Sebutkan dimanakah letak kerajaan Gowa Tallo kerajaan Wajo kerajaan buton dan kerajaan Bone

Ilustrasi kerajaan Islam yang ada di Sulawesi. Sumber: www.freepik.com

Sejarah negara Indonesia sangatlah panjang, sebab negara Indonesia adalah negara yang luas dan terdiri dari banyak penduduk. Selain itu letak negara yang sangat strategis menjadikan Indonesia memiliki berbagai peristiwa besar.

Salah satu bukti sejarah yang ada di Indonesia adalah kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Indonesia sangat dipengaruhi oleh para pedagang Arab, Persia, India, maupun Cina.

Banyak sekali kerajaan Islam yang ada di Indonesia, salah satunya yang ada di tanah Sulawesi. Apa saja kerajaan Islam yang ada di Sulawesi dan bagaimana sejarahnya agama Islam dapat berkembang di tanah Sulawesi?

Kerajaan Islam di Sulawesi

Banyak sekali kerajaan Islam yang ada di Sulawesi. Namun terdapat tiga kerajaan Islam besar yang ada. Adapun kerajaan Islam di Sulawesi diantaranya:

1. Kerajaan Gowa-Tallo atau Kesultanan Makassar

Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Sulawesi. Mengutip buku Sejarah karya Nana Supriatna (2008: 42), kerajaan kecil yang ada di Sulawesi Selatan telah berkembang sejak sekitar abad ke-16. Namun kerajaan-kerajaan kecil ini selalu bersaing memperebutkan wilayah kekuasaan di tanah Sulawesi. Sehingga menghasilkan sebuah kerajaan berdasarkan tempat kemenangan.

Kerajaan ini menjadi sasaran perang Lawu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Gowa-Tallo resmi menjadi sebuah kerajaan Islam ketika kedua raja dari Gowa dan Tallo resmi memeluk Islam pada 22 September 1605.

Meskipun sudah menjadi kerajaan Islam, kerajaan Goa-Tallao masih tetap berhubungan baik dengan bangsa Portugis yang beragama Kristen Katolik.

Ilustrasi kerajaan Islam di Sulawesi. Sumber: www.freepik.com

Kerajaan yang berlokasi di Buton, Sulawesi Tenggara yang dipimpin raja Lakilaponto yang mengkomandoi peresmian agama Islam di daerah tersebut. Bentuk pemerintahan yang awalnya berbentuk kerajaan berubah menjadi kesultanan ketika salah seorang ulama bernama Syaikh Abdul Wahid tinggal di Buton.

Sultan pertama yang merah tahtanya pada saat itu adalah Halu Oleo. Beliau sebelumnya sempat menyerahkan posisi kepala pemerintahan kepada adiknya yang bernama La Posasu. Namun beliau kembali ke kraton dan dilantik sebagai sultan pertama dari tahun 1491 sampai 1537.

Berdirinya Kerajaan Bone sangat dipengaruhi oleh kerajaan Gowa. Sultan Alauddin yang merupakan raja ke-14 di Kerajaan Gowa yang menyebarkan agama Islam dengan damai. Beliau menyearkan sampai kepada kerajaan-kerajaan tetangga. La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI yang menerima ajaran agama Islam. Kemudian warganya diikuti beberapa masyarakat Bone.

Demikian penjelasan tentang kerajaan Islam yang ada di Sulawesi. Dengan mengetahui banyaknya kerajaan Islam yang ada di Indonesia yang menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. (MZM)

Sebutkan dimanakah letak kerajaan Gowa Tallo kerajaan Wajo kerajaan buton dan kerajaan Bone

Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat yang sepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo. Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.

Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo.

Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas. Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak rakyatnya.

Adapun konsep pemerintahan adalah :

1. Kerajaan

2. Republik

3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu.

Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :

1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG

2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA

3. LAMUNGKACE TOADDAMANG

4. LATENRILAI TOSENGNGENG

5. LASANGKURU PATAU

6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA

7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)

8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG

Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo. Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :

1. Versi Puang Rilampulungeng

2. Versi Puang Ritimpengen

3. Versi Cinnongtabi

4. Versi Boli

5. Versi Kerajaan Cina

6. Versi masa Kebataraan

7. Versi masa ke Arung Matoa-an

Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.

Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atas perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.

Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.

Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :

1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.

2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.

3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.

4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.

Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.

Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.

Perkembangan Kerajaan Wajo

Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.

Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansitellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian Bungayya.

Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka. Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah. Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan Wajo sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan Wajo).

