Mengapa kesulitan menghendaki kemudahan seperti yang dijelaskan oleh Kaidah المشقة تَجْلِبُ التيسير

A.PENDAHULUAN

Bermula dari kecermatan ulama ushul dalam mengkaji dalil-dalil kulli yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, yakni nasayat dan matan hadis yang menjelaskan prinsip-prinsip umum pembinaan hukum Islam dan diikuti pendalaman kajian ke arah ilat, hikmah dan rahasia hukum Islam serta analisisnya terhadap tujuan hukum, maka muncullah berbagai variasi kaidah-kaidah hukum Islam.

Secara konvensional kaidah-kaidah yang dimaksud dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kaidah pokok berjumlah lima bagian yang populer dengan sebutan ushul khamsah (lima kaidah pokok) dan kaidah universal (kulli), baik yang disepakati oleh ulama maupun yang tidak disepakati. Adapun kaidah kulli yang disepakati jumlahnya antara 40-60 dan kaidah yang tidak disepakati sekitar 20. Sedangkan lima kaidah pokok itu sangat penting untuk dikaji yang berfungsi untuk memastikan dan memantapkan bila terjadi problem hukum Islam dalam masyarakat yang bisa dengan relatif pasti untuk menarik arah dan tali hubungannya. Kaidah tersebut berkorelasi dengan pentingnya motif perbuatan hukum, prinsip kepastian hukum, prinsip kemudahan aturan, hukum yang menyelamatkan, dan akomodasi terhadap praktek kebiasaan lokal. Namun saya dalam kesempatan ini hanya akan mendeskripsikan formulasi dan implementasi kaidah pokok ketiga yang berkaitan dengan prinsip kemudahan aturan atau yang dikenal dengan al-masyaqqah tajlibut taisir (kemasakatan membawa kemudahan).

B.FORMULASI DAN IMPLEMENTASI KAIDAHKETIGA

1.Kaidah Ketiga

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Kesulitan membawa kemudahan.

Kaidah ini merupakan salah satu kaidah pokok bagian ketiga. Maksudnya segala urusan, baik ibadah atau muamalah apabila mengalami kesulitan akan ada jalan keluarnya.

2.Dasar-dasar Kaidah Ketiga

Kaidah ini diinduksi (istiqra’) dari beberapa ayat dan hadis, di antara ayat dimaksud adalah :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ .

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ .

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ .

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ .

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

Sedangkan hadis Nabi di antaranya sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَإِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah, agama tidak memberatkan kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, konsistenlah beramal dengan wajar, mendekatlah, bergembiralah, minta tolonglah di awal pagi, siang dan akhir malam.”

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قاَلَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنِّى لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّى بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ.

Dari Abu Umamah, ia berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya saya tidak diutus dengan membawa agama Yahudi dan Nasrani tetapi saya diutus dengan membawa agama yang dicenderungi dan murah.’”

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا خَيَّرَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ إِثْمًا فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ .

Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah SAW tidak memilih antara dua perkara kecuali yang lebih mudah di antara keduanya selama tidak dosa, namun apabila perkara itu dosa maka beliau adalah orang yang lebih menjauhi ketimbang orang lain.”

Namun, walaupun ulama telah membuat patokan jarak tempuh tersebut yang diperkirakan timbul masakat, mereka tidak semata-mata menetapkan ‘illah berdasarkan masakat, tapi dengan mengimplementasikan keumuman nastentang keringanan bagi musafir, baik masakat atau tidak. Sehingga mereka tidak mengatakan, apabila seseorang dalam perjalanan tidak masakat maka tidak boleh berbuka, jamak salat atau mengqasarnya.Hal itu terjadi menurut ‘Iyadh ibn Nami as-Salami, karena ulama tidak membuat pemahaman balik dari nastersebut sehingga berlaku umum bagi tiap musafir tanpa dibatasi oleh masakat. Inilah kerancuannya, dalam satu sisi bertendensi pada masakat dengan jarak tempuh yang ditentukan, tapi dalam sisi lain mengamalkan keumuman nas. Nas al-Qur’an yang dimaksudadalahal-Baqarah: 185. Jika demikian menurut saya harus dikompromikan, yaitu jarak perjalanannya mencapai target dan adanya masakat sehingga hukum akan menjadi adil.

5.Sebab-sebab Memperoleh Keringanan

Setelah mengkaji‘illah hukum, ulama merumuskan beberapa sebab untuk memperoleh keringanan dalam ibadah atau lainnya. Setidaknya ada tujuh sebab yang dikemukakan oleh as-Suyuthi, yaitu :

a.Bepergian (as-safar)

Keringanan yang diperolah ketika seseorang bepergian di antranya dapat mengqasar salat Zuhur, Asar, dan Isyak yang asalnya masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat. Juga dapat berbuka puasa pada siang bulan Ramadan dan dapat mengusap sepatu selama tiga hari tiga malam

b.Sakit (al-maradh)

Dalam keadaan sakit seseorang boleh bertayamum apabila menggunakan air akan dapat menyebabkansakitnya semakin parah.

c.Ikrh (terpaksa)

Minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancamanakan dianiayakalau tidak minum, makameminumnya menjadi tidak haram.

d.Nisyan (lupa)

Pada dasarnya makan siang hari membatalkan puasa, tetapi kalau makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal. Berarti makanan yang sudah dimakan menjadi rezeki baginya.

e.Jahl (tidak tahu)

f.‘Usur (sukar)

g.Naqsh (kurang)

7.Kaidah Semakna

Kaidah fiqih yang semakna dengan kaidah ketiga:

إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ ِاتَّسَعَ

Apabila suatu perkara sempit maka menjadi luas.

Kaidah tersebut diambil dari ucapan Imam Syafii. Ada pula kaidah dengan redaksi berbeda tapi maksudnya sama :

اَلْأَشْيَاءُ إِذَا ضَاقَتْ ِاتَّسَعَتْ .

Sesuatu menjadi sempit apabila luas.

Contoh dari kaidah ini, lelaki haram memegang tubuh perempuan yang bukan mahramnya, namun kalau suatu ketika terjadi kecelakaan yang menimpa perempuan tersebut, misalnya jatuh dari kendaraan dan tidak ada seorang pun berada di tempat kejadian itu kecuali lelakitersebut, maka lelaki itu boleh menolong perempuan tersebut, bahkan wajib.

Kemudian ulama membalik kaidah tersebut manjadi :

إِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ

Apabila suatu perkara luas maka menjadi sempit

Contoh dari kaidah ini, ketika perang sedang berkecamuk diperbolehkan melakukan salat khauf dengan banyak bergerak. Tetapi di tengah-tengah salat, tiba-tiba keadaan menjadi reda dan musuh menjauh, maka tidak lagi diperkenankan banyak bergerak dalam salat tersebut.

© 2014 M. Khaliq Shalha


Lihat Catatan Selengkapnya


Page 2

A.PENDAHULUAN

Bermula dari kecermatan ulama ushul dalam mengkaji dalil-dalil kulli yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, yakni nasayat dan matan hadis yang menjelaskan prinsip-prinsip umum pembinaan hukum Islam dan diikuti pendalaman kajian ke arah ilat, hikmah dan rahasia hukum Islam serta analisisnya terhadap tujuan hukum, maka muncullah berbagai variasi kaidah-kaidah hukum Islam.

Secara konvensional kaidah-kaidah yang dimaksud dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kaidah pokok berjumlah lima bagian yang populer dengan sebutan ushul khamsah (lima kaidah pokok) dan kaidah universal (kulli), baik yang disepakati oleh ulama maupun yang tidak disepakati. Adapun kaidah kulli yang disepakati jumlahnya antara 40-60 dan kaidah yang tidak disepakati sekitar 20. Sedangkan lima kaidah pokok itu sangat penting untuk dikaji yang berfungsi untuk memastikan dan memantapkan bila terjadi problem hukum Islam dalam masyarakat yang bisa dengan relatif pasti untuk menarik arah dan tali hubungannya. Kaidah tersebut berkorelasi dengan pentingnya motif perbuatan hukum, prinsip kepastian hukum, prinsip kemudahan aturan, hukum yang menyelamatkan, dan akomodasi terhadap praktek kebiasaan lokal. Namun saya dalam kesempatan ini hanya akan mendeskripsikan formulasi dan implementasi kaidah pokok ketiga yang berkaitan dengan prinsip kemudahan aturan atau yang dikenal dengan al-masyaqqah tajlibut taisir (kemasakatan membawa kemudahan).

B.FORMULASI DAN IMPLEMENTASI KAIDAHKETIGA

1.Kaidah Ketiga

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Kesulitan membawa kemudahan.

Kaidah ini merupakan salah satu kaidah pokok bagian ketiga. Maksudnya segala urusan, baik ibadah atau muamalah apabila mengalami kesulitan akan ada jalan keluarnya.

2.Dasar-dasar Kaidah Ketiga

Kaidah ini diinduksi (istiqra’) dari beberapa ayat dan hadis, di antara ayat dimaksud adalah :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ .

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ .

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ .

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ .

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

Sedangkan hadis Nabi di antaranya sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَإِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah, agama tidak memberatkan kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, konsistenlah beramal dengan wajar, mendekatlah, bergembiralah, minta tolonglah di awal pagi, siang dan akhir malam.”

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قاَلَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنِّى لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّى بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ.

Dari Abu Umamah, ia berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya saya tidak diutus dengan membawa agama Yahudi dan Nasrani tetapi saya diutus dengan membawa agama yang dicenderungi dan murah.’”

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا خَيَّرَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ إِثْمًا فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ .

Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah SAW tidak memilih antara dua perkara kecuali yang lebih mudah di antara keduanya selama tidak dosa, namun apabila perkara itu dosa maka beliau adalah orang yang lebih menjauhi ketimbang orang lain.”

Namun, walaupun ulama telah membuat patokan jarak tempuh tersebut yang diperkirakan timbul masakat, mereka tidak semata-mata menetapkan ‘illah berdasarkan masakat, tapi dengan mengimplementasikan keumuman nastentang keringanan bagi musafir, baik masakat atau tidak. Sehingga mereka tidak mengatakan, apabila seseorang dalam perjalanan tidak masakat maka tidak boleh berbuka, jamak salat atau mengqasarnya.Hal itu terjadi menurut ‘Iyadh ibn Nami as-Salami, karena ulama tidak membuat pemahaman balik dari nastersebut sehingga berlaku umum bagi tiap musafir tanpa dibatasi oleh masakat. Inilah kerancuannya, dalam satu sisi bertendensi pada masakat dengan jarak tempuh yang ditentukan, tapi dalam sisi lain mengamalkan keumuman nas. Nas al-Qur’an yang dimaksudadalahal-Baqarah: 185. Jika demikian menurut saya harus dikompromikan, yaitu jarak perjalanannya mencapai target dan adanya masakat sehingga hukum akan menjadi adil.

5.Sebab-sebab Memperoleh Keringanan

Setelah mengkaji‘illah hukum, ulama merumuskan beberapa sebab untuk memperoleh keringanan dalam ibadah atau lainnya. Setidaknya ada tujuh sebab yang dikemukakan oleh as-Suyuthi, yaitu :

a.Bepergian (as-safar)

Keringanan yang diperolah ketika seseorang bepergian di antranya dapat mengqasar salat Zuhur, Asar, dan Isyak yang asalnya masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat. Juga dapat berbuka puasa pada siang bulan Ramadan dan dapat mengusap sepatu selama tiga hari tiga malam

b.Sakit (al-maradh)

Dalam keadaan sakit seseorang boleh bertayamum apabila menggunakan air akan dapat menyebabkansakitnya semakin parah.

c.Ikrh (terpaksa)

Minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancamanakan dianiayakalau tidak minum, makameminumnya menjadi tidak haram.

d.Nisyan (lupa)

Pada dasarnya makan siang hari membatalkan puasa, tetapi kalau makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal. Berarti makanan yang sudah dimakan menjadi rezeki baginya.

e.Jahl (tidak tahu)

f.‘Usur (sukar)

g.Naqsh (kurang)

7.Kaidah Semakna

Kaidah fiqih yang semakna dengan kaidah ketiga:

إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ ِاتَّسَعَ

Apabila suatu perkara sempit maka menjadi luas.

Kaidah tersebut diambil dari ucapan Imam Syafii. Ada pula kaidah dengan redaksi berbeda tapi maksudnya sama :

اَلْأَشْيَاءُ إِذَا ضَاقَتْ ِاتَّسَعَتْ .

Sesuatu menjadi sempit apabila luas.

Contoh dari kaidah ini, lelaki haram memegang tubuh perempuan yang bukan mahramnya, namun kalau suatu ketika terjadi kecelakaan yang menimpa perempuan tersebut, misalnya jatuh dari kendaraan dan tidak ada seorang pun berada di tempat kejadian itu kecuali lelakitersebut, maka lelaki itu boleh menolong perempuan tersebut, bahkan wajib.

Kemudian ulama membalik kaidah tersebut manjadi :

إِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ

Apabila suatu perkara luas maka menjadi sempit

Contoh dari kaidah ini, ketika perang sedang berkecamuk diperbolehkan melakukan salat khauf dengan banyak bergerak. Tetapi di tengah-tengah salat, tiba-tiba keadaan menjadi reda dan musuh menjauh, maka tidak lagi diperkenankan banyak bergerak dalam salat tersebut.

© 2014 M. Khaliq Shalha


Lihat Catatan Selengkapnya