Pada hakikatnya sebuah pertunjukan tari tidak akan lepas dari iringan atau musik, baik internal maupun eksternal. Iringan atau musik internal adalah iringan yang berasal dari penarinya sendiri. Iringan atau musik eksternal adalah iringan yang dilakukan oleh orang di luar penari, baik dengan kata-kata, nyanyian, maupun dengan orkestra yang lengkap (Jazuli 2008: 16). Menurut Soedarsono (dalam Jazuli 2001: 102) tari dan musik mempunyai sumber yang sama, yaitu berasal dari dorongan atau naluri manusia. Selanjutnya Jazuli (2001: 102) menjelaskan bahwa musik dalam tari dapat berfungsi untuk mengiringi tari, memberi suasana atau illustrasi, dan untuk membantu mempertegas dinamika ekspresi gerak tari. Iringan yang digunakan pentatonis dan diatonis. Pentatonis adalah tangga nada tradisional yang menggunakan lima nada, sedangkan diatonis adalah tangga nada yang menggunakan tujuh nada yang berbeda diawali dan diakhiri oleh nada yang sama dengan oktaf yang berbeda. Adapun fungsi iringan adalah sebagai berikut : (l) sebagai pengiring penyajian tari, (2) menambah semarak suasana dalam tari, (3) mengatur dan menambah efektivitas bentuk gerak tari, dan (4) sebagai pengendali, memberikan tanda permulaan dan akhir penampilan tari (Suwandi 2007: 94). 3. Tata Rias dan Tata Busana Tata rias adalah seni menggunakan bahan-bahan kosmetik untuk mewujudkan wajah peranan. Rias berfungsi memberi bantuan dengan jalan memberikan dandanan atau perubahan para penari hingga terbentuk suasana yang kena dan wajar (Harymawan 1988: 134). Fungsi tata rias antara lain adalah untuk merubah karakter pribadi, untuk memperkuat ekspresi, dan untuk menambah daya tarik penampilan seorang penari (Jazuli 2001: 105). Menurut Lestari (1993: 6l-62) menyatakan bahwa rias panggung atau stage make up adalah rias yang diciptakan untuk penampilan di atas panggung. Penampilan rias di atas panggung berbeda dengan rias sehari-hari. Rias wajah di atas panggung dapat dengan corrective make up, character make up, atau fantasi make up. Untuk rias sehari-hari bisa menggunakan corrective make up, untuk mendapatkan bentuk wajah ideal. a. Corrective make up (rias koreksi). Corrective make up artinya rias wajah agar wajah menjadi : cantik, tampak lebih muda dari usia sebenarnya, tampak tebih tua dari usia sebenarnya, berubah sesuai dengan yang diharapkan seperti lonjong atau lebih bulat. a) Character make up (rias karakter). Character make up artinya merias wajah agar sesuai dengan karakter yang dikehendaki dalam cerita, seperti : Karakter tokoh-tokoh fiktif, karakter tokoh-tokoh legendaris, karakter tokoh-tokoh historis. b) Fantasi make up (rias fantasi) Fantasi make up artinya merias wajah berubah sesuai dengan fantasi perias, dapat yang bersifat realistis, ditambah kreativitas perias. Rias fantasi dapat berupa pribadi, alam, binatang, benda ataupun tumbuh-tumbuhan yang kemudian dituangkan dalam tata rias. Tata busana adalah penutup tubuh dan sekaligus berfungsi sebagai pelindung tubuh; desain busana hendaknya tidak mengganggu gerak atau sebaliknya harus mendukung desain gerak dan sikap gerak; segala elemen bentuk dari busana, seperti : garis, warna, tekstur, kualitas bahan harus dimanfaatkan secara baik (perlu kreativitas) (Darlene Neel dan Jennefer Craig dalam Jazuli 2001: 105- 1 06). Tata busana tari sering muncul mencerrninkan identitas (ciri khas) suatu daerah yang menunjukkan dari mana tari itu berasal, demikian pula dengan pemakaian warna busana. Semua itu terlepas dari latar belakang budaya atau pandangan filosofis dari masing-masing daerah (Jazuli 2008: 21). Fungsi penataan busana adalah untuk mendukung isi atau tema tari dan untuk memperjelas peran