tirto.id - Selama ini, sejarah kerap kali dipersepsikan sebagai ilmu hapalan, mulai dari menghapal nama, tanggal, tahun, atau suatu kejadian tertentu. Show Aktivitas menghapal pelajaran sejarah ini sering dianggap membosankan. Dalam tahap ekstrem, sejarah bahkan dipandang sebagai topik yang tak penting dikaji atau dipelajari. Anggapan bahwa sejarah merupakan topik remeh dan tak relevan ini sempat mencuat pertengahan tahun lalu.
Draft bertanda Kemendikbud tertanggal 25 Agustus 2020 bertajuk “Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional” menuliskan bahwa sejarah bukan lagi menjadi mata pelajaran wajib bagi semua siswa. Hal ini memancing protes besar-besaran dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) yang merilis sikap agar pemerintah mempertahankan sejarah sebagai pelajaran wajib di sekolah menengah. Peter Carey, sejarawan Inggris spesialisasi sejarah modern Indonesia menyatakan urgensi mempelajari sejarah. Tanpa mengetahui sejarah bangsa sendiri, Indonesia tidak akan pernah bisa jadi bangsa berdaulat. Selain itu, jika dipelajari dengan benar, pelajaran sejarah merupakan topik yang menarik dan jauh dari kata membosankan. Seyogyanya, pelajaran sejarah mengajak siswa atau pembacanya merasakan pengalaman nyata dari peristiwa atau pelaku sejarah dalam kejadian tersebut. Secara ilmiah, mempelajari atau mengkaji sejarah harus tunduk pada suatu konsep atau cara berpikir metodik. Dua konsep berpikir yang kerap digunakan dalam mengkaji sejarah adalah cara berpikir diakronik dan sinkronik. Kedua konsep itu saling melengkapi untuk memahami suatu peristiwa sejarah secara komprehensif. Berikut ini penjelasan mengenai cara berpikir diakronik dan sinkronik, sebagaimana dikutip dari Modul Sejarah (2020) yang ditulis Yuliani. Konsep Berpikir Diakronik Sederhananya, konsep diakronik adalah adalah pembabakan sejarah berdasarkan urutan peristiwa dan urutan waktu. Dari sisi bahasa, diakronik berasal dari bahasa Yunani, yaitu "dia" dan "khronos". "Dia" artinya melintas atau melewati. Sementara itu, "khronos" adalah perjalanan waktu. Dalam pengertian itu, konsep diakronik merupakan landasan berpikir bahwa peristiwa dalam sejarah melintas dalam perjalanan waktu yang teratur. Peristiwanya dinamis, serta melalui proses kausalitas sebab-akibat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Cara berpikir diakronik dalam mengkaji sejarah ini memiliki dua unsur, yaitu unsur periodisasi dan unsur kronologis. Pertama, unsur periodisasi memandang bahwa peristiwa sejarah berlangsung dalam urutan kejadian-kejadian tertentu di masa silam. Contoh sejarah yang dipandang berdasarkan periode perkembangan kebudayaan adalah sebagai berikut:
Berbeda dari konsep diakronik yang memandang sejarah dalam pembabakan umum, baik itu dari periode atau kronologi peristiwa. Cara berpikir sinkronik adalah pembahasan sejarah pada suatu peristiwa secara spesifik dan mendalam. Secara bahasa, sinkronik juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu "syn" yang artinya dengan dan "chronos" yang berarti waktu. Singkatnya, konsep sinkronik berhubungan dengan suatu peristiwa tertentu yang terjadi pada suatu masa dalam sejarah. Ciri-ciri konsep berpikir sinkronik dalam mengkaji sejarah terdiri dari poin-poin berikut ini.
Dalam satu bab bukunya, Denys Lombard hanya membahas mengenai karya-karya sastra, karakter karya tersebut, serta tidak membandingkannya dengan karya sastra di masa yang lain. Kajiannya mendalam dan sistematis dalam rentang waktu pendek, yaitu di masa Sultan Iskandar Muda saja. Perbedaan konsep sinkronik dari konsep diakronik adalah kedalaman bahasannya. Cara berpikir sinkronik mengkaji suatu peristiwa dari berbagai aspek secara spesifik, sementara itu konsep diakronik hanya memandang banyak kejadian secara luas. Kelemahan dari konsep sinkronik adalah kajiannya dilakukan hanya pada peristiwa spesifik dalam rentang waktu terbatas. Sedangkan kelemahan konsep diakronik adalah kedangkalannya memandang banyak peristiwa, tanpa mengkaji kejadian-kejadian sejarah itu secara mendalam.
