Gunakan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi CO2
Author : Show
AuthorsMeski demikian pengurangan emisi dari sistem kelistrikan harus menjadi prioritas utama! Sama seperti panel surya (Photovoltaic/PV) yang semakin populer, demikian juga halnya dengan kendaraan listrik. Bahkan laporan dari International Energy Agency (IEA) tahun 2019 yang berjudul Global EV Outlook 2019 menyebutkan, bahwa perkembangan kendaraan listrik akan semakin pesat dan pada tahun 2030, penjualan kendaraan listrik per tahun akan mencapai angka 44 juta kendaraan. Kendaraan listrik muncul sebagai teknologi disruptif bagi mayoritas industri otomotif. Di tengah dunia yang masih didominasi oleh kendaraan bermesin bakar yang sangat tergantung pada konsumsi bahan bakar minyak (BBM), kendaraan listrik hadir dengan terobosan baru – menggunakan tenaga listrik. Tanpa konsumsi BBM, kendaraan listrik tidak akan menghasilkan emisi. Karenanya, kendaraan listrik menjadi kendaraan yang ramah lingkungan dan menjadi salah satu solusi mengatasi perubahan iklim. Namun, apakah benar kendaraan listrik 100% bebas dari emisi? Di luar emisi yang dihasilkan saat memfabrikasi kendaraan listrik, emisi tak langsung kendaraan ini diproduksi saat kita mengisi baterai kendaraan tersebut, yakni dari emisi pembangkit tenaga listrik. Faktor emisi CO2 di sistem Jawa-Bali mencapai 0.817 ton CO2/MWh Berdasarkan data dari RUPTL 2019-2028, faktor emisi pembangkit untuk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2019 adalah sebesar 0,817 ton CO2/MWh. Artinya, untuk tiap 1 mega-watt (MW) pembangkit yang beroperasi selama satu jam (1 hour) – berdasarkan komposisi pembangkit saat ini di Jawa dan Bali – emisi CO2 yang dihasilkan adalah sebesar 0,817 ton. Semakin banyak MW pembangkit yang beroperasi untuk jangka waktu yang lama, semakin besar pula MWh-nya sehingga total emisinya pun semakin besar. Faktor emisi dihitung dari total emisi CO2 yang dihasilkan oleh seluruh pembangkit energi fosil di suatu sistem dibagi dengan total energi listrik dalam MWh atau GWh yang dihasilkan oleh seluruh pembangkit di sistem tersebut, baik pembangkit fosil maupun terbarukan. Artinya, semakin banyak pembangkit energi terbarukan di suatu sistem, semakin kecil pula faktor emisinya. Dengan menggunakan data di RUPTL 2019-2028, total emisi gas rumah kaca (GRK), komposisi pembangkit, dan faktor emisi GRK untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali pada tahun 2019 dapat dirangkumkan sebagai berikut: Dari faktor emisi di atas dapat dilihat bahwa emisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara sangat dominan dibanding dengan pembangkit-pembangkit tenaga fosil lainnya. Hal ini berarti, dengan semakin banyak PLTU yang digunakan di sistem kelistrikan Jawa-Bali, semakin besar pula total emisi CO2-nya. Pembangkit berbahan bakar fosil masih mendominasi sistem kelistrikan Jawa-Bali Berdasarkan RUPTL 2019-2028, pada tahun 2018, pembangkit listrik tenaga fosil memiliki total kapasitas terpasang sebesar 33,8 GW sedangkan pembangkit listrik energi terbarukan hanya sebesar 3,9 GW. Kemudian di tahun 2028, pembangkit fosil diprediksi meningkat sebesar 57,4% atau menjadi sebesar 53,2 GW, sedangkan pembangkit energi terbarukan hanya menjadi sebesar 11,9 GW, walaupun tingkat pertumbuhannya jauh lebih tinggi, yakni sebesar 205%. Setiap pembangkit listrik memiliki daya mampu netto (DMN), yakni besarnya daya output pembangkit yang dapat dimanfaatkan untuk menyuplai beban sebab telah dikurangi dengan pemakaian sendiri pembangkit tersebut. Total DMN ini kemudian menjadi dasar bagi PLN untuk mengalokasikan pembangkit-pembangkitnya guna menyuplai permintaan listrik setiap hari. Kurva beban sistem Jawa-Bali tanggal 5 November 2019 dan perkiraan komposisi