Mengapa penyakit jantung menjadi Penyebab kematian tertinggi di Indonesia

Mengapa penyakit jantung menjadi Penyebab kematian tertinggi di Indonesia

Mengapa penyakit jantung menjadi Penyebab kematian tertinggi di Indonesia
Lihat Foto

Dok. Shutterstock

Ilustrasi serangan jantung

KOMPAS.com - Penyakit jantung masih menjadi pembunuh nomor satu di dunia. Menurut temuan terbaru, penyakit ini jadi penyebab sepertiga dari seluruh kematian yang ada di dunia pada tahun 2019. Jumlah kematiannya juga terus meningkat.

China memiliki jumlah kematian tertinggi akibat penyakit jantung di tahun lalu. Negara lain yang menempati peringkat di bawahnya adalah India, Rusia, Amerika Serikat, serta Indonesia.

Namun, negara seperti Perancis, Peru, dan Jepang memiliki angka kematian terendah karena penyakit jantung, enam kali lebih rendah dibandingkan tahun 1990.

Demikian temuan dari data selama 30 tahun terakhir.

Menurut peneliti, tiap negara perlu membuat program kesehatan masyarakat hemat biaya untuk mengurangi risiko penyakit jantung lewat perubahan perilaku dan gaya hidup.

Selama periode 1990-2019, kasus penyakit jantung membengkak hampir dua kali lipat, dari 271 juta menjadi 523 juta kasus.

Kemudian, angka kematian di periode tersebut juga meningkat, dari 12,1 juta menjadi 18,6 juta.

Baca juga: Mengapa Hipertensi Bisa Sebabkan Stroke dan Penyakit Jantung

Pada tahun 2019, sebagian besar kematian akibat penyakit jantung dikaitkan dengan penyakit jantung iskemik (masalah jantung yang dipicu penyempitan pembuluh darah arteri) dan stroke.

Dari angka kematian karena penyakit jantung di seluruh dunia yang didapat di tahun 2019 --yaitu 18,6 juta, proporsi pria yang meninggal dunia adalah 9,6 juta orang, sedangkan wanita sebanyak 8,9 juta orang.

Lebih dari 6 juta kematian terjadi pada orang berusia antara 30-70 tahun.

HARI JANTUNG SEDUNIA

tim | CNN Indonesia

Rabu, 29 Sep 2021 08:10 WIB

Mengapa penyakit jantung menjadi Penyebab kematian tertinggi di Indonesia

Penyakit jantung masih menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Berikut penjelasan lengkap mengenai penyakit jantung, penyebab hingga pencegahan. (iStockphoto/ RapidEye)

Jakarta, CNN Indonesia --

Penyakit jantung merupakan penyakit paling mematikan di dunia. Penyakit jantung atau kardiovaskular masih menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia yang mengakibatkan 18,7 juta kematian per tahun, menurut catatan Yayasan Jantung Indonesia.

Di Indonesia, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan setidaknya 15 dari 1000 orang individu di Indonesia menderita penyakit jantung atau kardiovaskular.

Wajar jika penyakit jantung disebut mematikan dan berbahaya. Pasalnya, jantung merupakan organ vital yang memiliki peran agar hampir semua organ tubuh bisa bekerja dengan baik.


Bayangkan, saat jantung berhenti tiba-tiba, otomatis organ tubuh yang berhubungan dengan jantung juga akan berhenti bekerja karena tak ada asupan darah ke organ-organ tersebut.

Penyakit jantung juga bermacam-macam dan tak hanya menyerang mereka yang berusia di atas 35 tahun. Tak sedikit, mereka yang masih berusia di bawah 35 tahun juga dapat mengalami penyakit jantung, meski secara fisik mereka tampak sehat dan bugar.

Apa itu penyakit jantung?

Selama ini banyak orang yang mengatakan penyakit jantung adalah mereka yang terkena serangan jantung. Padahal, ada berbagai macam penyakit jantung yang bisa dialami manusia.

Dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah, Vito Damay mengatakan penyakit jantung tidak hanya satu. Penyakit jantung juga bukan hanya masalah pembuluh darah dan serangan jantung.

"Masalah irama jantung, serangan jantung, dan memang penyakit jantung koroner itu yang utama karena dia penyebab kematian tertinggi," kata Vito dalam Konferensi Pers Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Menyambut Hari Jantung Sedunia 2021 yang digelar secara daring, Senin (27/9).

