Mengapa sistem tanam paksa menimbulkan pro dan kontra

adjar.id – Adjarian, ada pro dan kontra dari tanam paksa bagi masyarakat di Belanda.

Show

Ide pelaksaan tanam paksa sendiri dikemukakan oleh Van den Bosch yang tujuannya untuk mengatasi masalah ekonomi Belanda.

Dalam buku Sejarah Indonesia kelas 11 SMA edisi revisi 2017 terdapat satu soal pada Latih Uji Kompetensi pada halaman 65.

Pada soal tersebut kita diminta menjelaskan alasan pelaksanaan tanam paksa bisa menimbulkan pro dan kontra di lingkungan masyarakat di negeri Belanda.

Baca Juga: Sejarah Sistem Tanam Paksa pada Era Belanda di Indonesia

Maka dari itu, sebagai materi sejarah kelas 11 SMA, kita akan membahas jawaban soal tersebut sebagai bahan referensi Adjarian saat mengerjakannya.

Tanam paksa merupakan serangkaian kebijakan yang pernah diterapkan pemerintah Belanda yang tujuannya untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Nah, sebelum kita membahas pro dan kontra tanam paksa di masyarakat Belanda, kita simak dulu penjelasan dari tanam paksa berikut ini, yuk!

Tanam Paksa

Adanya masalah perekonomian yang menimpa pemerintahan Belanda memunculkan beberapa pendapat untuk mengatasi hal tersebut.

Kemudian Johannes Van den Bosch pada 1829 mengajukan saran kepada raja Belanda untuk menerapkan sistem tanam paksa di negara jajahan Belanda.

Penerapan sistem ini dilakukan untuk memperbaiki ekonomi di belanda, di mana sistem ini mengharuskan rakyat menanam tanaman yang laku dijual di pasar dunia.

Baca Juga: Jawab Soal Sejarah Kelas 11 SMA, Persamaan dan Perbedaan antara Tanam Paksa dan Usaha Swasta

Van den Bosch beranggapan bahwa daerah jajahan berfungsi sebagai tempat untuk mengambil keuntungan bagi Belanda.

Kemudian pada 1830, Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal baru di Jawa dan merangcang sistem dan program tanam paksa.

Nah. Secara umum tanam paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang bisa diekspor ke pasar dunia, seperti kopi, tembakau, nilai, dan tebu.

Ketentuan mengenai tanam paksa ini sudah diatur dalam lembaran negara tahun 1834 No. 22.

Pro dan Kontra Tanam Paksa

Adjarian, meski sudah ada ketentuan secara tertulis mengenai pelaksanaan tanam paksa, dalam kenyataannya banyak terjadi penyelewengan yang dilakukan.

Penggunaan tenaga penguasa desa dalam menjalankan tugas dan memberikan bonus membuat penguasa desa memanfaatkan hal tersebut.

Hal ini membuat pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan aturan yang sudah dibuat dan membuat rakyat Indonesia menderita.

Di sisi lain, adanya tanam paksa membuat Belanda bisa mendapatkan keuntungan dan kekayaan yang melimpah dari Indonesia.

Baca Juga: Jawab Soal Sejarah Kelas 11 SMA, Dampak Positif Kebijakan Kolonial Belanda di Bidang Ekonomi

Kemudian, muncullah pro dan kontra dari tanam paksa di kalangan masyarakat Belanda sendiri.

Pra dan kontra ini hadir dari dua kubu yang berbeda di masyarakat Belanda, di mana kubu yang pro tanam paksa merupakan kelompok pegawai pemerintah dan kelompok konservatif.

Selain itu, pemegang saham perusahaan NHM juga mendukung tanam paksa karena bisa mendatangkan banyak keuntungan bagi negara Belanda.

Kubu-kubu ini pro terhadap tanam paksa karena mereka mendapatkan hak monopoli untuk mengangkut hasil-hasil tanam paksa dari Indonesia ke Eropa.

Sementara itu, pihak yang kontra terhadap tanam paksa merupakan kelompok masyarakat yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan menganut asal liberalisme.

