JAKARTA - Irian Barat yang kini dikenal sebagai Papua memiliki sejarah panjang sebelum kembali bergabung dengan Indonesia. Detik-detik masuknya Irian Barat ke Indonesia bermula pada 11 Juni 1964 lalu ketika Indonesia dan Belanda sepakat untuk membentuk komisi bersama. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam Perjanjian Pengakuan Kedaulatan pada Desember 1949, meski enggan melepaskan Papua. Belanda dalam perjanjian itu menyebut bahwa wilayah Irian Barat akan dibicarakan setahun setelah pengakuan kedaulatan. Setahun berlalu, pada 1950, Belanda masih menolak melepas Irian Barat. Alasannya wilayah ini merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam khususnya di bidang pertambangan. Baca Juga: KKB Kembali Tembaki Pos TNI di Papua, 1 Warga Jadi Korban Presiden Soekarno tidak tinggal diam melihat hal itu. Perjuangan diplomasi kemudian dilakukan khususnya setelah Indonesia mendapatkan dukungan dari negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955. Di sisi lain, Belanda juga mulai mencari dukungan khususnya dari Amerika Serikat (AS) agar Irian Barat tetap berada di dalam kekuasaannya. Hingga pada 1960, tidak ada perkembangan positif dari Pemerintah Belanda. Di saat yang sama PBB yang telah berupaya menyelesaikan Irian Barat, belum membuahkan hasil. Alhasil, pada 1961 Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda dan mulai mempersiapkan operasi militer untuk merebut Irian Barat. Saat itu, pemerintah menggaungkan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk membangkitkan semangat rakyat. Baca Juga: Pemerintah Bentuk Tim Investigasi Gabungan Usut KKB di Intan Jaya Pada 15 Januari 1962 sebuah pertempuran pecah di Laut Arafuru, Irian Barat, yang mana dalam pertempuran tersebut Pahlawan Nasional Komodor Yos Sudarso gugur. Kendati demikian, pemerintah berhasil menyusupkan beberapa tentara ke hutan belantara Irian Barat untuk melakukan serangan darat. Dunia yang melihat kondisi tersebut cemas, Sekjen PBB U Thant menunjuk Duta Besar AS Elsworth Bunker untuk menjadi mediator Indonesia dengan Belanda. Pada 15 Agustus 1962, ditandatangani oleh Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian New York yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio dan delegasi Belanda Van Royen. Isi dari Perjanjian New York adalah dibentuk peralihan pemerintahan dari Belanda kepada PBB melalui suatu badan khusus.
PBB kemudian membentuk UNTEA sebagai badan peralihan kekuasaan di Irian Barat. Badan ini mulai efektif bekerja pada 1 Oktober 1962. Akhirnya pada 1 Mei 1963 UNTEA pun menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, bendera merah putih pun berkibar di tanah Irian Barat. Meskipun demikian perjuangan tersebut tidak sampai disana, saat itu Indonesia juga harus melaksanakan Penentuan Pendapat rakyat (Pepera) untuk mengetahui aspirasi rakyat Irian Barat. Pada 11 Juni 1964 dibentuk komisi bersama Indonesia dan Belanda guna memastikan proses referendum berjalan aman. Sulitnya infrastruktur di Irian Barat dan perubahan politik di Indonesia menyebabkan Pepera baru dilaksanakan pada 1969, dengan dihadiri oleh utusan PBB masyarakat Irian Barat menyatakan memilih bergabung dengan Indonesia. Hasil ini kemudian dilaporkan kepada Pemerintah Indonesia di Jakarta, Presiden Soeharto pun mengubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya dan menetapkannya sebagai provinsi ke-26. Namun, di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namanya diganti menjadi Papua.
Berbagai cara kemudian ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Perjuangan Merebut Irian Barat melalui Diplomasi Sekalipun pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan di Indonesia dari RIS menjadi NKRI, tetapi masalah Irian Barat belum terselesaikan. Berikut ini beberapa langkah diplomasi dalam penyelesaian Irian Barat.
Perjuangan Konfrontasi Mengembalikan Irian Barat Pemerintah Indonesia secara bertahap mulai mengambil langkah yang konkrit dalam pembebasan Irian Barat. Langkah-langkah tersebut dilakukan melalui konfrontasi ekonomi, politik, dan militer. Konfrontasi Ekonomi Sejak tahun 1957 Indonesia melancarkan aksi konfrontasi dalam upaya pembebasan Irian Barat. dengan tindakan-tindakan berikut.