Penyakit jantung bawaan juga tergolong dalam penyakit di organ inti manusia. Biasanya penyakit ini dialami seseorang sejak lahir.

Yang berisiko terkena penyakit jantung

Semua orang memiliki risiko mengalami penyakit jantung. Terutama mereka yang tak pernah menjaga kesehatan tubuhnya dengan baik.

Mereka yang berusia muda bahkan juga memiliki risiko terkena penyakit jantung karena kelalaian menjaga kesehatan atau bahkan lalai melakukan pemeriksaan saat mengalami beberapa keluhan.

Menurut Vito, kebanyakan orang berpikir untuk melakukan pemeriksaan kesehatan setelah mengalami kerusakan yang fatal, misal setelah mengalami serangan jantung dan hampir meninggal dunia.

Padahal, penyakit jantung koroner tidak datang secara tiba-tiba. Vito mengatakan bahwa ini biasanya sudah menunjukkan tanda-tanda tetapi selalu diabaikan oleh penderita.

"Sering kali di Indonesia ini kurang aware akan pemeriksaan penyakit jantung, kayak mobil kalau sudah mogok baru dibawa ke bengkel. Kadang-kadang sudah ada kerusakan dari awal, bensinnya tinggal sedikit, kampas remnya sudah mau habis," ujar Vito.

"Pas tiba-tiba mogok baru bilang 'lah kok bisa?'. Dan ini sama, kayak, 'kok tiba-tiba punya penyakit jantung, padahal sebelumnya enggak ada apa-apa.' Bukan enggak ada apa-apa ya, tapi tidak disadari karena kurangnya awareness," lanjutnya.

Simak penyebab hingga cara mencegah penyakit jantung di halaman berikut.

Penyebab hingga cara mencegah penyakit jantung


BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Jakarta, 26 September 2019

Penyakit jantung masih menjadi ancaman di Indonesia bahkan di dunia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dr. Cut Putri Arianie mengatakan berdasarkan Sample Registrasion System (SRS) penyakit jantung menjadi penyebab kematian terbanyak kedua setelah Stroke.

Selain itu, akibat dari penyakit ini pula negara mengalami kerugian secara ekonomi. Data BPJS Kesehatan menunjukkan adanya peningkatan biaya kesehatan untuk penyakit jantung dari tahun ke tahun.

Pada 2014 penyakit jantung menghabiskan dana BPJS Kesehatan Rp 4,4 triliun, kemudian meningkat menjadi 7,4 triliun pada 2016, dan masih terus meningkat pada 2018 sebesar Rp 9,3 triliun.

“Hal ini menunjukkan besarnya beban negara terhadap penanggulangan penyakit jantung yang harusnya dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko,” kata dr. Cut pada Temu Media Hari Jantung Sedunia, Kamis (26/9) di gedung Kemenkes, Jakarta.

Penyakit jantung koroner terdiri dari penyakit jantung koroner stabil tanpa gejala, angina pektoris stabil, dan sindrom koroner akut. Penyakit jantung koroner stabil tanpa gejala biasanya diketahui dari skrining, sedangkan angina pektoris stabil didapatkan gejala nyeri dada bila melakukan aktivitas yang melebihi aktivitas sehari-hari.

Dr. Cut mengatakan dari 10 orang penderita penyakit tidak menular hanya 3 yang terdeteksi. Selebihnya tidak mengetahui bahwa dirinya sakit, karena penyakit tidak menular tidak ada gejala sampai terjadi komplikasi.

Penyakit jantung merupakan penyakit tidak menular yang kejadiannya bisa dicegah dengan pola hidup sehat. Dalam pencegahan dan pengendalian penyakit jantung, Kemenkes fokus pada upaya promotif dan preventif.

Dr. Cut menambahkan bahwa upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan Germas antara lain aktivitas fisik minimal 30 menit sehari, makan buah dan sayur, dan cek kesehatan secara berkala.

Janji Sederhana untu Kesehatan Jantung

Peringatan Hari Jantung Sedunia 2019 mengangkat tema global “My Heart, Your Heart”. Tema nasional “Jantung Sehat SDM Unggul”. Melalui tema tersebut, dr. Cut atas nama Kementerian Kesehatan RI mengajak masyarakat melakukan perubahan kecil dalam hidup, membuat sebuah janji sederhana untuk kesehatan jantung, seperti berkomitmen mengonsumsi makanan yang lebih sehat, beraktivitas fisik, dan berhenti merokok.

