Mengapa negara masih membutuhkan ekspor padahal di Indonesia itu surplus

Jakarta - Kalau sudah kelebihan stok, kenapa harus impor? Demikian pertanyaan yang dilontarkan calon presiden nomor urut 02 kepada sang petahana terkait dengan kebijakan impor pangan yang dilakukan, khususnya beras. Hal ini tentu menggelitik nalar bagi mereka yang menyimak bahwa bila kita surplus dalam hal produksi beras, mengapa kita harus impor?

Beras adalah salah satu komoditas pangan utama yang turut berkontribusi dalam mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah sangat menjaga harga terkait pangan, salah satunya harga beras. Fluktuasi harga beras akan berpengaruh ke kemiskinan karena pembelian beras merupakan porsi terbesar dari pengeluaran masyarakat miskin.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada 2018 mencapai 32,42 juta ton. Sedangkan konsumsinya sekitar 29,57 juta ton, dengan rata-rata per bulan di kisaran 2,46 juta ton. Selisih antara jumlah beras yang diproduksi dengan jumlah beras yang dikonsumsi menunjukkan bahwa sebenarnya negara kita mengalami surplus sebesar 2,85 juta ton beras.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sekalipun mengalami surplus, nyatanya pemerintah tetap melakukan impor. Tercatat sejak 2014 sampai 2018, pemerintah selalu melakukan impor beras. Jumlah impor beras pada rentang 2014-2018 secara berturut-turut sebanyak 844 ribu ton, 861 ribu ton, 1,28 juta ton, 305 ribu ton, dan 2,25 juta ton.

Menurut penjelasan Presiden Joko Widodo sebagai petahana, impor tetap dilakukan untuk menjaga ketersediaan stok beras, menstabilkan harga, dan sebagai cadangan bila terjadi bencana atau gagal panen. Jika harga beras tinggi tentu petani akan bersorak, tetapi konsumen di pasar akan teriak. Begitu pula sebaliknya. Di sinilah pentingnya fungsi pemerintah dalam mengontrol keseimbangan harga agar petani senang, masyarakat juga senang.

Produksi, stok, dan kebijakan impor beras sangat berkaitan erat. Tentunya segala bentuk kebijakan yang diambil harus berdasarkan data pendukung yang akurat. Alarm impor akan berbunyi apabila ditemukan adanya lonjakan harga di pasar. Hal ini menunjukkan bahwa stok beras semakin menipis, sehingga terjadi kenaikan harga. Jika Indonesia sebenarnya swasembada, tentu akan ada pertimbangan dalam mengambil kebijakan apakah harus impor atau tidak.

Menghitung Produksi
Data produksi beras yang akurat sangat dibutuhkan dalam mendukung kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. BPS sebagai lembaga independen dituntut agar dapat memotret kondisi di lapangan dengan apa adanya. Cara memotret produksi beras ini tentu harus dengan metodologi yang diakui secara ilmiah. Bagaimana sebenarnya penghitungan data produksi beras di BPS?

Perlu diketahui, untuk mendapatkan data produksi beras, BPS melakukan konversi padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) menjadi beras melalui hasil Survei Konversi Gabah ke Beras (SKGB).

Sumber data utama yang digunakan dalam pengumpulan data produksi padi di Indonesia adalah melalui kegiatan Survei Pertanian dan Survei Ubinan. Terdapat dua variabel yang digunakan BPS dalam melakukan estimasi jumlah produksi padi, yaitu luas panen dan produktivitas. Informasi mengenai luas panen padi dikumpulkan melalui Survei Pertanian yang dilakukan oleh petugas dari Dinas Pertanian. Kuesioner yang digunakan adalah SP-PADI. Informasi ini dikumpulkan setiap bulan dari setiap kecamatan di Indonesia. Data produktivitas dikumpulkan dari Survei Ubinan yang dilakukan oleh petugas dari Dinas Pertanian dan Koordinator Statistik Kecamatan. Waktu pelaksanaan Survei Ubinan disesuaikan pada saat panen. Kuesioner yang digunakan untuk Survei Ubinan dinamakan SUB-S. Data produksi padi diperoleh dengan cara mengalikan antara luas panen padi dan produktivitas.

Selama ini, luas panen masih belum akurat dan mutakhir sehingga sering timbul keraguan karena masih berdasarkan metode konvensional, yaitu menggunakan eye estimate atau hanya dengan pandangan mata para petugas pengumpul data. Secara praktik, metode pandangan mata ini lebih mudah untuk diterapkan, tetapi akurasinya masih rendah dan waktu pengumpulan datanya pun cukup lama.