pembangkitnya Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Pengatur Beban (P2B) Jawa-Bali, pada tanggal 5 November 2019, beban puncak sistem Jawa-Bali mencapai 27.000 MW, sementara daya mampu netto pembangkit sebesar 27.432 MW, seperti ditunjukkan oleh kurva di bawah ini. Untuk menyuplai beban ini, PLN mengalokasikan pembangkit-pembangkit yang ada di sistem Jawa-Bali, yang dapat diakses dari situs PLN P2B. Untuk tanggal 5 November 2019, total kapasitas pembangkit yang dialokasikan oleh PLN adalah sebesar 27.158 MW (untuk pukul 13.30) dan sebesar 27.435 MW (untuk pukul 18.00) dengan komposisi sebagai berikut: Pembangkit-pembangkit yang tersedia tersebut kemudian akan diatur waktu operasi dan besar pembangkitannya sesuai dengan dispatch order PLN. Dispatch Order Dispatch order dapat diartikan sebagai urutan pembangkit listrik mana yang harus dinyalakan guna menyuplai beban pada suatu waktu tertentu. Dispatch order ini biasanya didasarkan pada biaya kapital, biaya operasi, dan kecepatan suatu pembangkit untuk dinyalakan dan diatur daya keluarannya (ramping-up). Berdasarkan kriteria-kriteria ini, pembangkit dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:
Dengan melihat jenis-jenis pembangkit yang dimiliki oleh PLN untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali dan penjelasan sebelumnya, maka dispatch ordernya dapat diasumsikan sebagai berikut: PLTP – PLTU – PLTGU – PLTG – PLTA – PLTDG – PLTD. Namun, di tengah kondisi harga gas yang mahal, urutan dispatch pembangkit Jawa-Bali untuk contoh di atas dapat diatur ulang menjadi PLTP – PLTU – PLTGU – PLTA – PLTG – PLTDG – PLTD. Dispatach order ini kemudian disusun untuk menyuplai seluruh kebutuhan beban sehingga diperoleh kurva sebagai berikut. Dengan melihat profil suplai pembangkit Jawa-Bali yang sangat didominasi oleh pembangkit berbahan bakar fosil, tidak heran jika faktor emisi CO2nya tinggi. Akibatnya, setiap konsumsi listrik di jaringan tersebut secara tidak langsung memiliki besaran emisi yang melekat padanya. Kita ambil misalnya mobil listrik sebagai contoh. Bila ada sepuluh ribu mobil listrik (asumsi kapasitas baterai 80 kWh dan diperlukan 1 jam untuk mengisi penuh dari kondisi kosong) melakukan pengisian bersamaan selama satu jam, maka kurang lebih 3.200 MWh listrik akan dikonsumsi. Dengan konsumsi sebesar itu, maka 2.614,4 ton CO2 akan dihasilkan sebagai akibat aktivitas pembangkitan listrik, walaupun saat beroperasi mobil-mobil listrik tersebut tidak akan menghasilkan CO2. Karena itu, agar penggunaan mobil listrik benar-benar dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi CO2, maka emisi sistem kelistrikannya harus terlebih dahulu dikurangi, untuk sistem Jawa-Bali, bahkan diperlukan pengurangan yang drastis. [1] Kendaraan listrik yang dimaksud di sini adalah kendaraan listrik dengan baterai, bukan kendaraan listrik plug-in (plug-in EV) ataupun kendaraan listrik hybrid [2] Berdasarkan skenario EV30@30 [3] Lebih dari 95% kapasitas terpasang pembangkit di sistem Jawa-Bali dan Nusa Tenggara berada di Jawa-Bali, sehingga dalam kasus ini faktor emisi Jawa-Bali dan Nusa Tenggara digunakan menjadi factor emisi sistem Jawa-Bali. [4] Dapat diakses di: https://hdks.pln-jawa-bali.co.id/app4/system.php?fnp=1&setdate=2019-11-06&sSession=TEMP-XXXXXX-DVZbLQSBFzLCOeutMNcpnrsYJtBKlrco&sys=LDC®code=101&setdate=2019-11-05&dl=7519 [5] Capacity Factor (CF) adalah perbandingan antara produksi energi listrik suatu pembangkit dengan maksimum produksi energi listrik pembangkit itu, dalam suatu rentang waktu tertentu (biasanya satu tahun). ** Tulisan lain terkait emisi dari sistem kelistrikan dalam kaitannya dengan penggunaan kendaraan listrik juga dapat dibaca di laporan IESR ICEO 2020 bagian laporan khusus tentang kendaraan listrik.