Kontroversi 
Arung Matowa Wajo masih kontroversi, yaitu:

Versi pertama, pemegang jabatan Arung Matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng sebagai Arung Matowa Wajo ke-45, setelah beliau terjadi kekosongan pemegang jabatan hingga Wajo melebur ke Republik Indonesia.

Versi kedua hampir sama dengan yang pertama, tetapi Ranreng Bettempola sebagai legislatif mengambil alih jabatan Arung Matowa (jabatan eksekutif) hingga melebur ke Republik Indonesia.

Versi ketiga, setelah lowongnya jabatan Arung Matowa maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat Arung Matowa dan memerintah selama 40 hari sebelum kedaulatan Wajo diserahkan kepada Gubernur Sulawesi saat itu, yaitu Bapak Ratulangi.

Demikianlah sejarah Wajo hingga melebur ke Republik Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai sebuah kabupaten sampai saat ini.

Kerajaan Wajo

Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.

Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya [[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.

Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.

Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.

Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.

[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

Masa Batara Wajo

Ø  Batara Wajo = Penguasa tertinggi (1 orang)

Ø  Paddanreng = Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)

Ø  Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (12) orang

Masa Arung Matoa

Ø  Arung Matoa = Penguasa tertinggi (1 orang)

Ø  Paddanreng = Penguasa wilayah (3 orang)

Ø  Pabbate Lompo = Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)

Ø  Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (30 orang)

Ø  Suro = Utusan (3 orang)

Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.

Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE

Ø  Arung Bettempola = biasanya dirangkap Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Pada masa Batara Wajo, tugas ini dijabat oleh Arung Penrang

Ø  Punggawa = Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE

Ø  Petta MancijiE = Staf keprotokuleran istana

No Penguasa Mulai
Menjabat
Akhir
Jabatan

Batara Wajo

1

La Tenribali

   

2

La Mataesso

   

3

La Pateddungi to samallangi

   

Arung Matowa

1

La Palewo to Palippu

1474

1481

2

La Obbi Settiriware

1481

1486

3

La Tenriumpu to Langi

1486

1491

4

La Palewo to Palippu

1491

1521

5

La Tenri Pakado To Nampe

1524

1535

6

La Temmassonge

1535

1538

7

La Warani To Temmagiang

1538

1547

8

La Malagenni

1547

1547

9

La Mappapuli To Appamadeng

1547

1564

10

La Pakoko To Pa’bele’

1564

1567

11

La Mungkace To Uddamang

1567

1607

12

La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan Abdurahman

1607

1610

13

La Mappepulu To Appamole

1610

1616

14

La Samalewa To Appakiung

1616

1621

15

La Pakallongi To Alinrungi

1621

1626

16

To Mappassaungnge

1627

1628

17

La Pakallongi To Alinrungi

1628

1636

18

La Tenrilai To Uddamang

1636

1639

19

La Isigajang To Bunne

1639

1643

20

La Makkaraka To Patemmui

1643

1648

21

La Temmasonge

1648

1651

22

La Paramma To Rewo

1651

1658

23

La Tenri Lai To Sengngeng

1658

1670

24

La Palili To Malu’

1670

1679

25

La Pariusi Daeng Manyampa

1679

1699

26

La Tenri Sessu To Timo E

1699

1702

27

La Mattone’

1702

1703

28

La Galigo To Sunnia

1703

1712

29

La Tenri Werung Arung Peneki

1712

1715

30

La Salewangeng To Tenriruwa Arung Sengkang

1715

1736

31

La Maddukkelleng Daeng Simpuang Arung Peneki Arung Sengkang

1736

1754

32

La Mad’danaca

1754

1755

33

La Passaung

1758

1761

34

La Mappajung Puanna Salowo Ranreng Tuwa

1761

1767

35

La Malliungeng

1767

1770

36

La Mallalengeng

1795

1817

37

La Manang

1821

1825

38

La Pa’dengngeng

1839

1845

39

La Pawellangi Pajumpero'e

1854

1859

40

La Cincing Akil Ali Datu Pammana Pilla Wajo

1859

1885

41

La Koro Arung Padali

1885

1891

42

La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenreng

1892

1897

43

Ishak Manggabarani Krg Mangeppe

1900

1916

44

Andi Oddangpero Datu Larompong Arung Peneki

1926

1933

45

Andi Mangkona Datu Mario

1933

1949

46

Andi Sumangerukka Datu Pattojo Patola Wajo

1949

1949

47

Andi Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa Wajo

1949

1950

48

Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo

1950

1952

49

Andi Macca Amirullah Eks Sullewatang Ugi

1952

1954

50

Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo

1954

1957

Dirangkum dari berbagai sumber.