Mereka beranggapan bahwa pelaksanaan tanam paksa membuat rakyat Indonesia menjadi menderita karena terus bekerja dengan upah yang sedikit.

O iya, kaum liberal sendiri menghendaki pemerintah untuk tidak ikut campur dalam urusan ekonomi, di mana kegiatan ekonomi sendiri diserahkan kepada pihak swasta.

Baca Juga: Masa Pemerintahan Daendels di Indonesia, Materi Sejarah Kelas 11 SMA

Selain itu, kaum liberal juga menuntut untuk menghentikan pelaksanaan tanam paksa di Indonesia.

Hal ini semakin diperkuat dengan terbitnya buku Max Havelaar oleh Edward Douwes Dekker atau Multatuli pada tahun 1860.

Buku ini memberikan kritik keras kepada pelaksanaan tanam paksa yang dilaksanakan di Indonesia saat itu.

Nah, itu tadi alasan munculnya pro dan kontra dari tanam paksa di masyarakat Belanda yang bisa menjadi referensi Adjarian dalam menjawab soal Latih Uji Kompetensi pada halaman 65.

Jawaban:

Mengapa pelaksanaan Tanam Paksa menimbulkan pro dan kontra di lingkungan masyarakat di negeri Belanda, karena di satu sisi, Tanam Paksa menghasilkan keuntungan yang sngat besar bagi pemerintah dan pengusaha Belanda, namun di sisi lain, Tanam Paksa menyebabkan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang harus bekerja keras memenuhi tuntutan Tanam Paksa.  

Pembahasan:

Tanam Paksa adalah aturan dimana penduduk Indonesia harus menyediakan sebagian lahannya untuk ditanami tanaman produksi untuk kepentingan ekspor, atau bila tidak, bagi mereka yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama hingga 6o hari di perkebunan milik Belanda. Hasil panen ini harus diserahkan kepada Belanda.

Kebijakan ini dijalankan sejak masa Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, yang menjabat tahun 1830-1833. Tujuan dari tanam paksa ini adalah untuk mendapatkan keuntungan besar dari ekspor tanaman produksi.  Hasil dari kebijakan ini, pemerintah Belanda mendapatkan keuntungan dari penjualan tnaman produksi yang besar.

Akibat dari Tanam Paksa, banyak rakyat yang kehilangan lahannya untuk ditanami tanaman ekspor, dan banyak pekerja yang harus bekerja di perkebunan Belanda melebihi waktu yang seharusnya. Akibat dari sistem ini, jumlah lahan pertanian untuk padi menurun, dan terjadi kelaparan seperti di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849).

Meski keuntungan yang didapat pengusaha Belanda besar, penduduk adli Indonesia harus menderita karena harus bekerja dengan gaji kecil dan kondisi berat. Kondisi memprihatinkan ini akhirnya mencuat di Belanda setelah ditulis oleh penulis Multatuli (nama asli Eduard Douwes Dekker) dalam novelnya “Max Havelaar”, yang bercerita tentang penderitaan pekerja pribumi di perkebunan kopi milik pengusaha Belanda.  Akibatnya di Belanda terjadi pro kontra terhadap penerapan Tanam Paksa.

Situasi pro kontra Tanam Paksa ini disimpulkan dalam istilah “Koloniaal profijt van onvrije arbeid” yang berarti keuntungan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun penderitaan bagi buruh yang tertindas

Akibat tulisan ini, disertai dengan aktivisme di Belanda dari Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus), maka pemerintah Belanda menjalankan politik Etis atau Politik Balas Budi yang berusaha meningkatkan pendidikan dan kondisi kehidupan penduduk asli Hindia Belanda.  

Kode:  11.3.3

Kelas: XI

Mata Pelajaran: Sejarah

Materi: Bab 3 - Perjuangan Nasional di Indonesia

Kata Kunci: Tanam Paksa


KOMPAS.com – Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel adalah sebuah kebijakan yang diterapkan Belanda di Indonesia pada 1830.

Tokoh yang mengusulkan penerapan sistem tanam paksa ini adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch (1830-1834).