Share on : Share on facebook Share on twitter Share on whatsapp No comment yet, add your voice below! Add a Comment Batalkan balasanAlamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai * Comment * Name * Email * Website Submit Δ Related Article Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 Disepakati, Indonesia targetkan tercapainya target 3,6 GW PLTS Atap di tahun 2025 11 Februari 2022 Tidak ada komentar Hadirnya kebijakan pemerintah tentang PLTS atap di Indonesia sejak 2018 melalui Permen Permen ESDM No. 49/2018 terbukti telah meningkatkan adopsi PLTS atap dari awalnya hanya RFP Hybrid Event Organizer – Indonesia Solar Summit 2022 11 Februari 2022 Tidak ada komentar Melalui Request for Proposal (RFP) ini, IESR mengumpulkan proposal dari event organizer atau institusi dengan pengalaman dan portofolio yang luas, mampu menyelenggarakan dan mengatur proses Transformasi Global Menuju Sistem Energi yang Lebih Bersih Harus Segera Diikuti PLN 11 Februari 2022 Tidak ada komentar Kendari, 7 Februari 2022 – Dunia sedang menghadapi perubahan besar merespon kenaikan suhu rata-rata bumi yang meningkat 1,1 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Berbagai komitmen Interkoneksi Listrik Antar-pulau di Indonesia Adalah Keniscayaan 27 Januari 2022 Tidak ada komentar Jakarta, 26 Januari 2022 – Sektor energi yang didominasi oleh energi fosil berkontribusi pada ⅔ emisi global. Agar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) eksponensial, Bacalah paragraf berikut untuk menjawab soal nomor 1 S. Hal yang juga tidak banyak diketahui oleh masyarakat adalah bahwa semakintinggi konsumsi listrik, maka akan semakin tinggi pula emisi karbon yang dihasilkan daripembangkit listrik, di mana 60 persen di antaranya menggunakan bahan bakar fosil.Sementara pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama terjadinya pemanasanglobal, yang berdampak pada meningkatnya suhu bumi secara global.1.Informasi apa yang diperoleh dari paragraf di atas? (Bahasa Indonesia - KD 3.2)2.Apakah makna kata "emisi"? (Bahasa Indonesia - KD 3.2)Efisiensi Penggunaan Alat Elektronik2014 Merdeka.com/shutterstock.com/Dmitriy KarelinTerkadang kita tidak sadar apabila kita menggunakan alat elektronik secara berlebihan. Banyak kegiatan manusia saat ini yang sangat bergantung dengan alat elektronik. Alat-alat elektronik tersebut seperti lampu, televisi, mesin cuci, air conditioner/AC, kipas angin, komputer, dan lain sebagainya.
BACA JUGA:
Global warming sebabkan aktivitas gunung berapi naik? Beberapa langkah yang dapat diterapkan antara lain matikan lampu ketika tidak dipakai seperti pada saat larut malam dan siang hari. Pada saat siang hari, manfaatkan semaksimal mungkin sinar matahari yang masuk ke dalam rumah. Selain itu, kegiatan mencuci baju dapat dilakukan ketika dalam kapasitas maksimal sehingga penggunaan air dan listrik dapat ditekan secara maksimal. Efisiensi penggunaan elektronik juga dapat dilakukan dengan mencabut saklar dan kabel alat-alat elektronik seusai dipakai. Jangan membiarkan kabel tetap tertancap pada stop kontak. Meskipun alat elektronik tersebut tidak terpakai, namun apabila kabel tetap tertancap pada stop kontak, maka akan tetap ada aliran listrik. Maka dari itu, untuk mengurangi penyebab pemanasan global, bijaklah dalam menggunakan alat-alat elektronik.
BACA JUGA:
Akibat pemanasan global, lobster di Maine jadi kanibal Advertisement 3 dari 6 halaman
|