Setelah perang antar kerajaan Indonesia biasanya Belanda meminta imbalan yang berupa

Setelah perang antar kerajaan Indonesia biasanya Belanda meminta imbalan yang berupa

Setelah perang antar kerajaan Indonesia biasanya Belanda meminta imbalan yang berupa
Lihat Foto

tribunnewswiki.com

Perang Aceh 1873 yang terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian atau Traktat Sumatera 1871

KOMPAS.com - Traktat Sumatera 1871 digunakan Belanda untuk menguasai Aceh. Traktat atau perjanjian ini ditandatangani oleh Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda.

Pada 2 November 1871, Traktat Sumatera secara resmi ditandatangani oleh kedua belah pihak kerajaan. Dalam perjanjian tersebut, Kerajaan Inggris menyatakan jika Belanda memiliki kebebasan untuk memperluas daerah jajahannya di Sumatera.

Perjanjian Sumatera 1871 ini dibuat oleh pihak Belanda dan Inggris untuk mengganti Traktat London 1824, yang mana dalam traktat tersebut, kedua negara telah mengakui kedaulatan Aceh.

Mengutip dari jurnal yang berjudul Ulama dan Hikayat Perang Sabil dalam Perang Belanda di Aceh (2000) karya Imran T. Abdullah, secara langsung, Traktat Sumatera 1871 membuka jalan lebar bagi Belanda untuk bisa menguasai wilayah Sumatera, khususnya Aceh.

Tujuan Traktat Sumatera 1871

Pembuatan dan penandatanganan Traktat Sumatera 1871 menjadi upaya Belanda menguasai daerah Aceh, yang dinilai sangat strategis dalam perdagangan internasional.

Belanda sangat ingin menguasai Aceh, karena saat itu Terusan Suez telah dibuka pada 1869. Hal ini berarti Belanda bisa mendapat akses keluar masuk Selat Malaka dengan mudah melalui Aceh, yang mana posisinya dekat dengan Selat Malaka.

Baca juga: Perlawanan Aceh Terhadap Bangsa Barat

Jika Belanda menguasai Aceh, maka jaminan atas kesuksesan perdagangannya akan semakin tinggi. Selain itu, keuntungan Belanda dalam ranah perdagangan pun akan semakin besar.

Tidak hanya untuk memperluas daerah kekuasaan Belanda, Traktat Sumatera 1871 juga digunakan sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik kekuasaan atau adanya perselisihan antara Belanda dengan Inggris.

Isi Traktat Sumatera 1871

Dilansir dari situs Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disebutkan jika gambaran besar isi dari Traktat Sumatera 1871 ialah Belanda diberi kebebasan untuk memperluas daerah kekuasaannya di wilayah Sumatera.

Berlakunya Traktat Sumatera 1871 berarti Belanda sudah tidak memiliki lagi kewajiban untuk menghormati hak serta kedaulatan Aceh, yang mana sebelumnya telah diakui dalam Traktat London 1824.

tirto.id - Setidaknya ada 30 pasal dalam Perjanjian Bongaya yang diteken di Makassar oleh Sultan Hasanuddin dan Cornelis Speelman pada 18 November 1667, tepat hari ini 351 tahun lalu. Sejarah membuktikan, hampir seluruh pasal perjanjian itu merugikan Kesultanan Gowa dan, sebaliknya, amat menguntungkan VOC.

Intinya, Perjanjian Bongaya menjadi legitimasi yang sangat kuat bagi kaum kompeni untuk menguasai perdagangan di wilayah Kesultanan Gowa dan kerajaan-kerajaan taklukannya. Tidak boleh ada bangsa asing lainnya yang berniaga di kawasan itu tanpa persetujuan dari Belanda.

Sultan Hasanuddin sempat melanggar kesepakatan itu dengan kembali melakukan serangan lantaran merasa sangat dirugikan. Namun, VOC masih terlalu kuat dan akhirnya berhasil menjungkalkan sang sultan dari singgasananya. Perjanjian Bongaya tetap diterapkan dan menjadi awal kemunduran Kesultanan Gowa.

Kesepakatan yang Merugikan

Perjanjian Bongaya pada 1667 menjadi rangkaian babak akhir peperangan antara Kesultanan Gowa melawan VOC yang sudah berlangsung sejak awal 1660. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian setelah Gowa menelan beberapa kali kekalahan dari Belanda.

Dikutip dari Sejarah Maritim Indonesia (2006) karya Agus Supangat dan kawan-kawan, banyak pasal yang merugikan Gowa dalam isi Perjanjian Bongaya dan terpaksa harus diterima Sultan Hasanudin (hlm. 111).

Baca juga: Wafatnya Sang Ayam Jantan dari Timur Akhiri Kejayaan Gowa

Belanda sangat diuntungkan dengan perjanjian itu sebagai legitimasi untuk menguasai, mendominasi, bahkan memonopoli perniagaan di kawasan Sulawesi Selatan. Pasal 6, misalnya, menyebutkan bahwa tidak ada bangsa Eropa yang diperkenankan masuk atau melakukan perdagangan di Gowa.

Tak hanya bangsa Eropa yang tidak boleh berniaga di wilayah Gowa. Pasal 7 menyebutkan bahwa orang Moor (Muslim India), Siam (Thailand), Aceh, Jawa, hingga Melayu dilarang memasarkan barang-barang dari Cina. Pelaku pelanggaran akan dijatuhi sanksi dan VOC berhak menyita barang-barang dagangannya.

Intinya, seluruh penguasaan serta akses perdagangan di Gowa dan sekitarnya diambilalih sepenuhnya oleh kompeni. Bahkan, sebagaimana yang tertera di Pasal 8, VOC dibebaskan dari pajak dan bea impor maupun ekspor.

Gowa tentu saja amat dirugikan. Bahkan, VOC menjadi pihak yang mengatur roda perekonomian kesultanan pimpinan Sultan Hasanuddin itu. Seperti diungkap Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), Pasal 12 mengatur bahwa mata uang yang berlaku di Gowa adalah koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia (hlm. 190).

Otoritas VOC juga berhak melarang warga Gowa melakukan pelayaran. Hanya beberapa tempat yang diperbolehkan untuk dituju, yakni sebagian Jawa, Bali, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Kalimantan, dan Johor; itu pun harus meminta izin terlebih dulu kepada komandan kompeni yang berwenang di Gowa. Apabila dilanggar, maka si pelaku akan dianggap dan diperlakukan sebagai musuh, demikian bunyi Pasal 9.

Terkait kerugian yang diderita selama perang, demikian disebut dalam Pasal 5, Kesultanan Gowa wajib membayar ganti rugi seluruhnya kepada VOC. Selain itu, tercantum di Pasal 13, Sultan Hasanuddin dan para bangsawan Gowa harus mengirimkan uang senilai 1.000 budak pria dan wanita ke Batavia.

VOC juga memperlemah kekuatan Gowa lewat Perjanjian Bongaya. Termaktub dalam Pasal 10 dan 11, seluruh benteng yang dibangun Kesultanan Gowa di sepanjang pesisir Makassar harus diruntuhkan. Benteng yang diperbolehkan tetap berdiri adalah Benteng Sombaopu yang ditinggali Sultan Hasanuddin.

Sementara Benteng Ujung Pandang akan diserahkan kepada VOC beserta tanah dan desa-desa di sekitarnya. Selain itu, dinukil dari Sosiologi Hukum dalam Perubahan (2009) suntingan Antonius Cahyadi dan Donny Danardono, kompeni diperbolehkan membangun Benteng Rotterdam di Makassar (hlm. 144).

Adapun Pasal 3 menegaskan, kompeni berhak mengambil seluruh alat-alat sisa perang, seperti meriam, senjata, amunisi, dan sejenisnya. Sedangkan di Pasal 4 diatur mengenai penyerahan semua orang Gowa yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat. Mereka akan dijatuhi hukuman sesuai keputusan pengadilan VOC.

Perjanjian Bongaya mewajibkan pula kepada Kesultanan Gowa untuk siap sedia membantu kompeni menghadapi musuh-musuhnya yang datang dari dalam maupun ancaman dari luar, begitu bunyi Pasal 23.

