidak digolongkan informasi yang bersifat rahasia.

Pasal 377

Penyelenggaraan sistem informasi penerbangan dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 378

Iklan di daerah lingkungan kerja bandar udara harus memenuhi ketentuan:

a.    tidak mengganggu keselamatan dan keamanan penerbangan;

b.    tidak mengganggu informasi dan pelayanan penerbangan; dan

c.     tidak merusak estetika bandar udara.

Pasal 379

(1)    Setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang penerbangan wajib menyampaikan data dan informasi kegiatannya kepada Menteri.

(2)    Menteri melakukan pemutakhiran data dan informasi penerbangan secara periodik untuk menghasilkan data dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, akurat, terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan.

(3)    Data dan informasi penerbangan didokumentasikan dan dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

(4)    Pengelolaan sistem informasi penerbangan oleh Menteri dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.

(5)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan sistem informasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 380

(1)    Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 379 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta besarnya denda administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XIX

SUMBER DAYA MANUSIA

Bagian Kesatu

Penyediaan dan Pengembangan

Pasal 381

(1)    Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan.

(2)    Penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.

(3)    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas  sumber daya manusia di bidang:

a.   pesawat udara;

b.   angkutan udara;

c.   kebandarudaraan;

d.   navigasi penerbangan;

e.   keselamatan penerbangan; dan

f.         keamanan penerbangan.

(4)    Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menetapkan kebijakan penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan yang mencakup:

a.     perencanaan sumber daya manusia (manpower planning);

b.    pendidikan dan pelatihan;

c.     perluasan kesempatan kerja; serta

d.    pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.

(5)    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Penerbangan

Pasal 382

(1)         Pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dilaksanakan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.

(2)    Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

(3)    Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:

a.   peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik di bidang penerbangan;

b.   kurikulum dan silabus serta metoda pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan sesuai dengan standar yang ditetapkan;

c.   penataan, penyempurnaan, dan sertifikasi organisasi atau manajemen lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan; serta

d.   modernisasi  dan peningkatan teknologi sarana dan prasarana belajar mengajar pada lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

Pasal 383

(1)         Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal dan/atau nonformal.

(2)    Jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)    Jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal di bidang penerbangan yang telah mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 384

(1)    Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di bidang penerbangan disusun dalam model yang ditetapkan oleh Menteri.

(2)    Model pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.   jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;

b.       persyaratan peserta pendidikan dan pelatihan;

c.        kurikulum silabus dan metode pendidikan dan pelatihan;

d.       persyaratan tenaga pendidik dan pelatih;

e.       standar prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;

f.         persyaratan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;

g.       standar penetapan biaya pendidikan dan pelatihan; serta

h.      pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan dan pelatihan.

Pasal 385

Pemerintah mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

Pasal 386

Pemerintah daerah membantu dan memberikan kemudahan untuk terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

Pasal 387

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Sertifikat Kompetensi dan Lisensi

Pasal 388

Penyelenggara pendidikan dan pelatihan wajib memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.

Pasal 389

Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat  kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan.

Pasal 390

Dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang pekerjaannya.

Pasal 391

Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang menyelenggarakan kegiatan di bidang penerbangan wajib:

a.            mempekerjakan personel penerbangan yang memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 389;

b.            menyusun program pelatihan di bidang penerbangan untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi personel penerbangan yang dipekerjakannya.

Pasal 392

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Kontribusi Penyedia Jasa Penerbangan

Pasal 393

(1)    Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang memiliki kegiatan di bidang penerbangan wajib memberikan kontribusi dalam menunjang penyediaan dan pengembangan personel di bidang penerbangan.

(2)    Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:

a.       pemberian beasiswa pendidikan dan pelatihan;

b.       pembangunan lembaga dan/atau penyediaan fasilitas pendidikan dan pelatihan;

c.        kerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada; dan/atau

d.       pemberian kesempatan kepada peserta pendidikan dan pelatihan untuk praktek kerja.

Pasal 394

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 dikenakan sanksi administratif berupa:

a.            peringatan;

b.            denda administratif;

c.             pembekuan izin; atau

d.            pencabutan izin.

Bagian Kelima

Pengaturan  Waktu Kerja

Pasal 395

(1)    Untuk menjamin keselamatan penerbangan harus dilakukan pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat bagi personel operasional penerbangan.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB  XX

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 396

(1)    Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan penerbangan secara optimal masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan penerbangan.

(2)    Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.       memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan penerbangan;

b.       memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang penerbangan;

c.        memberikan masukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan penerbangan;

d.       menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan penyelenggaraan penerbangan yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan;

e.       melaporkan apabila mengetahui terjadinya ketidak- sesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan;

f.         melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan atau kejadian terhadap pesawat udara;

g.       mengutamakan dan mempromosikan budaya keselamatan penerbangan; dan/atau

h.      melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan penerbangan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.

(3)    Pemerintah, pemerintah daerah, dan penyedia jasa penerbangan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.

(4)    Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pasal 397

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

Pasal 398

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XXI

PENYIDIKAN

Pasal 399

(1)    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

(2)    Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.

Pasal 400

(1)    Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 dilaksanakan sebagai berikut:

a.   meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;

b.   menerima laporan tentang adanya tindak pidana di bidang penerbangan;

c.   memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana di bidang penerbangan;

d.   melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;

e.   meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;

f.    memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang penerbangan;

g.   memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana penerbangan;

h.  mengambil sidik jari dan identitas orang;

i.    menggeledah pesawat udara dan tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana di bidang penerbangan;

j.    menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;

k.   mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;

l.    mendatangkan saksi ahli yang diperlukan;

m.  menghentikan proses penyidikan; dan

n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain terkait untuk melakukan penanganan tindak pidana di bidang penerbangan.

(2)    Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB  XXII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 401

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 402

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 403

Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 404

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 405

Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 406

(1)         Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

(2)         Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(3)         Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 407

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua  miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 408

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 409

Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 410

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 411

Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk  atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 412

(1)         Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54  huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)         Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)         Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54  huruf c  dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4)         Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengganggu ketenteraman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54  huruf e  dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(5)         Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi  penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf f  dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(6)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan pesawat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua  miliar lima ratus juta rupiah).

(7)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) mengakibatkan cacat tetap atau matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 413

(1)         Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 414

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)  dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 415

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 416

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 417

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 418

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 419

(1)    Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)    Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 420

Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 421

(1)         Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)         Setiap orang membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 422

(1)         Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(3)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 423

(1)         Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal  222 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara     paling    lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 424

(1)         Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)         Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa:

a.   musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau

b.  dampak lingkungan di sekitar bandar udara,

yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf b dan huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 425

Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara  yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 426

Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 427

Setiap orang yang mengoperasikan  bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 428

(1)         Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 429

Setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 430

(1)         Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 431

(1)         Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio penerbangan selain untuk kegiatan penerbangan  atau menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 432

Setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas tanpa  memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 433

Setiap orang yang menempatkan  petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 434

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 435

Setiap orang  yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 436

(1)         Setiap orang yang membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(2)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(3)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 437

(1)         Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344  huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(3)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 438

(1)         Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 sehingga berakibat terjadinya kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(2)         Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 439

(1)         Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(2)    Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 440

Setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 441

(1)         Tindak pidana di bidang penerbangan dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi  atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

(2)         Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Pasal 442

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

Pasal 443

Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.

BAB  XXIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 444

Setiap kepentingan internasional dalam objek pesawat udara  yang dibuat sesuai dengan dan setelah berlakunya ketentuan dalam konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak (Convention on International Interests in Mobile Equipment) dan protokol mengenai Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara (Protocol to the Convention on Interests on Mobile Equipment on Matters  Specific to Aircraft Equipment) tersebut di Indonesia yang telah didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional tetap sah dan dapat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini sampai dihapusnya pendaftaran atau berakhirnya masa berlaku sebagaimana tercantum dalam pendaftaran.

Pasal 445

Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap dapat menjalankan usahanya sesuai dengan izin yang dimiliki dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun.

Pasal 446

Kantor administrator bandar udara, kantor bandar udara, dan cabang badan usaha kebandarudaraan  tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya otoritas bandar udara berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal  447

Bandar udara umum dan bandar udara khusus yang telah diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan tetap dapat menyelenggarakan kegiatannya dan wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini  paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 448

(1)    Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja sama badan usaha milik negara yang telah menyelenggarakan usaha bandar udara dengan pihak ketiga tetap berlaku sampai perjanjian kerja sama tersebut berakhir.

(2)    Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja sama badan usaha milik negara yang menyelenggarakan usaha bandar udara dengan pihak ketiga dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang ini.

Pasal 449

Komite Nasional Keselamatan Transportasi tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya komite nasional berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 450

Fungsi pelayanan sertifikasi dan pengawasan tetap dilaksanakan secara fungsional oleh unit di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan umum berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 451

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dan badan usaha milik negara yang menyelenggarakan penyelenggaraan navigasi penerbangan tetap menyelenggarakan kegiatan penyelenggaraan navigasi penerbangan sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan navigasi berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB  XXIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 452

(1)         Peraturan Pemerintah pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

(2)         Peraturan Menteri pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal  453

Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, kegiatan usaha bandar udara yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 454

Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang-Undang ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun.

Pasal 455

Otoritas bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara harus sudah terbentuk  paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 456

Tatanan kebandarudaraan nasional harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 457

Rencana induk bandar udara pada bandar udara yang beroperasi harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 458

Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 459

Lembaga penyelenggara pelayanan umum harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 460

Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 461

Program keselamatan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 462

Komite nasional harus sudah terbentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 463

Program keamanan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 464

Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 465

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 466

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

              Disahkan di Jakarta

              Pada tanggal 12 Januari 2009

                 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

             ttd.

                  DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

       REPUBLIK INDONESIA,

   ttd.

      ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN  2009  NOMOR  1

             Salinan sesuai dengan aslinya

            SEKRETARIAT NEGARA RI

          Kepala Biro Perundang-undangan

         Bidang Perekonomian dan Industri,

                     Setio Sapto Nugroho