Tujuan utama dari sistem tanam paksa ini ialah untuk melepaskan Belanda dari jeratan krisis ekonomi, karena saat itu kas pemerintah Belanda sedang kosong.

Akan tetapi, ternyata pelaksanaan kebijakan ini juga tetap menimbulkan pro dan kontra.

Karena di satu sisi tanam paksa menghasilkan keuntungan bagi Belanda, tetapi di sisi lainnya rakyat pribumi harus mengalami penderitaan.

Baca juga: Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak

Pro

Setelah Johannes van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830, tgas utamanya adalah menanggulangi keuangan negeri Belanda yang sedang mengalami krisis ekonomi.

Sebagai upaya mengatasi masalah ini, van den Bosch pun menerapkan kebijakan sistem tanam paksa kepada rakyat pribumi.

Adapun peraturan sistem tanam paksa yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

  • Seperlima tanah pertanian harus diserahkan untuk keperluan pemerintah Hindia Belanda
  • Rakyat harus menanam jenis tanaman yang laku di pasaran
  • Hasil pertanian menjadi milik pemerintah
  • Tanah yang dipakai untuk tanam paksa terbebas dari pajak
  • Rakyat yang bukan petani atau tidak memiliki tanah wajib bekerja di perkebunan atau pabrik
  • Waktu pengerjaan tanaman pada tanah pertanian tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau sekitar 3 bulan
  • Jika ada kelebihan hasil produksi maka akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan, kerugian, atau gagal panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan petani akan ditanggung pemerintah Belanda

Dari aturan-aturan tersebut, Belanda berhasil meraup keuntungan yang cukup banyak, di mana mereka memperoleh penghasilan sebesar 3 juta gulden pada 1834.

Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, Belanda mendapat keuntungan 12-18 juta gulden.

Dengan demikian, kas negara Belanda yang tadinya kosong langsung terisi secara penuh, bahkan pendapatan Belanda juga melebihi anggaran belanja yang seharusnya.

Selama sistem tanam paksa berlangsung, Belanda tidak lagi mengalami kesulitan keuangan.

Baca juga: Perbedaan Land Rent System dengan Cultuurstelsel

Kontra

Kendati demikian, ada pula yang kontra dari kebijakan sistem tanam paksa ini, karena dibalik keuntungan tersebut ada rakyat pribumi yang tersiksa.

Akibat dari tanam paksa, banyak rakyat Indonesia yang harus kehilangan lahan mereka, karena digunakan untuk menanam tanaman ekspor.

Selain itu, banyak juga rakyat pribumi yang harus bekerja sebagai buruh di perkebunan Belanda melebihi batas waktu seharusnya.

Di samping lahan pertanian menurun, kelaparan juga melanda di beberapa wilayah, seperti Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849).

Penderitaan yang harus dirasakan oleh rakyat pribumi, karena sistem tanam paksa pun menggoyahkan hati beberapa tokoh dari negeri Belanda sendiri.

Tokoh-tokoh penentang sistem tanam paksa adalah:

  • Eduard Douwes Dekker
  • Baron van Hoevell
  • Fransen van de Putte
  • Golongan pengusaha

Selain itu, muncul juga kritik dari kaum Liberal yang berusaha menghapuskan sistem tanam paksa melalui diberlakukannya UU Agraria atau Agararische Wet 1870.

Selain menghapus sistem tanam paksa, kaum Liberal juga punya tujuan lain, yaitu mencapai kebebasan dalam bidang ekonomi.

Pada akhirnya, setelah UU Agraria 1870 diberlakukan, sistem tanam paksa pun dihapuskan.

Sebagai pengganti dari sistem tanam paksa, diterapkan kebijakan baru, yaitu sistem usaha swasta Belanda.

Referensi:

  • Goenawan, Mohammad. (2006). Catatan Pinggir. Jakarta: Grafiti Pers.
  • Notosusanto, Nugroho. (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan penjajahan di Indonesia, 1700-1900. Jakarta: Balai Pustaka.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.