Tindakan Indonesia yang mengambil alih seluruh modal dan perusahaan Belanda menimbulkan kemarahan Belanda, bahkan negara-negara Barat sangat terkejut atas tindakan Indonesia tersebut. Akibatnya hubungan Indonesia-Belanda semakin tegang, bahkan PBB tidak lagi mencantumkan masalah Irian Barat dalam agenda sidangnya sejak tahun 1958. Konfrontasi Politik Mengembalikan Irian Barat Di samping melalui konfrontasi ekonomi, pemerintah RI juga melakukan konfrontasi politik. Pada tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB yang dikukuhkan dalam UU No 13 tahun 1956. Kemudian untuk mengesahkan kekuasaannya atas Irian Barat, maka pada tanggal 17 Agustus 1956 pemerintah Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukotanya Soa Siu. Wilayahnya meliputi wilayah yang diduduki Belanda serta daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile. Gubernurnya yang pertama adalah Zainal Abidin Syah. Selanjutnya dibentuk Partai Persatuan Cenderawasih dengan tujuan untuk dapat segera menggabungkan wilayah Irian Barat ke dalam RI. Pada tanggal 4 Januari 1958 pemerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Tujuannya untuk mengerahkan massa dalam upaya pembebasan Irian Barat. Ketegangan Indonesia-Belanda makin memuncak ketika Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Konfrontasi Militer Mengembalikan Irian Barat Untuk meningkatkan perjuangan, Dewan Pertahanan Nasional merumuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang dibacakan Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Berikut ini isi lengkap Trikora.
Sebagai tindak lanjut dari Trikora, pemerintah mengambil langkah-langkah berikut.
Berikut ini tugas Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, maka Panglima Mandala menyusun strategi Panglima Mandala. Berikut ini tahapan-tahapan dalam strategi Panglima Mandala tersebut.
Pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi peristiwa Laut Aru. Ketiga MTB yaitu MTB RI Macan Tutul, MTB RI Harimau, dan MTB Macan Kumbang diserang oleh Belanda dari laut dan udara. Dalam pertempuran tersebut, akhirnya MTB Macan Tutul bersama Kapten Wiratno dan Komodor Yos Sudarso terbakar dan tenggelam. Dalam rangka konfrontasi, pemerintah mengadakan operasi militer. Operasi militer yang dilaksanakan antara lain Operasi Serigala (di Sorong dan Teminabuan), Operasi Naga (di Merauke), Operasi Banteng Ketaton (di Fak-Fak dan Kaimana), dan Operasi Jaya Wijaya. Operasi yang terakhir dilaksanakan adalah Operasi Wisnumurti. Operasi ini dilaksanakan saat penyerahan Irian Barat kepada RI tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal yang sama Komando Mandala juga secara resmi dibubarkan. Perjanjian New York Konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat mendapat perhatian dunia. Badan PBB pun mulai menunjukkan perhatiannya dengan mengutus Ellsworth Bunker (seorang diplomat Amerika Serikat) untuk menengahi perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan rencana penyelesaian Irian Barat yang terkenal dengan nama Rencana Bunker (Bunker’s Plan). Berikut ini isi Rencana Bunker.
Pemerintah RI menyetujui usul tersebut, namun Belanda menolaknya. Amerika Serikat yang semula mendukung posisi Belanda, berbalik menekan Belanda agar mau berunding dengan Indonesia. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962, Belanda bersedia berunding dengan Indonesia. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan yakni Perjanjian New York. Berikut ini isi Perjanjian New York.
Sebagai tindak lanjut dari Persetujuan New York, Sekjen PBB menunjuk Rolsz Bennet dari Guatemala sebagai Gubernur UNTEA merangkap wakil Sekjen PBB di Irian Barat. Berdasar Persetujuan New York tahun 1962, di Irian Barat diselenggarakan “act of free choice” atau Penentuan Pendapat Rakyat (pepera). Dewan Musyawarah Pepera dengan suara bulat memutuskan bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia. Untuk meteri lebih lanjut mengenai Usaha Pembebasan Irian Barat silahkan link youtube berikut ini. Jika bermanfaat, jangan lupa subscribe, like, komen dan share. Terimakasih |