“Kemenkes juga mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan sederhana dalam aktivitas sehari-hari. Perubahan itu contohnya cek kesehatan berkala, tidak merokok, diet seimbang, istirahat cukup, dan kelola stres dengan baik,” ucap dr. Cut.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email .(D2)

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat

drg. Widyawati, MKM

Jakarta, 29 Juli 2017

Survei Sample Regristration System (SRS) pada 2014 di Indonesia menunjukkan, Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke, yakni sebesar 12,9%. Kemenkes imbau masyarakat agar melakukan cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin beraktifitas fisik, diet yang sehat dan seimbang, istirahat yang cukup dan kelola stres (CERDIK) untuk mengendalikan faktor risiko PJK.

Data PJK

Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi tertinggi untuk penyakit Kardiovaskuler di Indonesia adalah PJK, yakni sebesar 1,5%. Dari prevalensi tersebut, angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%) dan terendah di Provinsi Riau (0,3%),” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes RI, dr. Lily S Sulistyowati, MM usai konferensi pers terkait peluncuran obat jantung baru di Jakarta, Sabtu (29/7).

Menurut kelompok umur, PJK paling banyak terjadi pada kelompok umur 65-74 tahun (3,6%) diikuti kelompok umur 75 tahun ke atas (3,2%), kelompok umur 55-64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun (1,3%).

Sedangkan menurut status ekonomi, terbanyak pada tingkat ekonomi bawah (2,1%) dan menengah bawah (1,6%).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan 17,5 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5 juta kematian di seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat penyakit kardiovaskuler terjadi di negara berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang.

Dari seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan oleh stroke.

Pembiayaan penyakit katastropik, lanjut dr. Lily, menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan tahun 2016, menghabiskan biaya hampir 14,6 Triliun Rupiah. Sedangkan tahun 2015, menghabiskan biaya hampir 14,3 Triliun Rupiah.

Paling besar biaya adalah untuk penyakit jantung, dimana terjadi peningkatan pembiayaan dibanding tahun 2015, yakni sebesar 6,9 Triliun Rupiah (48,25%) menjadi 7,4 Triliun Rupiah (50,7%) pada 2016.

“Penyakit Kardiovaskuler sebetulnya dapat dicegah dengan _healthy lifestyle_, seperti mengurangi merokok, diet yang sehat, aktivitas fisik dan tidak menggunakan alkohol. Juga memperhatikan pola makan,” kata dr. Lily.

Berdasarkan data Survei Konsumsi Makanan Indonesia (SKMI) tahun 2014 menunjukkan bahwa proporsi penduduk Indonesia yang mengkonsumsi lemak lebih dari 67 gram perhari sebesar 26,5%, konsumsi natrium lebih dari 2000 mg sebesar 52,7% dan 4,8% penduduk mengkonsumsi gula lebih dari 50 gram.

Solusi CERDIK

Penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) menjadi salah satu masalah kesehatan utama di negara maju maupun berkembang. Upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah diantaranya dengan mesosialisasikan perilaku CERDIK.

Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin beraktifitas fisik, Diet yang sehat dan seimbang, Istirahat yang cukup dan Kelola stres. Selain itu, masyarakat diimbau melakukan pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan kolesterol rutin atau minimal sekali dalam setahun di Pobindu PTM/Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Sesuai dengan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), diharapkan seluruh komponen bangsa berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup.

Diharapkan, dapat meningkatkan produktifitas sehingga dapat menurunkan biaya pelayanan kesehatan. Tahun 2017 Germas difokuskan pada 3 kegiatan, yakni peningkatan aktifitas fisik, peningkatan konsumsi buah dan sayur serta deteksi dini atau periksa kesehatan secara berkala.

Kementerian Kesehatan, ujar dr. Lily mengimbau seluruh komponen bangsa baik pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan mendukung upaya pencegahan dan pengendalian faktor risiko PJK, sehingga angka kesakitan, kematian dan kecacatan karena PJK dapat diturunkan.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email

Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat

drg. Oscar Primadi, MPH
NIP. 196110201988031013