Mengapa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi?

Banyak pelanggaran yang dilakukan dalam Perda terkait pengaturan pidana, Disamping pengawasan preventif yang lemah oleh pemerintah lewat Kementrian Dalam Negeri.

Salah satu isu yang menjadi perhatian pembahasan R KUHP saat ini adalah implikasi KUHP terkait dengan peraturan-peraturan Derah yang masih menduplikasi tindak pidana. Isu ini belum banyak di bahas, Namun Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong DPR untuk mulai memberikan perhatian atas isu ini.Setiap daerah otonom memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara demokratis. Dalam konteks otonomi, kewenangan Pemda ini ditunjukkan dari adanya pemberian kewenangan bagi mereka untuk membuat Perda masing-masing untuk kepentingan masyarakat. Secara normatif, UU Pemda mengatur Perda sebagai peraturan yang berlaku untuk satu daerah otonom tertentu yang dirancang baik oleh Gubernur ataupun oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kemudian disetujui oleh kedua belah pihak tersebut.

UU Pemda juga menegaskan bahwa pembuatan Perda juga dapat dilakukan untuk kebijakan kriminalisasi, seperti tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 dan Pasal 143 ayat (2) UU Pemda yang menyatakan bahwa Perda dapat memuat ancaman pidana, seperti pidana kurungan dan denda. Kemampuan Perda dalam memberikan sanksi ini tentunya tidak terlepas pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 yang mengizinkan Perda untuk mengatur ketentuan pidana di dalamnya

Namun pada perkembangannya, keberadaan Perda yang memuat kebijakan kriminalisasi ini juga menimbulkan Perda yang bermasalah. Setidaknya, ada empat macam kebijakan kriminalisasi yang tidak sinkron dengan kebijakan hukum pidana nasional Indonesia, yaitu:

  1. Kebijakan kriminalisasi dari pendelegasian undang-undang, seperti Perda tentang retribusi dan pajak;
  2. Kebijakan kriminalisasi yang sudah diatur dalam hukum pidana kodifikasi, seperti Perda tentang miras dan pelacuran;
  3. Kebijakan kriminalisasi berbasiskan hukum Islam, seperti Qanun Jinayat Aceh No. 6 Tahun 2014
  4. Kebijakan kriminalisasi yang berasal dari hukum adat,

Aliansi Nasional Reformasi KUHP melihat bahwa banyaknya Perda yang bermasalah terkait pidana karena tidak adanya pedoman yang pasti dalam pelaksanaan KUHP tentang keberlakukan pidana di daerah dan kelemahan UU Pemda Disamping pengawasan preventif yang lemah yang dilakukan pemerintah lewat Kementrian Dalam Negeri.

Untuk menjaga sinkronisasi antara Perda dan kebijakan pidana nasional, maka pemberlakuan prinsip “lex superior derogat legi inferiori”sudah menjadi syarat mendasar. Prinsip ini mengakibatkan hukum yang kedudukannya lebih tinggi menghapus hukum yang ada di bawahnya, atau dengan kata lain hukum yang lebih rendah tingkatannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada di atasnya. Walaupun dalam hal ini, ditekankan bahwa penggunaan prinsip ini juga tetap harus mempertimbangkan aspek kesetaran dengan kekhususan Perda berdasarkan prinsip “lex specialis derogat legi generali”.

Terkait dengan RKUHP, untuk mengatasi dilema adanya perbedaan penerapan ketentuan pidana dalam Perda dengan RKUHP, maka RKUHP telah mengatasinya dengan ketentuan Pasal 776 huruf (a) RKUHP. Pasal itu mengatur:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

(a) Kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang disebut dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini atau Peraturan Daerah harus dimaknai sebagai tindak pidana.”

Melalui ketentuan ini, dapat dipahami bahwa aspek materiil hukum pidana atau tindak pidana yang tercantum dalam Perda kedudukannya diakui pula dalam RKUHP. NamunAliansi Nasional Reformasi KUHP menegaskan bahwa Perda tidak boleh bertentangan dengan KUHP oleh karena itu Perda harus di berikan batas dan syarat-syarat tertentu, jika tidak maka tatanan pengaturan tindak pidana dalam Perda berpotensi akan bertentangan dengan RKUHP. Namun loophole tersebut belum ditelaah oleh para perumus RKUHP terkait dengan implikasi rekodifikasi RKUHP terhadap Perda. Jika kembali merujuk pada Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 yang memberikan otoritas bagi Perda untuk memuat ketentuan pidana tanpa batas, Perda dapat mengatur tindak pidana yang bersifat umum/independen maupun tindak pidana yang bersifat administratif.

Oleh karena itu Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong agar RKUHP memberikan batasan secara jelas dalam Pasal 776 yakni:

Pertama, Perda atau Qanun, harus dibatasi masih membuat ketentuan pidana yang bersifat generic crime, dan dilarang untuk membuat tindak pidana yang telah di atur dalam KUHP (menduplikasi KUHP).

Kedua, harus diperjelas batas-batas pengaturan pidana [dalam konteks generic crime] yang sifatnya lokal diatur dalam Perda; dan

Ketiga, Perda hanya dimungkinkan untuk memuat ketentuan yang bersifat tindak pidana adminsitratif administrative crimeterbatas yang tidak boleh melanggar ketentuan UU.



KONTAN.CO.ID - Dalam konteks negara hukum, terdapat berbagai jenis dan jenjang kebijakan publik yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, definisi Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum. Peraturan Perundang-undangan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.  Dikutip dari situs resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, berikut ini penjelasan mengenai jenis dan hierarki (jenjang) Peraturan Perundang-undangan. 

Mengapa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi?
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan  Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sesuai urutan dari yang tertinggi adalah: 
  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD 1945) 
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( Tap MPR) 
  3. Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu) 
  4. Peraturan Pemerintah ( PP) Peraturan Presiden ( Perpres) 
  5. Peraturan Daerah ( Perda) Provinsi Peraturan Kabupaten atau Kota 
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan.  Berikut ini penjelasan masing-masing Peraturan Perundang-undangan tersebut:  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) UUD 1945 adalah hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan nasional.  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR meliputi Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR yang masih berlaku. Sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan MPR 1960 sampai 2002 pada 7 Agustus 2003. Berdasarkan sifatnya, putusan MPR terdiri dari dua macam yaitu Ketetapan dan Keputusan. Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis. Keputusan adalah putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja. 
Mengapa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi?
3. UU atau Perppu UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Mekanisme UU atau Perppu adalah sebagai berikut: Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. DPR dapat menerima atau menolak Perppu tanpa melakukan perubahan. Bila disetujui oleh DPR, Perppu ditetapkan menjadi UU. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Baca juga: Plt Menkumham: Perlu Revisi 23 Undang-Undang untuk Pindah Ibu Kota  4. Peraturan Pemerintah (PP) PP adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. PP berfungsi untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 5. Peraturan Presiden (Perpres) Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 
Mengapa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi?
6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Perda Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Baca juga: Revisi UU KPK Segera Disahkan Jadi Undang-Undang dalam Rapat Paripuna  7. Perda Kabupaten atau Kota Perda Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota. Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten atau Kota di Provinsi Aceh.  Makna tata urutan Peraturan Perundang-undangan Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan.  Penjenjangan didasarkan asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas tersebut sesuai dengan Stufen Theory atau Teori Tangga dari ahli hukum Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1945).  Selain jenis dan hierarki tersebut, masih ada jenis Peraturan Perundang-undangan lain yang diakui keberadaannya. Peraturan Perundang-undangan lain ini juga mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 
Mengapa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi?
Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud mencakup peraturan yang ditetapkan oleh: 
  • MPR 
  • DPR 
  • DPD 
  • Mahkamah Agung (MA) 
  • Mahkamah Konstitusi (MK) 
  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 
  • Komisi Yudisial Bank Indonesia (BI) 
  • Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU 
  • DPRD Provinsi Gubernur DPRD Kabupaten atau Kota Bupati atau Walikota Kepala Desa atau yang setingkat 
Secara khusus, Peraturan Menteri yang dimaksud adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.  Sebagai informasi, UU No. 12 tahun 2011 tersebut menggantikan UU No. 10 Tahun 2004. Dalam UU. No. 10 Tahun 2004, tata urutan peraturan perundang-udnangan adalah sebagai berikut: 
  • UUD 
  • 1945 
  • UU atau Perpu 
  • Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden 
  • Peraturan Daerah, meliputi: Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota, dan Peraturan Desa atau peraturan yang setingkat.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peraturan Perundang-undangan: Jenis dan Hierarkinya", Klik untuk baca: . Penulis : Arum Sutrisni Putri Editor : Arum Sutrisni Putri Editor: Hasbi Maulana

Mengapa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi?