Pukat harimau adalah alat nelayan yang titik titik karena bisa mematikan seluruh ikan-ikan kecil

Pukat harimau adalah alat nelayan yang titik titik karena bisa mematikan seluruh ikan-ikan kecil

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Draf revisi atas Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 71 Tahun 2016 akan memperbolehkan kembali penggunaan kapal cantrang dan pukat hela. Alat tangkap cantrang yang asalnya dilarang, kini akan diperbolehkan untuk ukuran kapal mulai dari lima sampai dengan 30 tonase kotor (GT).

Penggunaan alat tangkap cantrang juga akan diperbolehkan di tiga wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPPRI) nomor 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; WPPRI 712 yang meliputi perairan Laut Jawa, dan WPPRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali. Rancangan revisi itu juga menyebutkan, dari 13 jenis alat tangkap ikan yang dilarang, kini hanya lima di antaranya.

Kapal tradisional nelayan di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Banyuwangi, usai melaut untuk menangkap ikan. (Foto:VOA/Petrus Riski)

Draf revisi Permen Kelautan dan Perikanan tersebut membangkitkan keprihatinan nelayan tradisional. Salah satunya Nila, nelayan perempuan di Belawan, pinggiran Kota Medan.

Dalam sebuah diskusi daring, Nila mengatakan selama ini nelayan tradisional kerap dicurangi oleh nelayan modern atau pengusaha cantrang yang menggunakan pukat harimau dan sejenisnya dalam mencari ikan. Padahal saat ini penggunaan pukat harimau masih dilarang kendati dalam waktu akan dilegalkan.

"Saat ini masih ilegal saja mereka sudah marak. Jadi kami dari nelayan tidak pernah setuju kalau pukat trawl (pukat harimau) dilegalkan. Kami para nelayan perempuan menilai kalau sudah trawl legal itu pasti merajalela ke pinggir pantai," kata Nila, Selasa (23/6).

Seorang nelayan mendayung melewati hotel-hotel resor di pulau Samosir, Danau Toba, 3 April 2019. (Foto: dok).

Perlawanan terhadap penggunaan pukat harimau dan sejenisnya juga datang dari nelayan tradisional lainnya. Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Medan, Muhammad Isa Albasir, mengatakan nelayan tradisional di Sumut menolak adanya pukat harimau.

"Kami KNTI Kota Medan tetap melawan trawl, pukat hela, dan sejenis pukat harimau. Kalau diingat kejadian yang lalu sudah terlalu banyak kami demo ke sana sini tapi adanya menteri yang baru sangat tidak pro dengan kami," ungkapnya.

Masih kata Basir, selama ini nelayan tradisional kerap menderita akibat kehadiran alat tangkap pukat harimau.

"Trawl ini diberi zona juga tidak bisa, dulu pernah dibuat untuk mencari 12 mil tapi mereka pengkhianat semua masuk ke pinggir. Mereka menipu nelayan tradisional dengan alasan mencari ikan di tengah. Walhasil mereka semakin merajalela," ujarnya.

Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Dana Prima Tarigan dalam sebuah diskusi daring bertema "Melawan Ancaman Trawl dan Alat Tangkap Perusak Laut", Selasa 23 Juni 2020. (Foto: screenshot/Anugrah Andriansyah)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan, mengatakan, nelayan tradisional di Sumut sejak tahun 1980 sudah berkonflik dengan nelayan yang menggunakan pukat harimau. Kendati dilarang namun lemahnya pengawasan membuat pukat harimau masih kerap digunakan nelayan modern.

"Persoalannya ada di pengawasan dan penindakan hukum. Sedangkan alat tangkap ikan perusak (pukat harimau) saja dilarang oleh regulasi tapi masih berlangsung, berarti pengawasannya sangat lemah," tuturnya.

Hal tersebut menjadi faktor yang membuat para nelayan tradisional kalah bersaing dalam mencari ikan.

Pukat Harimau Sengsarakan Nelayan Tradisional di Sumut

"Peluang untuk meningkatkan jumlah tangkapan nelayan melalui trawl serta cantrang itu sebaiknya ditunda dan tidak diberlakukan," ungkap Dana.

Hal senada juga disampaikan peneliti antropologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedi S Adhuri. Penggunaan trawl dan cantrang, menurutnya, juga mengancam keadilan lingkungan.

Peneliti antropologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dedi S Adhuri dalam sebuah diskusi daring bertema "Melawan Ancaman Trawl dan Alat Tangkap Perusak Laut", Selasa 23 Juni 2020. (Foto: screenshot/Anugrah Andriansyah).

"Mereka (nelayan modern) kebanyakan mengangkatnya (menangkap ikan) di pesisir jadi bentrok dengan wilayah tangkap nelayan kecil. Trawl dan cantrang mengancam serta mengganggu alat tangkap yang dipakai oleh nelayan kecil," ucapnya.

Dosen Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Ari Purbayanto mengatakan trawl dan cantrang sejenisnya bisa diupayakan menjadi ramah lingkungan dengan menggunakan teknologi.

Trawl dan cantrang, menurut Ari, merupakan alat tangkap ikan yang efektif dan efisien, namun memiliki daya rusak hebat apabila pengoperasiannya tidak sesuai.

"Perkembangan jumlah trawl dan cantrang yang pesat harus dikelola dengan aturan pengelolaan yang tepat untuk keberlanjutan usaha dan kelestarian sumber daya harus seimbang," tandasnya. [aa/ab]

Sariagri - Penggunaan pukat harimau sebagai alat tangkap ikan sudah lama dilarang. Puluhan tahun lalu alat ini telah banyak menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan butuh waktu lama untuk memulihkannya.

Sejak tahun 1980 pukat harimau telah dilarang penggunaannya melalui Kepres No. 93/1980. Namun kenyataannya, alat ini masih sering digunakan kapal ikan besar untuk meraup keuntungan sesaat tanpa memikirkan dampak ke depannya.

Pukat harimau atau trawl merupakan alat tangkap ikan berupa kantong jaring besar berbentuk kerucut yang ditarik dari dalam laut oleh satu atau dua kapal pukat.

Ada dua cara menggunakan pukat harimau dalam pengoperasiannya yaitu pukat yang digunakan di dasar perairan (bottom trawl) dan di tengah kolom air (midwater trawl).

Penggunaan alat ini tampak sangat mudah dan cepat menghasilkan ikan dan udang dalam jumlah banyak. Namun dampaknya juga tidak main-main, karena jaring yang digunakan memiliki lubang berukuran kecil, sehingga bukan hanya ikan besar, tetapi ikan kecil dan hewan lain yang bukan targetnya (bycatch) ikut terjaring.

Dampak pukat harimau

Pukat harimau yang dioperasikan di dasar laut dapat menimbulkan kerusakan lebih parah. Selain merusak terumbu karang juga dapat menimbulkan kekeruhan di dasar perairan laut.

Selain itu, hewan yang tidak boleh ditangkap seperti lumba-lumba dan penyu akan ikut terjaring. Tidak jarang hewan air itu ditemukan dalam kondisi mati karena tertumpuk bersama ikan lainnya.

Pukat harimau dianggap lebih banyak menghancurkan ekosistem laut dibanding hasil tangkapan ikannya. Alat ini dapat mengancam kelangsungan hidup ikan di laut dengan membunuh ikan kecil, telur dan menghancurkan habitatnya.

Sedimen laut yang teraduk-aduk jaring dapat mengubah kandungan kimia dan menaikan kekeruhan air, sehingga cahaya menjadi terbatas dan tanaman air tidak bisa berfotosintesis. Akibatnya produsen utama ekosistem laut ini menjadi terganggu dan berdampak pada ketersediaan ikan di kemudian hari.

Salah satu tanda adanya degradasi alam akibat penggunaan pukat harimau adalah semakin kecilnya ukuran ikan yang ditangkap dan jumlahnya semakin berkurang.

Dampak lain penggunaan pukat harimau bukan hanya kerusakan lingkungan laut, namun berdampak pada kehidupan sosial nelayan setempat. Sumber daya ikan yang habis dikeruk menggunakan pukat harimau dapat memicu terjadinya konflik horizontal antar nelayan lokal.

Selain pukat harimau ada beberapa jenis pukat yang sistem pengoperasiannya berbeda. Beberapa diantaranya juga dapat menimbulkan dampak kerusakan besar seperti pukat harimau. Namun ada juga yang dampaknya masih tergolong minim.

Pukat cincin

Pukat cincin atau purse seine dalam bahasa Inggris merupakan jenis pukat yang dilengkapi tali dibagian bawahnya. Tali itu bisa ditarik untuk merapatkan sisi bawah jaring sehigga ikan tidak dapat keluar. Target utama alat tangkap ini adalah jenis ikan yang hidupya bergerombol seperti ikan sarden dan tuna.

Namun penggunaan pukat cincin juga menimbulkan dampak negatif karena sering menangkap ikan bukan target dan memberi tekanan besar terhadap populasi ikan. Di beberapa negara, penggunaan alat tangkap ini diatur dengan cermat.

Pukat lampara

Pukat ini tergolong sederhana, dioperasikan di laut dengan menggunakan perahu atau kapal. Tali sisi bawah biasanya lebih pendek sehingga jaring akan membentuk lengkungan setengah mangkuk dan menyulitkan ikan untuk keluar.

Lampara dilengkapi dua sayap di sisi kiri dan kanan, sementara bagian belakang terdapat mesh kecil untuk menampung ikan tangkapan. Pukat jenis ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan pelagis seperti ikan sarden dan ikan teri.

Pukat dogol

Pukat ini hampir mirip dengan pukat harimau yang dioperasikan di dasar perairan. Bedanya, pukat dogol tidak ditarik kecuali sepanjang tali utamanya. Target utamanya adalah ikan demersal dan ikan yang hidup di dasar air.

Pukat payang

Payang adalah jenis pukat yang dilengkapi dengan pelampung pada sisi atas jaring supaya tetap berada di permukaan. Payang paling banyak digunakan oleh nelayan-nelayan di Indonesia dengan menggunakan perahu payang. Target dari alat tangkap ini adalah ikan-ikan pelagis kecil.

Pukat pantai

Seperti namanya pukat pantai (beach seine) dioperasikan dengan menebar jaring di muka pantai menggunakan bantuan perahu. Setelah jaring dilingkarkan pada sasaran, kemudian kedua tali pukat di satukan dan ditarik menyusuri dasar perairan hingga  ke tepi pantai oleh tenaga manusia.

Video: