Sebutkan alasan mengapa manusia purba mempunyai pola hidup nomaden

tirto.id - Sejarah kehidupan manusia purba pada zaman praaksara sudah memiliki jenis pola hunian. Masyarakat manusia purba pada masa awal menerapkan hunian dengan pola berpindah-pindah atau nomaden.

Ada dua jenis pola hunian manusia purba pada zaman praaksara, yakni tempat yang berdekatan dengan sumber air dan hidup di alam terbuka. Di sekitar sumber air tersebut terdapat banyak makanan, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ketika sumber makanan habis, mereka akan berpindah mencari tempat lain.

Taufik Abdullah melalui buku Indonesia dalam Arus Sejarah: Prasejarah Jilid 1 (2012) menjelaskan, pola hunian manusia purba di masa praaksara tersebut dapat

dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya.

Di Indonesia, beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo seperti situs Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, Ngandong, dan lainnya.

Baca juga:

  • Fosil Pithecanthropus Mojokertensis: Sejarah, Arti, Penemu, & Ciri
  • Arti Meganthropus Paleojavanicus: Sejarah, Penemu, Ciri, & Karakter
  • Apa Saja Jenis Manusia Purba yang Ditemukan di Indonesia?

Jenis Pola Hunian Manusia Purba

Dikutip dari buku Sejarah Indonesia (2014) yang disusun Mestika Zed dan kawan-kawan, diterangkan bahwa pola khas hunian manusia purba dibagi menjadi dua karakter khas, yakni sebagai berikut:

1. Kedekatan dengan sumber air

Ketersediaan air bersifat pokok dalam kebutuhan makhluk hidup. Maka, di daerah yang dekat sumber air, akan ada banyak bahan makanan untuk manusia purba, seperti berbagai jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan.

2. Kehidupan di Alam Terbuka

Manusia purba cenderung hidup di dekat aliran sungai. Pola ini menunjukkan bahwa manusia purba hidup pada alam terbuka dan menerapkan pola nomaden atau berpindah-pindah.

Manusia purba juga memanfaatkan gua-gua sebagai tempat tinggal sementara alias tidak menetap dalam waktu yang lama. Ketika sumber makanan di sekitar mereka habis, maka akan mencari tempat tinggal yang baru, begitu seterusnya.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017), pada masa food-gathering atau masa berburu dan meramu, manusia purba sangat bergantung kepada kondisi alam.

Baca juga:

  • Sejarah Pithecanthropus Erectus: Penemu, Ciri, & Lokasi Ditemukan
  • Sejarah Fosil Homo Wajakensis: Penemu, Lokasi, dan Ciri-ciri
  • Sumber Sejarah Kerajaan Salakanegara: Letak, Keruntuhan, Raja-raja

Veni Rosfenti dalam Modul Sejarah Indonesia Kelas X (2012) mengungkapkan, perkakas yang digunakan oleh manusia purba pada masa berburu dan meramu tingkat awal adalah batu utuh sederhana yang digunakan untuk memotong daging hasil buruan.

Sedangkan pada masa food-producing atau masa bercocok-tanam, mereka mulai hidup menetap. Kehidupan mulai terorganisir dan berkelompok di suatu tempat. Manusia purba mulai memproduksi makanan bahkan mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan.

Baca juga:

  • Sumber Sejarah Kerajaan Kalingga: Letak, Pendiri, & Masa Kejayaan
  • Sejarah Runtuhnya Kerajaan Kalingga, Peninggalan, Daftar Raja-Ratu
  • Sejarah Kerajaan Buleleng: Pendiri, Letak, Raja, & Peninggalan

Bukti-bukti Peninggalan

Ada beberapa bukti peninggalan kehidupan manusia purba di Indonesia pada masa awal dilihat dari pola huniannya, demikian dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017).

Seorang arkeolog bernama Von Stein Callenfels pada 1928-1931 melakukan penelitian di Gua Lawat, Ponorogo, Jawa Timur. Di situs itu, ditemukan abris sous roche yakni gua yang berbentuk ceruk pada karang yang dipakai sebagai rumah atau tempat tinggal sementara oleh manusia purba.