Kesultanan Gowa juga harus melepaskan pengaruhnya atas Bone dan Luwu. Pada 1672, takhta Bone diserahkan kepada Arung Palakka yang ikut membantu VOC mengalahkan Gowa. Menurut Edward Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (2002), Arung Palakka bahkan diberi keleluasaan oleh VOC untuk meluaskan wilayahnya (hlm. 38).

Baca juga: Arung Palakka di antara Gelar Pahlawan dan Pengkhianat

Kompeni mengatur pula kehidupan masyarakat Gowa, juga hubungan dengan kerajaan-kerajaan atau wilayah-wilayah (bekas) taklukkannya, termasuk Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Soppeng, Turatea, Layo, Bajing, Bima, dan negeri-negeri lainnya.

Singkat kata, Perjanjian Bongaya benar-benar melucuti pengaruh Kesultanan Gowa yang pernah amat digdaya di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun politik.

Pelanggaran Awal Keruntuhan

Sultan Hasanuddin rupanya sudah tidak tahan dengan ketidakadilan yang dilakukan VOC dengan Perjanjian Bongaya. Maka, dengan segenap kekuatan yang tersisa, raja berjuluk Ayam Jantan dari Timur itu melakukan perlawanan lagi terhadap kompeni meskipun harus melanggar kesepakatan.

Beberapa benteng yang sudah diruntuhkan dibangun lagi secara diam-diam. Angkatan perang Gowa juga mendapat bantuan dari beberapa laskar yang digalang oleh adik Sultan Hasanuddin, I Ata Tojeng Daeng Tulolo.

Namun, upaya ini diketahui VOC. Kali ini, tidak ada ampunan lagi. Ahmad Massiara Daeng Rapi dalam Menyingkap Tabir Sejarah Budaya di Sulawesi Selatan (1988) memaparkan, VOC mengerahkan seluruh pasukan gabungan, termasuk bantuan dari Bone, Ambon, dan Batavia, untuk menyerang Benteng Sombaopu pada 12 Juni 1669 (hlm. 129).

Takluknya Benteng Sombaopu dibarengi dengan tertangkapnya Sultan Hasanuddin yang kemudian terpaksa turun takhta pada 29 Juni 1669. Pada 12 Juni 1670, penguasa pembawa kejayaan sekaligus keruntuhan Kesultanan Gowa ini meninggal dunia dalam usia 39.

Sepeninggal Sultan Hasanuddin, situasi damai belum sepenuhnya bisa terwujud. Meskipun VOC sudah menguasai hampir seluruh aspek kehidupan di Gowa, termasuk memonopoli perdagangan, masih ada pihak-pihak yang belum bisa menerima hasil Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Gowa.

Karaeng Karunrung dan Karaeng Galesong, dua abdi setia Sultan Hasanuddin yang memiliki ribuan pengikut, mencoba memberikan perlawanan terhadap VOC. Namun upaya tersebut gagal sehingga keduanya mengalihkan armada mereka ke Jawa untuk bergabung dengan Trunojoyo yang juga sedang menghadapi Belanda.

Baca juga: Aksi Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati

Setelah perang antar kerajaan Indonesia biasanya Belanda meminta imbalan yang berupa

Selain itu, seperti disebutkan dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (1985) yang ditulis Muhammad Abduh dan kawan-kawan, masih ada beberapa perlawanan dari sejumlah pejuang Gowa namun dengan mudah dapat dipatahkan kompeni (hlm. 31).

Sultan Abdul Jalil (1677-1709) yang merupakan pemimpin Kesultanan Gowa generasi ketiga setelah era Sultan Hasanuddin pernah menggugat beberapa pasal dalam Perjanjian Bongaya. Namun, hanya satu pasal saja yang dikabulkan gugatannya, yakni mengenai penghapusan utang atau ganti rugi yang harus dibayar kepada Belanda.

Kesultanan Gowa memang tidak sepenuhnya runtuh, bahkan mampu bertahan lama. Namun, secara politik, pengaruh Kesultanan Gowa sudah tidak kuat lagi setelah ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, terlebih setelah wafatnya Sultan Hasanuddin.

Cengkeraman Belanda di Gowa yang sangat kuat baru usai ketika pemerintahan Hindia Belanda runtuh pada 1942. Riwayat Kesultanan Gowa pun berakhir setelah Indonesia merdeka dan menggabungkan diri dengan Republik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/ivn)

Penulis: Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan