Nama nama perguruan tinggi yang dibuka lagi pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia

Akibat pendudukan Jepang di Indonesia. Banyak perguruan tinggi ditutup pada tahun 1943. Namun ada beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi. Perguruan tinggi yang berada di bogor adalah?

  1. Perguruan tinggi Kedokteran
  2. Perguruan tinggi Teknik
  3. Perguruan Tinggi Akademi Pamong Praja
  4. Perguruan Tinggi Hewan
  5. Semua Jawaban benar

Jawaban: D. Perguruan Tinggi Hewan

Nama nama perguruan tinggi yang dibuka lagi pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, akibat pendudukan jepang di indonesia. banyak perguruan tinggi ditutup pada tahun 1943. namun ada beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi. perguruan tinggi yang berada di bogor adalah perguruan tinggi hewan.

Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Pada bulan September 1944, Jepang memberikan Janji kemerdekaannya yang diwakili oleh? beserta jawaban penjelasan dan pembahasan lengkap.

Pendidikan di Indonesia pada Zaman Penjajahan Jepang_Pada tahun 1942 Jepang secara resmi menguasai Indonesia setelah panglima tertinggi Belanda menyerah. Pada masa Jepang ini, pendidikan yang sebelumnya telah berjalan saat penjajahan Belanda telah diberhentikan. Semua sekolah yang ada ditutup dan kembali dibuka setelah diberlakukannya sistem baru yang berbeda dari sistem pendidikan Belanda. Sistem baru pendidikan di zaman penjajahan Jepang ini dibuat untuk menarik simpati rakyat Indonesia.

Nama nama perguruan tinggi yang dibuka lagi pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia

Nah, untuk lebih jelasnya tentang sejarah pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Jepang, berikut ulasan lengkapnya.

Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan pada masa penjajahan Jepang terbagi atas beberapa bagian.

1. Pendidikan Dasar (Gokumin Gakko)

Sekolah dasar atau sekolah rakyat dinunakan sebagai tempat untuk pembelajaran pendidikan dasar. Sekolah dasar dilakukan selama 6 tahun dan sekolah ini diperuntukkan bagi semua rakyat Indonesia tanpa adanya perbedaan status. Sistem ini memberikan keuntungan yang besar bagi rakyat Indonesia, sebab semua kalangan terutama dari golongan bawah dapat menikmati pendidikan yang setara dengan golongan atas.

2. Pendidikan Lanjutan (Shoto Chu Gakko)

Pendidikan lanjutan pada masa penjajahan Jepang dilakukan selama 3 tahun. Pendidikan lanjutan atau yang sekarang kita kenal dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) memberikan pendidikan lanjutan kepada siswa yang telah selesai menyelesaikan pendidikan dasarnya.

3. Pendidikan Menengah (Chu Gakko)

Pendidikan menengah atau Sekolah Menengah Atas (SMA) sebutannya saat ini, dilakukan selama 3 tahun. Pendidikan menengah memberikan pembelajaran yang lebih terarah berdasarkan hasil pembelajaran pada pendidikan lanjutan.

4. Pendidikan Kejuruan (Kogyo Gakko)

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan lanjutan dimana pembelajarannya lebih spesifik dan terperinci. Pendidikan ini lebih mengutamakan keahlian yang akan didapatkan siswa untuk terjun ke masyarakat.

5. Pendidikan Tinggi

Jenjang pendidikan Universitas pada masa penjajahan Jepang tidak diberlakukan, tapi jenjang tersebut diganti dengan pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi yang dibuka oleh pemerintah Jepang adalah Sekolah Tinggi Kedokteran dan Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Selain pembentukan sistem baru dalam pendidikan Indonesia, Jepang juga mulai mencari simpati rakyat Indonesia dengan mengadakan pelatihan kepada guru-guru yang ada. Adapun isi materi pelatihan yang diberikan oleh pemerintah Jepang sebagai berikut:
  • Penanaman ideologi Hakko Ichiu yang merupakan slogan persaudaraan yang diciptakan Jepang untuk kawasan Asia Timur Raya.
  • (Nippon Seisyin) Melatih guru secara militer berserta sifat semangat Jepang dalam mendidik siswanya
  • Memberikan pelatihan berupa bahasa Jepang, sejarah Jepang dan adat istiadat Jepang
  • Mengikuti kegiatan keolahragaan Jepang serta dapat menyanyikan lagu Jepang.
Tak hanya guru-gurunya yang mendapatkan pelatihan, para sisiwa yang menempuh pendidikan juga mendapatkan pembinaan dari pemerintah Jepang. Pembinaan ini bertujuan membentuk kedisiplinan siswa serta ketaatan siswa terhadap kewajiban yang harus dilakukan setiap hari di sekolah. Adapun kewajiban tersebut seperti:
  • Dapat menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (Kimigato) pada pagi hari disetiap harinya
  • Mengibarkan Hinomura atau bendera Jepang serta menunduk menghadap timur untuk menghormati Tenno Haika Kaisar Jepang di setiap paginya.
  • Melakukan sumpah setia (Dai Toa) pada cita-cita Asia Raya
  • Melakukan senam Jepang (Taiso) setiap pagi harinya
  • Pelatihan fisik ala militer jepang
  • Menggunakan bahasa pengantar berupa bahasa Indonesia selain bahasa Jepang.

Artikel terkait: Pendidikan di Indonesia pada Masa Penjajahan Belanda

Demikian tentang pendidikan yang terjadi di masa penjajahan Jepang. Dan tentunya, sistem yang dibuat oleh pemerintahan Jepang, sedikit banyak masih diberlakukan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini.

Nama nama perguruan tinggi yang dibuka lagi pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia

Nama nama perguruan tinggi yang dibuka lagi pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia
Lihat Foto

Koleksi Tropen Museum (Wikiwand)

Akibat pendudukan Jepang di Indonesia, para pemuda Indonesia diberi pelatihan militer.

KOMPAS.com - Pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang.

Mengutip Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak pada lima bidang kehidupan masyarakat, yaitu:

  1. Bidang politik
  2. Bidang ekonomi
  3. Bidang sosial budaya
  4. Bidang pendidikan
  5. Bidang birokrasi dan militer

Tahukah kamu apa akibat pendudukan Jepang di Indonesia bidang pendidikan?

Baca juga: Dampak Positif Pendudukan Jepang

Akibat pendudukan Jepang bidang pendidikan

Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Dilakukan pembatasan pendidikan sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan.

Berikut ini beberapa akibat pendudukan Jepang di bidang pendidikan:

  1. Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang.
  2. Para pelajar harus mempelajari adat istiada Jepang, lagu kebangsaan Jepang Kimigayo, dan gerak badan sebelum pelajaran dimulai.
  3. Bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan menjadi mata pelajaran wajib.
  4. Perkembangan perguruan tinggi mengalami kemunduran, banyak perguruan tinggi yang ditutup pada 1943.
  5. Para pelajar dianjurkan masuk organisasi militer.

Baca juga: Akibat Pendudukan Jepang Bidang Politik

Kemunduran perkembangan perguruan tinggi

Akibat pendudukan Jepang di bidang pendidikan, perguruan tinggi mengalami kemunduran dan banyak yang ditutup pada 1943.

Hanya beberapa perguruan tinggi yang dibuka antara lain:

  1. Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta
  2. Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung

Selain itu, Jepang membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Hewan di Bogor.

Baca juga: Janji Koiso, Janji Kemerdekaan Jepang kepada Indonesia

Organisasi militer

Para pelajar dianjurkan untuk masuk organisasi militer seperti Heiho (sebagai pembantu prajurit), Seinendan, dan Keibodan (pembantu polisi).

