PERTAMA, bagaimana dengan perempuan yang berkerudung menutup auratnya tapi tidak menjaga akhlaknya, bebas pacaran, bermesraan dan banyak disentuh, apalagi sudah tidak perawan? Maka jawabannya adalah: ia adalah “barang mahal” yang palsu aslinya murah bungkusnya pun murah (hanya simbol) sehingga gampang dibuka dan dicoba. Ia barang tipuan yang tanpa sadar sedang menipu dirinya sendiri. Kedua, bagaimana dengan perempuan yang merasa tidak perlu menutup aurat yang penting bisa menjaga diri sehingga tetap menganggap dirinya perempuan terhormat? Jawabannya adalah: Kalau benar-benar bisa menjaga diri, ia adalah barang mahal yang diobral. Barang bagus yang diobral tetap saja lebih murah dan lebih rendah nilainya dari barang mahal yang tidak diobral. Ketiga, bagaimana dengan perempuan yang mengatakan: “Ah, yang berkerudung juga banyak yang kelakuannya parah, mendingan begini, gak berkudung tapi punya prinsip”? Itu artinya menutupi keengganannya dengan kesalahan. Lain kata, lari dari satu kesalahan dan bersembunyi dalam kesalahan yang lain. Keempat, bagaimana dengan perempuan yang berusaha mengutak-ngatik pengertian “aurat” dengan logikanya kemudian berkesimpulan menutup aurat itu tidak perlu? Maka ia adalah orang yang memaksan dan ‘memperkosa’ dirinya sendiri agar harganya murah. Kelima, bagaimana dengan perempuan dan laki-laki termasuk ulama yang ahli agama, ahli tafsir dan mengatakan menurup aurat itu tidak perlu (karena pengertian sebenarnya tentang aurat bukan yang secara konvensional difahami)? Maka sesungguhnya ia sedang melegitimasi penolakannya pada perintah Allah dan tuntunan Nabi atau melegitimasi penolakannya dengan ilmu agamanya sendiri (ini paling ironis dan paling berat pertanggungjawabannya kelak). [] Jakarta - Saat ini kita hidup di zaman ketika pria dan wanita sama-sama bekerja. Dari sinilah kemudian muncul komunitas pekerja perempuan atau yang lebih populer disebut dengan wanita karier. Para wanita karier memperluas dunia pengabdiannya. Tak hanya memegang peran domestik sebagai ibu di dalam rumah tangga, tetapi juga memegang peran publik di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan. Namun, bagi sebagian kalangan, fungsi sebagai wanita karier ini ternyata tidak sepi dari berbagai persoalan, antara lain tentang pengasuhan anak dan problem berkaitan dengan rumah tangga.
Pertama adalah bekerja sama dengan laki-laki dalam amar ma'ruf maupun dalam nahi munkar. Wal-mu'minuuna wal-mu'minaatu ba'dhuhum auliyaaa'u ba'dhin. "Laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman mesti bekerja sama, baik di dalam rumah tangga maupun di ruang kerja," terang Nur. Yang kedua, laki-laki dan perempuan ketika bekerja maupun di dalam rumah juga perlu menjaga diri ketika pasangan atau suami istri tidak berada di sampingnya, karena yakin bahwa Allah menjaganya. Poin terakhir disebutkan Nur, laki-laki dan perempuan yang bekerja, ketika kembali ke rumah, tidak boleh melupakan kodratnya sebagai orang tua maupun sebagai suami atau istri."Demikian mudah-mudahan perempuan yang berkarier seperti juga laki-laki yang berkarier tetap bisa menjaga diri dan menjadi hamba Allah serta menjadi khalifah fil ardhi yang baik," tutup Nur. Simak penjelasan lebih lengkapnya di video berikut ini:
(rns/rns)
TRIBUNNEWS.COM - Seiring perkembangan zaman, keterbukaan masyarakat akan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan kian membaik. Meskipun tingkat ketimpangan gender di Indonesia masih tergolong dalam kategori tinggi, setidaknya berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka Indeks Ketimpangan Gender (IKG) sejak tahun 2015 hingga 2019 terhitung membaik dari 0,46 menjadi 0,42. Pada dasarnya, setiap manusia - baik perempuan maupun laki-laki - sebagai bagian dari masyarakat memiliki tingkat yang setara. Bahkan, dalam perspektif ajaran agama Islam pun, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Hj. Marhumah, M.Pd mengungkapkan bahwa jika merujuk pada ajaran Islam, inti dari ajaran Islam itu tidak membeda-bedakan derajat seseorang berdasarkan jenis kelamin. “Semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah. Islam memandang kesetaraan gender dan kesetaraan manusia secara umum baik dalam hal kompetensi spiritual, intelektual maupun fisik,” jelas Prof. Ema, sapaan akrabnya. Disamping itu, salah satu indikator yang mendorong menurunnya tingkat ketimpangan gender ialah karena naiknya persentase keterwakilan di parlemen serta tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang juga meningkat. Hal itu pun tampak dari semakin banyaknya kaum perempuan yang berani mengambil peran di berbagai bidang. Misalnya seperti Ketua DPR RI Puan Maharani, Menkeu Sri Mulyani, hingga perempuan hebat lainnya yang turut membanggakan Indonesia. “Bukan jabatannya yang menjadi isu utama disini, tetapi dengan adanya perempuan di puncak kepemimpinan akan memberikan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan, memberikan kesempatan kepada perempuan untuk membuktikan bahwa mereka mampu, bahwa perempuan memiliki style dan pendekatan yang tidak sama dengan laki-laki yang juga terbukti efektif membawa organisasi kepada kesuksesan,” papar Prof. Ema. Soal wanita bekerja, dekan kelahiran Bangkalan ini menjelaskan bahwa dalam konsep Islam, semua manusia harus bekerja, karena muslim yang bekerja akan dimuliakan oleh Allah. “Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja, memaksimalkan potensi, serta mengembangkan diri. Ayat-ayat yang memotivasi manusia untuk mengembangkan diri merujuk pada lawan bicara (mukhotob) yang general, yang berarti laki-laki dan perempuan. Jadi, baik laki-laki maupun perempuan memiliki posisi yang setara dihadapan Allah baik dalam tugas-tugas domestik maupun publik, begitu juga dalam hal pekerjaan,” jelasnya. Peran perempuan sebagai seorang istri, ibu, dan anak di dalam keluarga Ketika membicarakan tentang peran perempuan, sebagai istri, ibu, atau anak dalam Islam, Prof. Ema menjelaskan bahwa tidak ada perlakuan khusus dan perbedaan khusus antara perempuan dan laki-laki. Yang ada adalah pada fungsi reproduksinya yang memang berbeda, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, serta menopause. Dalam al-Qur’an, hal itu disebut untuk memberikan penekanan pada aspek biologisnya. Maka dari itu, Prof. Ema mengatakan yang perlu mendapatkan penekanan di sini tentang peran perempuan dalam keluarga adalah bagaimana membangun hubungan yang tidak semata-mata karena persoalan hak, persamaan derajat, akan tetapi bagaimana konsep “keluarga litaskunu ilaiha—keluarga sakinah dan maslakhah” dapat serasi, seimbang, dan harmonis dalam menjalankan fungsi masing-masing. Peran perempuan untuk membumikan nilai-nilai Pancasila di masyarakat “Perempuan tentu juga berperan sebagai agen dalam proses sosialisasi nilai nilai Pancasila. Sebelum itu, perlu dipahami dan dijadikan komitmen bersama bahwa Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran dan nilai agama. Jadi tidak bertentangan,” ungkap Prof. Ema. Ia pun mengungkapkan bahwa keadilan gender juga merupakan bagian dari nilai-nilai Pancasila, yakni Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dan juga Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. “Penting juga untuk diperhatikan, bahwa perempuan juga bisa menjadi role model bagi upaya membumikan dan mempraktikkan nilai-nilai Pancasila. Peran perempuan dalam hal ini bisa dilakukan dalam banyak hal,” tutup Prof. Ema. |