Berdasarkan Berita Resmi Statistik mengenai Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2018, dalam studi yang dilakukan BPS dan Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 1998, disinyalir terjadi over-estimasi luas panen sekitar 17,07 persen. Keraguan lainnya ialah perhitungan luas lahan baku sawah dikatakan cenderung meningkat, padahal fakta di lapangan menunjukkan terjadinya pengalihan fungsi lahan untuk industri dan perumahan atau infrastruktur, meskipun di sisi lain juga ada proses pencetakan sawah baru oleh Kementerian Pertanian.

Untuk menghasilkan data produksi padi yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan metodologinya, sangat penting untuk memperbaiki data terkait luas panen ini. Upaya perbaikan metodologi perhitungan produksi padi akhirnya dilakukan pada 2015. BPS bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi dan Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA). KSA adalah metode penghitungan luas panen, khususnya tanaman padi, dengan memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR/BPN. Metode ini dilakukan dengan cara yang lebih objektif dan modern dengan melibatkan perangkat teknologi sehingga data pertanian yang dikumpulkan diharapkan menjadi lebih akurat dan tepat waktu.

Tepat Sasaran
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Harapannya, tujuan itulah yang ingin dicapai dengan perbaikan metodologi yang dilakukan sehingga secara tidak langsung mendukung terwujudnya kondisi terpenuhinya pangan bagi rakyat Indonesia melalui kebijakan yang tepat sasaran. Metode penentuan luas panen yang mulanya hanya berdasarkan pandangan mata sehingga bersifat subjektif pun sudah mulai diperbaiki dengan teknologi citra satelit. Perbaikan metode penghitungan produksi beras akan menjadikan data yang dihasilkan lebih ilmiah, objektif, dan transparan. Gerakan perubahan berbasis teknologi dalam hal memotret produksi beras ini diharapkan akan membantu pemerintah sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan melakukan impor atau tidak. Bahkan, untuk membuat kebijakan hal-hal yang perlu dilakukan sehingga produksi dalam negeri dapat melimpah agar kita bisa swasembada bahkan menjadi negara pengekspor beras suatu saat nanti.

Theresa Novalia Statistisi Ahli Pertama Badan Pusat Statistik

(mmu/mmu)

KOMPAS.com - Wacana terkait impor beras beberapa waktu lalu sempat ramai dan mencuat ke permukaan publik di tengah panen raya di sejumlah daerah.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebut impor beras perlu dilakukan pemerintah untuk menjaga stok beras nasional dan menstabilkan harga.

Meski diprediksi akan terjadi kenaikan produksi beras sepanjang Januari hingga April 2021, Lutfi menyebut hal itu baru bersifat ramalan.

Baca juga: Kata Ekonom soal Rencana Pemerintah Impor Beras 1 Juta Ton

Kendati demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengimpor beras setidaknya hingga pertengahan tahun ini.

Meski impor beras tidak jadi terlaksana, polemik mengenai impor beras ini terlanjur membumbung tinggi dan memicu keresahan di kalangan petani.

Imbasnya, harga obyek yang diperbincangkan, yakni gabah mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Baca juga: Swasembada Beras Vs Impor Beras

Seperti diketahui bersama, Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang diharapkan dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat secara menyeluruh.

Siapa sangka, negara agraris pun tak menjamin suatu negara dapat terbebas dari impor, terlebih dari sektor pertanian itu sendiri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun 2000 hingga 2019 Indonesia selalu mengimpor beras. Praktis, hal tersebut juga terjadi di sepanjang periode kepemimpinan Presiden Jokowi hingga tahun 2019.

Baca juga: Polemik Impor dan Anjloknya Harga Garam...

Lantas, mengapa Indonesia yang merupakan negara agraris selalu impor beras?

Mengapa negara masih membutuhkan ekspor padahal di Indonesia itu surplus

Mengapa negara masih membutuhkan ekspor padahal di Indonesia itu surplus
Lihat Foto

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pekerja mengangkut beras impor dari Vietnam ke Gudang Bulog di Jakarta, Kamis (20/10). Hingga awal Oktober 2011, Perum Bulog telah merealisasikan impor beras sebanyak 536.000 ton.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, impor beras setiap tahun dengan angka jutaan ton akarnya ada pada sengkarut data perberasan.

Padahal, lanjut Bhima, BPS telah mengeluarkan rujukan data dengan teknologi terkait survei luas panen dan luas lahan.

"Hasilnya, BPS menyatakan Maret-Mei 2021 merupakan masa panen raya, sehingga produksi gabah dan beras diproyeksi surplus," ujar Bhima saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (27/3/2021).

Baca juga: Angka Kemiskinan Indonesia Naik, Ini Data Per Provinsi

Menurut Bhima, data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut agaknya seperti tidak dipercayai oleh kementerian terkait sehingga mereka membuat data dari sumber sendiri.

Alhasil, masalah data ini seperti sengaja diciptakan oleh rente impor.

"Pembenaran ilmiah untuk impor itu lemah. Ini bukan lagi persoalan produksi pertanian tapi sudah masuk ranah ekonomi politik, siapa yang untung dari marjin impor beras," terangnya.

"Bayangkan tidak perlu pusing menanam, tinggal impor dapat marjin. Ekonomi kita sengaja diarahkan menjadi rent seeking atau pemburu rente," tambah Bhima.

Baca juga: Jokowi Heran Impor Cangkul, Ini 10 Barang Lainnya yang Masih Impor

Bhima menyerukan kepada Presiden Jokowi sebagai pemimpin eksekutif tertinggi untuk segera turun tangan.

Presiden harus segera menertibkan kementerian yang tidak mematuhi basis data yang dimiliki oleh BPS.

"Seluruh pertimbangan harus berdadarkan data yang valid dengan metodologi yang bisa dipertanggung jawabkan," tutur Bhima.

Saat ditanya pihak mana saja yang "bermain" dalam polemik impor beras ini, Bhima menyebutkan ada dari berbagai pihak.

"Banyak yang bermain dalam impor komoditas pangan mulai dari politisi sampai pengusaha impor. Jaringannya cukup panjang sampai ke level pedagang yang ada di negara asal importir," pungkasnya.

Baca juga: Di Balik Melambungnya Harga Kedelai Impor 2021...

Kata Guru Besar UGM

Mengapa negara masih membutuhkan ekspor padahal di Indonesia itu surplus

Mengapa negara masih membutuhkan ekspor padahal di Indonesia itu surplus
Lihat Foto

PRIYOMBODO

Pekerja mengangkut karung beras di gudang Perum Bulog Divisi Regional Jakarta-Banten di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (3/1). Perum Bulog (Persero) menargetkan pengadaan beras sebanyak 3,55 juta ton sepanjang tahun 2013. Kompas/Priyombodo (PRI) 03-01-2013 *** Local Caption *** Pekerja mengangkut karung beras di gudang Perum Bulog Divisi Regional Jakarta-Banten di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (3/1). Perum Bulog (Persero) menargetkan pengadaan beras sebanyak 3,55 juta ton sepanjang tahun 2013. *** Local Caption *** 03-01-2013

Sementara itu, Guru Besar Departemen Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Prof Sunarru Samsi Hariadi menjelaskan, persediaan beras dalam negeri yang diinformasikan masih cukup tetapi berkembang isu akan ada impor, memang menjadi polemik tersendiri.

Menurutnya, ada banyak hal yang mendasari mengapa kementerian terkait memutuskan perlu melakukan adanya impor tersebut.

"Tentu hal ini banyak variabel yang bisa menjadi penyebabnya, bisa jadi data antar institusi yang berbeda, kurang adanya sinergi dan koordinasi antar institusi, dan lainnya," kata Sunarru saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (27/3/2021).

Baca juga: Polemik Impor dan Anjloknya Harga Garam...

Tak dipungkiri, katanya, saat ini hampir semua masyarakat Indonesia memilih nasi sebagai makanan pokoknya dan padi menjadi tanaman yang populer.

Apabila mengalami kekurangan, dapat menimbulkan gejolak tersendiri.

"Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta, beras harus siap menjadi stok nasional sepanjang waktu, apakah stok itu tersedia dari dalam negeri atau dari impor," papar Sunarru.

Menurut Sunarru, saat ini berbeda dengan dahulu, terjadi perubahan sosial dalam persepsi masyarakat tentang pangan.

Dahulu, banyak masyarakat Indonesia terbiasa makan jagung, ubi, sagu, dan pangan lokal yang lain sebagai makanan pokok sehari-hari.

Baca juga: Ancaman Kelaparan dan Potret Kondisi TKI di Malaysia Saat Pandemi Corona...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.