tertentu. Penataan busana dianggap sukses apabila dapat mendukung atau mengangkat aspek-aspek lainnya seperti tata cahaya, setting, situasi dramatik yang memberikan efek proyektif (Schlaic dan Betty Dupont dalam Jazuli 2001: 106). Di dalam penataan dan penggunaan busana tari hendaknya senantiasa mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (1) busana tari hendaknya enak dipakai dan sedap dilihat penonton, (2) penggunaan busana selalu mempertimbangkan isi atau tema tari sehingga menghadirkan suatu kesatuan atau keutuhan antara tari dan tata busananya, (3) penataan busana hendaknya bisa merangsang imajinasi penonton. (4) desain busana harus memperhatikan bentuk-bentuk gerak tarinya agar tidak mengganggu gerakan penari, (5) busana hendaknya dapat memberi proyeksi kepada penarinya, dan (6) keharmonisan dalam pemilihan atau perpaduan warna-warna (Jazuli 2008: 20). 4. Tata Pentas Suatu pertunjukan apapun bentuknya selalu memerlukan tempat. Panggung (tempat pentas) merupakan sarana yang sangat esensial dalam pergelaran tari. Namun demikian, panggung tidak boleh mengalahkan nilai pertunjukannya. Artinya penataan panggung hendaknya tidak menempatkan benda-benda yang tidak membantu ekspresi (Murgiyanto dalam Jazuli 200l: 106). Di Indonesia kita mengenal bentuk-bentuk pertunjukan (pentas) seperti di lapangan terbuka atau arena terbuka, di pendapa, dan pemanggungan atau staging (Jazuli 2008: 25). 5. Tata Lampu Menurut Jazuli (2001: 108), pada dasarnya fungsi cahaya untuk menerangi aktivitas panggung dan untuk menunjang suasana dramatik sajian tari. Cahaya dapat menimbulkan kesan magis dihadapan penonton pertunjukan, karena mampu menghidupkan apa yang ada di atas panggung. Penataan cahaya perlu memperhitungkan kualitas cahaya (misalnya warna dan distribusi), dan beberapa efek khusus yang diakibatkan oleh daya cahaya atau lampu, seperti : lampu follow spot light (lampu khusus yang bergerak), dimmer (untuk mengatur frekuensi penyinaran)light (lampu khusus menyinari suatu obyek). 6. Tata Suara (Sound System) Dalam suatu pementasan, tata suara harus juga diperhatikan untuk mendukung pementasan supaya tampil lebih baik. Kehadiran pengeras suara dalam suatu pementasan mutlak dibutuhkan, untuk menarik perhatian orang-orang yang berada jauh dari arena agar datang menyaksikan pementasan tersebut. Kecuali untuk menarik perhatian penonton, juga untuk para penari itu sendiri agar bisa mendengar dengan jeias iringan, dan lagu yang mengiringi pementasannya sehingga memperlancar jalannya pementasan (Jazuli 2008: 29). Suatu penataan suara diperlukan untuk membantu proses komunikasi antara penonton dengan pertunjukannya dan antara elemen-elemen pertunjukan, seperti antara penari dengan musik. Penataan suara yang kurang baik akan menghancurkan keseluruhan pertunjukan, karena mengakibatkan hubungan antar elemen maupun kerja crew panggung tidak bisa terkoordinasi secara baik, dan bagi penonton merasa dibuat tidak nikmat dan tidak nyaman karena sering terganggu oleh suara yang tidak sempurna atau berisik akibat akustik yang buruk (Jazuli 2001: 109). 7. Property Property seni tari adalah segala kelengkapan dan peralatan dalam penampilan atau peragaan menari (Tim Abdi Guru 2004: 163). Jazuli (1994: 107) mengatakan bahwa jenis perlengkapan atau property yang sering secara langsung berhubungan dengan penampilan tari (secara spesifik) disebut dance property yaitu segala perlengkapan atau peralatan yang dipegang dan dimainkan oleh penari seperti misalnya : tongkat, peluit dan lain-lain, dan stage property merupakan segala perlengkapan yang berkaitan langsung dengan pentas guna mendukung pertunjukan tari. Stage property diletakan dan