Baca juga:
Baca juga
artikel terkait
SEJARAH INDONESIA
atau
tulisan menarik lainnya
Abdul Hadi
Subscribe for updates Unsubscribe from updates
Cara berpikir sinkronis dalam sejarah berarti berpikir yang meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu. Cara berpikir ini menganalisa suatu kejadian di satu atau beberapa tempat dalam satu waktu. Cara berpikir sinkronis penting dalam sejarah karena berfungsi untuk menganalisis keadaan suatu tempat pada waktu tertentu. Sifatnya horizontal dan menganalisis peristiwa sezaman. Berikut adalah beberapa contoh cara berpikir sinkronis dalam sejarah. Langsung saja kita simak yang pertama: Baca juga: 5 Contoh Sejarah Bersifat Diakronik1. Suasana di Jakarta Saat Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945Pembacaan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah peristiwa yang paling bersejarah dan paling penting bagi bangsa Indonesia. Peristiwa itu terjadi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 (Sekarang Jalan Proklamasi). Pembacaan Proklamasi dihadiri oleh sekitar 500 orang dari berbagai kalangan dengan membawa apapun yang bisa digunakan sebagai senjata. Meskipun Jepang sudah dikalahkan oleh Sekutu, Balatentara Dai Nippon (Jepang) masih berada di Jakarta. Suasana di Jakarta masih kondusif. Awalnya Proklamasi akan dibacakan di Lapangan Ikeda, namun dipindahkan ke kediaman Soekarno karena dikhawatirkan terjadi pertumpahan darah. Akibatnya, sekitar 100 anggota Barisan Pelopor kembali berjalan dari Lapangan Ikeda ke kediaman Soekarno. Mereka datang terlambat dan menuntut pembacaan ulang Proklamasi. Namun ditolak dan hanya diberikan amanat singkat oleh Hatta. 2. Keadaan Ekonomi di Indonesia pada Tahun 1998Keadaan ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 sangatlah terpuruk. Terjadi kerusuhan dimana-mana. Bahkan sampai presiden Soeharto mengundurkan diri. Terdapat banyak hutang perusahaan dan negara yang jatuh tempo pada tahun 1998 yang membuat banyak perusahaan gulung tikar. Akibatnya angka pengangguran meningkat pesat. Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat hingga Rp 15.000 per Dolar Amerika Serikat membuat harga-harga barang meningkat pesat. Akibatnya inflasi semakin tidak terkendali. Pendapatan per kapita Indonesia juga menurun drastis dari 1.155 US$/kapita pada tahun 1996 menjadi 610 US$/kapita pada tahun 1998. 3. Suasana pada saat tragedi G30S/PKIBaca juga: Contoh Kliping SejarahTragedi G30S/PKI terjadi pada tanggal 1 Oktober. Pada saat itu, terjadi penculikan dan pembunuhan 7 jendral tentara dan beberapa orang lainnya. Soeharto pada saat itu diperintah untuk mengambil alih tentara dan menyelamatkan Soekarno. Soekarno berhasil menuju Istana Presiden di Bogor. Soeharto bersama pasukan yang ia pimpin berhasil mengambil kontrol semua fasilitas yang sebelumnya direbut oleh pelaku G30S/PKI. 4. Pembangunan pada era Orde BaruOrde Baru adalah masa pemerintahan presiden Soeharto. Pembangunan di Indonesia pada masa Orde Baru sangat pesat. Namun angka korupsi juga meningkat. Soeharto membuat program pembangunan jangka pendek yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita I berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun, meningkatkan pendapatan per kapita, dan menurunkan laju inflasi. Bahkan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, padahal pada tahun 1970-an Indonesia adalah negara pengimpor beras terbesar di dunia. Namun pada masa ini terjadi kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah. Referensi:
Anda bisa request artikel tentang apa saja, kirimkan request Anda ke atau langsung saja lewat kolom komentar :) |