Mengapa persaudaraan akan menjadi kuat jika shalat berjamaah di masjid

Pertanyaan (Jefri, bukan nama sebenarnya):

Bagaimana hukum shalat berjamaah di masjid? Apakah wajib atau sunnah? 

Jawaban (Kiai Zainol Huda):

Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat berjamaah untuk pertama kali saat hijrah ke Madinah. Sedangkan sebelum hijrah, shalat fardhu dilaksanakan secara mandiri (munfarid).

Selama di Mekah, Rasulullah ﷺ tidak pernah melaksanakan shalat secara berjamaah, demikian pula para sahabat. Hal ini disebabkan kaum muslimin pada saat itu mendapat tekanan dan intimidasi dari kaum kafir Quraisy, sehingga shalat lima waktu banyak dilakukan di rumah masing-masing.

Namun, ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ dan para sahabat mendirikan shalat berjamaah. Beliau ﷺ juga membangun masjid dan menyatukan sahabat Anshar dan Muhajirin dalam satu barisan shalat berjamaah. 

Hikmah yang terkandung dalam shalat berjamaah sangat luas. Berjamaah identik dengan persatuan yang menyimpul ikatan kasih sayang di dalam hati para jamaah. Berjamaah juga menggambarkan kesatuan barisan yang patuh di bawah satu komando (imam).

Berjamaah mengajarkan tentang kesetaraan, melepaskan atribut status sosial di mana orang yang tinggi kedudukannya dapat bersanding dengan orang di bawahnya dalam satu barisan. Inilah manifestasi nyata bahwa di hadapan Allah semua sama. Yang membedakan kemuliaan seorang hamba hanyalah takwa.

Selain itu, shalat berjamaah mempertemukan saudara sesama muslim yang sebelumnya tidak saling mengenal. Ketika mereka berkumpul dalam satu barisan di belakang imam, itu menjadi titik awal untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan dalam iman. 

Keadaan ini akan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hati dan akan tercipta suasana kehidupan yang bahagia, tentram, dan sentosa.

Landasan syariat shalat berjamaah

Sebelum diputuskan melalui konsensus ulama (ijma’), syariat shalat berjamaah merujuk pada firman Allah yang berbunyi:

وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ

Apabila engkau (Nabi Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu dan dalam keadaan takut diserang), lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu (QS. An-Nisa [4]: 102).

Ayat ini mengandung perintah untuk mendirikan shalat jamaah dalam kondisi genting di medan perang. Maka melaksanakannya dalam kondisi normal dan aman tentu lebih ditekankan lagi.

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk rukuk bersama orang-orang yang rukuk. Hal demikian tidak akan terwujud kecuali dalam shalat berjamaah.

Sementara hadis yang dijadikan rujukan pensyariatan shalat berjamaah adalah:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan (selisih) dua puluh tujuh derajat (HR. Muslim no. 605).

Di samping sunnah qauliyah (ucapan), syariat shalat jamaah juga dibuktikan dengan sunnah fi’liyah (perbuatan). Rasulullah ﷺ konsisten melaksanakan shalat berjamaah sejak hijrah ke Madinah hingga akhir hayat beliau, baik di rumah maupun di perjalanan, saat perang maupun tidak.

Hukum shalat berjamaah

Ulama fikih memiliki beragam pendapat mengenai hukum shalat berjamaah di masjid. Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid hukumnya wajib bagi laki-laki.

Mazhab Hanafi mewajibkan shalat berjamaah kepada setiap muslim laki-laki yang berakal, merdeka, dan mampu melaksanakan dan berjalan menuju masjid. Oleh karena itu, shalat berjamaah di masjid tidak wajib bagi perempuan, anak-anak, orang gila, hamba sahaya, orang yang tangan dan kakinya terpotong, tua renta, dan orang sakit yang tidak mampu berjalan ke masjid. Hukum wajib dalam mazhab Hanafi ini sama dengan sunnah muakkad dalam mazhab lainnya.

Ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwa perintah untuk melaksanakan shalat berjamaah di saat kondisi genting dan mencekam (khauf) menunjukkan bahwa dalam situasi aman perintah tersebut semakin kuat. Namun, sebagian ulama mazhab ini membolehkan shalat berjamaah di rumah dengan alasan bahwa setiap jengkal tanah di mana pun dapat diniatkan menjadi masjid. 

Sementara itu, ulama mazhab Syafii berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah di masjid adalah fardhu kifayah bagi muslim laki-laki yang mukim atau menetap. Menurut mereka, shalat berjamaah harus ditampakkan sebagai syiar agama.

Jika shalat berjamaah dilakukan di rumah-rumah tanpa menampakkan syiar, maka kewajiban tersebut tidak gugur sampai sebagian kaum muslimin melaksanakan shalat berjamaah di masjid.

Adapun ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid hukumnya sunnah muakkad

Kesimpulan

Sahabat KESAN, shalat berjamaah adalah syariat Allah dan Rasulullah. Adapun mengenai hukum melaksanakan shalat di masjid, ulama mazhab berbeda pendapat. 

Ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkad. Ulama Mazhab Syafii menghukuminya fardhu kifayah. Sedangkan ulama mazhab Hanbali menghukumi shalat berjamaah wajib, tetapi boleh dilakukan di rumah. 

Shalat berjamaah memiliki banyak fadhilah dan keutamaan, maka alangkah baiknya jika kita dapat melaksanakannya sebagaimana Rasulullah ﷺ yang tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah sejak beliau hijrah ke Madinah.

Wallahu A’lam bi ash-shawab.

Referensi: Ibnu Muflih; Al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’, Muhammad Zuhali; Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i, Wahbah Az-Zuhaili; Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Ali Ahamd al-Jurjawiy; Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Ala’uddin al-Kasaniy; Badai’ al-Shanai’fi Tartib al-Syarai’, Syamsuddin al-Dasuqi; Hasyiyah al-Dasuqi ala al-Syarh al-Kabir.

###

*Kamu punya pertanyaan lain seputar agama Islam yang mau dibahas lengkap? Coba share di kolom komentar ya, atau hubungi kami di sini: .

**Kalau kamu suka artikel di aplikasi KESAN, jangan lupa share ya! Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS.

MEMBANGUN KEBERSAMAAN MELALUI SHALAT BERJAMA’AH

 Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri karena secara sunnatullah, manusia diciptakan tidak untuk hidup sendirian. Manusia hidup saling membutuhkan dan saling melengkapi kebutuhannya dalam kehidupannya.

Aktualisasi manusia sebagai makhluk sosial, tercermin dalam kehidupan berkelompok. Perilaku hidup berkelompok (kolektif) juga dimiliki oleh makluk hidup yang lain, seperti semut, lebah, burung, gajah, bahkan binatang buas seperti harimau juga hidup berkelompok. Namun ada perbedaan antara perilaku kolektif pada manusia dan binatang. Perilaku kolektif binatang bersifat instinktif (naluriah, gharizah) yang sifatnya statis dari lahir. Sekedar memberi contoh, lebah dan semut memiliki perilaku, pola interaksi, disain masyarakat dan kediamannya yang tetap sejak dahulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Sebaliknya perilaku kolektif manusia bersifat dinamis, senantiasa berkembang, dan terjadi melalui proses belajar (learning process). Perilaku kolektif manusia membangun  “kebersamaan” yang tidak sekedar naluri sunnatullah yang statis, namun ia senantiasa berkembang dan berkembangnya pun juga mengikuti sunnatullah.

Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya merupakan kesadaran tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan. Di dalam kebersamaan itu ada interaksi sosial. H. Booner dalam bukunya Social Psychology bahwa: “Interaksi sosial adalah hubungan antar dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya”.

Perbedaan potensi dan karakter kebersamaan

Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dengan berbagai kapasitas kemampuan, kekuatan, dan keahlian yang melahirkan rasa saling membutuhkan sehingga terwujud saling ketergantungan seperti orang miskin membutuhkan uluran tangan yang kaya, sebaliknya orang kaya tidak bisa hidup hanya dengan kekayaannya tanpa bantuan orang miskin. Sekalipun seseorang lemah secara fisik, ada kalanya orang yang kuat mengambil manfaat dari yang lemah. Penguasa sudah pasti membutuhkan orang lain di bawah kekuasaannya, Demikian juga dengan seseorang yang memiliki keahlian, tidak berarti tidak memerlukan orang yang tidak memiliki keahlian. Beberapa ayat al-Qur’an dapat kita temukan ayat-ayat yang menunjukkan adanya perbedaan potensi dan kapasitas manusia seperti dikemukakan di atas. Di antaranya firman Allah “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 32)

Adanya potensi dan kapasitas yang berbeda ini melahirkan kesadaran saling isi, yang dalam bahasa populer dikatakan sebagai “kebersamaan”.  Kebersamaan adalah sesuatu yang sangat berharga bagi setiap orang. Manusia dapat merasakan kebersamaan dengan keluarga, teman, sahabat, pasangan, kelompok, dan masyarakat. Dengan kebersamaan itulah manusia bisa saling berbagi, menyelesaikan masalah bersama, berjuang bersama, dan tentu saja juga bahagia bersama. Kebersamaan ini akan membangun hubungan atau ikatan sesama yang lebih dekat daripada ikatan fisik, di hati mereka dapat tumbuh rasa cinta di antara mereka yang di dalamnya terjadi demi kebaikan bagi mereka, dan menghidupkan minat untuk bersama dalam urusan mereka, sehingga hal itu membuat mereka seolah-olah mereka satu tubuh saling berhubungan dan saling menguatkan.

Dalam makna “hubungan” dan “kebersamaan”, Islam sangat menekankan ikatan sesama ini, sehingga akrab di telinga kita hubungan antar manusia (hablun min an-naas) dan hubungan dengan Allah (hablun min Allah).  Kebersamaan dalam Islam juga dimaknakan dengan istilah jama’ah. Umar bin Khattab pernah berkata “Lâ islâma illâ bi jamâ’atin” (tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah). Kebersamaan di sini akan melahirkan nilai persaudaraan untuk mewujudkan tujuan hidup bersama yang didambakan. Kebersamaan yang dimiki oleh jama’ah umat islam diikat oleh sesuatu yang bernama ‘aqidah. Ikatan seaqidah membangun ikatan yang sangat kuat yang dapat menembus batas suku, bangsa, negara, bahasa, ras, kota, pulau, bahkan benua sekalipun. Sekali seseorang bersyahadat dan ia tetap dalam syahadatnya itu, maka ia adalah saudara sesama muslim.

Nilai kebersamaan shalat berjama’ah

Shalat berjamaah  sangat diperintahkan dalam Islam, terutama bagi laki-laki. Islam menetapkan bahwa hukum shalat berjamaah itu sunat muakkad artinya sunat yang mendekati kepada wajib, bahkan ada ulama seperti asy-Syatibi berpendapat kalau sunat muaakad menjadi wajib apabila di dalamnya ada nilai syi’ar. Perasaan kebersamaan dalam shalat yang dilakukan secara berjama‟ah, di samping mempunyai pahala yang lebih banyak dari pada shalat sendirian, juga mempunyai nilai sosial atau kebersamaan.

Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah saw selalu memelihara shalat secara berjamaah. Dalam shalat jama’ah, mereka menjalin hubungan mesra, bukan saja dengan Allah (hablun min Allah), melainkan juga dengan sesama manusia (hablun min an-nas). Keseluruhan gerakannya pun mengilustrasikan persamaan dan kesetaraan, sekaligus mengikat kuat kebersamaan dan kedekatan satu sama lain.

Nikmatnya kebersamaan dalam jama’ah telah dirasakan sejak zaman para sahabat dengan Rasulullah saw sebagai pemimpinnya. Maka ketika Rasulullah wafat, para sahabat segera membicarakan siapa khalifah yang akan menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah, bukan karena mereka adalah para politikus yang berambisi menjadi penguasa, tetapi karena mereka faham betul betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kebersamaan. Menurut Djamaludin Ancok, aspek kebersamaan pada shalat berjamaah mempunyai nilai terapeutik, sehingga dapat dihindarkan seseorang dari rasa terisolir, terpencil, tidak dapat bergabung dalam kelompok, tidak terima atau bahkan perasaan dilupakan oleh orang lain.

Berbagai nilai yang dapat dipetik dari shalat berjamaah terdapat dalam tiga hal yakni, pertama dari syarat-syaratnya seperti ikhlas, niat yang sama karena Allah (lillahi ta’ala), sabar, istiqamah, suci (fisik, akal/pikiran), ukhuwah islamiyah (tidak boikot), kebersamaan, dan lain sebagainya sehingga dalam suasana batin yang tulus dan jasad yang bersih, tak ada kata yang terucap kecuali mengagungkan Allah.; kedua dari bacaannya didapati nilai seperti kebersamaan, ada ketentuan sirr dan jahar. Setelah seorang imam menutup surah al-Fatihah, jamaah pun menjawab, “aamiiin”; ketiga, dalam shalat mereka menyamakan persepsi, sikap, dan bahkan perilaku sehingga dari gerakannya seperti tergambarkan keta’atan pada aturan dan imam (pemimpin), kedisiplinan, saling menghormati, tidak saling mendahului, kesamaan gerak, kebersamaan, keselarasan, ukhuwah islamiyah, dan lain sebagainya Semua orang yang shalat menghentikan sementara seluruh aktivitas yang tengah dilakukannya. Semua berbaris rapi, mengikuti isyarat yang sama untuk melakukan gerakan yang sama pula.

Dari ketiga nilai tersebut secara keseluruhan didapati nilai-nilai kebersamaan yang seharusnya terbawa pada perilaku keseharian di dalam kehidupan sosial, membangun nilai-nilai kemasyarakatan yang baik seperti ukhuwah islamiyah, kepatuhan pada perintah agama (dalam istilah Jawa tanpa tedeng aling-aling). Keseluruhan perasaannya tercurah total hanya kepada Sang Pencipta sebagaimana dimaknakan dalam ucapan dalam shalat, iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (hanya

kepadaMu-lah kami menyembah dan hanya kepadaMu-lah kami meminta pertolongan). Di pengujung shalat, semua serempak menebar keselamatan, “Assalamu’alaikum”, sebagai wujud penghambaan kepada-Nya dan penghormatan kepada sesamanya. Inilah wujud kebersamaan yang dibangun di atas nilai-nilai religiositas keislaman melalui shalat berjama’ah. Ini pulalah makna konkrit dari inna shalataa tanhaa ‘anil fahsyaa wal munkar. Mengapa di dalam shalat kita bisa membangun ukhuwah dan kebersamaan, di luar shalat tidak? Wallahu a’lam bish-shawaab.

Yayasan Pendidikan Haji Agus Salim

Universitas Medan Area

Pusat Islam

MENGAJAK DAN MENGHIMBAU

SELURUH PEGAWAI, DOSEN, MAHASISWA DAN SELURUH KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT

yang ikhlas untuk berinfak dan menyantuni anak yatim pada bula Februari ini seberapa yang  diikhlaskan. Dana yang diperlukan untuk menyantuni setiap anak yatim Rp. 120.000 (seratus dua puluh ribu  rupiah) per orang.

Bagi yang ingin berpartisipasi dalam gerakan infak anak yatim dapat menyalurkan dananya kepada Pusat Islam UMA.

Informasi mengenai jadwal kegiatan santunan anak yatim untuk bulan Februari dapat menghubungi :

– Ibu Hj. Waridah  (Hp. 0813-6175-8689)

– M. Irsan Barus   (Hp. 0822-8344-0223)

Para dermawan, sebaiknya turut hadir pada acara tersebut

PRIBADI YANG PENUH RASA EMPATI DAN PEDULI ANAK YATIM ADALAH ORANG YANG MEMILIKI ESQ TINGGI.

MARI MENGIKHLASKAN HATI MENGGAPAI RIDHA ILAHI RABBI GUNA MENDAPAT PAHALA AKHIRAT YANG PASTI MENANTI