Baca juga:

  • Sejarah Kemunduran Peradaban Islam: Faktor dan Penyebabnya
  • Sejarah Masjid Saka Tunggal Kebumen: Ciri Arsitektur & Filosofinya
  • Sejarah & Profil Sunan Gresik: Wali Penyebar Islam Pertama di Jawa

Kebudayaan abris sous roche ditemukan pula di beberapa daerah di Jawa Timur lainnya seperti Besuki dan Bojonegoro, juga di Sulawesi Selatan seperti di Lamocong.

Selain itu, ditemukan juuga sampah dapur atau kjokkenmoddinger. Ini merupakan tumpukan kulit kerang, siput, atau tulang ikan. Sampah dapur banyak ditemukan di pesisir pantai Sumatera.

Peninggalan beberapa hasil teknologi bebatuan juga ditemukan, seperti ujung panah, flake (alat-alat kecil dari batu), batu penggiling dan beberapa peralatan sederhana dari tanduk rusa.

Baca juga:

  • Masjid Menara Kudus: Sejarah, Pendiri, & Ciri Khas Arsitektur
  • Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang: Kronologi, Tokoh, Akhir
  • Sejarah Operasi Trikora: Latar Belakang, Isi, Tujuan, dan Tokoh

Baca juga artikel terkait MANUSIA PURBA atau tulisan menarik lainnya Syamsul Dwi Maarif
(tirto.id - sym/isw)


Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Ilustrasi kehidupan dengan pola hidup berpindah-pindah. Foto: Pixabay.com

Pola hidup berpindah-pindah disebut dengan nomaden. Perilaku berpindah-pindah hunian tersebut dilakukan oleh kelompok manusia praaksara.

Kehidupan masyarakat pada zaman prasejarah yang berkembang dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok. Di antaranya cara mendapat makanan, bagaimana mereka bertahan hidup, dan lain sebagainya.

Diperkirakan manusia zaman praaksara pada mulanya hidup dengan cara berburu dan meramu. Hidup mereka umumnya masih tergantung pada alam.

Untuk mempertahankan hidup, mereka menerapkan pola hidup yang berpindah-pindah, tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Pola hidup berpindah-pindah disebut dengan nomaden.

Nomaden, Sebutan untuk Pola Hidup Berpindah-pindah

Secara spesifik, nomaden merupakan pola hidup yang berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain secara berkesinambungan.

Dalam buku berjudul Sejarah Indonesia Kelas X SMA/MA/SMK/MAK yang ditulis Amurwani Dwi L. dkk., peralatan yang digunakan mereka masih terbuat dari batu sederhana. Hal ini berkembang terutama pada manusia Meganthropus dan Pithecanthropus.

Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya yang termasuk daerah pantai. Mereka beristirahat di bawah pohon besar dan membuat atap serta sekat tempat istirahat dari daun-daunan.

Ilustrasi manusia praaksara dengan pola hidup berpindah-pindah. Foto: Pixabay.com

Menurut buku Sejarah untuk SMA/MA Kelas X oleh Dwi Ari Listiyani, manusia purba sebenarnya telah pandai memilih tempat tinggal. Misalnya, di tepi sungai, di tepi danau, ataupun di pantai. Ada juga yang tinggal di dalam gua-gua atau ceruk-ceruk batu.

Mereka hidup di tepi sungai atau danau karena terdapat banyak ikan dan binatang lain yang menjadi buruan sehingga dapat dimakan. Ada pula yang hidup di tepi pantai karena menyediakan sumber makanan.

Demikian juga yang tinggal di gua-gua. Di daerah sekitarnya terdapat cukup sumber makanan, sehingga mereka bisa bertahan untuk hidup. Masa inilah yang disebut sebagai masa mencari dan mengumpulkan makanan (food gathering) dengan sistem hidup berpindah-pindah (nomaden).

Ciri Kehidupan Saat Masa Berburu dan Berpindah-pindah

Adapun masyakarat praaksara yang memiliki perilaku nomaden atau kehidupan berburu dan berpindah-pindah memiliki ciri-ciri tertentu. Mengutip dari buku yang ditulis Dwi Ari Listiyani, ciri-ciri tersebut antara lain:

  1. Manusia hidup berkelompok dan tempat tinggalnya berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain (nomaden) seiring dengan usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

  2. Kebutuhan makan mereka tergantung pada alam, sehingga caranya mencari makan disebut food gathering (mengumpulkan makanan) dan berburu.

  3. Belum mengenal bercocok tanam.

  4. Alat-alat kebutuhan hidup dibuat dari batu yang belum dihaluskan (masih sangat kasar).