Mengapa ketimpangan pendapatan akan menghambat pertumbuhan ekonomi brainly

Bangalore adalah Silicon Valley versi India. Ia adalah tempat berbagai perusahaan teknologi berkarya. Salah satu perusahaan di Bangalore adalah Infosys Technologies Limited. Infosys menjajakan aneka jasa untuk perusahaan multinasional Amerika dan Eropa, mulai dari perawatan komputer hingga menjawab telepon pelanggan perusahaan-perusahaan tersebut dari seluruh dunia. Sama seperti Infosys, Mphasis juga melakukan hal yang sama. Mphasis, adalah perusahaan akunting yang di-outsource oleh perusahaan-perusahaan akuntan publik di Amerika. Infosys dan Mphasis pada dasarnya sama: mereka mengerjakan pekerjaan operan dari perusahaan Amerika Serikat. Oleh Friedman (2006), fenomena ini disebut globalisasi.

Globalisasi membuat lalu lintas sumber daya antar negara menjadi hal yang lumrah dan kemajuan teknologi membuat alokasi sumber daya lebih efisien. Berpindahnya produksi komoditas labor-intensive dari negara maju ke negara berkembang pada beberapa dekade terakhir mendukung pendapat Friedman. Perpindahan produksi ini secara tidak langsung meningkatkan perekonomian negara berkembang. Karena, perpindahan produksi berarti kenaikan lapangan pekerjaan yang tersedia dan juga naiknya pendapatan nasional. Perpindahan produksi juga seringkali membawa serta pengetahuan dari negara maju ke negara berkembang—yang selanjutnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan produktivitasnya. Produktivitas yang meningkat membuat pertumbuhan ekonomi meningkat.

Ditambah dengan keuntungan spesialisasi yang didasarkan atas keunggulan komparatif, globalisasi diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi—sehingga kita dapat menduga bahwa dampak globalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah positif. Dan karena pertumbuhan ekonomi umumnya mengurangi kemiskinan, maka kita juga dapat menduga dampak globalisasi terhadap kemiskinan adalah negatif. Namun, teori perdagangan pada umumnya mengatakan bahwa gains from trade umumnya tidak didistribusikan merata di antara kelompok masyarakat. Teori specific factor dan teori Heckscher-Ohlin misalnya, mengatakan bahwa pemilik faktor produksi yang secara spesifik atau secara intensif digunakan di sektor yang berkompetisi dengan produk impor akan merugi. Intinya, perdagangan merugikan sekelompok masyarakat tertentu dan menguntungkan kelompok masyarakat lainnya. Dari sini, sepertinya kita menduga bahwa globalisasi akan meningkatkan ketimpangan pendapatan.

Namun sesungguhnya globalisasi bukanlah sekedar urusan ekonomi atau perdagangan. Globalisasi memiliki wajah lain. Orang Indonesia bisa mengetahui apa yang terjadi di Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang pada saat ini juga. Budaya pop Korea dan Jepang dengan gampang tersaji melalui TV kabel dan internet; begitu juga dengan saluran radio internasional dapat kita dengarkan secara streaming. McDonald’s dan Ikea juga bisa dijumpai di banyak negara. Tak hanya itu. Globalisasi juga membuat hubungan antar negara menjadi kebutuhan sehingga semakin banyak negara-negara memiliki perwakilan diplomatik di seluruh dunia.

Konjunkturforschungsstelle (KOF) Swiss Economic Institute menyusun indeks globalisasi dari 23 variabel ekonomi, sosial, dan politik. Indeks globalisasi KOF ini memiliki skala 1 hingga 100, dimana semakin tinggi skalanya menunjukkan tingkat globalisasi yang semakin tinggi pula. Indeks globalisasi umum ini disusun dari indeks globlisasi ekonomi, indeks globalisasi sosial, dan indeks globalisasi politik, yang masing-masing memiliki bobot 36, 38 dan 26 persen.

Dari studi yang dilakukan oleh Syahraniah (2015) dengan sampel 9 negara ASEAN+3, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan pada periode 1980 hingga 2009 dengan OLS panel 5 tahunan, tidak menemukan bukti bahwa globalisasi umum dan globalisasi sosial berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hanya globalisasi ekonomilah yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bagaimana dengan dampak globalisasi terhadap kemiskinan? Seperti telah diduga dalam hipotesis di muka, karena globalisasi berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi berdampak negatif terhadap kemiskinan, maka dapat diduga bahwa globalisasi berdampak negatif terhadap kemiskinan. Studi Syahraniah (2015) menemukan bukti bahwa globalisasi secara umum dan globalisasi ekonomi menurunkan kemiskinan—namun tidak demikian halnya dengan globalisasi sosial.

Terkait ketimpangan pendapatan, studi Syahraniah (2015) menemukan bukti bahwa globalisasi secara umum, globalisasi ekonomi, dan globalisasi sosial semuanya memperburuk ketimpangan pendapatan. Globalisasi ekonomi berpengaruh lebih kuat terhadap ketimpangan pendapatan daripada globalisasi sosial. Dari hasil ini, pemerintah perlu melakukan kebijakan redistribusi pendapatan melalui pajak dan subsidi serta memperkuat belanja sosial untuk meningkatkan keterampilan khususnya bagi masyarakat yang bekerja di sektor yang berkompetisi dengan impor untuk mengurangi dampak negatif globalisasi terhadap beberapa kelompok masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kesimpulannya jelas. Negara-negara berkembang mestinya mendorong globalisasi ekonomi, dengan memperlancar perdagangan dan investasi antar negara serta mengurangi hambatan perdagangan. Namun, jangan berharap globalisasi equalize masyarakat di dalam suatu negara. The world is flat seperti kata Friedman itu adalah kesimpulan antar negara. Sedangkan di dalam suatu negara sendiri, it is uneven—persis seperti kata teori.

Referensi
Friedman, Thomas L. (2006). The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century (2nd ed.). New York: Farrar, Straus, and Giroux.
Kaunder, Björn, and Niklas Potrafke. (2015). Globalization and Social Justice in OECD Countries. Review of World Economics, 151, 353-376.
Syahraniah, Nadia. (2015). Analisis Pengaruh Globalisasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, dan Tingkat Kemiskinan: Studi Kasus di Negara ASEAN+3 Periode 1980-2009. Skripsi. Tidak dipublikasikan. FEB UGM.

In 2014, the richest 10 per cent of Indonesian households consumed as much as the poorest 54 per cent. Image by Google Maps.

Sejak tahun 1990an, ketimpangan di Indonesia naik lebih pesat dibanding negara Asia Timur manapun selain Tiongkok. Pada tahun 2002, konsumsi 10% rumahtangga terkaya setara dengan konsumsi 42% rumahtangga termiskin. Bahkan pada tahun 2014, naik menjadi 54%. Mengapa kita perlu khawatir mengenai tren ini? Apa penyebabnya, dan bagaimana pemerintah yang sekarang bisa mengatasi naiknya ketimpangan? Apa saja yang perlu dilakukan?  

Ketimpangan tidak selalu buruk;  ketimpangan bisa memberi penghargaan bagi mereka yang bekerja keras dan berani mengambil risiko. Tetapi ketimpangan yang tinggi itu mengkhawatirkan dan bukan hanya karena alasan keadilan. Ketimpangan tinggi bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi, memperparah konflik, dan menghambat potensi generasi sekarang dan masa depan. Contohnya, riset baru mengindikasikan bahwa secara rata-rata, ketika porsi besar pendapatan nasional dinikmati oleh seperlima rumahtangga terkaya, pertumbuhan ekonomi melambat – sementara negara bisa tumbuh lebih cepat ketika seperlima rumahtangga termiskin menerima lebih banyak.

Rumahtangga miskin bisa mengalami  kekurangan sumberdaya untuk memasukkan anak ke sekolah, dan  menjaga kesehatan mereka , sehingga produktivitas mereka berkurang saat dewasa. Mereka mungkin juga tidak bisa membuka usaha. Kesenjangan yang lebar dalam standar kehidupan juga bisa memicu pertentangan sosial, ketidakpastian politik dan konflik yang semakin sering. Di Indonesia, kabupaten dengan ketimpangan lebih tinggi melaporkan 60% konflik lebih banyak dibanding kabupaten dengan ketimpangan yang lebih rendah.  

Ketimpangan di Indonesia naik karena empat sebab utama. Pertama, banyak anak-anak Indonesia, terutama dari rumahtangga miskin dan di desa, tidak memperoleh awal hidup yang sama dengan anak-anak dari keluarga yang lebih kaya. Akibatnya, mereka tumbuh dengan kesehatan dan keterampilan yang kurang. Sepertiga dari seluruh perbedaan pada standar hidup orang dewasa Indonesia saat ini disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali mereka: pendidikan orangtua mereka, tempat mereka lahir, dan jenis kelamin.

  Kedua, hanya sebagian kecil tamatan sekolah memiliki keterampilan yang berguna untuk ekonomi modern, Merekalah yang bisa memperoleh pemasukan lebih tinggi dari pekerjaan formal. Sebaliknya, sebagian besar pekerja tidak terampil terjebak dalam produktivitas rendah, gaji kecil, dan pekerjaan informal. Seiring waktu, kesenjangan pendapatan antara pekerja terampil dan tidak terampil mengakibatkan naiknya ketimpangan.   Ketiga, kepemilikan aset keuangan dan properti di Indonesia semakin terkonsentrasi di tangan mereka yang paling kaya. Satu estimasi menunjukkan bahwa 50% seluruh aset dimiliki oleh 1% penduduk Indonesia – konsentrasi kekayaan ini termasuk tertinggi di dunia. Individu-individu tersebut mendapat pemasukan besar dengan memiliki berbagai aset, dan mengakibatkan ketimpangan yang semakin tinggi. Anak-anak mereka akan mewarisi kekayaan tersebut, tumbuh lebih beruntung dan mendapat manfaat dari pekerjaan yang lebih baik.   Dan keempat, hanya pegawai negeri sipil dan keluarga kaya yang memiliki jaminan kesehatan dan pekerjaan seperti pensium, juga tabungan yang cukup. Ketika terjadi guncangan – misal terkait kesehatan, kehilangan pekerjaan, atau bencana alam – sebagian besar masyarakat Indonesia terpaksa meminjam dari teman, keluarga, menjual aset matapencaharian mereka seperti ternak, atau mengeluarkan anak dari sekolah untuk menghemat pengeluaran dan membantu mencari pemasukan. Kerentanan ini berarti banyak keluarga Indonesia jatuh miskin tiap tahun. Lebih dari setengah masyarakat miskin di Indonesia tahun ini belum miskin tahun lalu.   Masyarakat umum di Indonesia, ketika ditanya melalui survei nasional berapa besar pendapatan nasional yang selayaknya diterima seperlima masyarakat Indonesia terkaya, menjawab idelanya 28%. Namun mereka memperkirakan, kenyataannya 38%. Realitanya lebih ekstrem. Menurut data resmi, 49% seluruh konsumsi dinikmati seperlima masyarakat terkaya.  

Masyarakat Indonesia mendukung adanya kebijakan yang lebih baik untuk menurunkan ketimpangan: 88% responden survei setuju bahwa pemerintah perlu segera mengatasi ketimpangan, dan mengusulkan program yang bisa memperkuat perlindungan sosial, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi korupsi. Mereka kurang antusias dengan usul untuk memperbaiki sekolah dan infrastruktur, juga menaikkan pajak bagi yang kaya.

 

Ada sinyal yang kuat dari pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menghentikan laju kenaikan ketimpangan. Laporan Bank Dunia mengenai ketimpangan di Indonesia telah dipaparkan  dalam rapat kabinet pemerintah, dan sasaran resmi untuk menurunkan ketimpangan telah dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka menengah. Beberapa tindakan penting sudah dilakukan. Sebagian besar subsidi BBM yang lebih dinikmati masyarakat mampu telah dikurangi dan dananya dialihkan untuk bantuan sosial, layanan kesehatan, dan investasi infrastruktur. Membuka lapangan kerja telah dibantu melalui regulasi usaha dan pasar tenaga kerja yang lebih sederhana. Beberapa inisiatif baru untuk meningkatkan ketaatan pajak punya potensi menurunkan ketimpangan secara langsung (dengan mengurangi disparitas pemasukan) dan tidak langsung (dengan mendanai belanja pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat miskin).

 

Masih banyak tindakan yang bisa dilakukan. Akses layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin dan anak-anak di desa sudah membaik, tetapi mereka sering menerima mutu layanan yang lebih rendah. Hal ini telah berkontribusi pada rendahnya peringkat Indonesia dalam penilaian siswa internasional. Perlu upaya lebih banyak untuk memastikan kesetaraan akses pendidikan yang bermutu. Juga masih perlu tindakan untuk meningkatkan keterampilan mereka yang sudah bekerja, melalui peluang baru dan pelatihan kerja. Meningkatkan keterampilan pekerja saja belum cukup. Jenis pekerjaan yang lebih baik bisa tercipta melalui infrastruktur yang lebih baik. Selain itu, akumulasi kekayaan melalui cara tidak adil, apakah lewat korupsi atau nepotisme, perlu lebih diselidiki. Dan ketika pendapatan diperoleh dengan cara yang jujur, pajak yang layak perlu dibayar.

  Terakhir, masih banyak yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat miskin dan rentan dari guncangan. Harga pangan yang tinggi bisa dikurangi dengan memperbaiki produktivitas dan logistik pertanian, juga mengizinkan impor untuk menurunkan harga di saat persediaan kurang. Dan jaring pengaman sosial – jaminan dan bantuan sosial – masih bisa diperkuat.   Pengalaman internasional menunjukkan bahwa strategi komprehensif yang meliputi berbagai bidang, digabung dengan kemauan politik bisa membawa perubahan besar sekarang dan di masa depan. Indonesia sedang mengambil langkah menyiapkan strategi tersebut. Membalik naiknya ketimpangan akan sulit, tapi penting bagi masa depan Indonesia.    

Artikel ini diadaptasi dari presentasi Matthew Wai-Poi pada seminar “Who is benefitting from Jokowi’s economic policies” di Asia Institute pada 21 April. Presentasi lengkap tersedia di sini.

 

Blog ini pertama kali dipublikasikan oleh Indonesia at Melbourne.