diatur di atas stage atau panggung, contoh stage property : kain panjang yang diatur melintang atau membujur di atas panggung dengan tatanan warna yang menarik. Berdasarkan uraian di atas bentuk pertunjukan adalah wujud sebuah karya seni yang indah yang diwariskan secara turun-temurun, ditampilkan secara berurutan dari awal sampai akhir yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Faktor-faktor yang kait-mengkait saling bergantung satu dengan yang lainnya, yang meliputi urutan sajian yang terdiri dari bagian awal pertunjukan, isi dan akhir pertunjukan serta didukung oleh beberapa faktor, antara lain : gerak, tata rias dan tata busana, tata panggung, tata lampu, tata suara, dan property, sehingga mempunyai daya tarik dan mempesona sebagia sarana komunikasi antara pencipta dan penikmat. B. Nilai Estetis dalam TariNilai adalah hakikat sesuatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dicapai oleh manusia (Hartoko 1985: 38). Nilai ini berkaitan dengan kebaikan yang ada dalam sesuatu hal karena pada dasarnya menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu atau seseorang. Nilai atau value dalam etika dikenal sebagai sesuatu yang baik, benar dan yang indah. Nilai itu memberikan arah untuk lebih banyak mewujudkan nilai menjadi suatu kenyataan, juga memberikan isi pada kehidupan manusia. Dalam memahami nilai-nilai keindahan suatu tari tidak terlepas dari pola-pola budaya lingkungan di mana tari itu berasal. Kelahiran tari terikat oleh situasi dan keadaan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun masyarakatnya termasuk pribadi penciptanya (Jazuli 1994: 114). Pada mulanya estetika diartikan sebagai ilmu tentang pengetahuan inderawi yang tujuannya adalah keindahan. Estetika selalu berkaitan dengan keindahan, baik dari gejala-gejala alam maupun buatan manusia atau seni. Keindahan alam adalah keindahan yang tidak dibuat manusia misalnya terdapat barang-barang alam, termasuk yang memperoleh bentuknya akibat peristiwa alam (Djelantik 1999: 2). Dengan semakin berkembangnya seni, keindahan dari alam tidak lagi menjadi pusat perhatian orang. Dengan demikian, estetika mendapat arti lain, yakni filsafat yang berhubungan dengan penciptaan, penghargaan, dan kritik seni. Keindahan dalam seni ini mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia untuk menilai karya seni yang bersangkutan. Kemampuan ini dalam filsafat dikenal dengan istilah cita rasa (Gie 2004: 17). Dalam rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai. Untuk membedakannya dengan jenis-jenis nilai lainnya seperti nilai moral, ekonomi, dan pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis (Gie 2004: 37). Estetika merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari aspek dari apa yang disebut dengan keindahan. Telah dikemukakan, pengalaman indah terjadi melalui panca indera, khususnya melalui indera lihat dan indera dengar. Memiliki nilai-nilai estetis suatu tari tidak terlepas dari pola budaya lingkungan dimana tari itu berasal. Kriteria yang digunakan oleh setiap daerah untuk menilai keindahan tari mengandung unsur wiraga, wirama, wirasa. Wiraga merupakan salah satu elemen baku yang secara visual merupakan wujud gerak (gerak anggota badan). Wirama merupakan aspek ritme berdasarkan irama gending atau instrumen pengiring yang disesuaikan dengan kebutuhan ritme gerak tari. Wirasa merupakan ekspresi penari yang disesuaikan dengan maksud tarian (Jazuli 2008: 116). Unsur wiraga, wirama, dan wirasa akan lebih tercapai apabila disertai penataan atau komposisi, hal ini dikarenakan dalam komposisi tari mengandung nilai estetis yang tinggi. Menurut (Smith 1985: 6) bahwa proses penyatuan untuk mencapai sebuah bentuk disebut dengan komposisi. Di dalam tari munculnya keindahan melalui gerakan-gerakan yang bersamaan dengan rasa kepuasan dalam diri manusia (pengalaman estetis) (Jazuli 1994: 113). Berdasarkan perkataan berikut, maka tari lewat gerakan-gerakannya telah bertemu dengan kebutuhan (tuntutan) estetis. Hal inilah sering dinamakan estetis, karena situasi estetis dapat dilihat di dalam menikmati arti dan perwujudan sesuatu serta kesatuan dari berfungsinya inderawi. Inderawi manusia yang bekerja untuk merespons bentuk-bentuk seni sehingga menjadi bermakna bagi kehidupan. Dalam memahami nilai-nilai keindahan suatu tari tidak terlepas dari pola budaya lingkungan di mana tari itu berasal. Kelahiran tari terikat oleh situasi dan keadaan lingkungan, baik lingkungan alam maupun masyarakat termasuk pribadi penciptanya. Kenyataan inilah yang merupakan alasan mengapa keindahan tari sering dinilai berdasar wiraga, wirama, dan wirasa tidak bisa diterapkan secara mutlak, namun demikian di Indonesia kriteria yang digunakan setiap daerah untuk menilai keindahan tari diantaranya meliputi wiraga, wirama, wirasa (Jazuli 1994: 114). Tari sebagai ekspresi seni menciptakan gerak yang dapat membuat manusia lebih peka terhadap realita yang ada disekitarnya. Dengan demikian gerak-gerak dalam tari serta unsur pendukung lainnya telah dipertimbangkan agar memiliki niali estetis yang berbobot (Jazuli 2008: 6). Nilai-nilai keindahan yang ada dalam tari, dapat dilihat dari unsur-unsur tari serta unsur pendukungnya sebagai berikut : 1. Wiraga Pada dasarnya wiraga erat hubungannya dengan cara menilai bentuk fisik tari, terutama segi geraknya. Ketrampilan gerak penari diukur dengan ketentuan (indeks nilai) yang telah diterapkan (Jazuli 1994: 119), misalnya bagaimana sikap dan gerakannya, apakah penari melakukan gerak secara runtut dan berkesinambungan. Hakikat tari adalah gerak. Sikap adalah gerak sesaat. Esensi dan makna gerak itulah jiwa dunia tari dan manusianya (Wardhana dalam Sedyawati 1986: 32-33). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa subtansi atau bahan baku dari tari adalah gerak, dan yang dimaksud gerak adalah gerak-gerak yang telah mengalami perubahan-perubahan dari bentuk alami. Untuk mentransformasikan perbendaharaan geraknya ke dalam imaji visual yang bemakna, penciptaan tari dihadapkan pada tiga elemen gerak, yakni: a. Tenaga Perbendaharaan tenaga meliputi : yang lemah/halus/ringan, yang sedang, serta kuat atau keras. Dengan menggunakan tenaga yang terus menerus akan menghasilkan gerak yang sama pula. Namun jika pengendalian tenaga berbeda akan menghasilkan kontrasnya suatu gerak, kekontrasan suatu gerak akan membangkitkan suatu kesan yang mendalam (Suendi 1986: 2). b. Ruang Ruang adalah salah satu unsur pokok yang menentukan wujud suatu gerak. Dengan kata lain ruang adalah tempat menari yang meliputi : posisi atau arah, level atau tingkatan, dan jangkauan gerak. Posisi sebagai salah satu aspek ruang mempunyai maksud menunjukkan arah dan tujuan serta letak di mana si penari mulai bergerak. Level untuk menunjukkan penampilan sikap/pose, gerak diam atau gerak berubah tempat. Disimpulkan bahwa gerak tari mempunyai jangkauan tertentu, artinya bahwa setiap gerakan tari memiliki batas ruang tertentu (Suendi 1986: 3) c. Waktu Unsur waktu dalam tari ada dua bagian yaitu dari sudut ritme atau irama gerak dan tempo gerak. Yang dimaksud ritme atau irama gerak adalah elemen atau detail-detail waktu dari awal gerak sampai berhentinya gerak, sedangkan yang dimaksud tempo itu sendiri adalah untuk mengukur sejumlah waktu di dalam menyesuaikan gerakan-gerakan, misalnya panjang pendek suatu gerakan atau cepat dan lambatnya gerakan tersebut (Suendi 1986: 4). 2. Wirama Murgiyanto (1983), mengatakan bahwa wirama adalah pemahaman terhadap gendhing dalam arti luas, artinya penari mengerti tentang jenis, nama, dan watak gendhing dalam kaitannya dengan tari, sehingga penari dapat mengekspresikan gerak dan jiwanya sesuai dengan gendhingnya. Penari dapat menguasai keadaan bagaimanapun yang berkaitan dengan tari. Pendapat di atas didukung Jazuli (1994: 119), bahwa yang dimaksud dengan wirama adalah untuk menilai kemampuan penari terhadap penguasaan irama, baik irama musik iringannya maupun irama geraknya. Kepekaan penari terhadap irama sangat menentukan kualitas tariannya. Yang dimaksud irama gerak adalah kecepatan atau kelambatan dari suatu ketukan yang berjarak tetap (ajeg atau konstan), setiap bentuk dan jenis tari mempunyai irama gerak yang berlainan. Sedang yang dimaksud dengan irama musik iringan adalah irama musik penuntun gerak tari. Seorang penari harus mengetahui kapan suatu gerakan yang jatuh pada instrumen kendang, kapan irama gerak harus sesuai atau tidak sesuai dengan irama iringannya tersebut. 3. Wirasa Ujung dari keindahan adalah rasa. Semua kegiatan wirasa dan penerapan wirasa harus selalu mengingat arti, maksud, dan tujuan tarinya. Untuk mencapai hal itu sangat diperlukan yang prima seperti penghayatan karakter peran yang dibawakan, gerak yang dilakukan, dan ekspresi yang ditampilkan. Penghayatan berarti melibatkan aspek olah rasa. Dalam hal ini peranan rasa harus dapat disatukan dengan aktifitas wiraga dan wirama, sehingga bisa terwujud keharmonisan dalam penyajian dan tari yang berkualitas (Jazuli 1994: 120). Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa wirasa adalah penghayatan terhadap gerak atau segala sesuatu yang digerakkan dalam menari, dan penghayatan terhadap irama tari yaitu ketetapan rasa yang disesuaikan dengan irama yang mengiringi tari tersebut. Secara keseluruhan unsur utama dalam tari dapat disimpulkan bahwa, wiraga adalah keserasian gerakan seluruh tubuh yang didukung oleh wirama. Wirama adalah unsur ritme yang menjadikan terpadunya antara gamelan dan gerakan. Penjiwaan antara wiraga dan wirama disebut dengan wirasa. Yang terbaik dalam suatu bentuk tari adalah harus terpenuhinya kriteria prinsip-prinsip estetis tari. Seperti seni lainnya, pada dasarnya bentuk tari harus mempunyai prinsip-prinsip yaitu kesatuan, keselarasan, keseimbangan, perlawanan dan kesetangkupan. . Berdasarkan kesimpulan di atas maka estetika dapat dirumuskan sebagai suatu persoalan tentang keindahan dari sebuah karya seni, karena merupakan bentuk penilaian dari unsur filsafat yang berhubungan dengan penciptaan dan penghargaan dari suatu karya seni. Kriteria untuk menilai keindahan mengandung unsur wiraga, wirasa, wirama dan penyajian tarinya. Teori-teori tentang bentuk pertunjukan yang meliputi urutan sajian pertunjukan serta unsur-unsur pendukung pertunjukan antara lain gerak, iringan atau musik pengiring, tata rias dan busana, tata pentas, tata lampu, tata suara dan property akan digunakan untuk mengupas masalah tentang bagaimana bentuk pertunjukan kesenian Mandeling di Desa Asempapan, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati. Demikian pula teori-teori tentang nilai estetis yang telah dikemukakan meliputi wiraga, wirasa, wirama dan unsur pendukungnya yaitu tata busana, tata rias dan tata pentas yang akan digunakan untuk mengupas masalah tentang bagaimana nilai estetis kesenian Mandeling di Desa Asempapan Kecamatan Trangkil Kabupaten Pati. C. Kerangka BerpikirKesenian Mandeling Bentuk Pertunjukan Nilai Estetis 1. Gerak 1. Wiraga 2. Iringan 2. Wirama 3. Tata Rias dan Busana: 3. Wirasa |