Para pelajar dilatih baris berbaris dan perang meski hanya menggunakan senjata kayu.

Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

 Secara umum sejarah pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya baru dimulai pada awal abad ke-20 ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan Technische Hogeschool (THS) di Bandung pada tahun 1920. Namun demikian cikal bakal pendidikan tinggi di Indonesia sudah disemai oleh pemerintah kolonial pada pertengahan abad ke-19 dengan didirikannya School tot Opleiding voor Indische Arsten (STOVIA), sebuah lembaga pendidikan dokter Jawa di Batavia. Lembaga pendidikan tersebut untuk sementara mengambil alih peran yang mestinya dimainkan oleh lembaga pendidikan tinggi, mengingat STOVIA ketika pertama kali didirikan tidak lebih dari sekolah menengah untuk mendidik menjadi medisch vaccinateur (juru cacar) dengan masa pendidikan hanya dua tahun. STOVIA meningkat menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan tinggi baru pada tahun 1902 dengan masa studi tujuh tahun dan lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Pada periode berikutnya didirikan pula Sekolah Hukum untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtkundigen) pada tahun 1909 di kota yang sama, dan sekolah dokter di Surabaya pada tahun 1913 yang diberi nama Nederlandsch Indische Arsten School (NIAS) dengan masa studi tujuh tahun.

Dengan berdirinya STOVIA dan NIAS maka di Indonesia telah ada dua lembaga pendidikan tinggi bidang kedokteran yang dikelola oleh pemerintah kolonial. Adalah menarik mengapa cikal-bakal perguruan tinggi di Indonesia adalah lembaga pendidikan kedokteran bukan lembaga pendidikan teknik atau pendidikan hukum. Hal ini terkait erat dengan persepsi orang-orang Barat yang tinggal di Indonesia pada waktu itu yang memandang bahwa alam Indonesia dan perilaku keseharian masyarakat merupakan sumber penyakit. Indonesia yang berada di wilayah tropis merupakan lahan yang subur untuk berkembangbiak penyakit. Di samping itu perilaku sehari-hari masyarakat juga amat tidak sehat. Rumah-rumah dibuat dari bahan seadanya seperti dari anyaman bambu dan atap dari ilalang yang merupakan tempat yang amat disenangi oleh tikus. Buang air besar juga dilakukan di sembarang tempat yang tentu saja menjadi media yang efektif untuk penyebaran penyakit. Perilaku masyarakat yang amat tidak sehat dan kondisi alam tropis yang amat lembab dengan curah hujan yang tinggi menjadi media yang efektif untuk terjangkitnya wabah penyakit. Kondisi semacam ini amat menakutkan penduduk Eropa di yang tinggal Indonesia.[1]

Berbagai usaha dilakukan agar mereka tidak tertular berbagai penyakit tropis. Maka didirikanlah perguruan kedokteran sehingga lulusannya diharapkan dapat berperan aktif dalam mencegah timbulnya berbagai penyakit. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pendirian lembaga pendidikan kedokteran pada awalnya adalah semata-mata untuk kepentingan masyarakat Eropa. Pengobatan dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat pribumi pada waktu itu pada hakekatnya adalah untuk menangkal agar penyakit tidak menjalar dan menjangkiti masyarakat Eropa.

Ketika kebutuhan akan tenaga medis semakin tinggi, maka pemerintah kolonial bermaksud untuk memperluas pendidikan dokter tidak hanya di Batavia tetapi juga di Surabaya. Gagasan ini muncul pada tahun 1911 yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menambah jumlah dokter  serta mempertimbangkan laporan-laporan bahwa sistem pendidikan dokter yang selama ini berjalan perlu mendapat perbaikan.[2] Namun upaya pengembangan tersebut sempat ditentang oleh dokter-dokter Eropa lulusan negeri Belanda. Menurut mereka pendirian lembaga pendidikan kedokteran bagi pribumi dan golongan Indo tidak akan menghasilkan dokter yang cakap. Ketika NIAS akan didirikan di kota Surabaya para dokter Eropa di Indonesia yang tergabung dalam Bond van Geneesheers mencela maksud pemerintah itu melalui buletin yang dikeluarkan oleh perkumpulan itu pada bulan September 1912. Mereka mengatakan bahwa golongan Bumiputra tidak cakap dalam bekerja dan cenderung malas. Golongan Bumiputra dianggap enggan jika pekerjaannya hendak diperiksa karena hasil pekerjaannya itu memang tak tahan uji dan kritik. Jarang sekali didapati sifat kemauan yang teguh pada mereka kecuali kemauan di dalam perkara melakukan segala kejahatan. Tak ada suatu kebaikan yang boleh diharapkan dari pihak mereka.[3]

Sebuah sindiran yang amat kasar dari dokter-dokter Eropa terhadap kelompok masyarakat Indo di Indonesia. Kutipan di atas juga menyiratkan bahwa pada masa kolonial pembentukan berbagai lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi didasarkan atas sentimen rasial dan berdasarkan status sosial.[4] Walaupun muncul kritik yang sangat tajam dari perkumpulan dokter Eropa namun pada tahun 1913 pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan sekolah tinggi kedokteran di kota Surabaya yang diberi nama Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS). Pada awal berdirinya lembaga pendidikan dokter ini dipimpin oleh Dr. A.E. Sitsen yang berasal dari STOVIA Batavia.[5]

            Sebagai bagian dari sistem kolonial, pendidikan pada periode ini bersifat elitis dan hanya menyentuh kalangan terbatas. Golongan Bumiputra yang tersentuh sistem pendidikan hanya terbatas pada kelompok aristokrat, yaitu kelompok yang secara aktif dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya dan sebagai alat untuk mengesploitasi kekayaan bumi Indonesia. Masyarakat kelas menengah ke bawah bisa bersentuhan dengan sistem pendidikan modern hanya pada level tertentu saja yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan mobilitas vertikal secara maksimal. Eskploitasi kolonial yang berbasis pada kekuasaan tradisional telah memaksa pemerintah kolonial untuk memberdayakan keluarga-keluarga penguasa tradisional melalui saluran pendidikan modern. Mereka sadar bahwa anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional suatu saat akan menjadi bagian dari kelompok yang akan memperlancar usaha-usaha pemerintah kolonial untuk mengelola negara jajahan yang sedang mereka usahakan.

            Gagasan awal berbagai sekolah khususnya pembukaan lembaga pendidikan tinggi oleh pemerintah kolonial adalah sebuah kebijakan pendidikan yang “melayani kepentingannya sendiri.” Dengan kebijakan ini maka tercipta pemisahan sosial dan kesenjangan budaya antara minoritas kecil pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga papan atas atau keluarga aristokrat dan sebagian besar pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga biasa. Secara kasat mata pembukaan THS pada tahun 1920 di kota Bandung adalah implementasi dari kebijakan untuk melayani kepentingannya sendiri tersebut. Persis dengan kebijakan pembukaan lembaga pendidikan dokter di Indonesia, sebelum THS berdiri kebutuhan akan tenaga teknik terdidik yang diperlukan untuk membangun berbagai infrastruktur fisik yang mendukung kekuasaan kolonial di Indonesia disuplai dari lulusan pendidikan teknik di Eropa khususnya dari negeri Belanda. Namun dengan meletusnya Perang Dunia Pertama hubungan antara negeri belanda dengan Indonesia menjadi tersendat-sendat. Hal tersebut menyulitkan pengiriman tenaga teknik terdidik ke Indonesia serta sebaliknya, sulitnya mengirim lulusan sekolah menengah di Indonesia ke negeri Belanda untuk dididik di perguruan teknik di negeri induk tersebut. Akibatnya pemerintah dan industri mengalami kesulitan yang berat dan tidak dapat berfungsi dengan lancar. Kondisi tersebut telah menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa Indonesia harus memiliki lembaga pendidikan sendiri dan dengan demikian pula akan meningkatkan kehidupan intelektual di negeri ini.

            Upaya untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia bukan hal yang mudah, walaupun hal tersebut bertujuan untuk melengkapi sistem kolonial yang sedang berjalan. Pada awal abad ke-20 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia “belum matang” untuk berdirinya suatu perguruan tinggi karena belum memiliki sekolah menengah yang memadai yang merupakan sumber murid yang potensial yang akan didik di perguruan tinggi. Ada pula keragu-raguan apakah orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat, sekalipun orang Indonesia telah menujukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai gelar akademis berkaitan dengan prestasi yang diraih oleh para lulusan STOVIA.

            Di balik keraguan tersebut pemerintah tetap berusaha untuk mewujudkan dibentuknya perguruan tinggi teknik karena didesak keadaan bahwa kebutuhan akan tenaga teknik terdidik harus segera dipenuhi. Pada tahun 1918 dibentuk Technisch Onderwijs Commissie, suatu panitia pendidikan teknik yang bertugas memberikan saran-saran kepada pemerintah tentang cara mengatasi kebutuhan pendidikan teknik lanjutan. Panitia ini diketuai oleh J.CH. de Vooght, seorang pensiunan mayor jenderal dan anggotanya antara lain kepala-kepala dinas pemerintahan, seperti kepala irigasi, pertambangan, tenaga air, listrik, kereta api, kepala-kepala pabrik, wakil departemen pengajaran, kepala sekolah teknik menengah, dan inspektur sekolah menengah. Dalam peremian panitia ini gubernur jenderal menegaskan bahwa panitia ini dapat mulai bekerja dengan anggapan bahwa perlunya pendidikan teknik tinggi, dan tugas panitia ini adalah mencari jalan terbaik untuk mewujudkannya. Pada tahun 1920 sebuah perguruan teknik tinggi pun berhasil didirikan di Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS). Lembaga pendidikan teknik ini menjadi lembaga pendidikan tinggi pertama yang berdiri di Indonesia dengan kurikulum perguruan tinggi dan menghasilkan lulusan seorang engineer. Perguruan tinggi yang hanya memiliki satu jurusan yaitu de afdeeling der Weg en Waterbouw tersebut pada tahun 1924 secara resmi diambilalih pengelolaannya oleh pemerintah dengan status sebagai perguruan tinggi negeri. Pada tahun yang sama Sekolah Hukum untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtskundigen) juga dinaikan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool). Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1927 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) yang merupakan kelanjutan dari STOVIA.

            Berdirinya lembaga pendidkan tinggi di Indonesia pada awal abad ke-20 tidak bisa dipisahkan dengan lahirnya kebijakan Politik Etis yang awalnya disuarakan oleh para pendukung Van Deventer di negeri Belanda. Ia yang dengan lantang menggemakan ide tentang “Hutang Kehormatan” kemudian disauti oleh pidato Ratu Belanda bahwa Nederland mempunyai kewajiban moral untuk memenuhi terhadap penduduk di Indonesia. Kemerosotan kesejahteraan harus diatasi dengan sebuah perhatian khusus. Politik Etis menentang politik eksploitasi materialistis pada masa silam dan harus menggantinya dengan sikap laissez faire yang lebih manusiawi. Politik ini menonjolkan kewajiban moral bangsa yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Dengan mengatasnamakan Politik Etis sekolah-sekolah dibuka untuk mengimplementasikan ide-ide yang dilahirkan oleh Van Deventer. Pendidikan dan emansipasi menjadi inti dari Politik Etis. Pendidikan di Indonesia harus juga diarahkan kepada tujuan untuk membebaskan rakyat secara berangsur-angsur dari ketidakmatangan yang dipaksakan agar mandiri di atas kaki sendiri.

            Namun sejatinya gagasan Politik Etis tidak pernah bisa berjalan sebagaimana dibayangkan oleh para pengagasnya. Lembaga pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai implementasi dari gagasan besar Politik Etis tidak pernah menemukan momentumnya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara luas. Para alumni perguruan tinggi yang dihasilkan pada periode ini alih-alih akan menjadi penuntun rakyat Indonesia menuju kesejahteraan yang diidam-idamkan oleh para pengagas ide besar tersebut, justru pada kenyataannya sebagian besar menjadi bagian dari sistem yang berjalan atas kehendak para pemodal asing. Pendidikan tinggi pada kenyataannya berfungsi untuk menopang kekuasaan kolonial yang disangga oleh para pemodal swasta. Namun demikian masih terdapat celah dari sistem pendidikan yang sepenuhnya dimodali dan dipupuk oleh semangat kolonialisme. Celah tersebut tumbuh dan membesar dari para mahasiswa yang sadar bahwa di pundak mereka cita-cita kemerdekaan Indonesia disandarkan. Pada periode ini gagasan kesadaran berbangsa tumbuh dari persemaian pendidikan tinggi yang disirami oleh semangat kebebasan yang mulai tumbuh. Dari STOVIA lahirlah Budi Utomo yang dipelopori oleh salah seorang siswanya, Soetomo (Dr.), dari THS lahirlah Soekarno (Ir.) yang kelak akan menjadi pemimpin Indonesia yang menuntun bangsa ini menuju kemerdekaan.

             Celah sempit yang terbuka di pendidikan tinggi yang lahir dari rahim Politik Etis pada gilirannya menjadi pintu besar yang membuka kesadaran baru rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa dengan kelompok intelektual dari perguruan tinggi sebagai intinya. Konsepsi ini kemudian menjadi pembenar bahwa perjuangan melawan penjajah pada periode awal yang menekankan pada perlawanan fisik tidak cukup efektif tanpa keterlibatan kelompok intelektual yang dibina di lembaga pendidikan tinggi, karena dari kelompok inilah kesadaran untuk membangun bangsa yang modern lahir.

            Gagasan pergerakan nasional yang lahir di lembaga pendidikan tinggi jika dilihat dari perspektif kolonial merupakan sebuah anomali karena gagasan awal didirikannya pendidikan tinggi di Indonesia adalah dalam rangka menopang kekuasaan kolonial itu sendiri. Namun dengan semakin banyaknya mahasiswa yang dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi awal tersebut telah melahirkan kesadaran bahwa kesejahteraan rakyat, yang pada awalnya menjadi landasan berdirinya berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, tidak kunjung tiba. Hal ini terjadi karena Politik Etis menyajikan slogan yang indah untuk menutupi metode-metode ekpsloitasi modal raksasa. Secara perorangan mungkin bersikap etis terhadap bangsa Indonesia, akan tetapi perusahaan tidak didasarkan atas motif etis melainkan motif ekonomis.

            Pendirian berbagai perguruan tinggi pada masa kolonial pada gilirannya justru membuka kotak pandora. Hal tu disebabkan karena pendidikan tinggi yang berorientasi Barat, walaupun terbatas pada golongan kecil terutama dari golongan aristokrat tradisional dan dimaksud untuk menghasilkan pegawai, pada gilirannya telah menimbulkan elit intelektual baru. Elit inilah yang kemudian menjadi juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat. Pendidikan tinggi yang pada awalnya dipenuhi gagasan asimilasi untuk mendekatkan bangsa Belanda dan Indonesia pada kenyataannya justru menjauhkan mereka.

            Perubahan drastis pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia tejadi ketika Belanda bertekuk lutut kepada tentara Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang yang dihinggapi sikap paranoid kepada bangsa Barat melakukan proses de-eropanisasi secara cepat. Bahasa Belanda dilarang sebagai bahasa sehari-hari maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ribuan buku referensi berbahasa Belanda dilarang digunakan di sekolah-sekolah, dan ada kemungkinan dihancurkan, yang kemudian diganti dengan buku-buku berbahasa Indonesia. Dilihat dari aspek pengembangan bahasa Indonesia, kebijakan tersebut menguntungkan, namun dilihat dari aspek pengembangan ilmu pengetahuan kebijakan tersebut sangat merugikan karena buku-buku yang dimusnahkan tidak mendapatkan gantinya yang setara. Pada tahun 1942 semua perguruan tinggi yang ada di Indonesia ditutup untuk beberapa saat, sampai kemudian dibuka kembali dengan corak yang amat berbeda. Jaman pendudukan Jepang di Indonesia memperlihatkan gambaran buruk mengenai bidang pendidikan dan pengajaran jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

            Pembukaan kembali beberapa perguruan tinggi di Indonesia dilakukan pada tahun 1943 setelah kurang lebih satu tahun pemerintah pendudukan Jepang berkuasa. Seperti halnya pemerintah kolonial Belanda, tujuan pembukaan kembali perguruan tinggi oleh Jepang juga dalam rangka mobilisasi kaum terdidik untuk mendukung perang yang dibayangkan akan berakhir dengan bersatunya kawasan Asia dibawah pimpinan Jepang. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka pada periode ini antara lain Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta yang merupakan kelanjutan dari Geneeskundige Hogeschool dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung yang merupakan kelanjutan dari Technische Hogeschool. Di samping itu Jepang juga membuka pula Akademi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta, yang mirip dengan lembaga serupa pada masa kolonial Belanda yang disebut OSVIA, serta membuka Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor.

            Pembukaan kembali lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki aspek strategis bagi pemerintah pendudukan Jepang. Menurut Jepang melalui lembaga pendidikan akan dibentuk kader-kader untuk mempelopori dan melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Adapun keberhasilan konsepsi tersebut sangat tergantung kepada kemenangan dalam “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karena itu segala usaha harus ditujukan kepada memenangkan perang itu. Dari beberapa perguruan tinggi yang dibuka tersebut yang nampak menonjol peranannya pada periode ini adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Tradisi “memberontak” yang sudah berlangsung di lembaga pendidikan ini pada masa kolonial Belanda nampaknya diteruskan oleh para mahasiswa Ika Daigaku walaupun dengan corak, strategi, dan bentuk yang berbeda.

            Pemerintahan pendudukan Jepang yang sangat militeristik yang merupakan ciri dari pemerintahan fasis merembet pula ke dalam lembaga pendidikan tinggi. Hampir tidak ada celah sedikitpun bagi para mahasiswa untuk mengobarkan semangat nasionalisme karena para pemangku perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan dengan disiplin militer yang amat ketat. Walaupun nampak tidak ada celah, para mahasiswa yang pernah dididik di lembaga pendidikan pada masa kolonial Belanda tetap memiliki tak-tik dan strategi yang jitu untuk melawan pemerintah pendudukan Jepang walaupun tidak secara terang-terangan, alias perlawanan dari bawah tanah. Dinamika perlawanan bawah tanah oleh kelompok intelektual dari perguruan tinggi pada masa pendudukan Jepang telah menciptakan mitos tentang Kelompok Mahasiswa Prapatan 10 yang legendaris. Kelompok tersebut menjadi pelopor perlawanan mahasiswa terhadap aturan penggundulan rambut bagi mahasiswa Ika Daigaku yang dirasakan sangat menghina martabat bangsa Indonesia. Walaupun perlawanan tersebut kurang bergema secara nasional, namun gerakan dalam celah yang amat sempit itu telah menjadi sebuah simbol tentang perlunya membela martabat bangsa di tengah sistem pemerintahan militer yang amat represif.

Perlawanan mahasiswa pada masa pendudukan Jepang tidak pernah terlembaga dengan baik serta  mampu mengobarkan semangat nasionalisme yang terlembaga pula. Namun demikian sistem pendidikan yang dikembangkan pada periode ini pada gilirannya akan berperan penting bagi periode sesudahnya, yaitu periode  kemerdekaan, terutama menyangkut sumber daya manusia yang berhasil digodok di perguruan tinggi pada waktu itu walaupun hanya dalam waktu yang relatif singkat. Alumni perguruan tinggi periode Jepang menjadi generasi yang siap mengendalikan roda pemerintahan yang masih sangat baru. Hal tersebut tidak saja karena mereka dibekali dengan dengan ilmu kemiliteran yang sangat penting pada periode awal kemerdekaan, namun yang paling penting adalah karena mereka merupakan generasi yang paling dekat dengan kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh penting yang lahir dari rahim perguruan tinggi periode Jepang, utamanya dari Ika Daigaku antara lain adalah Soedjatmoko, Mahar Mardjono, Hasan Sadikin, Soedarpo Sastrosatomo, dan lain-lain yang masing-masing memiliki peranan yang amat besar pada masa awal kemerdekaan.

            Di tengah-tengah pusaran pemerintahan Jepang yang militeristik dan amat menekan sekelompok orang dari golongan Islam mencoba memanfaatkan situasi yang sedikit longgar untuk memikirkan pendidikan tinggi yang lebih bercorak Indonesia dan mengajarkan nilai-nilai Islam. Hubungan antara ummat Islam dengan pemerintah pendudukan Jepang pada waktu itu dapat dikatakan cukup baik, karena pemerintah pendudukan Jepang nampaknya ingin mengambil hati kelompok ini untuk membela kepentingan mereka. Jepang membiarkan, atau bahkan mendukung, ketika gabungan organisasi-organisasi Islam di Indonesia mendirikan Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia yang disingkat Masjoemi, yang merupakan kelanjutan dari Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibubarkan pada tahun 1943.

            Pada tanggal 1 April 1945, beberapa bulan menjelang Jepang bertekuk lutut, tokoh-tokoh Masjoemi berhasil merealisasikan pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan di Jakarta. STI merupakan perguruan tinggi swasta pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia. Pada masa-masa awal mahasiswa STI bukan hanya dari kalangan Islam saja, karena beberapa orang mahasiswa ternyata beragama Protestan.

            Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut setelah dua kota penting, Hiroshima dan Nagasaki, dijatuhi bom atom oleh Sekutu. Menyusul menyerahnya Jepang, Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai bagian dari proses Indonesianisasi dari semua sistem yang ada di Indonesia, pemerintah Indonesia kemudian membubarkan Ika Daigaku dan mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Proses pendidikan yang berlangsung di lembaga pendidikan ini berlangsung dengan amat memprihatinkan dengan berbagai kekurangan di sana-sini. Ketika proses pembenahan perguruan tinggi kedokteran tengah berlangsung gelombang perang muncul yang didahului dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia. Dengan dalih ingin mengamankan tawanan Jepang, antara bulan September dan Oktober 1945 pasukan Sekutu memasuki kota-kota besar di Indonesia.[6] Di Jakarta pendaratan masukan Sekutu disambut dengan kontak senjata oleh rakyat. Di mana-mana pasukan Sekutu membuat kegaduhan. Rakyat Indonesia yang mencurigai adanya maksud tersembunyi dari pasukan Sekutu dengan menyelundupkan tentara Belanda menjadi marah. Di mana-mana kedatangan pasukan Sekutu memunculkan peperangan. Akibatnya kota Jakarta menjadi tidak aman. Pada bulan Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia dipindah dari Jakarta menuju ke Yogyakarta. Kondisi ini berpengaruh juga terhadap jalannya proses pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Agar proses pendidikan tetap berjalan, bersamaan dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia maka diungsikan pula Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dengan cara menyebar tempat perkuliahan di tiga kota yaitu di Solo, Klaten, dan Malang.[7] STI yang baru beberapa bulan menyelenggarakan perkuliahan di Jakarta juga mengikuti jejak Ibukota Republik Indonesia, memindahkan tempat perkuliahannya di Yogyakarta. STI membuka kembali perkuliahannya pada tanggal 10 April 1946 di Dalem Pengulon Yogyakarta.

Dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta maka Jakarta berada dalam kekuasaan pasukan Sekutu, tetapi secara de facto kota itu sebenarnya dibawah kekuasaan pasukan Belanda. Seperti kita ketahui bersamaan dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia, masuk pula tentara Belanda. Mereka kemudian melakukan pengoperan pemerintahan di tempat-tempat yang telah dikuasainya. Dengan dalih untuk menghindari bentrokan-bentrokan dengan rakyat Indonesia, maka panglima pasukan Inggris untuk Indonesia, Letnan Jenderal Sir Philip Christison menarik pasukan Belanda lama yang baru saja mendarat di Indonesia Timur ke Jawa.[8] Akibatnya kota-kota penting di Jawa segera diduduki kembali oleh pasukan Belanda. Namun kedatangan tentara Belanda di Jawa, khususnya di Jakarta justru malah memancing perlawanan yang lebih besar dari rakyat setempat. Di tengah berkecamuknya perang, Belanda menduduki  kantor-kantor pemerintahan yang penting.

Di sektor pendidikan, Belanda juga mencoba menghidupkan lagi perguruan tinggi yang ditinggal mengungsi oleh otoritas yang sah yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Pada bulan Januari 1946, beberapa saat setelah Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Belanda mendirikan De Nood-universiteit, atau universitas darurat. Disebut sebagai universitas darurat karena didirikan pada saat kondisi chaos yang disebabkan oleh peperangan.[9] Universitas darurat ini memiliki lima fakultas dengan tempat kedudukan yang terpisah, yaitu fakultas kedokteran, fakultas hukum, fakultas sastra dan filsafat berkedudukan di Jakarta, fakultas pertanian berkedudukan di Bogor, dan fakultas teknik berkedudukan di Bandung menempati bekas Technische Hogeschool.

Pada saat yang bersamaan Pemerintah Republik Indonesia Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta juga menghidupkan kembali perguruan tinggi dengan mendirikan  Universitas Gadjah Mada pada tahun 1946 yang pada awalnya dikelola oleh sebuah yayasan yang diselenggarakan oleh beberapa tokoh pendidikan.[10] Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyediakan bagian depan istananya (pagelaran) sebagai tempat perkuliahan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ketika kuasaan Belanda di wilayah-wilayah pendudukan di Jawa semakin mantap, mereka juga mencoba memantapkan posisi mereka di bidang pendidikan tinggi. Pada bulan Maret 1947 De Nood-universiteit diubah namanya menjadi Universiteit van Indonesia. Pada tahun yang bersamaan kekuasaan Belanda di Indonesia juga semakin kuat dengan dukungan militer yang kuat pula. Dengan sangat percaya diri pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama. Dengan gerak cepat pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Peristiwa ini kemudian memaksa Indonesia dan Belanda untuk menuju ke meja perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948. Perjanjian ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai “garis van Mook”, suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda. Garis imajiner tersebut secara politis telah membelah-belah Indonesia khususnya Jawa menjadi dua bagian antara wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia dengan wilayah yang dikuasai oleh Belanda.

Secara kebetulan hampir semua lokasi perguruan tinggi yang pernah didirikan oleh Belanda pada masa kolonial terletak di dalam garis van Mook. Perletakan secara politis inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengembangkan Universiteit van Indonesia dengan membuka fakultas baru di wilayah pendudukan, yaitu di Surabaya dan di Makassar. Pada tanggal 1 Agustus 1948 di Surabaya dibuka Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dengan memanfaatkan peralatan dan gedung yang pada masa kolonial ditempati oleh NIAS. Di tempat yang sama Belanda juga membuka Tandheelkundig Instituut (Lembaga Kedokteran Gigi). Fakultas Kedokteran yang berkedudukan di Surabaya pada awalnya dipimpin oleh Prof. Dr. A.B. Droogleever Fortuyn. Pada tanggal 8 Oktober 1948 di Makassar dibuka Faculteit der Economische Wetenschap (Fakultas Ekonomi).[11] Pendirian beberapa fakultas di kota yang berbeda, secara politis menjadi simbol bahwa pada waktu itu kekuasaan Belanda di daerah-daerah pendudukan cukup kuat.

Pada saat yang hampir bersamaan perguruan tinggi yang berada di wilayah Republik Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta juga melakukan bebagai konsolidasi agar perguruan tinggi pertama di wilayah Republik Indonesia tersebut berkembang dengan baik. Beberapa fakultas yang tersebar di beberapa daerah republik seperti Yogyakarta, Klaten, dan Solo dilebur menjadi satu. Pada tanggal 19 Desember 1949 secara resmi berdirilah Universitas Gadjah Mada yang berada dalam naungan Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Yogyakarta. Universitas ini menjadi universitas negeri pertama yang berada di wilayah Republik Indonesia pada saat wilayah Indonesia terpecah-belah secara politis dan tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Pendirian Universitas Gadjah Mada sebagai sebuah institusi yang utuh tidak bisa dilepaskan dengan Konferensi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan di kota Yogyakarta yang berlangsung pada 25 April sampai 1 mei 1947. Konferensi tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa salah satu masalah yang menghalangi kemajuan perguruan tinggi ialah karena perguruan tinggi yang telah ada pada waktu itu tidak bernaung di bawah satu kementrian. Ada yang masuk Kementrian kesehatan, Kementrian Pengajaran, Kementrian Kemakmuran, dan ada yang berada di bawah pengelolaan swasta. Konferensi menyarankan kepada pemerintah agar perguruan tinggi yang terpisah-pisah tersebut disatukan. Hasilnya adalah Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh Kementrian Pengajaran.

Sejarah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dengan berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia dengan disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Nopember 1949. Tanggal 19 Desember 1949 Universitas Gadjah Mada lahir. Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan penyerahan kedaulatan itu maka Universiteit van Indonesia yang semula dibawah penguasaan pemerintah pendudukan Belanda kemudian menjadi universitas milik Republik Indonesia Serikat dengan fakultas-fakultasnya yang tersebar di negara-negara federal, antara lain di ibukota RIS Jakarta, di Negara Indonesia Timur/Makassar (Fakultas Ekonomi), dan di Negara Jawa Timur/Surabaya (Fakultas Kedokteran dan Lembaga Kedokteran Gigi).

Republik Indonesia Serikat hanya bertahan kurang dari satu tahun karena menguatnya sentimen pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda. Federalisme pada umumnya dicurigai karena asalnya jelas sebagai muslihat Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Pemecah-belahan wilayah Indonesia secara administratif dan politis memiliki dampak yang amat besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia karena eksistensi perguruan tinggi di wilayah Indonesia menjadi terpisah-pisah di wilayah Republik dan di wilayah federal. Perguruan tinggi di wilayah Republik dikelola oleh bangsa Indonesia yang hampir semua staf pengajarnya adalah orang-orang Indonesia (Bumiputera) serta dengan fasilitas yang sangat terbatas, sedangkan perguruan tinggi yang berada di wilayah federal dikelola oleh Belanda dengan staf pengajar yang hampir semuanya orang-orang Belanda yang cakap. Mereka juga sudah menempati gedung-gedung yang megah peninggalan masa kolonial. Keterpisahan pengelolaan perguruan tinggi tentu saja sangat berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa yang belajar di dua wilayah yang berbeda secara politis tersebut. Mahasiswa yang belajar di Universitas Gadjah Mada yang terletak di wilayah republik di Yogyakarta pada umumnya amat bangga. Kebanggaan itu lahir karena mereka belajar diwilayah “sendiri” Republik Indonesia dan di wilayah perjuangan. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai republiken, orang/mahasiswa republik.

Kuatnya sentimen pro-Republik telah mendorong bubarnya negara-negara federal. Sebagian besar rakyat di negara-negara federal buatan Belanda menghendaki agar kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia. Keinginan itu akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus 1950. Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di dalamnya, serta negara-negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur digantikan oleh suatu Republik Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan.

Penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia telah mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi di Indonesia. Universitas Gadjah Mada yang merupakan universitas milik Republik Indonesia semakin memantapkan posisinya menjadi universitas nasional. Sementara itu Universiteit van Indonesia yang dilahirkan dan dikelola oleh Belanda berubah nama menjadi Universitet Indonesia. Perubahan nama itu merupakan bagian dari proses Indonesianisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Periode awal kemerdekaan ditandai dengan bangkitnya rasa nasionalisme yang sangat tinggi yang diikuti dengan sentiman anti Belanda yang kuat. Timbulnya perasaan semacam itu diikuti dengan penjungkirbalikan simbol-simbol kolonialisme yang bisa membangkitkan romantisme masa kolonial yang menyengsarakan. Akibatnya simbol-simbol yang berbau kolonial dihancurkan dan diganti dengan simbol-simbol ke-Indonesiaan. Istilah-istilah Belanda diganti dengan istilah-istilah Indonesia, maka wajar jika nama Universiteit van Indonesia diganti menjadi Universitet Indonesia dan kemudian diubah menjadi Universitas Indonesia. Pengelolaan universitas tersebut juga berpindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia. Sampai lahirnya Universitas Airlangga pada tahun 1954, Indonesia pada waktu itu hanya memiliki dua perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitet Indonesia.

Indonesia terlahir sebagai sebuah negara kepulauan yang wilayahnya amat luas dan terbagi-bagi secara adminsitratif yang bertumpang tindih dengan suku-suku. Sentimen antar daerah dan suku amat tinggi walaupun konsepsi dasanya adalah negara kesatuan. Oleh karena itu sistem pendidikan harus didasarkan pada keadilan secara merata atas wilayah-wilayah administratif, jika pembagian secara kesukuan tidak memungkinkan karena banyaknya suku bangsa di Indonesia. Hal itu disadari betul oleh para pemangku pendidikan pada periode awal. Pendidikan tinggi diarahkan menjadi salah satu perekat bangsa, oleh karena itu antara tahun 1950-an sampai tahun 1980-an pemerintah Indonesia menggenjot pendirian universitas-universitas di hampir semua propinsi di Indonesia. Di beberapa kota besar yang merupakan simpul ke-Indonesiaan diusahakan berdiri satu perguruan tinggi negeri.

Perluasan universitas-universitas di Indonesia direalisasikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 23 tanggal 1 September 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Hasanuddin di Makassar, Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Andalas di Bukittinggi, Peraturan Pemerintah No. 37 tanggal 1 September 1957 yang menetapkan berdirinya Universitas Padjadjaran, serta Peraturan Pemerintah No. 48 tanggal 1 September 1957 yang menetapkan berdirinya Universitas Sumatera Utara di Medan. Selama periode 1950-an jumlah PTN yang didirikan berjumlah 12 buah. Pada periode ini perintisan pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru juga mulai dilakukan. Pada periode ini IKIP Bandung berdiri. Pada saat yang sama IKIP Malang dan IKIP Padang juga didirikan. Pada awalnya pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru tersebut masih merupakan bagian dari universitas, sebagai fakultas ilmu pendidikan. IKIP Malang merupakan bagian dari Universitas Airlangga Surabaya.

Pada periode ini bangsa Indonesia telah mengukuhkan bahwa universitas yang sudah tersebar di banyak kota besar merupakan bagian dari jati diri bangsa yang telah merdeka. Oleh karena itu ketika sentimen anti Belanda yang menguat pada akhir tahun 1950-an akibat diabaikannya hasil Konferensi Meja Bundar mengenai status Irian Barat, hal itu juga merembet ke universitas-universitas. Bahasa Belanda yang pada waktu itu masih diajarkan di beberapa fakultas di perguruan tinggi sempat dihentikan. Di Surabaya buku-buku referensi berbahasa Belanda sempat dikumpulkan dan akan dibakar, namun hal tersebut bisa dicegah. Beberapa universitas yang pada waktu itu masih memanfaatkan tenaga pengajar berkebangsaan Belanda bahkan sempat memulangkan dosen yang bersangkutan ke negerinya. Situasi ini menggambarkan bahwa perguruan tinggi pada saat-saat tertentu rentan terhadap intervensi politik. Hal ini tercermin pula pada masa Demokrasi Terpimpin, dimana perguruan tinggi juga terlibat secara aktif dalam proses penyebaran gagasan pribadi presiden yang dilembagakan oleh negara.

Peran penting perguruan tinggi pada awal kemerdekaan selain menjadi simbol persatuan bangsa juga menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Perguruan tinggi secara aktif terlibat dalam usaha-usaha untuk mengentaskan kondisi rakyat yang porak-poranda akibat perang yang berkepanjangan. Pada tahun 1951 ketika pemerintah menghadapi desakan karena kekurangan tenaga guru SMA di luar Jawa, perguruan tinggi di Jawa secara serentak membentuk proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Selama kurang lebih sepuluh tahun program ini telah mengirim tidak kurang dari 1.600 mahasiswa dari universitas-universitas di Jawa ke daerah-daerah di luar Jawa. Mereka ditempatkan di sekitar 160 SMA yang tersebar di 91 kota di luar Jawa. Keterlibatan secara intensif perguruan tinggi ke dalam dinamika masyarakat telah mengukuhkan lembaga tersebut bukan sebagai menara gading. Perguruan tinggi adalah bagian dari masyarakat, maka apapun yang menjadi keinginan sudah sewajarnyalah dikawal oleh perguruan tinggi.

Keterlibatan dunia perguruan tinggi pada setiap momen yang melibatkan masyarakat luas telah membuat pendidikan tinggi di Indonesia semakin memiliki bentuk dan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. Menyatunya perguruan tinggi dengan masyarakat kemudian dilembagakan dalam bentuk Tridharma Perguruan Tinggi, yang mencakup Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat melalui Undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Pelembagaan keterlibatan perguruan terhadap dinamika masyarakat diperkuat dengan jargon bahwa perguruan tinggi adalah agen perubahan. Berkaca pada perjalanan sejarah lembaga tersebut, setiap perubahan besar di Indonesia sekurang-kurangnya melibatkan civitas academica, terutama sejak pendidikan tinggi mulai eksis. Maka tidak mengherankan jika goncangan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an juga melibatkan perguruan tinggi.

Berbagai ketidakberesan penyelenggaraan negara telah mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam pengoreksian secara total atas sistem yang berlaku. Organisas-organisasi mahasiswa baik organisasi ekstra maupun intra kampus bekerja sama dengan elemen masyarakat lain bahu-membahu melakukan pengkajian secara kritis, baik secara akademis maupun secara praktis dengan cara turun ke jalan. Hasilnya adalah sebuah perubahan politik mendasar pada tahun 1966 yang berjalan atas dorongan civitas academika di seluruh Indonesia. Pada saat goncangan politik melanda Indonesia, aspek pendidikan tetap merupakan prioritas pemerintah. Pada periode 1960-an perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah didirikan di mana-mana. Jumlahnya mencapai 29 buah. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik yang dari hari ke hari semakin meningkat.  Hal ini menandakan bahwa kemampuan bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan pembangunan negara semakin memadai setelah beberapa tahun sebelumnya dilanda peperangan besar.

Perubahan paradigma penyelenggaraan negara mengiringi perubahan politik yang drastis. Indonesia memasuki sebuah periode yang kemudian populer sebagai periode Orde Baru. Indonesia yang pada periode sebelumnya terkesan mengurung diri dan anti terhadap modal asing secara berlahan-lahan membuka diri. Salah satu kebijakan ekonomi yang penting adalah membuka diri atas modal asing. Modal asing adalah elemen yang amat penting untuk menjalankan roda pembangunan. Kata “pembangunan” berkembang menjadi kata yang elitis dan digunakan oleh penguasa baru sebagai alat untuk merancang program apa saja yang mereka kehendaki. Perguruan tinggi sebisa mungkin juga diarahkan sebagai bagian dari paradigma baru tersebut. Masalah modal asing dan masalah pembangunan disikapi secara berbeda-beda oleh civitas academika. Sebagian mahasiswa bahwa curiga bahwa kebijakan untuk membuka masuknya modal asing secara tidak terkendali merupakan upaya menjual bangsa secara terselubung. Gerakan anti modal Jepang yang didengungkan oleh mahasiswa pada awal tahun 1970-an berubah menjadi malapetaka yang hampir saja menghanguskan ibukota negara pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa tersebut harus dipahami sebagai bagian dari sikap kritis civitas academica untuk melakukan berbagai ketidakberesan yang melanda bangsa. Pada periode ini perguruan tinggi sering dijadikan alat oleh perorangan atau kelompok tertentu untuk memuluskan keinginan politik mereka. Dalam beberapa hal, kondisi ini sering merugikan perguruan tinggi. Mahasiswa sering menjadi korban ambisi orang tertentu. Hal ini tentu saja menjadi kontraproduktif.

Terlepas dari segala kekurangan yang terjadi, pada era Orde Baru perguruan tinggi di Indonesia mengalami perkembangan yang amat pesat. Pendidikan tinggi memainkan peranan yang penting untuk mengisi setiap elemen negara. Pada periode ini pendidikan tinggi dilembagakan dalam satu direktorat jenderal tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pelembagaan pendidikan tinggi dalam lingkup keorganisasian tersendiri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terkandung maksud agar koordinasi antar perguruan tinggi lebih tertata.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengedepankan aspek pembangunan, perguruan tinggi diharapkan juga ikut bertanggung jawab atas pembangunan nasional. Hal ini menjadi kebijakan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi yang digariskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975. Secara teknis kebijakan tersebut dimaksudkan bahwa pendidikan tinggi harus memerankan diri sebagai penyedia tenaga ahli untuk pelaksanaan pembangunan. Dengan kebijakan ini maka peran yang harus dimainkan oleh pendidikan tinggi harus sejalan dengan program-program yang digulirkan oleh pemerintah. Penambahan jumlah perguruan tinggi negeri juga terus dilakukan, sampai pada akhirnya semua propinsi memiliki perguruan tinggi, bahkan di beberapa propinsi jumlah perguruan tinggi negeri ada yang lebih dari tiga buah. Hal tersebut menandakan bahwa minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi semakin tinggi.

Selama duabelas tahun pertama pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami lonjakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Rencana pembangunan ekonomi yang digulirkan oleh pemerintah telah disokong oleh melonjaknya harga minyak pada tahun 1970-an. Berkah ini menetes pula kepada pendidikan tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa telah membuka lapangan kerja yang luas. Permintaan tenaga ahli lulusan universitas dari berbagai lembaga pemerintah dan swasta meningkat drastis. Hal itu tidak bisa dipenuhi secara maksimal oleh perguruan tinggi negeri. Kementrian pendidikan membuka kesempatan yang luas kepada perorangan, yayasan, pemerintah daerah, dan lembaga lain untuk mendirikan perguruan tinggi swasta. Dengan kebijakan tersebut maka selama periode 1980-an perguruan tinggi swasta tumbuh di mana-mana, bahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama jumlahnya meningkat drastis berlipat-lipat melampaui jumlah perguruan tinggi negeri. Selama periode 1980-an jumlah PTS yang berdiri di seluruh Indonesia sudah lebih dari seribu buah.

Pertumbuhan PTS yang demikian pesat tentu saja berdampak positif karena akan membuka peluang yang lebih luas bagi para pemuda untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Lulusan sekolah menengah yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri karena terbatasnya daya tampung dari lembaga tersebut kemudian disalurkan ke perguruan tinggi swasta. PTS berperan besar dalam menaikan angka partisipasi pendidikan tinggi. Untuk mempermudah koordinasi antar PTS serta untuk mengontrol kualitas proses belajar-mengajar di lembaga tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengelompokkan perguruan tinggi swasta berdasarkan zona tertentu. Masing-masing kelompok dibina oleh sebuah lembaga yang namanya Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Penyetaraan lulusan PTS juga dilakukan dengan ujian negara. Penyelenggaraan ujian negara bagi mahasiswa PTS bertujuan untuk mengontrol kualitas alumni PTS sehingga setara dengan lulusan perguruan tinggi negeri.

Meskipun perluasan PTS sangat menguntungkan bagi peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi akan tetapi hal ini mempunyai resiko yang besar terhadap mutu dan relevansi. Pada pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan drastis ketika jumlah mahasiswa PTS melampaui jumlah mahasiswa PTN. Selanjutnya pada awal tahun 1990-an jumlah lulusan PTS telah melampaui jumlah lulusan PTN. Kondisi ini memunculkan problem tersendiri mengingat dalam beberapa kasus kualitas mahasiswa PTS banyak yang berada di bawah standar.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka Ditjen Dikti secara sungguh-sungguh melakukan pembinaan mutu PTN dan PTS secara intensif. Usaha yang menonjol antara lain melalui pembenahan masukan-masukan instrumental yang menentukan mutu, di antaranya melengkapi berbagai sarana dan prasarana, meningkatkan mutu dosen, membenahi sistem pengendalian mutut melalui intsrumen-instrumen seperti sistem evaluasi, melakukan akreditasi melalui Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN PT), dan lain-lain. Peningkatan mutu dosen dilakukan dengan mendorong para dosen untuk melakukan studi lanjut baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk pendidikan di dalam negeri Ditjen Dikti mendorong perguruan tinggi yang sudah memiliki tenaga dosen yang memiliki syarat dan kualitas tertentu untuk mendirikan program pascasarjana. Program pascasarjana inilah yang akan mendidik dosen-dosen pada jenjang S2 dan S3, terutama untuk dosen-dosen yang tidak memiliki kesempatan belajar di luar negeri.

Formula pembiayaan studi lanjut bagi para dosen di dalam negeri dilakukan oleh Ditjen Dikti dengan mendirikan Tim Menejemen Program Doktor (TMPD) dan kemudian dilanjutkan dengan diciptakannya BPPS. Untuk pembiayaan pendidikan di luar negeri Ditjen Dikti membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi dosen yang berminat untuk mencari beasiswa yang banyak disediakan oleh lembaga dan perguruan tinggi di luar negeri. Berbagai kerjasama antar negara dalam rangka pengiriman dosen juga dilakukan. Hasilnya cukup baik, ribuan dosen berhasil menempuh studi lanjut baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Secara umum penggunaan anggaran di Ditjen Dikti dilakukan dengan metode yang dikenal dengan istilah Planning, Programming, Budgeting System (PPBS) sebagaimana dikemukakan oleh Diriektur Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1975. Alokasi keseluruhan anggaran ditentukan dengan mempertimbangkan problematik serta urgensi sesuai dengan Kebijakan Dasar Perngembangan Pendidikan Tinggi.

Pengiriman dosen untuk studi lanjut di luar negeri menjadi bekal yang kuat untuk mendorong perguruan tinggi di Indonesia agar setara dengan perguruan tinggi di luar negeri. Dengan kata lain dosen-dosen yang telah mengikuti studi lanjut menjadi modal bagi perguruan tinggi menuju world class university, perguruan tinggi berkelas dunia.

Sesuai dengan rumusan jati diri pendidikan tinggi yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi, salah satu rumusannya adalah bahwa perguruan tinggi merupakan pusat riset dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan rumusan tersebut maka dosen di perguruan tinggi bukan hanya memerankan diri sebagai seorang guru yang bertugas untuk melakukan diseminasi ilmu pengetahuan. Seorang dosen juga merupakan seorang peneliti yang bertugas untuk menggali ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang telah digali tersebut kemudian didiskusikan secara kritis baik di kelas-kelas perkuliahan maupun di forum-forum diskusi, seminar, lokakarya, dan lain-lain. Untuk mendukung riset-riset di perguruan tinggi Ditjen Dikti menciptakan berbagai program, baik berupa program pebiayaan riset secara kompetitif, berbagai pelatihan, maupun berbagai penyediaan fasilitas riset. Hibah-hibah penelitian ditawarkan kepada seluruh dosen, baik dosen PTN maupun dosen PTS. Dengan model semacam ini para dosen dipacu untuk berlomba-lomba melakukan penelitian baru untuk pengembangan ilmu pengetahuan sesuai bidang masing-masing. Fasilitas laboratorium didirikan di seluruh universitas. Salah satu fasilitas penelitian yang diharapkan digunakan bersama sekaligus menjadi pusat penelitian (research center) adalah pendirian Pusat Antar Universitas (PAU) yang didirikan di beberapa perguruan tinggi, antara lain di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin pada akhir tahun 1980-an. Berbagai aktifitas penelitian bersama antar perguruan tinggi dipusatkan di PAU.

Untuk lebih meningkatkan kemampuan meneliti maka dilakukan kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga riset di dalam negeri dan di luar negeri. Di dalam negeri kerjasama riset dilakukan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementrian Riset dan Teknologi beserta lembaga yang ada di bawahnya, serta pusat-pusat penelitian yang berada di bawah kementrian lain. Kerja sama dengan universitas luar negeri dilakukan dalam kerangka penelitian bersama. Berbagai kebijakan untuk mendorong perguruan tinggi sebagai pusat riset telah menghasilkan beberapa capaian. Salah satu prestasi yang membanggakan bangsa indonesia misalnya kontes-kontes robot tingkat dunia yang selalu dimenangkan oleh mahasiswa Indonesia. Pengakuan internasional terhadap kualitas riset ilmu sosial diwujudkan dengan pelatihan riset ilmu sosial yang pernah dilakukan di Aceh dan di Makassar yang didukung oleh lembaga internasional. Tidak sedikit hasil riset dari berbagai perguruan tinggi yang berhasil dipatenkan dan diakui secara internasional.

Salah satu kendala yang dialami oleh perguruan tinggi pada masa Orde Baru ada sistem operasional yang sangat birokratis. Seluruh organ perguruan tinggi dikontrol secara ketat oleh pemerintah pusat dengan sangat sentralistik. Akibatnya gerak perguruan tinggi kurang luwes. Padahal untuk menuju perguruan tinggi yang bermutu dan setara dengan perguruan tinggi lain pada tingkat internasional diperlukan kecekatan dari perguruan tinggi yang bersangkutan untuk mengambil kebijakan. Dengan sistem yang sentralistik dan birokratik maka gerak langkah perguruan tinggi menjadi lamban. Seluruh dana yang dikumpulkan oleh perguruan tinggi dari masyarakat melalui formula SPP harus disetor terlebih dahulu ke kas negara. Jika perguruan tinggi yang bersangkutan membutuhkan dana mereka harus menunggu penjatahan (dropping) terlebih dahulu dari pemerintah. Padahal kebutuhan pendanaan di perguruan tinggi bersifat fleksibel dan tidak tahu waktu. Jika kebutuhan yang mendesak harus menunggu terlebih dahulu keputusan dari pemerintah maka banyak kesempatan yang mestinya bisa diraih oleh perguruan tinggi menjadi hilang. Pada awal era reformasi hal tersebut menjadi salah satu topik perbincangan yang dilakukan oleh Ditjen Dikti dengan praktisi pendidikan dan pimpinan perguruan tinggi.

Kesimpulan dari diskusi yang membahas mengenai perguruan tinggi salah satunya adalah bahwa perguruan tinggi mestinya diberi kebebasan untuk mengelola anggaran tanpa menggantungkan diri kepada pemerintah. Untuk menopang operasional perguruan tinggi hendaknya lembaga ini diberi kekebasan untuk mengelola anggaran. Perbincangan dan tuntutan semakin mengemuka manakala gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa bergulir. Ketika gerakan reformasi berhasil menggulingkan pemerintah Orde Baru salah satu tuntutan yang mengemuka pada pendidikan tinggi adalah merealisasikan gagasan mengenai otonomi perguruan tinggi. Dari sinilah lahir kebijakan menjadikan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Inti dari kebijakan ini adalah perguruan tinggi diberi kebebasan untuk mengelola anggaran yang dibutuhkan tanpa campur tangan pemerintah. Mereka juga diberi hak untuk mencari dana dari sumber-sumber lain yang syah untuk digunakan sebagai biaya operasional. Tujuan lain pemberian otonomi perguruan tinggi adalah agar perguruan tinggi memiliki keluwesan dalam mengembangkan institusinya. Salah satu aspek penting dari pengembangan perguruan tinggi adalah agar lembaga ini bisa sejajar dengan lembaga sejenis di luar negeri. Dengan kata lain perguruan tinggi di Indonesia hendaknya mampu menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional.

Merealisasikan gagasan otonomi perguruan tinggi dalam bingkai BHMN bukanlah hal yang mudah. Perguruan tinggi di Indonesia meruapakan perguruan tinggi yang selama ini murni dibiayai dan dibina oleh pemerintah. Oleh karena itu pemberian status BHMN kepada perguruan tinggi tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba dan tergesa-gesa. Pada tahun 2000 mulai diujicobakan status BHMN kepada lima perguruan tinggi negeri di Indonesia, masing-masing adalah Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Lima perguruan tinggi tersebut dianggap yang paling siap untuk ditetapkan sebagai perguruan tinggi BHMN dengan status otonom. Tujuh tahun kemudian tepatnyaawa tahun 2007 dua perguruan tinggi lain menyusul diberi status perguruan tinggi BHMN yaitu Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

Pemberian status BHMN kepada beberapa perguruan tinggi terbukti mampu menggenjot kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Dari berbagai riset yang dilakukan oleh lembaga internasional beberapa perguruan tinggi masuk ke peringkat dunia. Hal tersebut membuktikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dengan perguruan tinggi di luar negeri. Untuk terus meningkatkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia Ditjen Dikti terus-menerus mendorongnya dengan perbagai program yang diimplementasikan di berbagai perguruan tinggi. Program-program tersebut diharapkan dapat menjadikan perguruan tinggi di Indonesia masuk menjadi world class university.

Salah satu program unggulan yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti adalah meningkatkan taraf pendidikan dosen sampai jenjang doktor. Pada periode mendatang dosen di seluruh perguruan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan doktor (S3). Untuk memenuhi kebijakan itu maka Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti mengirim ribuan dosen ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan master dan doktor. Dengan program tersebut maka diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama perguruan tinggi di Indonesia akan menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional.